Beranda / Semua / Kotak Itu Berbicara / PROLOG - Permulaan

Share

Kotak Itu Berbicara
Kotak Itu Berbicara
Penulis: Amelia N

PROLOG - Permulaan

Penulis: Amelia N
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Dari balik panggung, keriuhan terlihat jelas menghampiri sebuah ruangan yang berisi penuh sesak para pemain. Udara terasa lebih hangat dan wewangian yang tidak tahu dari mana saja asalnya menyerbak. Para pemain sibuk dengan tugas dan pekerjanya masing-masing. Ada yang terus memoles wajah dengan polesan makeup, berbagai macam warna eye shadow terlukis di kelopak mata, dipaduk dengan warna lipstick nyentrik yang membuat bibir terlihat lebih tebal, sekaligus menyita perhatian. Ada juga yang terlihat sibuk membenarkan kostum, memastikan seluruh bagiannya menempel sempurna pada tubuh. Serta, ada juga yang tampak tidak berhenti membaca skrip, mengulang dialog demi dialog, menghafalnya baik-baik.

 “Duh, ini lipstick-nya udah hilang lagi aja warnanya. Mau berapa kali di-touch up, coba? Jangan minum terus dong, Mili!” Cewek berseragam putih-abu dengan rambut panjang yang dibiarkan terurai itu menggerakan tangannya, mengoleskan kembali lipstick pada bibir tipis di hadapannya. Sang pemilik bibir itu terlihat pasrah, mengikuti apa yang baru saja dia dengar. Dalam waktu singkat, bibir itu kembali berwarna, warna merah cabai.

Sambil memandangi cermin, Mili menegakan tubuhnya yang sedari tadi duduk, membuat tubuhnya lebih relaks. Sesekali dia mengipaskan kipas lipat bermotif batik ke wajahnya, lalu membenarkan rambut lurus sebahunya yang berwarna hitam berkilau, dan mengelap butiran keringat yang tidak berhenti muncul dari pori-pori di keningnya.

“Gue grogi, Karina. Nggak tahu kenapa perasaan gue kok hari ini nggak enak aja gitu.”

“Ya tapi nggak usah minum lagi, deh. Entar pas di panggung malah mau ke toilet gimana? Lagian tumben banget pakai grogi segala. Biasanya paling tenang dan semangat. Ingat, kamu nggak mungkin bisa ke toilet selama di panggung.” Karina memasukan satu-persatu make up brush ke dalam pouch.

Dia meminta Mili untuk berdiri, membantu membenarkan kebaya berwarna merah khas peran Bawang Merah yang digunakan Mili. Kebaya penuh brokat yang cantik, dengan gemerlap dari mute-mute berbentuk berlian terjahit di antara brokat tersebut, membuatnya terlihat sangat pas dikenakan oleh Mili yang memiliki postur tubuh langsing. Kesan anggun terasa sekali ketika melihatnya secara keseluruhan. Tidak banyak kipas angin yang berada di balik panggung, hanya ada dua dan ditaruh di sudut-sudut ruangan. Membuat Mili tidak juga berhenti menggerakan kipas di tangannya.

“Kayaknya ada yang salah deh sama hari ini. Grogi gue kali ini beda, Kar. Mana panas banget pula. Bikin gue jadi tambah haus dan pengin minum terus. Eh ya, lima menit lagi mulai nih. Si Roni mana, sih? Kok nggak kelihatan dari tadi?” Bola mata Mili mengamati seluruh bagian ruangan.

Karina membenarkan headband merah bermotif polkadot di kepalanya sambil memandangi cermin. “Dia lagi ke kantin. Katanya sih mau beli permen karet. Dia kan gitu kalau udah nervous. Eh sini deh, Mil, aku kayaknya perlu tajemin eye liner kamu lagi. Kalau antagonis kan harus lebih tajam.”

“Cowok lo bisa nervous juga? Biasanya dia kan sok paling santai. Sok paling nggak gugup dan ngerasa semuanya bakal berjalan sempurna. Mana? Ini masih kurang tajam ya? Bawaan lahir, sorry.

“Hahahaha ya dia manusia biasa kali, Mil. Dia itu memang selalu gitu kok, cuma nggak ketahuan aja. Sini, harus tunduk sama tukang make up!” Karina menarik wajah Mili, mengambil eye liner hitam, menajamkan sudut mata Mili. Membentuk garis lengkung yang lebih tebal dari sebelumnya.

Sementara itu, suasana aula SMA Primadani sejak tadi sudah riuh dengan teriakan murid-murid. Hari itu aula yang cukup menampung 1500 orang tersebut terasa ramai dan penuh. Aula itu memang selalu penuh ketika pagelaran seni bulanan diadakan dari tim teater. Tidak hanya murid, guru-guru pun ikut tidak sabar untuk menonton dan memberi apresiasi. Mereka selalu semangat melihat hasil kerja keras dari anak didiknya. Para orangtua pemain yang juga ikut serta diundang duduk di kursi khusus dan terdepan.

Namun, di balik kemeriahan aula dan repotnya persiapan, seseorang terlihat berdiri tegak di ujung aula. Dia berpura-pura membaca lembaran skrip dan dari balik lembaran itu, terdapat wajah yang memerah dan air mata yang mengalir, menggambarkan kemarahan. Rasa kecewa berterbangan dari kerutan keningnya. Dia berusaha menutupi wajahnya, tidak mengizinkan siapa pun untuk melihat keadaannya yang tidak baik-baik saja. Hanya dia lah yang tahu segalanya. Hanya dia yang tahu alasan mengapa amarah dan kecewa itu datang menghampiri.

Tidak lama, semua pemain bersiap menaiki panggung yang terletak tepat di tengah aula. Roni, ketua tim mengarahkan semua pemain, dari posisi hingga mengingatkan kapan para pemain tersebut harus menaiki panggung. Dia juga mulai memimpin doa singkat agar acara hari ini berjalan sesuai harapan. Setelah yakin semua siap, Roni memberi kode pada mereka yang bertugas sebagai pengelola acara. Bunyi gamelan pun mulai terdengar, disambut sorakan, dan tepuk tangan meriah. Seolah para penonton memberi isyarat ‘selamat datang’, menyambut pagelaran yang sudah lama dinanti.

Semua anggota tim semakin sibuk. Sibuk mengatur, sibuk bebenah melakukan persiapan, sibuk memerhatikan jalannya pertunjukan, dan juga sibuk melakukan tugasnya masing-masing. Mereka selalu berusaha melakukan yang terbaik demi menampilkan penampilan yang maksimal.

Kecuali dia, orang yang sejak tadi berdiri di ujung aula. Dengan seragam putih-abu SMA Primadani, berdiri kaku dengan ekspresi dingin, hidung dan pipinya memerah berusaha menghentikan tangis, berusaha memperlihatkan bahwa dia kini baik-baik saja. Tangannya terus menggenggam lembaran skrip dan diam-diam meremuknya seiring degungan gamelan mengalun tegas bebarengan dengan teriakan penonton yang tidak henti terdengar.

Lama-lama rasa muak itu kembali terasa, membuatnya melangkahkan kaki ke toilet sambil sebelumnya cepat-cepat ke belakang panggung untuk mengambil sebuah pakaian. Kemudian dia merobek-robeknya dengan gunting secara kasar, membakarnya. Dia  meluapkan emosi dengan benda itu.

“KALIAN HARUS MUSNAH! PANGGUNG ITU NGGAK PANTAS BUAT KALIAN! MATI KAMU! HAHAHAHA.” Tawa penuh kemenangan keluar dari mulutnya. Tidak ada yang peduli padanya, semua terlalu sibuk dengan pagelaran seni bulan Februari.

Bab terkait

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 1 - Kenapa Harus Dia?

    Mili cemberut kesal setelah bel pulang sekolah berhasil menghilangkan bayangan Bimo, kakak kelas tiga, gebetan yang hampir dua tahun digebet dengan penuh rasa kagum dari benaknya. Sudah menjadi ritual, membayangkan hal-hal indah bersama Bimo saat pelajaran terasa membosankan. Dengan cepat dia membereskan buku-buku, memasukan satu-persatu ke dalam tas secara asal, lalu mengambil cardigan kesayangannya dari sandaran kursi dan memakainya. Cardigan berwarna merah mudah dengan renda yang terjahit di bagian kerahnya. Terdapat sulaman berbentuk kupu-kupu di kedua sakunya. Oleh-oleh dari sang Papa yang minggu lalu baru kembali dari Sidney. “Oh, damn, kenapa tugas hari ini banyak banget, sih? Artikel bahasa Indonesia, makalah fisika, tambah lagi tugas matematika buat besok belum selesai. Gue kan sibuk mau ada casting weekend ini.” Mili mengambil sisir dari dalam tas, menyisir rambut sebahunya dan memasang hair roll tepat di poni ratanya.

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 2 - Permainan Dimulai

    Bola mata Roni mengarah pada Karina dan Mili bergantian, kedua tangannya dimasukan ke dalam saku celana, berusaha menahan emosi untuk tidak masuk ke dalam sifat kekanak-kanakan Mili. Untuk ketiga kalinya dia harus menghadapi kemarahan Mili dengan masalah yang hampir sama. Serta masalahnya sama-sama berpusat pada cewek itu. Memang, menjadi ketua bukanlah tugas yang sulit, tetapi bagi Roni, selama dia menjabat sebagai ketua tim teater, sebagian besar kesulitan selalu muncul karena perbedaan pendapat dengan Mili. Karina memutuskan diam, memeriksa peralatan make up dalam pouch di pangkuannya sambil sesekali melirik Roni, memberi isyarat agar Roni sabar menghadapi Mili. Setidaknya dia bukan seseorang yang hadir untuk menambah masalah baru karena terlalu banyak berbicara atau menasihati ini itu. Mili mengarahkan telunjuknya ke wajah Roni. “Ingat ya Ron, gue cuma mau bawain cerita yang menurut gue bagus. Yang bisa eksplor bakat akting kita semua.”

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 3 - Kalian Harus Tahu

    Roni yang penasaran mengambil kertasa dari tangan Karina. Dia ikut membaca isinya. Dan seketika wajahnya tidak kalah pucat. Roni dapat merasakan degup jantung yang perlahan mengencang disertai otot-otot tubuh yang menegang. Dia mencoba membacanya untuk kedua kali, ketiga kali, sampai yakin bahwa apa yang baru saja dia baca benar-benar tertulis di kertas itu.“Siapa yang nulis ini?!” Roni sedikit berteriak. Ada getar di dalam suaranya. Dia menatap wajah para anggota mendalam, berusaha menemukan Sang Penulis. Sementara para anggota tim hanya diam dan tampak terkejut dengan nada suara Roni.“GUE TANYA, SIAPA YANG NULIS INI?” Nada suara Roni semakin kencang ditambah dengan emosi yang naik.Mili merebut kertas itu dengan cepat, penasaran dia membacanya. “Dia yang terlihat bijaksana dan memiliki kedudukan teratas sebenarnya anak dari seorang Koruptor. Wajahnya terlalu tebal untuk menjadi pemimpin sementara ayahnya seorang pencuri kelas ka

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 4 - Dejavu

    Pikiran Karina berkecamuk. Dia mengambil lilin beraroma lavender dari laci yang berada di seberang rangjang tidur. Kemudian menyalakannya, menaruhnya di atas meja kecil tidak jauh darinya. Detik jam terus berjalan, rasa lelah berkumpul di tubuhnya, namun dia tetap terjaga. Lelah, memikirkan masalah yang baru saja dia hadapi, dan lelah, memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia menarik selimut, menutupi seluruh tubuh. Mencari rasa kantuk yang sebenarnya sejak tadi sudah menghampiri, tetapi matanya tetap saja sulit tertutup. Lagi-lagi Karina memandnag jam dinding untuk menghitung berapa lama dia tetap saja terjaga dan tidak bisa tidur juga.Aroma lavender menyerbak ke seluruh ruang kamar, berhasil membuatnya sedikit relaks dan mulai dapat mengendalikan tubuh untuk tidur. Matanya perlahan menutup dan napasnya teratur.“Hai,” sebuah sapaan membuat Karina kembali membuka mata.Seketika kamarnya berubah menjadi ruangan yang dia kenal. Ruang kelas b

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 5 - Satu Persatu

    Satu hari berlalu dan semuanya mulai berubah. Entah bagaimana isi dalam kotak cepat sekali menyebar di seantero sekolah. Sudah dua kali Roni tidak sengaja mendengar anak-anak lain yang sedang bergosip tentang ayahnya yang seorang Koruptor saat dia berjalan di sekitar koridor sekolah. Ingin sekali dia berteriak di depan mereka, mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi dengan sang Ayah. Bahkan kalau bisa ingin sekali dia menonjok mulut-mulut yang dengan mudah mengatai dirinya serta keluarganya. Tapi buat apa? Roni berpikir bahwa itu semua hanya akan memperkeruh suasana dan membenarkan gosip tersebut. Bukannya ingin menampik, hanya saja itu semua sudah lewat dan bukan saatnya lagi untuk dibahas.Semuanya sudah sekian tahun berlalu, dan bagi Roni, dia sudah hampir melupakannya bahkan merasa sudah berada di posisi yang aman. Tidak ada lagi yang membicarakan keluarganya, tidak ada lagi yang mengata-ngatai Ayah. Tetapi sekarang, semuanya terulang kembali. Roni merasa tertarik kembal

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 6 - Rasa Takut

    Selesai dari latihan vokal, Mili dengan terpaksa harus menaiki kendaraan umum karena supir yang biasa mengantarnya izin pulang lebih cepat. Dia menunggu tepat di halaman mini market yang terletak di seberang tempat latihan. Ada rasa tidak enak yang menempel lekat sejak pulang sekolah. Awalnya dia mengabaikan perasaan itu, tetapi semakin dia sadar bahwa dia sedang sendiri, rasa itu semakin menguat. Menimbulkan rasa takut. Mili memperhatikan sekelilingnya yang sepi. Hanya ada satu gerobak bakso dan dua orang laki-laki duduk di sebelah gerobak tersebut. Mobil dan motor tidak henti berlalu-lalang. Pemandangan yang biasa. Tidak ada yang mencurigakan.Setelah memastikan keadaan aman, Mili memutuskan untuk berjalan kaki sambil menunggu taksi kosong. Semakin dia melangkahkan kakinya, rasa aneh itu kembali muncul. Dia membalikan badan, melihat ke kanan dan ke kiri, menatap langit mendung dan batu trotoar yang ditumbuhi rumput liar di sela-selanya. Tidak tahu mengapa dia selal

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 7 - Hancurnya Persahabatan

    Abdul berlari mengejar Roni yang berjalan cepat menuju kelas. Dia ingin sekali menyelesaikan masalahnya kemarin. Tidak peduli bagaimana Roni marah padanya, yang dia pikirkan hanyalah Karina. Hanya demi Karina. Dia tahu betul, peristiwa di rumah Karina menambah pikiran cewek itu. Padahal jelas, Karina sedang down akibat tulisan yang keluar dari kotak itu. Karina butuh orang yang sangat dia sayangi saat ini dan orang itu salah satunya adalah Roni. Kini masalah yang harus dihadapi Karina bertambah.Abdul dapat melihat tatapan penuh amarah Roni ketika dia berhasil membuat langkah kaki Roni terhenti. Bahu Roni meninggi, kepalanya tegak, matanya lurus menatap Abdul. Melihat tampang Roni, membuat keinginan Abdul kembali mencuat. Keinginan untuk memukul wajah Roni, membalas yang belum terbalas.

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 8 - Cerita Sebenarnya

    Mili mendatangi rumah Karina. Setelah menekan tombol bel, lalu dipersilakan masuk, Mili duduk di sofa ruang tamu. Tubuhnya lemas, suhu tubuhnya tidak stabil. Mili tahu sendiri bahwa kondisi kesehatannya semakin menurun. Seharusnya dia tidak keluar rumah dan beristirahat saja. Namun dia justru lebih merasa tidak sehat kalau harus sendirian di kamar. Karina terkejut melihat kehadiran Mili. “Mil, kamu nggak sekolah?” Mili mengangguk. “Gue boleh nginep di rumah lo malam ini, kan, Kar?” “Ada apa, Mil?” Karina duduk di samping Mili, memegang kening Mili yang terasa hangat. “Mil?” “Gue cuma lagi kurang fit akhir-akhir ini. Lagian, bokap nyokap gue tadi subuh berangkat ke Brunei, ada kerja

Bab terbaru

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 12 - Rasa Benci

    Gue ini kenapa? Salah gue di mana?Pertanyaan-pertanyaan yang berterbangan dalam benak Roni menambah rasa kecewa yang sulit dia jelaskan. Sambil mengganti seragam dengan baju seadanya yang dia ambil dari lemari, dia memandang seorang pria tua yang terbaring di sebuah ranjang dengan hati-hati.Hampir seluruh rambut pria tersebut sudah memutih disertai kulit tubuh yang sudah dipenuhi kerutan. Pria itu tenang, menikmati tidurnya. Hanya terlihat perutnya yang buncit bergerak naik turun, mengikuti irama napas.Roni mengikat celana training yang sedikit longgar. Merasakan perbedaan ukuran tubuhnya dengan sang ayah. Begitu juga dengan Polo t-shirt berwarna navy yang gombrang. Selesai berganti pakaian, Roni duduk di atas kursi yang terletak tepat di samping ranjang. Dia memperhatikan wajah pria di hadapannya.Tetesan cairan infus mengalir teratur, memasuki jarum yang tertusuk di tangan pria itu. Sesaat Roni bisa merasakan amarah ketika

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 11 - Semua Ada Alasannya

    Mili menyeruput teh dingin dari dalam botol. Tangannya mengelap keringat yang keluar dari pori-pori keningnya. Dia memandang seluruh isi kantin. Dari satu sudut ke sudut lainnya. Kemudian kembali menikmati menu makan siang yang sebenarnya tidak terasa enak ketika teringat rupa dari bangkai yang dia temukan beberapa jam lalu. Perutnya terasa mual saat secara tidak sadar aroma tidak enak terasa terus menempel di rongga hidungnya.“Hai, Mili.” Suara familiar terdengar di telingnya.Mili mengehela napas malas. “Lo ngapain lagi?”“Saya? Nggak, mau datengin kamu aja. Kamu nggak apa-apa?”Melihat wajah cowok di sampingnya tersebut, semakin membuat Mili tidak nafsu menghabiskan makan siangnya. “Lo punya mata? Bisa lihat kan kalau gue nggak kenapa-kenapa?”Cowok itu membenarkan posisi kaca matanya. “Bukannya kamu tadi nemuin sesuatu ya di bawah meja kamu?”Mili membaca tulisan dalam name

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 10 - Mencari Alasan Pertama

    Jam belajar telah dimulai. Suasana sekolah mulai tenang dan sepi. Lapangan dipenuhi murid dari sebuah kelas yang sedang mengikuti mata pelajaran olahraga.Abdul menendang gelas plastik bekas minuman yang tergeletak di pinggir lapangan. Menuangkan emosi yang masih bergemuruh di dalam dadanya. Dia tidak terima dengan apa yang baru saja ia dengar. Keputusan kepala sekolah mengenai hukuman mereka.Sementara Roni sejak tadi hanya memandang kelas Karina dari kejauhan, lalu bergantian memandang Abdul. Sesekali dia memegang hidungnya yang mulai terasa berdenyut. Pukulan Abdul lumayan juga, pikir Roni.“Roni?” Tiara memenghampiri Roni sambil membawa tumpukan kertas yang dia peluk di dada.Cukup sulit untuk mengeluarkan senyum saat kondisi wajahnya babak belur. Roni menaikan alisnya.Tiara memperhatikan luka Roni serius. Dia tahu kejadian apa yang baru saja terjadi dengan teman sekelasnya itu. “Nggak masuk kelas?”“Gue di

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 9 - Hari-Hari Buruk Itu Datang Lagi

    Semua tampak sama saja. Karina mengamati setiap sudut sekolah. Dia menghindari tatapan-tatapan aneh yang diberikan oleh siswa lain sepanjang koridor menuju kelas. Mengapa kabar bohong itu menyebar cepat? Siapa yang menaruh dendam? Karina menggelengkan kepala, tetap coba berpikir positif. Toh ada Milli yang berada di sampingnya memasang badan.“Lo akhirnya berani masuk juga?” Amanda melipat tangannya di depan dada. Ekspresinya penuh maksud, seulas senyum keluar dari bibirnya yang tebal. “Ya ampun, lo harusnya pakai apa kek, masker, atau semacamnya. Lo mau nularin satu sekolahan?”Karina dan Mili saling pandang. Mili memasukan untaian rambut ke balik telinga. “Apa? Lo ngomong apa barusan?”Amanda menyipitkan mata. “Sebentar, jangan-jangan lo udah tertular juga. Lo kan temen se

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 8 - Cerita Sebenarnya

    Mili mendatangi rumah Karina. Setelah menekan tombol bel, lalu dipersilakan masuk, Mili duduk di sofa ruang tamu. Tubuhnya lemas, suhu tubuhnya tidak stabil. Mili tahu sendiri bahwa kondisi kesehatannya semakin menurun. Seharusnya dia tidak keluar rumah dan beristirahat saja. Namun dia justru lebih merasa tidak sehat kalau harus sendirian di kamar. Karina terkejut melihat kehadiran Mili. “Mil, kamu nggak sekolah?” Mili mengangguk. “Gue boleh nginep di rumah lo malam ini, kan, Kar?” “Ada apa, Mil?” Karina duduk di samping Mili, memegang kening Mili yang terasa hangat. “Mil?” “Gue cuma lagi kurang fit akhir-akhir ini. Lagian, bokap nyokap gue tadi subuh berangkat ke Brunei, ada kerja

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 7 - Hancurnya Persahabatan

    Abdul berlari mengejar Roni yang berjalan cepat menuju kelas. Dia ingin sekali menyelesaikan masalahnya kemarin. Tidak peduli bagaimana Roni marah padanya, yang dia pikirkan hanyalah Karina. Hanya demi Karina. Dia tahu betul, peristiwa di rumah Karina menambah pikiran cewek itu. Padahal jelas, Karina sedang down akibat tulisan yang keluar dari kotak itu. Karina butuh orang yang sangat dia sayangi saat ini dan orang itu salah satunya adalah Roni. Kini masalah yang harus dihadapi Karina bertambah.Abdul dapat melihat tatapan penuh amarah Roni ketika dia berhasil membuat langkah kaki Roni terhenti. Bahu Roni meninggi, kepalanya tegak, matanya lurus menatap Abdul. Melihat tampang Roni, membuat keinginan Abdul kembali mencuat. Keinginan untuk memukul wajah Roni, membalas yang belum terbalas.

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 6 - Rasa Takut

    Selesai dari latihan vokal, Mili dengan terpaksa harus menaiki kendaraan umum karena supir yang biasa mengantarnya izin pulang lebih cepat. Dia menunggu tepat di halaman mini market yang terletak di seberang tempat latihan. Ada rasa tidak enak yang menempel lekat sejak pulang sekolah. Awalnya dia mengabaikan perasaan itu, tetapi semakin dia sadar bahwa dia sedang sendiri, rasa itu semakin menguat. Menimbulkan rasa takut. Mili memperhatikan sekelilingnya yang sepi. Hanya ada satu gerobak bakso dan dua orang laki-laki duduk di sebelah gerobak tersebut. Mobil dan motor tidak henti berlalu-lalang. Pemandangan yang biasa. Tidak ada yang mencurigakan.Setelah memastikan keadaan aman, Mili memutuskan untuk berjalan kaki sambil menunggu taksi kosong. Semakin dia melangkahkan kakinya, rasa aneh itu kembali muncul. Dia membalikan badan, melihat ke kanan dan ke kiri, menatap langit mendung dan batu trotoar yang ditumbuhi rumput liar di sela-selanya. Tidak tahu mengapa dia selal

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 5 - Satu Persatu

    Satu hari berlalu dan semuanya mulai berubah. Entah bagaimana isi dalam kotak cepat sekali menyebar di seantero sekolah. Sudah dua kali Roni tidak sengaja mendengar anak-anak lain yang sedang bergosip tentang ayahnya yang seorang Koruptor saat dia berjalan di sekitar koridor sekolah. Ingin sekali dia berteriak di depan mereka, mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi dengan sang Ayah. Bahkan kalau bisa ingin sekali dia menonjok mulut-mulut yang dengan mudah mengatai dirinya serta keluarganya. Tapi buat apa? Roni berpikir bahwa itu semua hanya akan memperkeruh suasana dan membenarkan gosip tersebut. Bukannya ingin menampik, hanya saja itu semua sudah lewat dan bukan saatnya lagi untuk dibahas.Semuanya sudah sekian tahun berlalu, dan bagi Roni, dia sudah hampir melupakannya bahkan merasa sudah berada di posisi yang aman. Tidak ada lagi yang membicarakan keluarganya, tidak ada lagi yang mengata-ngatai Ayah. Tetapi sekarang, semuanya terulang kembali. Roni merasa tertarik kembal

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 4 - Dejavu

    Pikiran Karina berkecamuk. Dia mengambil lilin beraroma lavender dari laci yang berada di seberang rangjang tidur. Kemudian menyalakannya, menaruhnya di atas meja kecil tidak jauh darinya. Detik jam terus berjalan, rasa lelah berkumpul di tubuhnya, namun dia tetap terjaga. Lelah, memikirkan masalah yang baru saja dia hadapi, dan lelah, memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia menarik selimut, menutupi seluruh tubuh. Mencari rasa kantuk yang sebenarnya sejak tadi sudah menghampiri, tetapi matanya tetap saja sulit tertutup. Lagi-lagi Karina memandnag jam dinding untuk menghitung berapa lama dia tetap saja terjaga dan tidak bisa tidur juga.Aroma lavender menyerbak ke seluruh ruang kamar, berhasil membuatnya sedikit relaks dan mulai dapat mengendalikan tubuh untuk tidur. Matanya perlahan menutup dan napasnya teratur.“Hai,” sebuah sapaan membuat Karina kembali membuka mata.Seketika kamarnya berubah menjadi ruangan yang dia kenal. Ruang kelas b

DMCA.com Protection Status