Home / All / Kotak Itu Berbicara / BAB 8 - Cerita Sebenarnya

Share

BAB 8 - Cerita Sebenarnya

Author: Amelia N
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Mili mendatangi rumah Karina. Setelah menekan tombol bel, lalu dipersilakan masuk, Mili duduk di sofa ruang tamu. Tubuhnya lemas, suhu tubuhnya tidak stabil. Mili tahu sendiri bahwa kondisi kesehatannya semakin menurun. Seharusnya dia tidak keluar rumah dan beristirahat saja. Namun dia justru lebih merasa tidak sehat kalau harus sendirian di kamar.

Karina terkejut melihat kehadiran Mili. “Mil, kamu nggak sekolah?”

Mili mengangguk. “Gue boleh nginep di rumah lo malam ini, kan, Kar?”

“Ada apa, Mil?” Karina duduk di samping Mili, memegang kening Mili yang terasa hangat. “Mil?”

“Gue cuma lagi kurang fit akhir-akhir ini. Lagian, bokap nyokap gue tadi subuh berangkat ke Brunei, ada kerjaan. Jadi gue sendiri di rumah.”

“Bukannya kamu biasanya seneng kalau rumah kosong?”

Mili membenarkan posisi duduknya. “Itu dia, gue.... Gue nggak apa-apa sih. I’m okay. Cuma sepi aja di rumah. So bored. Oh ya, sore ini nyalon aja gimana? Lo juga lagi butuh refreshing, kan? Dari kemarin gue pengin nyalon nih. Rambut kerasanya nggak banget!”

Ada yang berbeda dari Mili, dan Karina bisa merasakan itu. Mili tidak seceria biasanya dan cara bicara Mili berbeda. Biasanya Mili sangat semangat kalau sudah membicarakan soal perawatan, tapi kali ini ekspresi Mili datar. Tidak bergairah.

“Eh, Mil, kamu belum tahu ya soal Roni mukul Abdul kemarin?” Kejadian tersebut kembali terbayang di benak Karina.

Wow, are you sure, Kar? They were fighting for? Ah, gue lupa. Berebut lo?”

“Bukan berebut, aku aja nggak tahu kok kenapa Roni jadi emosian gitu. Dia tiba-tiba dateng, terus nonjok Abdul. Kasihan kan Abdul.”

Mili menepuk tangannya. “Gue tahu! Kemarin di sekolah, gue sama Roni ngobrol sedikit soal lo. Roni lagi goyah gara-gara kotak itu. Cowok lo lemah ya. Sama kotak doang takut.”

“Tapi ini beda, Mil. Kok bisa gitu ya, ada yang tahu soal rahasia aku sama Roni. Padahal kami sama-sama nyimpen. Nggak ada yang pernah ngomongin rahasia kami di depan orang lain. Aku sih gitu. Nggak tahu kalau Roni.”

“Tunggu deh, gue mau nanya, tapi lo jangan ngambek ya, jadi yang dalam tulisan itu bener? Lo...”

“Nggak! Mil... Aku nggak ngidap penyakit apa-apa.”Air mata Karina tertahan di pelupuk. Dia menatap satu figura besar di tengah dinding ruang tamu. “Kakak aku yang sakit.”

Mili memandangi sosok cewek yang memiliki wajah mirip dengan Karina dalam foto. Rambutnya sama-sama panjang, kulitnya sama-sama berwarna kuning langsat. Cewek itu berdiri di samping Karina. “Tapi kok lo nggak cerita soal ini sama gue? Sekarang kakak lo di mana?”

Air mata Karina mengalir. “Dia udah nggak ada, Mil. Udah dipanggil Tuhan.”

Sorry to hear that, Kar.”

“Nggak apa-apa. Waktu SMP, aku pernah di-bully gara-gara itu. Makanya aku takut buat cerita. Sama siapa pun. Sampai suatu waktu aku kenal sama Roni. Dan yang tahu soal itu cuma Roni.” Tangan Karina sibuk mengelap air mata. Tiba-tiba dia bisa merasakan sesuatu yang kosong saat mengingat bahwa sekarang dia dan Roni sedang bertengkar.

Mili menghela napas. “Jadi lo jauh-jauh pindah dari Bandung ke Jakarta demi ngehindar dari hal yang sama? Kok teman-teman lo jahat gitu sih. Kalau gue jadi lo, gue udah tuntut semuanya. Sekolahnya sekalian.”

“Iya, aku sama mama jadi pindah ke Jakarta. Sementara papa tetep kerja di Bandung. Beruntungnya, mama juga waktu itu emang lagi ada bisnis di sini. Makanya aku belum berani masuk sekolah sampai hari ini. Aku takut, Mil... Takut...”

“Ya kalau ada yang macem-macem, jelasin aja semuanya, Kar. Gue bantuin lo! Pasti! Lagian ada Roni sama Abdul juga kan. Lo nggak sendirian kok. So, lo besok harus masuk lagi. Temenin gue. Mau sampai kapan lo ngehindar? Masalah nggak akan selesai dengan cara menghindar, Kar. Okay?

Karina menatap kembali figura di dinding, “Iya, deh iya."

"Gitu dong! Kan gue juga nggak ada temen di sekolah. Ogah banget harus nongkrong atau main sama geng-geng kutu buku kayak Tiara sama teman-temannya gitu. Hih."

"Ya padahal bagus juga, Mil. Siapa tahu nular pinternya. Hahaha."

Mili dengan cepat mengambil bantal kecil di sampingnya, lalu melemparkan ke arag Karina. "Dasar ya lo! It's okay, penting lo udah bisa balik ketawa. Just ignore them, Kar. Janju ya lo besok mau masuk sekolah lagi?"

"Iyaaaa. Bawel!"

Related chapters

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 9 - Hari-Hari Buruk Itu Datang Lagi

    Semua tampak sama saja. Karina mengamati setiap sudut sekolah. Dia menghindari tatapan-tatapan aneh yang diberikan oleh siswa lain sepanjang koridor menuju kelas. Mengapa kabar bohong itu menyebar cepat? Siapa yang menaruh dendam? Karina menggelengkan kepala, tetap coba berpikir positif. Toh ada Milli yang berada di sampingnya memasang badan.“Lo akhirnya berani masuk juga?” Amanda melipat tangannya di depan dada. Ekspresinya penuh maksud, seulas senyum keluar dari bibirnya yang tebal. “Ya ampun, lo harusnya pakai apa kek, masker, atau semacamnya. Lo mau nularin satu sekolahan?”Karina dan Mili saling pandang. Mili memasukan untaian rambut ke balik telinga. “Apa? Lo ngomong apa barusan?”Amanda menyipitkan mata. “Sebentar, jangan-jangan lo udah tertular juga. Lo kan temen se

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 10 - Mencari Alasan Pertama

    Jam belajar telah dimulai. Suasana sekolah mulai tenang dan sepi. Lapangan dipenuhi murid dari sebuah kelas yang sedang mengikuti mata pelajaran olahraga.Abdul menendang gelas plastik bekas minuman yang tergeletak di pinggir lapangan. Menuangkan emosi yang masih bergemuruh di dalam dadanya. Dia tidak terima dengan apa yang baru saja ia dengar. Keputusan kepala sekolah mengenai hukuman mereka.Sementara Roni sejak tadi hanya memandang kelas Karina dari kejauhan, lalu bergantian memandang Abdul. Sesekali dia memegang hidungnya yang mulai terasa berdenyut. Pukulan Abdul lumayan juga, pikir Roni.“Roni?” Tiara memenghampiri Roni sambil membawa tumpukan kertas yang dia peluk di dada.Cukup sulit untuk mengeluarkan senyum saat kondisi wajahnya babak belur. Roni menaikan alisnya.Tiara memperhatikan luka Roni serius. Dia tahu kejadian apa yang baru saja terjadi dengan teman sekelasnya itu. “Nggak masuk kelas?”“Gue di

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 11 - Semua Ada Alasannya

    Mili menyeruput teh dingin dari dalam botol. Tangannya mengelap keringat yang keluar dari pori-pori keningnya. Dia memandang seluruh isi kantin. Dari satu sudut ke sudut lainnya. Kemudian kembali menikmati menu makan siang yang sebenarnya tidak terasa enak ketika teringat rupa dari bangkai yang dia temukan beberapa jam lalu. Perutnya terasa mual saat secara tidak sadar aroma tidak enak terasa terus menempel di rongga hidungnya.“Hai, Mili.” Suara familiar terdengar di telingnya.Mili mengehela napas malas. “Lo ngapain lagi?”“Saya? Nggak, mau datengin kamu aja. Kamu nggak apa-apa?”Melihat wajah cowok di sampingnya tersebut, semakin membuat Mili tidak nafsu menghabiskan makan siangnya. “Lo punya mata? Bisa lihat kan kalau gue nggak kenapa-kenapa?”Cowok itu membenarkan posisi kaca matanya. “Bukannya kamu tadi nemuin sesuatu ya di bawah meja kamu?”Mili membaca tulisan dalam name

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 12 - Rasa Benci

    Gue ini kenapa? Salah gue di mana?Pertanyaan-pertanyaan yang berterbangan dalam benak Roni menambah rasa kecewa yang sulit dia jelaskan. Sambil mengganti seragam dengan baju seadanya yang dia ambil dari lemari, dia memandang seorang pria tua yang terbaring di sebuah ranjang dengan hati-hati.Hampir seluruh rambut pria tersebut sudah memutih disertai kulit tubuh yang sudah dipenuhi kerutan. Pria itu tenang, menikmati tidurnya. Hanya terlihat perutnya yang buncit bergerak naik turun, mengikuti irama napas.Roni mengikat celana training yang sedikit longgar. Merasakan perbedaan ukuran tubuhnya dengan sang ayah. Begitu juga dengan Polo t-shirt berwarna navy yang gombrang. Selesai berganti pakaian, Roni duduk di atas kursi yang terletak tepat di samping ranjang. Dia memperhatikan wajah pria di hadapannya.Tetesan cairan infus mengalir teratur, memasuki jarum yang tertusuk di tangan pria itu. Sesaat Roni bisa merasakan amarah ketika

  • Kotak Itu Berbicara   PROLOG - Permulaan

    Dari balik panggung, keriuhan terlihat jelas menghampiri sebuah ruangan yang berisi penuh sesak para pemain. Udara terasa lebih hangat dan wewangian yang tidak tahu dari mana saja asalnya menyerbak. Para pemain sibuk dengan tugas dan pekerjanya masing-masing. Ada yang terus memoles wajah dengan polesan makeup, berbagai macam warna eye shadow terlukis di kelopak mata, dipaduk dengan warna lipstick nyentrik yang membuat bibir terlihat lebih tebal, sekaligus menyita perhatian. Ada juga yang terlihat sibuk membenarkan kostum, memastikan seluruh bagiannya menempel sempurna pada tubuh. Serta, ada juga yang tampak tidak berhenti membaca skrip, mengulang dialog demi dialog, menghafalnya baik-baik.“Duh, ini lipstick-nya udah hilang lagi aja warnanya. Mau berapa kali di-touch up, coba? Jangan minum terus dong, Mili!” Cewek berseragam putih-abu dengan rambut panjang yang dibiarkan terurai itu menggerakan tangannya, mengoles

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 1 - Kenapa Harus Dia?

    Mili cemberut kesal setelah bel pulang sekolah berhasil menghilangkan bayangan Bimo, kakak kelas tiga, gebetan yang hampir dua tahun digebet dengan penuh rasa kagum dari benaknya. Sudah menjadi ritual, membayangkan hal-hal indah bersama Bimo saat pelajaran terasa membosankan. Dengan cepat dia membereskan buku-buku, memasukan satu-persatu ke dalam tas secara asal, lalu mengambil cardigan kesayangannya dari sandaran kursi dan memakainya. Cardigan berwarna merah mudah dengan renda yang terjahit di bagian kerahnya. Terdapat sulaman berbentuk kupu-kupu di kedua sakunya. Oleh-oleh dari sang Papa yang minggu lalu baru kembali dari Sidney. “Oh, damn, kenapa tugas hari ini banyak banget, sih? Artikel bahasa Indonesia, makalah fisika, tambah lagi tugas matematika buat besok belum selesai. Gue kan sibuk mau ada casting weekend ini.” Mili mengambil sisir dari dalam tas, menyisir rambut sebahunya dan memasang hair roll tepat di poni ratanya.

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 2 - Permainan Dimulai

    Bola mata Roni mengarah pada Karina dan Mili bergantian, kedua tangannya dimasukan ke dalam saku celana, berusaha menahan emosi untuk tidak masuk ke dalam sifat kekanak-kanakan Mili. Untuk ketiga kalinya dia harus menghadapi kemarahan Mili dengan masalah yang hampir sama. Serta masalahnya sama-sama berpusat pada cewek itu. Memang, menjadi ketua bukanlah tugas yang sulit, tetapi bagi Roni, selama dia menjabat sebagai ketua tim teater, sebagian besar kesulitan selalu muncul karena perbedaan pendapat dengan Mili. Karina memutuskan diam, memeriksa peralatan make up dalam pouch di pangkuannya sambil sesekali melirik Roni, memberi isyarat agar Roni sabar menghadapi Mili. Setidaknya dia bukan seseorang yang hadir untuk menambah masalah baru karena terlalu banyak berbicara atau menasihati ini itu. Mili mengarahkan telunjuknya ke wajah Roni. “Ingat ya Ron, gue cuma mau bawain cerita yang menurut gue bagus. Yang bisa eksplor bakat akting kita semua.”

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 3 - Kalian Harus Tahu

    Roni yang penasaran mengambil kertasa dari tangan Karina. Dia ikut membaca isinya. Dan seketika wajahnya tidak kalah pucat. Roni dapat merasakan degup jantung yang perlahan mengencang disertai otot-otot tubuh yang menegang. Dia mencoba membacanya untuk kedua kali, ketiga kali, sampai yakin bahwa apa yang baru saja dia baca benar-benar tertulis di kertas itu.“Siapa yang nulis ini?!” Roni sedikit berteriak. Ada getar di dalam suaranya. Dia menatap wajah para anggota mendalam, berusaha menemukan Sang Penulis. Sementara para anggota tim hanya diam dan tampak terkejut dengan nada suara Roni.“GUE TANYA, SIAPA YANG NULIS INI?” Nada suara Roni semakin kencang ditambah dengan emosi yang naik.Mili merebut kertas itu dengan cepat, penasaran dia membacanya. “Dia yang terlihat bijaksana dan memiliki kedudukan teratas sebenarnya anak dari seorang Koruptor. Wajahnya terlalu tebal untuk menjadi pemimpin sementara ayahnya seorang pencuri kelas ka

Latest chapter

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 12 - Rasa Benci

    Gue ini kenapa? Salah gue di mana?Pertanyaan-pertanyaan yang berterbangan dalam benak Roni menambah rasa kecewa yang sulit dia jelaskan. Sambil mengganti seragam dengan baju seadanya yang dia ambil dari lemari, dia memandang seorang pria tua yang terbaring di sebuah ranjang dengan hati-hati.Hampir seluruh rambut pria tersebut sudah memutih disertai kulit tubuh yang sudah dipenuhi kerutan. Pria itu tenang, menikmati tidurnya. Hanya terlihat perutnya yang buncit bergerak naik turun, mengikuti irama napas.Roni mengikat celana training yang sedikit longgar. Merasakan perbedaan ukuran tubuhnya dengan sang ayah. Begitu juga dengan Polo t-shirt berwarna navy yang gombrang. Selesai berganti pakaian, Roni duduk di atas kursi yang terletak tepat di samping ranjang. Dia memperhatikan wajah pria di hadapannya.Tetesan cairan infus mengalir teratur, memasuki jarum yang tertusuk di tangan pria itu. Sesaat Roni bisa merasakan amarah ketika

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 11 - Semua Ada Alasannya

    Mili menyeruput teh dingin dari dalam botol. Tangannya mengelap keringat yang keluar dari pori-pori keningnya. Dia memandang seluruh isi kantin. Dari satu sudut ke sudut lainnya. Kemudian kembali menikmati menu makan siang yang sebenarnya tidak terasa enak ketika teringat rupa dari bangkai yang dia temukan beberapa jam lalu. Perutnya terasa mual saat secara tidak sadar aroma tidak enak terasa terus menempel di rongga hidungnya.“Hai, Mili.” Suara familiar terdengar di telingnya.Mili mengehela napas malas. “Lo ngapain lagi?”“Saya? Nggak, mau datengin kamu aja. Kamu nggak apa-apa?”Melihat wajah cowok di sampingnya tersebut, semakin membuat Mili tidak nafsu menghabiskan makan siangnya. “Lo punya mata? Bisa lihat kan kalau gue nggak kenapa-kenapa?”Cowok itu membenarkan posisi kaca matanya. “Bukannya kamu tadi nemuin sesuatu ya di bawah meja kamu?”Mili membaca tulisan dalam name

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 10 - Mencari Alasan Pertama

    Jam belajar telah dimulai. Suasana sekolah mulai tenang dan sepi. Lapangan dipenuhi murid dari sebuah kelas yang sedang mengikuti mata pelajaran olahraga.Abdul menendang gelas plastik bekas minuman yang tergeletak di pinggir lapangan. Menuangkan emosi yang masih bergemuruh di dalam dadanya. Dia tidak terima dengan apa yang baru saja ia dengar. Keputusan kepala sekolah mengenai hukuman mereka.Sementara Roni sejak tadi hanya memandang kelas Karina dari kejauhan, lalu bergantian memandang Abdul. Sesekali dia memegang hidungnya yang mulai terasa berdenyut. Pukulan Abdul lumayan juga, pikir Roni.“Roni?” Tiara memenghampiri Roni sambil membawa tumpukan kertas yang dia peluk di dada.Cukup sulit untuk mengeluarkan senyum saat kondisi wajahnya babak belur. Roni menaikan alisnya.Tiara memperhatikan luka Roni serius. Dia tahu kejadian apa yang baru saja terjadi dengan teman sekelasnya itu. “Nggak masuk kelas?”“Gue di

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 9 - Hari-Hari Buruk Itu Datang Lagi

    Semua tampak sama saja. Karina mengamati setiap sudut sekolah. Dia menghindari tatapan-tatapan aneh yang diberikan oleh siswa lain sepanjang koridor menuju kelas. Mengapa kabar bohong itu menyebar cepat? Siapa yang menaruh dendam? Karina menggelengkan kepala, tetap coba berpikir positif. Toh ada Milli yang berada di sampingnya memasang badan.“Lo akhirnya berani masuk juga?” Amanda melipat tangannya di depan dada. Ekspresinya penuh maksud, seulas senyum keluar dari bibirnya yang tebal. “Ya ampun, lo harusnya pakai apa kek, masker, atau semacamnya. Lo mau nularin satu sekolahan?”Karina dan Mili saling pandang. Mili memasukan untaian rambut ke balik telinga. “Apa? Lo ngomong apa barusan?”Amanda menyipitkan mata. “Sebentar, jangan-jangan lo udah tertular juga. Lo kan temen se

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 8 - Cerita Sebenarnya

    Mili mendatangi rumah Karina. Setelah menekan tombol bel, lalu dipersilakan masuk, Mili duduk di sofa ruang tamu. Tubuhnya lemas, suhu tubuhnya tidak stabil. Mili tahu sendiri bahwa kondisi kesehatannya semakin menurun. Seharusnya dia tidak keluar rumah dan beristirahat saja. Namun dia justru lebih merasa tidak sehat kalau harus sendirian di kamar. Karina terkejut melihat kehadiran Mili. “Mil, kamu nggak sekolah?” Mili mengangguk. “Gue boleh nginep di rumah lo malam ini, kan, Kar?” “Ada apa, Mil?” Karina duduk di samping Mili, memegang kening Mili yang terasa hangat. “Mil?” “Gue cuma lagi kurang fit akhir-akhir ini. Lagian, bokap nyokap gue tadi subuh berangkat ke Brunei, ada kerja

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 7 - Hancurnya Persahabatan

    Abdul berlari mengejar Roni yang berjalan cepat menuju kelas. Dia ingin sekali menyelesaikan masalahnya kemarin. Tidak peduli bagaimana Roni marah padanya, yang dia pikirkan hanyalah Karina. Hanya demi Karina. Dia tahu betul, peristiwa di rumah Karina menambah pikiran cewek itu. Padahal jelas, Karina sedang down akibat tulisan yang keluar dari kotak itu. Karina butuh orang yang sangat dia sayangi saat ini dan orang itu salah satunya adalah Roni. Kini masalah yang harus dihadapi Karina bertambah.Abdul dapat melihat tatapan penuh amarah Roni ketika dia berhasil membuat langkah kaki Roni terhenti. Bahu Roni meninggi, kepalanya tegak, matanya lurus menatap Abdul. Melihat tampang Roni, membuat keinginan Abdul kembali mencuat. Keinginan untuk memukul wajah Roni, membalas yang belum terbalas.

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 6 - Rasa Takut

    Selesai dari latihan vokal, Mili dengan terpaksa harus menaiki kendaraan umum karena supir yang biasa mengantarnya izin pulang lebih cepat. Dia menunggu tepat di halaman mini market yang terletak di seberang tempat latihan. Ada rasa tidak enak yang menempel lekat sejak pulang sekolah. Awalnya dia mengabaikan perasaan itu, tetapi semakin dia sadar bahwa dia sedang sendiri, rasa itu semakin menguat. Menimbulkan rasa takut. Mili memperhatikan sekelilingnya yang sepi. Hanya ada satu gerobak bakso dan dua orang laki-laki duduk di sebelah gerobak tersebut. Mobil dan motor tidak henti berlalu-lalang. Pemandangan yang biasa. Tidak ada yang mencurigakan.Setelah memastikan keadaan aman, Mili memutuskan untuk berjalan kaki sambil menunggu taksi kosong. Semakin dia melangkahkan kakinya, rasa aneh itu kembali muncul. Dia membalikan badan, melihat ke kanan dan ke kiri, menatap langit mendung dan batu trotoar yang ditumbuhi rumput liar di sela-selanya. Tidak tahu mengapa dia selal

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 5 - Satu Persatu

    Satu hari berlalu dan semuanya mulai berubah. Entah bagaimana isi dalam kotak cepat sekali menyebar di seantero sekolah. Sudah dua kali Roni tidak sengaja mendengar anak-anak lain yang sedang bergosip tentang ayahnya yang seorang Koruptor saat dia berjalan di sekitar koridor sekolah. Ingin sekali dia berteriak di depan mereka, mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi dengan sang Ayah. Bahkan kalau bisa ingin sekali dia menonjok mulut-mulut yang dengan mudah mengatai dirinya serta keluarganya. Tapi buat apa? Roni berpikir bahwa itu semua hanya akan memperkeruh suasana dan membenarkan gosip tersebut. Bukannya ingin menampik, hanya saja itu semua sudah lewat dan bukan saatnya lagi untuk dibahas.Semuanya sudah sekian tahun berlalu, dan bagi Roni, dia sudah hampir melupakannya bahkan merasa sudah berada di posisi yang aman. Tidak ada lagi yang membicarakan keluarganya, tidak ada lagi yang mengata-ngatai Ayah. Tetapi sekarang, semuanya terulang kembali. Roni merasa tertarik kembal

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 4 - Dejavu

    Pikiran Karina berkecamuk. Dia mengambil lilin beraroma lavender dari laci yang berada di seberang rangjang tidur. Kemudian menyalakannya, menaruhnya di atas meja kecil tidak jauh darinya. Detik jam terus berjalan, rasa lelah berkumpul di tubuhnya, namun dia tetap terjaga. Lelah, memikirkan masalah yang baru saja dia hadapi, dan lelah, memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia menarik selimut, menutupi seluruh tubuh. Mencari rasa kantuk yang sebenarnya sejak tadi sudah menghampiri, tetapi matanya tetap saja sulit tertutup. Lagi-lagi Karina memandnag jam dinding untuk menghitung berapa lama dia tetap saja terjaga dan tidak bisa tidur juga.Aroma lavender menyerbak ke seluruh ruang kamar, berhasil membuatnya sedikit relaks dan mulai dapat mengendalikan tubuh untuk tidur. Matanya perlahan menutup dan napasnya teratur.“Hai,” sebuah sapaan membuat Karina kembali membuka mata.Seketika kamarnya berubah menjadi ruangan yang dia kenal. Ruang kelas b

DMCA.com Protection Status