Roni yang penasaran mengambil kertasa dari tangan Karina. Dia ikut membaca isinya. Dan seketika wajahnya tidak kalah pucat. Roni dapat merasakan degup jantung yang perlahan mengencang disertai otot-otot tubuh yang menegang. Dia mencoba membacanya untuk kedua kali, ketiga kali, sampai yakin bahwa apa yang baru saja dia baca benar-benar tertulis di kertas itu.
“Siapa yang nulis ini?!” Roni sedikit berteriak. Ada getar di dalam suaranya. Dia menatap wajah para anggota mendalam, berusaha menemukan Sang Penulis. Sementara para anggota tim hanya diam dan tampak terkejut dengan nada suara Roni.
“GUE TANYA, SIAPA YANG NULIS INI?” Nada suara Roni semakin kencang ditambah dengan emosi yang naik.
Mili merebut kertas itu dengan cepat, penasaran dia membacanya. “Dia yang terlihat bijaksana dan memiliki kedudukan teratas sebenarnya anak dari seorang Koruptor. Wajahnya terlalu tebal untuk menjadi pemimpin sementara ayahnya seorang pencuri kelas kakap.”
“What the...” Mili tidak melanjutkan ucapannya dan memutuskan mengambil kertas lainnya, membuka satu-persatu dan kembali membacanya. “Si Pengkhianat. Dia hidup pas-pasan, terkadang menjadi babu teman-temannya. Membuat orang lain tertawa hanyalah topeng. Sudah sejak lama dia ingin menyingkirkan pemimpin karena mencintai satu orang yang sama.”
“Pasangan pemimpin adalah kotoran yang harus dibuang. Dia mengidap virus mematikan. Bagaimana bisa dia hidup bahagia tanpa rasa bersalah? Bukankah AIDS itu menular dan menjijikan?”
“Sang Pemeran Utama yang selalu sempurna dan bersinar seperti putri dari kerajaan. Sebenarnya dia hanya orang beruntung. Hanya beruntung saja sombong, bagaimana kalau menjadi seseorang yang bersinar karena berusaha keras? Memuakan! Dia pantas mati!”
Refleks Mili membuang kertas-kertas itu, melemparnya ke lantai. Sementara penghuni ruang latihan lainnya sibuk mencerna apa yang mereka dengar dan tidak butuh waktu lama mereka saling berbisik, mulai bergosip, menebak untuk siapa keempat lembar kertas tersebut.
Tawa konyol Abdul memecah suasana meneganggkan. Dia mendekati Roni, menepuk bahunya, berusaha membuat cowok itu relaks.
“Mungkin yang hari ini ulang tahun?” Abdul kembali tertawa. “Kalau mau ada kejutaan atau apa gitu, bilang dulu napa? Jujur gua bingung dah, maksunya apa? Siapa yang lagi ulang tahun dan siapa yang mau buat kejutan ulang tahun?”
Tidak ada yang menjawab pertanyaan Abdul dan semuanya terlihat menjadi lebih bingung. Seolah saling tidak tahu harus menanggapi seperti apa dengan situasi ini.
Abdul melanjutkan, “Gila ya, sekarang udah banyak aja yang keracunan sinetron. Sampai bikin kayak gini. Lu semua kagak percaya kan sama isinya? Ngaco, jelas ngaco.”
Lagi-lagi semua hanya diam dan tidak tahu harus menjawab apa.
“Latihan hari ini ditunda.” Roni membuat keputusan singkat. Situasi dan suasana ini dianggap kudah tidak lagi kondusif baginya. “Latihan berikutnya hari Selasa. Jadi..”
“Sebentar, tulisan-tulisan itu jadi gimana? Terus hasil voting-nya?” Salah satu anggota bertanya dengan nada kesal. Ekspresinya menggambarkan rasa kecewa. “Bukannya itu semua buat kalian berempat? Terus gara-gara tulisan itu kita nggak jadi latihan? Apa gimana?”
Anggota tampak merasakan hal yang sama. “Yah bener tuh. Buang-buang waktu libur. Tahu gini gue nggak usah dateng deh.”
Roni mengatur emosi yang sejak tadi terasa mengumpul dan tertahan di dada. “Gue mohon kalian semua ngerti. Latihannya diganti jadi Selasa. Kalian lihat sendiri kan, kertas kalian hilang semua?”
“Siapa sih yang ngelakuin hal lebay kayak gini? Nggak usah rese deh! Gue bisa minta Bokap gue buat nuntut lo yang bikin ini semua.” Mili bersedekap. Ada tarikan naik di ujung matanya yang menggambarkan kekesalan. “Asal lo semua tahu, gue nggak takut sama ancaman kayak gini. Nggak ada kerjaan!”
“Udah, Mil.” Karina mencoba menenangkan Mili sekaligus membuat situasi lebih tenang.
“Nggak bisa gitu dong, Kar. Mereka nyepelein gue!”
“Tapi... Mil...”
“Lagian emang lo mau terima? Lo terima dikatain mengidap AIDS? Nggak, kan?”
Air mata Karina menggenang di pelupuk mata. “Ng...nggak.... Aku....”
“CUKUP!” Suara lantang Roni membuat semua berhenti berbicara. “Latihan hari ini diganti Selasa. Gue mohon kalian ngerti. Situasi lagi nggak kondusif. Maaf kalau jadinya buang-buang waktu libur kalian.”
“Tapi Ron, sayang banget kalau hari ini harus dibatalin latihannya. Kita semua udah di sini.” Salah satu anggota tetap tidak terima, berusaha merayu Roni. Beberapa angota lain mengangguk setuju.
Roni memutar otak dan tidak tahu mengapa rasanya buntu untuk membuat keputusan yang terbaik saat ini. “Gini aja, kita bikin pemilihan ulang, tapi pemilihan ulangnya gue adain lewat email. Jadi kalian sekarang boleh pulang. Paling lambat malam ini harus udah kirim email cerita mana yang kalian pilih dan jangan lupa pake alasannya. Buat tim audio dan pencahayaan, kalian coba sekarang bikin gambaran buat pertunjukan selanjutnya. Tim dekorasi juga. Dari tiga cerita itu, yang mana yang lebih memungkinkan untuk dibawain dan nggak ribet masalah audio, pencahayaan, atau juga dekorasi. Buat menghemat pengeluaran kita juga. Sisanya kalian boleh pulang atau kalau masih mau di sekolah juga nggak apa-apa. Gue harap kalian bisa maklum.”
Susah payah Roni mengucapkan kata-kata itu dan mengeluarkan senyum menenangkan situasi yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Para anggota terlihat pasrah. Mereka mulai berpencar dan ruang latihan semakin sepi. Roni berusaha untuk tetap baik-baik saja meski tidak sedikit anggota tim yang memberi eskpresi tidak bersahabat padanya. Setelahnya dengan pelan-pelan dia mendekati Karina yang sejak tadi terteunduk, menghindari tatapan, memilih untuk tidak banyak berbicara.
Karina melirik Roni sekilas setelah cowok itu menghampiri kemudian menggenggam tangan kanannya yang kini terasa kaku. Tapi dengan seketika, genggaman itu dilepas oleh Karina. Dia menggeleng pelan, tatapannya menggambarkan bahwa dia ingin sendiri saat ini juga. Dia ingin menjauh dari siapa pun, termasuk Roni.
Tanpa kata-kata, Karina memutuskan meninggalkan Roni, keluar dari ruang latihan. Dia duduk di satu bangku panjang koridor. Tanpa direncanakan, kenangan buruk beberapa tahun lalu muncul di benaknya. Mengerikan ketika membayangkan hari-hari itu harus kembali dia hadapi. Seluruh tubuhnya terasa lemas. Dia berharap, apa yang baru saja terjadi hanyalah mimpi buruk. Mimpi buruk.
Pikiran Karina berkecamuk. Dia mengambil lilin beraroma lavender dari laci yang berada di seberang rangjang tidur. Kemudian menyalakannya, menaruhnya di atas meja kecil tidak jauh darinya. Detik jam terus berjalan, rasa lelah berkumpul di tubuhnya, namun dia tetap terjaga. Lelah, memikirkan masalah yang baru saja dia hadapi, dan lelah, memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia menarik selimut, menutupi seluruh tubuh. Mencari rasa kantuk yang sebenarnya sejak tadi sudah menghampiri, tetapi matanya tetap saja sulit tertutup. Lagi-lagi Karina memandnag jam dinding untuk menghitung berapa lama dia tetap saja terjaga dan tidak bisa tidur juga.Aroma lavender menyerbak ke seluruh ruang kamar, berhasil membuatnya sedikit relaks dan mulai dapat mengendalikan tubuh untuk tidur. Matanya perlahan menutup dan napasnya teratur.“Hai,” sebuah sapaan membuat Karina kembali membuka mata.Seketika kamarnya berubah menjadi ruangan yang dia kenal. Ruang kelas b
Satu hari berlalu dan semuanya mulai berubah. Entah bagaimana isi dalam kotak cepat sekali menyebar di seantero sekolah. Sudah dua kali Roni tidak sengaja mendengar anak-anak lain yang sedang bergosip tentang ayahnya yang seorang Koruptor saat dia berjalan di sekitar koridor sekolah. Ingin sekali dia berteriak di depan mereka, mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi dengan sang Ayah. Bahkan kalau bisa ingin sekali dia menonjok mulut-mulut yang dengan mudah mengatai dirinya serta keluarganya. Tapi buat apa? Roni berpikir bahwa itu semua hanya akan memperkeruh suasana dan membenarkan gosip tersebut. Bukannya ingin menampik, hanya saja itu semua sudah lewat dan bukan saatnya lagi untuk dibahas.Semuanya sudah sekian tahun berlalu, dan bagi Roni, dia sudah hampir melupakannya bahkan merasa sudah berada di posisi yang aman. Tidak ada lagi yang membicarakan keluarganya, tidak ada lagi yang mengata-ngatai Ayah. Tetapi sekarang, semuanya terulang kembali. Roni merasa tertarik kembal
Selesai dari latihan vokal, Mili dengan terpaksa harus menaiki kendaraan umum karena supir yang biasa mengantarnya izin pulang lebih cepat. Dia menunggu tepat di halaman mini market yang terletak di seberang tempat latihan. Ada rasa tidak enak yang menempel lekat sejak pulang sekolah. Awalnya dia mengabaikan perasaan itu, tetapi semakin dia sadar bahwa dia sedang sendiri, rasa itu semakin menguat. Menimbulkan rasa takut. Mili memperhatikan sekelilingnya yang sepi. Hanya ada satu gerobak bakso dan dua orang laki-laki duduk di sebelah gerobak tersebut. Mobil dan motor tidak henti berlalu-lalang. Pemandangan yang biasa. Tidak ada yang mencurigakan.Setelah memastikan keadaan aman, Mili memutuskan untuk berjalan kaki sambil menunggu taksi kosong. Semakin dia melangkahkan kakinya, rasa aneh itu kembali muncul. Dia membalikan badan, melihat ke kanan dan ke kiri, menatap langit mendung dan batu trotoar yang ditumbuhi rumput liar di sela-selanya. Tidak tahu mengapa dia selal
Abdul berlari mengejar Roni yang berjalan cepat menuju kelas. Dia ingin sekali menyelesaikan masalahnya kemarin. Tidak peduli bagaimana Roni marah padanya, yang dia pikirkan hanyalah Karina. Hanya demi Karina. Dia tahu betul, peristiwa di rumah Karina menambah pikiran cewek itu. Padahal jelas, Karina sedang down akibat tulisan yang keluar dari kotak itu. Karina butuh orang yang sangat dia sayangi saat ini dan orang itu salah satunya adalah Roni. Kini masalah yang harus dihadapi Karina bertambah.Abdul dapat melihat tatapan penuh amarah Roni ketika dia berhasil membuat langkah kaki Roni terhenti. Bahu Roni meninggi, kepalanya tegak, matanya lurus menatap Abdul. Melihat tampang Roni, membuat keinginan Abdul kembali mencuat. Keinginan untuk memukul wajah Roni, membalas yang belum terbalas.
Mili mendatangi rumah Karina. Setelah menekan tombol bel, lalu dipersilakan masuk, Mili duduk di sofa ruang tamu. Tubuhnya lemas, suhu tubuhnya tidak stabil. Mili tahu sendiri bahwa kondisi kesehatannya semakin menurun. Seharusnya dia tidak keluar rumah dan beristirahat saja. Namun dia justru lebih merasa tidak sehat kalau harus sendirian di kamar. Karina terkejut melihat kehadiran Mili. “Mil, kamu nggak sekolah?” Mili mengangguk. “Gue boleh nginep di rumah lo malam ini, kan, Kar?” “Ada apa, Mil?” Karina duduk di samping Mili, memegang kening Mili yang terasa hangat. “Mil?” “Gue cuma lagi kurang fit akhir-akhir ini. Lagian, bokap nyokap gue tadi subuh berangkat ke Brunei, ada kerja
Semua tampak sama saja. Karina mengamati setiap sudut sekolah. Dia menghindari tatapan-tatapan aneh yang diberikan oleh siswa lain sepanjang koridor menuju kelas. Mengapa kabar bohong itu menyebar cepat? Siapa yang menaruh dendam? Karina menggelengkan kepala, tetap coba berpikir positif. Toh ada Milli yang berada di sampingnya memasang badan.“Lo akhirnya berani masuk juga?” Amanda melipat tangannya di depan dada. Ekspresinya penuh maksud, seulas senyum keluar dari bibirnya yang tebal. “Ya ampun, lo harusnya pakai apa kek, masker, atau semacamnya. Lo mau nularin satu sekolahan?”Karina dan Mili saling pandang. Mili memasukan untaian rambut ke balik telinga. “Apa? Lo ngomong apa barusan?”Amanda menyipitkan mata. “Sebentar, jangan-jangan lo udah tertular juga. Lo kan temen se
Jam belajar telah dimulai. Suasana sekolah mulai tenang dan sepi. Lapangan dipenuhi murid dari sebuah kelas yang sedang mengikuti mata pelajaran olahraga.Abdul menendang gelas plastik bekas minuman yang tergeletak di pinggir lapangan. Menuangkan emosi yang masih bergemuruh di dalam dadanya. Dia tidak terima dengan apa yang baru saja ia dengar. Keputusan kepala sekolah mengenai hukuman mereka.Sementara Roni sejak tadi hanya memandang kelas Karina dari kejauhan, lalu bergantian memandang Abdul. Sesekali dia memegang hidungnya yang mulai terasa berdenyut. Pukulan Abdul lumayan juga, pikir Roni.“Roni?” Tiara memenghampiri Roni sambil membawa tumpukan kertas yang dia peluk di dada.Cukup sulit untuk mengeluarkan senyum saat kondisi wajahnya babak belur. Roni menaikan alisnya.Tiara memperhatikan luka Roni serius. Dia tahu kejadian apa yang baru saja terjadi dengan teman sekelasnya itu. “Nggak masuk kelas?”“Gue di
Mili menyeruput teh dingin dari dalam botol. Tangannya mengelap keringat yang keluar dari pori-pori keningnya. Dia memandang seluruh isi kantin. Dari satu sudut ke sudut lainnya. Kemudian kembali menikmati menu makan siang yang sebenarnya tidak terasa enak ketika teringat rupa dari bangkai yang dia temukan beberapa jam lalu. Perutnya terasa mual saat secara tidak sadar aroma tidak enak terasa terus menempel di rongga hidungnya.“Hai, Mili.” Suara familiar terdengar di telingnya.Mili mengehela napas malas. “Lo ngapain lagi?”“Saya? Nggak, mau datengin kamu aja. Kamu nggak apa-apa?”Melihat wajah cowok di sampingnya tersebut, semakin membuat Mili tidak nafsu menghabiskan makan siangnya. “Lo punya mata? Bisa lihat kan kalau gue nggak kenapa-kenapa?”Cowok itu membenarkan posisi kaca matanya. “Bukannya kamu tadi nemuin sesuatu ya di bawah meja kamu?”Mili membaca tulisan dalam name
Gue ini kenapa? Salah gue di mana?Pertanyaan-pertanyaan yang berterbangan dalam benak Roni menambah rasa kecewa yang sulit dia jelaskan. Sambil mengganti seragam dengan baju seadanya yang dia ambil dari lemari, dia memandang seorang pria tua yang terbaring di sebuah ranjang dengan hati-hati.Hampir seluruh rambut pria tersebut sudah memutih disertai kulit tubuh yang sudah dipenuhi kerutan. Pria itu tenang, menikmati tidurnya. Hanya terlihat perutnya yang buncit bergerak naik turun, mengikuti irama napas.Roni mengikat celana training yang sedikit longgar. Merasakan perbedaan ukuran tubuhnya dengan sang ayah. Begitu juga dengan Polo t-shirt berwarna navy yang gombrang. Selesai berganti pakaian, Roni duduk di atas kursi yang terletak tepat di samping ranjang. Dia memperhatikan wajah pria di hadapannya.Tetesan cairan infus mengalir teratur, memasuki jarum yang tertusuk di tangan pria itu. Sesaat Roni bisa merasakan amarah ketika
Mili menyeruput teh dingin dari dalam botol. Tangannya mengelap keringat yang keluar dari pori-pori keningnya. Dia memandang seluruh isi kantin. Dari satu sudut ke sudut lainnya. Kemudian kembali menikmati menu makan siang yang sebenarnya tidak terasa enak ketika teringat rupa dari bangkai yang dia temukan beberapa jam lalu. Perutnya terasa mual saat secara tidak sadar aroma tidak enak terasa terus menempel di rongga hidungnya.“Hai, Mili.” Suara familiar terdengar di telingnya.Mili mengehela napas malas. “Lo ngapain lagi?”“Saya? Nggak, mau datengin kamu aja. Kamu nggak apa-apa?”Melihat wajah cowok di sampingnya tersebut, semakin membuat Mili tidak nafsu menghabiskan makan siangnya. “Lo punya mata? Bisa lihat kan kalau gue nggak kenapa-kenapa?”Cowok itu membenarkan posisi kaca matanya. “Bukannya kamu tadi nemuin sesuatu ya di bawah meja kamu?”Mili membaca tulisan dalam name
Jam belajar telah dimulai. Suasana sekolah mulai tenang dan sepi. Lapangan dipenuhi murid dari sebuah kelas yang sedang mengikuti mata pelajaran olahraga.Abdul menendang gelas plastik bekas minuman yang tergeletak di pinggir lapangan. Menuangkan emosi yang masih bergemuruh di dalam dadanya. Dia tidak terima dengan apa yang baru saja ia dengar. Keputusan kepala sekolah mengenai hukuman mereka.Sementara Roni sejak tadi hanya memandang kelas Karina dari kejauhan, lalu bergantian memandang Abdul. Sesekali dia memegang hidungnya yang mulai terasa berdenyut. Pukulan Abdul lumayan juga, pikir Roni.“Roni?” Tiara memenghampiri Roni sambil membawa tumpukan kertas yang dia peluk di dada.Cukup sulit untuk mengeluarkan senyum saat kondisi wajahnya babak belur. Roni menaikan alisnya.Tiara memperhatikan luka Roni serius. Dia tahu kejadian apa yang baru saja terjadi dengan teman sekelasnya itu. “Nggak masuk kelas?”“Gue di
Semua tampak sama saja. Karina mengamati setiap sudut sekolah. Dia menghindari tatapan-tatapan aneh yang diberikan oleh siswa lain sepanjang koridor menuju kelas. Mengapa kabar bohong itu menyebar cepat? Siapa yang menaruh dendam? Karina menggelengkan kepala, tetap coba berpikir positif. Toh ada Milli yang berada di sampingnya memasang badan.“Lo akhirnya berani masuk juga?” Amanda melipat tangannya di depan dada. Ekspresinya penuh maksud, seulas senyum keluar dari bibirnya yang tebal. “Ya ampun, lo harusnya pakai apa kek, masker, atau semacamnya. Lo mau nularin satu sekolahan?”Karina dan Mili saling pandang. Mili memasukan untaian rambut ke balik telinga. “Apa? Lo ngomong apa barusan?”Amanda menyipitkan mata. “Sebentar, jangan-jangan lo udah tertular juga. Lo kan temen se
Mili mendatangi rumah Karina. Setelah menekan tombol bel, lalu dipersilakan masuk, Mili duduk di sofa ruang tamu. Tubuhnya lemas, suhu tubuhnya tidak stabil. Mili tahu sendiri bahwa kondisi kesehatannya semakin menurun. Seharusnya dia tidak keluar rumah dan beristirahat saja. Namun dia justru lebih merasa tidak sehat kalau harus sendirian di kamar. Karina terkejut melihat kehadiran Mili. “Mil, kamu nggak sekolah?” Mili mengangguk. “Gue boleh nginep di rumah lo malam ini, kan, Kar?” “Ada apa, Mil?” Karina duduk di samping Mili, memegang kening Mili yang terasa hangat. “Mil?” “Gue cuma lagi kurang fit akhir-akhir ini. Lagian, bokap nyokap gue tadi subuh berangkat ke Brunei, ada kerja
Abdul berlari mengejar Roni yang berjalan cepat menuju kelas. Dia ingin sekali menyelesaikan masalahnya kemarin. Tidak peduli bagaimana Roni marah padanya, yang dia pikirkan hanyalah Karina. Hanya demi Karina. Dia tahu betul, peristiwa di rumah Karina menambah pikiran cewek itu. Padahal jelas, Karina sedang down akibat tulisan yang keluar dari kotak itu. Karina butuh orang yang sangat dia sayangi saat ini dan orang itu salah satunya adalah Roni. Kini masalah yang harus dihadapi Karina bertambah.Abdul dapat melihat tatapan penuh amarah Roni ketika dia berhasil membuat langkah kaki Roni terhenti. Bahu Roni meninggi, kepalanya tegak, matanya lurus menatap Abdul. Melihat tampang Roni, membuat keinginan Abdul kembali mencuat. Keinginan untuk memukul wajah Roni, membalas yang belum terbalas.
Selesai dari latihan vokal, Mili dengan terpaksa harus menaiki kendaraan umum karena supir yang biasa mengantarnya izin pulang lebih cepat. Dia menunggu tepat di halaman mini market yang terletak di seberang tempat latihan. Ada rasa tidak enak yang menempel lekat sejak pulang sekolah. Awalnya dia mengabaikan perasaan itu, tetapi semakin dia sadar bahwa dia sedang sendiri, rasa itu semakin menguat. Menimbulkan rasa takut. Mili memperhatikan sekelilingnya yang sepi. Hanya ada satu gerobak bakso dan dua orang laki-laki duduk di sebelah gerobak tersebut. Mobil dan motor tidak henti berlalu-lalang. Pemandangan yang biasa. Tidak ada yang mencurigakan.Setelah memastikan keadaan aman, Mili memutuskan untuk berjalan kaki sambil menunggu taksi kosong. Semakin dia melangkahkan kakinya, rasa aneh itu kembali muncul. Dia membalikan badan, melihat ke kanan dan ke kiri, menatap langit mendung dan batu trotoar yang ditumbuhi rumput liar di sela-selanya. Tidak tahu mengapa dia selal
Satu hari berlalu dan semuanya mulai berubah. Entah bagaimana isi dalam kotak cepat sekali menyebar di seantero sekolah. Sudah dua kali Roni tidak sengaja mendengar anak-anak lain yang sedang bergosip tentang ayahnya yang seorang Koruptor saat dia berjalan di sekitar koridor sekolah. Ingin sekali dia berteriak di depan mereka, mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi dengan sang Ayah. Bahkan kalau bisa ingin sekali dia menonjok mulut-mulut yang dengan mudah mengatai dirinya serta keluarganya. Tapi buat apa? Roni berpikir bahwa itu semua hanya akan memperkeruh suasana dan membenarkan gosip tersebut. Bukannya ingin menampik, hanya saja itu semua sudah lewat dan bukan saatnya lagi untuk dibahas.Semuanya sudah sekian tahun berlalu, dan bagi Roni, dia sudah hampir melupakannya bahkan merasa sudah berada di posisi yang aman. Tidak ada lagi yang membicarakan keluarganya, tidak ada lagi yang mengata-ngatai Ayah. Tetapi sekarang, semuanya terulang kembali. Roni merasa tertarik kembal
Pikiran Karina berkecamuk. Dia mengambil lilin beraroma lavender dari laci yang berada di seberang rangjang tidur. Kemudian menyalakannya, menaruhnya di atas meja kecil tidak jauh darinya. Detik jam terus berjalan, rasa lelah berkumpul di tubuhnya, namun dia tetap terjaga. Lelah, memikirkan masalah yang baru saja dia hadapi, dan lelah, memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia menarik selimut, menutupi seluruh tubuh. Mencari rasa kantuk yang sebenarnya sejak tadi sudah menghampiri, tetapi matanya tetap saja sulit tertutup. Lagi-lagi Karina memandnag jam dinding untuk menghitung berapa lama dia tetap saja terjaga dan tidak bisa tidur juga.Aroma lavender menyerbak ke seluruh ruang kamar, berhasil membuatnya sedikit relaks dan mulai dapat mengendalikan tubuh untuk tidur. Matanya perlahan menutup dan napasnya teratur.“Hai,” sebuah sapaan membuat Karina kembali membuka mata.Seketika kamarnya berubah menjadi ruangan yang dia kenal. Ruang kelas b