Beranda / Semua / Kotak Itu Berbicara / BAB 5 - Satu Persatu

Share

BAB 5 - Satu Persatu

Penulis: Amelia N
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Satu hari berlalu dan semuanya mulai berubah. Entah bagaimana isi dalam kotak cepat sekali menyebar di seantero sekolah. Sudah dua kali Roni tidak sengaja mendengar anak-anak lain yang sedang bergosip tentang ayahnya yang seorang Koruptor saat dia berjalan di sekitar koridor sekolah. Ingin sekali dia berteriak di depan mereka, mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi dengan sang Ayah. Bahkan kalau bisa ingin sekali dia menonjok mulut-mulut yang dengan mudah mengatai dirinya serta keluarganya. Tapi buat apa? Roni berpikir bahwa itu semua hanya akan memperkeruh suasana dan membenarkan gosip tersebut. Bukannya ingin menampik, hanya saja itu semua sudah lewat dan bukan saatnya lagi untuk dibahas.

Semuanya sudah sekian tahun berlalu, dan bagi Roni, dia sudah hampir melupakannya bahkan merasa sudah berada di posisi yang aman. Tidak ada lagi yang membicarakan keluarganya, tidak ada lagi yang mengata-ngatai Ayah. Tetapi sekarang, semuanya terulang kembali. Roni merasa tertarik kembali ke keadaan yang dengan susah payah sudah dia tinggalkan. Berkubung dengan rasa benci serta malu. Dia kembali benci dengan apa yang dilakukan Ayah, dia juga malu untuk bertatapan dengan penghuni sekolah.

Roni berusaha tidak peduli. Melewati mereka yang menatapnya dengan tatapan yang dia benci. Mengabaikannya.

“Mau jenguk Karina nggak hari ini?” Roni membuka pembicaraan, duduk di samping Mili yang sejak tadi duduk sendiri koridor.

Mili menatap lapangan yang kosong, wajahnya terlihat berbeda, pucat tidak seperti biasanya, ditambah kantung mata yang sedikit menggelap. “Lihat entar deh. Gue lagi nggak fit.

“Kenapa? Lo masih mikirin kotak itu?”

Mili menggeleng. Seulas senyum keluar dari wajahnya. Senyum terpaksa. “Gue? Mikirin ancaman yang nggak jelas kemarin? Sorry to say, I don’t care, Ron.”

Roni memerhatikan perubahan wajah Mili tapi dia memilih untuk tidak membahasnya. “Gue yakin Karina pasti kepikiran banget sampai nggak masuk kayak gini.”

“Buat apa sih khawatir sama hal konyol kayak gitu? Mainan anak kecil banget. Menurut gue, yang buat ini semua itu cuma iri sama kepopuleran kita atau cari muka aja. Mungkin haus jadi pusat perhatian? Buat apa direspon terlalu serius?”

Roni melihat ke sekeliling, pandangannya terhenti pada segerombolan siswa yang sejak tadi memperhatikan mereka. “Mau ini mainan, mau cuma bercandaan, gue tetap nggak suka caranya. Lo tahu, seisi sekolah sekarang lagi seneng ngomongin kita dengan berbagai unsur ‘sok tahu’ mereka?”

“Bukannya bagus? Tim kita jadi makin populer?” Mata Mili melirik dua siswi yang juga sedang sibuk melihat ke arah mereka. “Lo ketua, Ron. Jangan lemah deh.”

“Gue bukan lemah. Gue cuma... gue cuma kesal aja. Dan gue jadi ragu sama satu hal.”

“Apa?”

“Yang tahu soal latar belakang gue di sekolah ini cuma satu, Mil. Karina.”

Mili berdecak. “Jadi lo mau nuduh pacar lo sendiri yang buat tulisan itu? Please.... Nggak mungkin, Ron. Lo mau bilang kalau diam-diam Karina cerita soal aib lo ke orang lain?”

Roni bangkit dari duduknya. “Bukan gitu. Justru gue bingung, kalau bukan Karina, terus siapa lagi? Apa ada orang lain yang tahu soal Ayah gue? Ah, udah lah, gue ke kelas, Mil.”

Roni melirik jam tangannya sambil berjalan meninggalkan Mili. Rasa ragu. Roni hanya sedang ragu dan menyimpan banyak pertanyaan. Bagaimana bisa rahasia besar keluarganya terungkap begitu saja oleh satu kotak? Oleh satu lembar kertas dengan deretan kata yang tidak tahu dari mana asalnya. Lalu siapa yang menulis itu semua? Roni membuang jauh-jauh pikiran ragu. Khusunya kecurigaannya terhadap Karina. Cewek yang sangat dia sayangi dan dia percayai selama satu setengah tahun terakhir.

Selepas bel pulang sekolah, Roni memutuskan untuk pergi ke rumah Karina, menjenguknya. Dia menaiki motornya, menyalakan mesin. Sebelum ke rumah Karina, Roni mampir terlebih dahulu untuk membeli satu buket mawar putih, kesukaan Karina.

Sebentar....

Roni menghentikan motornya sebelum dia benar-benar masuk ke dalam garasi rumah Karina. Ada satu motor lain yang sangat dia kenal, terparkir di depan rumah Karina. Motor matic berwarna merah hitam. Seketika amarah menguasai dirinya. Roni turun dari motor, menarik kesal buket dari dalam kantung kertas yang menggantung, dan menaruh helmnya. Dia berjalan masuk ke dalam rumah Karina. Semuanya benar. Si pemilik motor yang sudah dia duga benar-benar ada di sana. Orang itu terlihat duduk berdua dengan Karina, membicarakan sesuatu yang sangat dia tidak ingin dengar.

“Ngapain lo di sini?” tanya Roni sambil berdiri di ambang pintu.

“Eh lu, kagak usah galak-galak sama gua gini napa? Gua cuma....”

“Cuma apa? Lo kok nggak izin sama gue kalau mau nemuin Karina, Dul?”

Abdul tertawa, tangannya menepuk bahu Roni kencang. “Hahaha. Sejak kapan gua harus izin sam.....”

BRAAAK. Satu tonjokan keras mendarat di pipi Abdul.

“Kamu kenapa, Ron?!” Karina sontak berteriak. “Ada apa? Kena....”

“Jadi dia? Dia yang jadi temen curhat kamu selama ini? Dari A sampai Z. Dari yang penting sampai yang nggak penting?” Otot-otot leher Roni menegang. Dia tidak bisa menahan emosinya. Segala pemikiran negatif tentang Karina muncul di benak.

Karina menggeleng. Dia tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan Roni. “Kamu ngomong apa sih, Ron? Kau nggak ngerti.”

Roni menatap mata Karina, ikut menggeleng, kemudian melempar buket ke lantai. “Aku pulang.”

“Ron? Ron?” Karina berusaha mencegah namun langkah kaki Roni tidak dapat dia kejar.

Karina pasrah, kembali masuk ke dalam rumah, membiarkan Roni pergi dengan amarah yang dia tidak mengerti. Air matanya mengalir, kepalanya terasa pusing, kakinya terasa lemas. Mengapa Roni tiba-tiba menonjok Abdul? Mengapa Roni sangat emosi? Mengapa Roni berubah? Otak Karina bekerja keras mencari segala kemungkinan. Alasan-alasan yang bisa memancing emosi Roni.

Karina membungkuk, mengecek keadaan Abdul yang masih terduduk di lantai.

“Duduk sini.” Karina membantu Abdul untuk duduk di atas sofa. “Tunggu ya, aku mau ambil es batu dulu.”

Karina mengambil es batu dan sehelai kain dari dapur. Membawanya ke ruang tamu dengan perasaan yang campur aduk. Dia menaruh es batu di atas helaian kain, lalu membukusnya. Pelan-pelan dia mengompres pipi Abdul yang memerah. Jarinya terasa membeku perlahan.

Abdul mengambil kain bersisi es dari genggaman Karina. “Udah, sama gua sendiri aja.”

“Maaf ya.”

“Maaf apaan?”

“Maafin Roni. Dia biasanya nggak kayak gitu kok.” Karina menggigit bibirnya sendiri, wajahnya tertunduk. “Aku nggak tahu kenapa dia tiba-tiba kayak tadi. Padahal aku sama dia baik-baik aja.”

Abdul mengeluarkan senyum. “Masa lu kagak ngerti?”

“Nggak ngerti?”

“Dia cemburu. Gara-gara isi kotak itu.” Abdul mengelap air dari es yang mengalir di pipinya. Sebenarnya dia cukup emosi saat tonjokan itu mendarat di pipinya. Ingin sekali dia membalas, tapi dia memikirkan Karina. Bagaimana pun, dia bisa mengerti dengan serangan Roni itu.

Abdul melanjutkan. “Cowok emang kayak gitu. Sejak kotak itu dibuka, dia kagak pernah nyapa gua, Kar. Tadi pagi waktu gua sama anak-anak lagi nongkrong, dia sengaja buang muka. Awalnya gua pikir dia mungkin malu sama kabar soal bokapnya, tapi sekarang gua tahu. Dia cemburu sama gua. Lucu ye?”

“Lucu apaan, aku baru pertama lihat dia marah kayak tadi.  Biasanya dia paling jago nahan emosi apalagi kalau lagi bareng aku. Maaf ya. Gara-gara aku, kamu jadi gini.” Karina masih mengingat ekspresi Roni yang baru saja dia lihat.

“Yah mau gimana lagi. Lagian tonjokannya kagak keras-keras amet. Dikasih obat udah sembuh, Kar. Kagak usah ngerasa bersalah gitu. Lagian bukan salah lu. Oh ya, besok lu masuk sekolah lagi, kan?”

Hening sejenak. Karina menatap wajah Abdul cukup lama. Entah kenapa sulit rasanya untuk kembali berani muncul di sekolah meski dia yakin bahwa teman-teman terdekatnya seperti Mili tidak akan menjauhinya. Perasaan takut dengan tempat bernama Sekolah kembali merasuk dalam lubuk hati.

“Masuk deh, Roni butuh lo. Mili juga.” Tangan Abdul mendekati tangan Karina. Dia ingin sekali memegang tangan yang terlihat lemah di hadapannya. Namun niat itu dia buang jauh. “Kagak rame kalau besok nggak ada lu. Besok juga kan latihan, Kar. Jangan bilang lu lupa.”

Latihan... Karina baru ingat kalau besok ada latihan teater untuk pertama kalinya setelah kejadian kemarin. Bagaimana mungkin dia bisa menghadapi hari besok?

“Hmm.. Lihat besok, deh. Kepala aku masih sedikit pusing.” Karina memegang kepalanya. Meyakinkan Abdul.

“Astaga!” Abdul menepuk keningnya sendiri. “Gua kan ke sini mau ngomongin sesuatu. Gua jadi lupa, keburu kena bogem si Roni hahaha.”

“Ya ampun. Iya, aku juga jadi lupa. Ada apa, Dul? Tumben kamu ke sini.”

“Iya itu dia, gua mau jelasin soal isi kotak itu. Gua... Gua sama sekali kagak ada niat buat macem-macem, Kar. Gua emang pernah naksir lu, lu juga tahu itu, kan? Tapi abis lu jadian sama Roni, ya gua sadar diri aja. Jadi teman lu aja gua udah beruntung.”

Karina terkekeh. “Cuma soal ini aja? Aduh, santai aja, Dul.”

“Ya kirain lo bakal marah sama gua. Ya udah deh, tahu gitu gua nggak usah ke mari. Udah takdir kena tonjok kan, nih. Hahaha.” Abdul mengambil tasnya. Dia memutuskan untuk secepatnya pulang. Sebenarnya bukan itu saja yang dia ingin ucapkan pada Karina. Masih banyak dan kakinya terasa masih betah berdiri di lantai rumah Karina.

“Maaf ya, Dul.”

“Maaf mulu, emangnya lebaran. Gua balik dulu ya.” Abdul beranjak pergi.

Karina memandangi gerakan Abdul yang membawa motornya kemudian menghilang dari pandangan. Dia menatap jalanan, lalu berganti menatap langit keabu-abuan yang mulai mendung sebelum masuk kembali ke dalam rumah. Kini rasa takutnya bertambah. Selain takut menghadapi anak-anak di sekolah, dia juga takut akan kehilangan Roni.

Apa yang harus dia lakukan?

Bab terkait

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 6 - Rasa Takut

    Selesai dari latihan vokal, Mili dengan terpaksa harus menaiki kendaraan umum karena supir yang biasa mengantarnya izin pulang lebih cepat. Dia menunggu tepat di halaman mini market yang terletak di seberang tempat latihan. Ada rasa tidak enak yang menempel lekat sejak pulang sekolah. Awalnya dia mengabaikan perasaan itu, tetapi semakin dia sadar bahwa dia sedang sendiri, rasa itu semakin menguat. Menimbulkan rasa takut. Mili memperhatikan sekelilingnya yang sepi. Hanya ada satu gerobak bakso dan dua orang laki-laki duduk di sebelah gerobak tersebut. Mobil dan motor tidak henti berlalu-lalang. Pemandangan yang biasa. Tidak ada yang mencurigakan.Setelah memastikan keadaan aman, Mili memutuskan untuk berjalan kaki sambil menunggu taksi kosong. Semakin dia melangkahkan kakinya, rasa aneh itu kembali muncul. Dia membalikan badan, melihat ke kanan dan ke kiri, menatap langit mendung dan batu trotoar yang ditumbuhi rumput liar di sela-selanya. Tidak tahu mengapa dia selal

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 7 - Hancurnya Persahabatan

    Abdul berlari mengejar Roni yang berjalan cepat menuju kelas. Dia ingin sekali menyelesaikan masalahnya kemarin. Tidak peduli bagaimana Roni marah padanya, yang dia pikirkan hanyalah Karina. Hanya demi Karina. Dia tahu betul, peristiwa di rumah Karina menambah pikiran cewek itu. Padahal jelas, Karina sedang down akibat tulisan yang keluar dari kotak itu. Karina butuh orang yang sangat dia sayangi saat ini dan orang itu salah satunya adalah Roni. Kini masalah yang harus dihadapi Karina bertambah.Abdul dapat melihat tatapan penuh amarah Roni ketika dia berhasil membuat langkah kaki Roni terhenti. Bahu Roni meninggi, kepalanya tegak, matanya lurus menatap Abdul. Melihat tampang Roni, membuat keinginan Abdul kembali mencuat. Keinginan untuk memukul wajah Roni, membalas yang belum terbalas.

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 8 - Cerita Sebenarnya

    Mili mendatangi rumah Karina. Setelah menekan tombol bel, lalu dipersilakan masuk, Mili duduk di sofa ruang tamu. Tubuhnya lemas, suhu tubuhnya tidak stabil. Mili tahu sendiri bahwa kondisi kesehatannya semakin menurun. Seharusnya dia tidak keluar rumah dan beristirahat saja. Namun dia justru lebih merasa tidak sehat kalau harus sendirian di kamar. Karina terkejut melihat kehadiran Mili. “Mil, kamu nggak sekolah?” Mili mengangguk. “Gue boleh nginep di rumah lo malam ini, kan, Kar?” “Ada apa, Mil?” Karina duduk di samping Mili, memegang kening Mili yang terasa hangat. “Mil?” “Gue cuma lagi kurang fit akhir-akhir ini. Lagian, bokap nyokap gue tadi subuh berangkat ke Brunei, ada kerja

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 9 - Hari-Hari Buruk Itu Datang Lagi

    Semua tampak sama saja. Karina mengamati setiap sudut sekolah. Dia menghindari tatapan-tatapan aneh yang diberikan oleh siswa lain sepanjang koridor menuju kelas. Mengapa kabar bohong itu menyebar cepat? Siapa yang menaruh dendam? Karina menggelengkan kepala, tetap coba berpikir positif. Toh ada Milli yang berada di sampingnya memasang badan.“Lo akhirnya berani masuk juga?” Amanda melipat tangannya di depan dada. Ekspresinya penuh maksud, seulas senyum keluar dari bibirnya yang tebal. “Ya ampun, lo harusnya pakai apa kek, masker, atau semacamnya. Lo mau nularin satu sekolahan?”Karina dan Mili saling pandang. Mili memasukan untaian rambut ke balik telinga. “Apa? Lo ngomong apa barusan?”Amanda menyipitkan mata. “Sebentar, jangan-jangan lo udah tertular juga. Lo kan temen se

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 10 - Mencari Alasan Pertama

    Jam belajar telah dimulai. Suasana sekolah mulai tenang dan sepi. Lapangan dipenuhi murid dari sebuah kelas yang sedang mengikuti mata pelajaran olahraga.Abdul menendang gelas plastik bekas minuman yang tergeletak di pinggir lapangan. Menuangkan emosi yang masih bergemuruh di dalam dadanya. Dia tidak terima dengan apa yang baru saja ia dengar. Keputusan kepala sekolah mengenai hukuman mereka.Sementara Roni sejak tadi hanya memandang kelas Karina dari kejauhan, lalu bergantian memandang Abdul. Sesekali dia memegang hidungnya yang mulai terasa berdenyut. Pukulan Abdul lumayan juga, pikir Roni.“Roni?” Tiara memenghampiri Roni sambil membawa tumpukan kertas yang dia peluk di dada.Cukup sulit untuk mengeluarkan senyum saat kondisi wajahnya babak belur. Roni menaikan alisnya.Tiara memperhatikan luka Roni serius. Dia tahu kejadian apa yang baru saja terjadi dengan teman sekelasnya itu. “Nggak masuk kelas?”“Gue di

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 11 - Semua Ada Alasannya

    Mili menyeruput teh dingin dari dalam botol. Tangannya mengelap keringat yang keluar dari pori-pori keningnya. Dia memandang seluruh isi kantin. Dari satu sudut ke sudut lainnya. Kemudian kembali menikmati menu makan siang yang sebenarnya tidak terasa enak ketika teringat rupa dari bangkai yang dia temukan beberapa jam lalu. Perutnya terasa mual saat secara tidak sadar aroma tidak enak terasa terus menempel di rongga hidungnya.“Hai, Mili.” Suara familiar terdengar di telingnya.Mili mengehela napas malas. “Lo ngapain lagi?”“Saya? Nggak, mau datengin kamu aja. Kamu nggak apa-apa?”Melihat wajah cowok di sampingnya tersebut, semakin membuat Mili tidak nafsu menghabiskan makan siangnya. “Lo punya mata? Bisa lihat kan kalau gue nggak kenapa-kenapa?”Cowok itu membenarkan posisi kaca matanya. “Bukannya kamu tadi nemuin sesuatu ya di bawah meja kamu?”Mili membaca tulisan dalam name

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 12 - Rasa Benci

    Gue ini kenapa? Salah gue di mana?Pertanyaan-pertanyaan yang berterbangan dalam benak Roni menambah rasa kecewa yang sulit dia jelaskan. Sambil mengganti seragam dengan baju seadanya yang dia ambil dari lemari, dia memandang seorang pria tua yang terbaring di sebuah ranjang dengan hati-hati.Hampir seluruh rambut pria tersebut sudah memutih disertai kulit tubuh yang sudah dipenuhi kerutan. Pria itu tenang, menikmati tidurnya. Hanya terlihat perutnya yang buncit bergerak naik turun, mengikuti irama napas.Roni mengikat celana training yang sedikit longgar. Merasakan perbedaan ukuran tubuhnya dengan sang ayah. Begitu juga dengan Polo t-shirt berwarna navy yang gombrang. Selesai berganti pakaian, Roni duduk di atas kursi yang terletak tepat di samping ranjang. Dia memperhatikan wajah pria di hadapannya.Tetesan cairan infus mengalir teratur, memasuki jarum yang tertusuk di tangan pria itu. Sesaat Roni bisa merasakan amarah ketika

  • Kotak Itu Berbicara   PROLOG - Permulaan

    Dari balik panggung, keriuhan terlihat jelas menghampiri sebuah ruangan yang berisi penuh sesak para pemain. Udara terasa lebih hangat dan wewangian yang tidak tahu dari mana saja asalnya menyerbak. Para pemain sibuk dengan tugas dan pekerjanya masing-masing. Ada yang terus memoles wajah dengan polesan makeup, berbagai macam warna eye shadow terlukis di kelopak mata, dipaduk dengan warna lipstick nyentrik yang membuat bibir terlihat lebih tebal, sekaligus menyita perhatian. Ada juga yang terlihat sibuk membenarkan kostum, memastikan seluruh bagiannya menempel sempurna pada tubuh. Serta, ada juga yang tampak tidak berhenti membaca skrip, mengulang dialog demi dialog, menghafalnya baik-baik.“Duh, ini lipstick-nya udah hilang lagi aja warnanya. Mau berapa kali di-touch up, coba? Jangan minum terus dong, Mili!” Cewek berseragam putih-abu dengan rambut panjang yang dibiarkan terurai itu menggerakan tangannya, mengoles

Bab terbaru

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 12 - Rasa Benci

    Gue ini kenapa? Salah gue di mana?Pertanyaan-pertanyaan yang berterbangan dalam benak Roni menambah rasa kecewa yang sulit dia jelaskan. Sambil mengganti seragam dengan baju seadanya yang dia ambil dari lemari, dia memandang seorang pria tua yang terbaring di sebuah ranjang dengan hati-hati.Hampir seluruh rambut pria tersebut sudah memutih disertai kulit tubuh yang sudah dipenuhi kerutan. Pria itu tenang, menikmati tidurnya. Hanya terlihat perutnya yang buncit bergerak naik turun, mengikuti irama napas.Roni mengikat celana training yang sedikit longgar. Merasakan perbedaan ukuran tubuhnya dengan sang ayah. Begitu juga dengan Polo t-shirt berwarna navy yang gombrang. Selesai berganti pakaian, Roni duduk di atas kursi yang terletak tepat di samping ranjang. Dia memperhatikan wajah pria di hadapannya.Tetesan cairan infus mengalir teratur, memasuki jarum yang tertusuk di tangan pria itu. Sesaat Roni bisa merasakan amarah ketika

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 11 - Semua Ada Alasannya

    Mili menyeruput teh dingin dari dalam botol. Tangannya mengelap keringat yang keluar dari pori-pori keningnya. Dia memandang seluruh isi kantin. Dari satu sudut ke sudut lainnya. Kemudian kembali menikmati menu makan siang yang sebenarnya tidak terasa enak ketika teringat rupa dari bangkai yang dia temukan beberapa jam lalu. Perutnya terasa mual saat secara tidak sadar aroma tidak enak terasa terus menempel di rongga hidungnya.“Hai, Mili.” Suara familiar terdengar di telingnya.Mili mengehela napas malas. “Lo ngapain lagi?”“Saya? Nggak, mau datengin kamu aja. Kamu nggak apa-apa?”Melihat wajah cowok di sampingnya tersebut, semakin membuat Mili tidak nafsu menghabiskan makan siangnya. “Lo punya mata? Bisa lihat kan kalau gue nggak kenapa-kenapa?”Cowok itu membenarkan posisi kaca matanya. “Bukannya kamu tadi nemuin sesuatu ya di bawah meja kamu?”Mili membaca tulisan dalam name

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 10 - Mencari Alasan Pertama

    Jam belajar telah dimulai. Suasana sekolah mulai tenang dan sepi. Lapangan dipenuhi murid dari sebuah kelas yang sedang mengikuti mata pelajaran olahraga.Abdul menendang gelas plastik bekas minuman yang tergeletak di pinggir lapangan. Menuangkan emosi yang masih bergemuruh di dalam dadanya. Dia tidak terima dengan apa yang baru saja ia dengar. Keputusan kepala sekolah mengenai hukuman mereka.Sementara Roni sejak tadi hanya memandang kelas Karina dari kejauhan, lalu bergantian memandang Abdul. Sesekali dia memegang hidungnya yang mulai terasa berdenyut. Pukulan Abdul lumayan juga, pikir Roni.“Roni?” Tiara memenghampiri Roni sambil membawa tumpukan kertas yang dia peluk di dada.Cukup sulit untuk mengeluarkan senyum saat kondisi wajahnya babak belur. Roni menaikan alisnya.Tiara memperhatikan luka Roni serius. Dia tahu kejadian apa yang baru saja terjadi dengan teman sekelasnya itu. “Nggak masuk kelas?”“Gue di

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 9 - Hari-Hari Buruk Itu Datang Lagi

    Semua tampak sama saja. Karina mengamati setiap sudut sekolah. Dia menghindari tatapan-tatapan aneh yang diberikan oleh siswa lain sepanjang koridor menuju kelas. Mengapa kabar bohong itu menyebar cepat? Siapa yang menaruh dendam? Karina menggelengkan kepala, tetap coba berpikir positif. Toh ada Milli yang berada di sampingnya memasang badan.“Lo akhirnya berani masuk juga?” Amanda melipat tangannya di depan dada. Ekspresinya penuh maksud, seulas senyum keluar dari bibirnya yang tebal. “Ya ampun, lo harusnya pakai apa kek, masker, atau semacamnya. Lo mau nularin satu sekolahan?”Karina dan Mili saling pandang. Mili memasukan untaian rambut ke balik telinga. “Apa? Lo ngomong apa barusan?”Amanda menyipitkan mata. “Sebentar, jangan-jangan lo udah tertular juga. Lo kan temen se

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 8 - Cerita Sebenarnya

    Mili mendatangi rumah Karina. Setelah menekan tombol bel, lalu dipersilakan masuk, Mili duduk di sofa ruang tamu. Tubuhnya lemas, suhu tubuhnya tidak stabil. Mili tahu sendiri bahwa kondisi kesehatannya semakin menurun. Seharusnya dia tidak keluar rumah dan beristirahat saja. Namun dia justru lebih merasa tidak sehat kalau harus sendirian di kamar. Karina terkejut melihat kehadiran Mili. “Mil, kamu nggak sekolah?” Mili mengangguk. “Gue boleh nginep di rumah lo malam ini, kan, Kar?” “Ada apa, Mil?” Karina duduk di samping Mili, memegang kening Mili yang terasa hangat. “Mil?” “Gue cuma lagi kurang fit akhir-akhir ini. Lagian, bokap nyokap gue tadi subuh berangkat ke Brunei, ada kerja

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 7 - Hancurnya Persahabatan

    Abdul berlari mengejar Roni yang berjalan cepat menuju kelas. Dia ingin sekali menyelesaikan masalahnya kemarin. Tidak peduli bagaimana Roni marah padanya, yang dia pikirkan hanyalah Karina. Hanya demi Karina. Dia tahu betul, peristiwa di rumah Karina menambah pikiran cewek itu. Padahal jelas, Karina sedang down akibat tulisan yang keluar dari kotak itu. Karina butuh orang yang sangat dia sayangi saat ini dan orang itu salah satunya adalah Roni. Kini masalah yang harus dihadapi Karina bertambah.Abdul dapat melihat tatapan penuh amarah Roni ketika dia berhasil membuat langkah kaki Roni terhenti. Bahu Roni meninggi, kepalanya tegak, matanya lurus menatap Abdul. Melihat tampang Roni, membuat keinginan Abdul kembali mencuat. Keinginan untuk memukul wajah Roni, membalas yang belum terbalas.

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 6 - Rasa Takut

    Selesai dari latihan vokal, Mili dengan terpaksa harus menaiki kendaraan umum karena supir yang biasa mengantarnya izin pulang lebih cepat. Dia menunggu tepat di halaman mini market yang terletak di seberang tempat latihan. Ada rasa tidak enak yang menempel lekat sejak pulang sekolah. Awalnya dia mengabaikan perasaan itu, tetapi semakin dia sadar bahwa dia sedang sendiri, rasa itu semakin menguat. Menimbulkan rasa takut. Mili memperhatikan sekelilingnya yang sepi. Hanya ada satu gerobak bakso dan dua orang laki-laki duduk di sebelah gerobak tersebut. Mobil dan motor tidak henti berlalu-lalang. Pemandangan yang biasa. Tidak ada yang mencurigakan.Setelah memastikan keadaan aman, Mili memutuskan untuk berjalan kaki sambil menunggu taksi kosong. Semakin dia melangkahkan kakinya, rasa aneh itu kembali muncul. Dia membalikan badan, melihat ke kanan dan ke kiri, menatap langit mendung dan batu trotoar yang ditumbuhi rumput liar di sela-selanya. Tidak tahu mengapa dia selal

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 5 - Satu Persatu

    Satu hari berlalu dan semuanya mulai berubah. Entah bagaimana isi dalam kotak cepat sekali menyebar di seantero sekolah. Sudah dua kali Roni tidak sengaja mendengar anak-anak lain yang sedang bergosip tentang ayahnya yang seorang Koruptor saat dia berjalan di sekitar koridor sekolah. Ingin sekali dia berteriak di depan mereka, mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi dengan sang Ayah. Bahkan kalau bisa ingin sekali dia menonjok mulut-mulut yang dengan mudah mengatai dirinya serta keluarganya. Tapi buat apa? Roni berpikir bahwa itu semua hanya akan memperkeruh suasana dan membenarkan gosip tersebut. Bukannya ingin menampik, hanya saja itu semua sudah lewat dan bukan saatnya lagi untuk dibahas.Semuanya sudah sekian tahun berlalu, dan bagi Roni, dia sudah hampir melupakannya bahkan merasa sudah berada di posisi yang aman. Tidak ada lagi yang membicarakan keluarganya, tidak ada lagi yang mengata-ngatai Ayah. Tetapi sekarang, semuanya terulang kembali. Roni merasa tertarik kembal

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 4 - Dejavu

    Pikiran Karina berkecamuk. Dia mengambil lilin beraroma lavender dari laci yang berada di seberang rangjang tidur. Kemudian menyalakannya, menaruhnya di atas meja kecil tidak jauh darinya. Detik jam terus berjalan, rasa lelah berkumpul di tubuhnya, namun dia tetap terjaga. Lelah, memikirkan masalah yang baru saja dia hadapi, dan lelah, memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia menarik selimut, menutupi seluruh tubuh. Mencari rasa kantuk yang sebenarnya sejak tadi sudah menghampiri, tetapi matanya tetap saja sulit tertutup. Lagi-lagi Karina memandnag jam dinding untuk menghitung berapa lama dia tetap saja terjaga dan tidak bisa tidur juga.Aroma lavender menyerbak ke seluruh ruang kamar, berhasil membuatnya sedikit relaks dan mulai dapat mengendalikan tubuh untuk tidur. Matanya perlahan menutup dan napasnya teratur.“Hai,” sebuah sapaan membuat Karina kembali membuka mata.Seketika kamarnya berubah menjadi ruangan yang dia kenal. Ruang kelas b

DMCA.com Protection Status