Beranda / Semua / Kotak Itu Berbicara / BAB 2 - Permainan Dimulai

Share

BAB 2 - Permainan Dimulai

Penulis: Amelia N
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Bola mata Roni mengarah pada Karina dan Mili bergantian, kedua tangannya dimasukan ke dalam saku celana, berusaha menahan emosi untuk tidak masuk ke dalam sifat kekanak-kanakan Mili. Untuk ketiga kalinya dia harus menghadapi kemarahan Mili dengan masalah yang hampir sama. Serta masalahnya sama-sama berpusat pada cewek itu. Memang, menjadi ketua bukanlah tugas yang sulit, tetapi bagi Roni, selama dia menjabat sebagai ketua tim teater, sebagian besar kesulitan selalu muncul karena perbedaan pendapat dengan Mili.

Karina memutuskan diam, memeriksa peralatan make up dalam pouch di pangkuannya sambil sesekali melirik Roni, memberi isyarat agar Roni sabar menghadapi Mili. Setidaknya dia bukan seseorang yang hadir untuk menambah masalah baru karena terlalu banyak berbicara atau menasihati ini itu.

Mili mengarahkan telunjuknya ke wajah Roni. “Ingat ya Ron, gue cuma mau bawain cerita yang menurut gue bagus. Yang bisa eksplor bakat akting kita semua.”

“Ya kalau lo nggak mau, masih banyak kok anak-anak yang mau pegang peran lo.” Suara tegasnya berbarengan dengan bahu yang terangkat seolah tidak peduli.

“Lo pikir mereka bisa akting sebagus gue? Jangan sampai ada yang nilai kualitas tim teater kita turun cuma gara-gara akting peran utamanya jelek. Ini udah ketiga kalinya lo nggak mau dengerin saran gue, Ron. Jangan mentang-mentang lo ditunjuk jadi ketua deh, jadi apa-apa sesuka lo. Kar, cowok lo nih belagu banget!”

Karina masih diam. Kesal pastinya, mendengar perdebatan antara Mili dan Roni secara langsung, namun tidak dapat berbuat apa-apa. Karina hafal dengan sifat Mili, yang ingin apa-apa harus sesuai keinginannya. Karina paham kalau Roni memang harus seperti ini, tegas dan adil sebagai ketua.

Hening sejenak, tidak ada yang mau mengalah atau menyelesaikan berdebatan dengan baik-baik.

“Anak-anak lain udah nungguin tuh di dalem.” Karina bangkit dari duduknya, memeluk pouch dan bersiap masuk ke dalam ruangan latihan. “Lagian ceritanya apa juga belum ditentuin, kan? Ributnya nanti aja gimana? Kita latihan dulu.”

Perlahan lengan Karina menggandeng Mili, mengajaknya masuk.

Roni tersenyum kecil saat pandangannya bertabrakan dengan pandangan Karina. “Ya ayo kita latihan!”

Dri kejauhan, Abdul terlihat berlari ke mendekat. Sebelah tangannya menenteng jaring-jaring berisi bola, sementara sebelah tangannya lagi menepuk keras bahu Roni saat dia berhasil berada di belakang cowok itu. “Woy! Habis perang dunia lagi ya lu?”

“Bukan, Dul. Habis tawuran batin.” Roni membalas tepukan itu lebih kencang lagi di punggung Abdul. “Dari mana lo, Keriwil?”

“Gua? Dari Warung Mang Anang, biasa anak futsal pada ngumpul dulu. Yah latihan kali ini pake drama lagi dong? Gua siapin kamera dulu apa kagak nih?”

“Kunyuk!” Roni kembali menepuk keras punggung Abdul dan menyeretnya masuk ke dalam ruangan latihan.

Para anggota tim yang berjumlah tiga puluh orang sudah memenuhi ruangan latihan. Roni mengambil satu kotak berwarna putih berukuran tidak terlalu besar dari dalam lemari peralatan sebelum membuka latihan. Ruangan latihan tim teater berukuran cukup luas. Ada empat lemari besar yang bersandar di salah satu sisi. Keempat lemari tersebut berisi kostum-kostum dan peralatan panggung. Sementara di sisi lainnya tertempel aneka poster juga foto-foto perjalanan tim teater dari mulai angkatan terdahulu sampai sekarang.

Roni menaruh kotak itu persis di atas meja yang berada di hadapannya. “Oke, kita mulai latihannya.”

Setelah selesai membuka latihan, Roni meminta bantuan Karina untuk membuka kotak yang dia bawa. Kotak itu sering disebut ‘Kotak Berbicara’, kotak yang menjadi bagian penting dalam perjalanan tim teater sejak dulu. Benda sederhana yang setiap waktu berganti tangan. Kotak itu sudah ada sejak angkatan-angkatan tim sebelumnya. Selain menjadi wadah kritik dan saran, kotak itu juga menjadi tempat curahan hati para anggota tim. Masalah memang sering terjadi di antara anggota tim dan Kotak Berbicara menjadi media untuk menyelesaikannya.

“Pertama, kita buka kotak ini dulu.” Roni membuka tutup kotak yang memiliki lubang  dengan panjang 10 centimeter di tengahnya. “Ada tiga kertas nih. Mau gue bacain?”

“Sini gua aja yang bacain, Ron.” Abdul mengambil satu kertas dari dalam kotak. “Surat cinta nih kayaknye! Ihiy! Lo pada jadul banget ya, masih nulis-nulis ginian.”

“Yang tersayang, Eva.” Nada suara Abdul sengaja dibuat mendayu-dayu.

“Cieeeeee.....” Anak-anak kompak berteriak sambil mengganggu Eva yang mulai terlihat salah tingkah.

“Eva, aku sering banget lihat kamu lupa makan kalau lagi latihan. Kamu juga suka nggak ngabisin nasi kotak kamu ketika pertunjukan. Jangan gitu Eva. Aku sedih kalau kamu jadi tambah kurus. Apalagi kalau kamu sampai sakit.” Abdul melanjutkan sambil menahan tawa.

Salah satu anggota tim memotong. “Siapa tuh yang nulis? Hahahaha...”

“Norak banget! Pffft...” Anggota lainnya ikut menimpali.

“Eva, kalau kamu sakit, aku jadi sedih. Aku juga jadi ikut sakit lho. Jaga kesehatan ya Eva. Dari Akang Satria.” Abdul meremukan kertas di tangannya kemudian melemparnya ke arah Satria. “Sat, lu mau bikin surat cinta ape malu-maluin gebetan lu?”

Satria refleks berdiri dengan ekspresi wajah setengah marah, setengah kebingungan. Matanya terbuka lebar. “Bukan gue! Sumpah! Siapa yang nulis? Pakai nama gue segala. Sialan! Mainanya nggak seru.”

“Udah-udah.” Roni tertawa, meminta anak-anak untuk kembali tenang. “Masih ada kertas lain lagi nih. Biar cepat, gue aja yang bacain ya, Mili tuh emang susah dibilangin. Naro minum suka sembarangan. Udah dua kali minumnya tumpah deket audio. Kan bahaya.”

“Bukan minum gue!” Giliran Mili sontak berdiri, membela diri.

“Ya kalau gitu, siapa pun, jangan suka taruh minum sembarangan. Masa perlu gue bikin perarturan soal kayak gini?” Roni menatap satu-persatu anggota dan  meminta Mili untu kembali duduk. “Gue buka kertas terakhir, sumpah gue masih deg-degan soal kostum kebakar. Nggak ada yang mau ngurusin apa? Masa didiemin gitu doang?”

“Beres.” Roni menyudahi tanpa memberi respon. Dia tidak ingin anak-anak menjadi sibuk dengan kejadian aneh yang terjadi minggu lalu itu. “Sekarang, gue mau kalian semua vote cerita buat pertunjukan acara kelulusan nanti. Gue mau keputusan datang dari kita semua kayak biasanya. Buat ide cerita ada tiga macam. Satu ide datang dari anak Mading, satu lagi datang dari senior kita, dan satu lagi datang dari Bu Meri, guru seni lukis. Semuanya udah gue ketik di sini.” Setumpuk kertas terlihat digenggam oleh Roni dan dengan cepat dia meminta anak-anak terdekat untuk mengoper kertas-kertas itu ke seluruh anggota.

“Kalian cukup tulis satu judul di kertas yang menurut kalian oke dan cocok buat dibawain di pertunjukan berikutnya. Terus lipat dan masukin ke Kotak Berbicar. Ngerti ya? Kalau ada pertanyaan, tanya langsung ke gue. Kita bakal buka kotaknya bareng-bareng besok. Sekarang, kalau udah pada vote, beresin lemari peralatan. Soalnya berantakan banget.”

Sesuai agenda latihan yang dibuat Roni untuk hari ini, semuanya berjalan lancar. Satu-persatu anggota memasukan selembar kertas ke dalam kotak. Setekah itu mereka semua sibuk membereskan lemari peralatan sambil sesekali bercanda. Seperti biasanya.

****

Abdul mengambil satu potong tahu isi dari piring berwarna putih di atas meja. Sebenarnya Abdul malas untuk ke sekolah di hari libur tapi apa daya, ada jadwal latihan dan kumpul bersama anak teater. Dia menyisir rambut keriwilnya, berusaha membuatnya terlihat sedikit rapi meski tidak pernah terjadi, sambil terus mengunyah makanan yang ada di tangannya. Masih jam 8 pagi dan keluarganya masih asyik di kamar masing-masing.

Jadwal berkumpul adalah jam 10, ini pertanda dia masih memiliki waktu sekitar satu jam untuk sejenak bersantai menikmati acara televisi di akhir pekan.

“Dek, ada acara apa udah bangun jam segini?” Seorang wanita paruh baya keluar dari sebuah kamar yang terletak dekat dengan ruang tamu. Wajahnya persis seperti Abdul, hidung dengan ukuran sedang lebar, dan bibir yang tebal.

Wanita itu memakai kain sarung yang dijadikan rok. Rambutnya terurai keriting panjang. Kulitnya sudah berkeriput dan matanya masih terlihat mengantuk. Langkahnya tertuju ke samping Abdul yang sejak tadi duduk di kursi makan.

Abdul mencoba mengunyah tahu isi sampai habis. “Iya ada kumpul anak teater, Bu. Ini tahu isi kapan, sih? Kok tepungnya alot banget.”

“Ya yang kemarin lah. Mau dimasakin mie instan kagak? Kan Babeh kamu kemarin belanja kopi tuh. Mau kopi juga?” Wanita itu berpindah tempat, membuka gorden ruang tamu. Cahaya matahari seketika masuk menyinari seisi rumah.

“Bikinin kopi susu ya, Bu. Mie juga, mie goreng. Laper ini perut. Babeh belum bangun?”

“Tadi malam pulang kerja Babehmu maen catur sama bapak-bapak. Sampai jam berapa tuh ya, lupa Ibu. Ibu bangun sholat Subuh saja kayaknya Babehmu baru tidur.”

Setelah membuka seluruh gorden, wanita itu pergi ke dapur. Sementara Abdul tetap duduk asyik menonton televisi. Ada tayangan ulang pertandingan bola yang membuat Abdul mengganti posisinya. Tidak lagi duduk di kursi makan, namun di sofa ruang keluarga. Sofa yang kulitnya sudah tidak lagi utuh. Dia meloncat dari belakang sofa berbarengan dengan getaran ponsel di saku celananya.

“Napa, Mil?”

“Jemput gue dong. Supir gue nggak masuk. Gue ganti bensin lo, tenang aja.”

“Kapan?”

“Tahun depan.... Ya sekarang lah..”

“Ck, kalem. Gua makan dulu.”

“Jangan lama-lama! Gue ngak mau pake telat segala.”

Telepon ditutup. Tidak lama Ibu membawa satu piring mie goreng beserta kopi hangat. Menaruhnya di meja makan.

“Dek, nih kopi sama mienya. Mumpung masih panas.”

Sekolah terlihat sepi karena hari libur. Hanya ada para anggota tim teater yang satu-persatu berdatangan memenuhi ruangan latihan. Semuanya memakai pakaian bebas dan santai. Karina dan Roni datang bersama sambil membawa satu kardus air mineral yang diangkut Roni. Sedangkan Karina menenteng sekeresk cemilan. Semenjak Roni menjadi ketua tim, Roni gemar membawa cemilan bila latihan diadakan di akhir pekan. Dia cukup merasa bersalah sudah membuat jadwal latihan di akhir pekan karena dia tahu betul, jadwal sekolah yang padat menjadikan libur akhir pekan adalah hal yang sangat berarti.

“Tuh Mili.” Karina menghentikan langkah. “Jadi tukang ojek lagi, Dul?”

Abdul berjalan malas-malasan di belakang Mili sambil mengucek-ngucek matanya yang masih terasa mengantuk. “Biasa, Tuan Putri males naik kendaraan umum.”

“Eits, gue bukan males, cuma takut. Kalau gue diculik gimana?”

“Bukannya kamu ada casting, Mil? Nggak jadi?” Karina mengajak semuanya masuk ke dalam ruang latihan.

“Lo lupa? Gue kan casting besok. Makanya nanti pas pulang mau nyalon dulu.”

“Putri Indonesia tuh beda emang.” Abdul melangkah duluan dan masuk terlebih dulu ke dalam ruang latihan.

Setengah jam berlalu dari jadwal kumpul yang telah ditentukan. Ruang latihan mulai terisi penuh. Para anggota tim datang dengan ekspresi yang berbeda-beda. Sebagian besar dari mereka tampak tidak sabar untuk melihat hasil voting kemarin. Sama halnya dengan Roni yang sejak tadi sudah mengambil Kotak Berbicara dari lemari lalu membuka tutupnya. Saat itulah, kening Roni mengkerut, merasa ada yang berbeda dengan kotak di tangannya.

“Cuma empat kertas?” Karina menatap isi kotak. Tidak kalah bingung.

Roni mengangkat bahu, mengambil keempat kertas tersebut. “Bukannya kemarin kita semua masukin kertas ke sini ya? Kok cuma segini?”

Anggota tim saling memandang satu sama lain dan semuanya memasang wajah ‘sama-sama tidak tahu’. Bahkan beberapa dari mereka ikut mengangkat bahu dan menggelengkan kepala.

Karina mengambil salah satu kertas, membuka lipatannya. Lalu membaca deretan kata di dalamnya. Ekspresi wajahnya berubah drastis, bola matanya ke kanan dan ke kiri, membaca tulisan dalam kertas berulang-ulang. Tidak lama wajah berseri cewek itu menjadi pucat. “Ini.......”

Bab terkait

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 3 - Kalian Harus Tahu

    Roni yang penasaran mengambil kertasa dari tangan Karina. Dia ikut membaca isinya. Dan seketika wajahnya tidak kalah pucat. Roni dapat merasakan degup jantung yang perlahan mengencang disertai otot-otot tubuh yang menegang. Dia mencoba membacanya untuk kedua kali, ketiga kali, sampai yakin bahwa apa yang baru saja dia baca benar-benar tertulis di kertas itu.“Siapa yang nulis ini?!” Roni sedikit berteriak. Ada getar di dalam suaranya. Dia menatap wajah para anggota mendalam, berusaha menemukan Sang Penulis. Sementara para anggota tim hanya diam dan tampak terkejut dengan nada suara Roni.“GUE TANYA, SIAPA YANG NULIS INI?” Nada suara Roni semakin kencang ditambah dengan emosi yang naik.Mili merebut kertas itu dengan cepat, penasaran dia membacanya. “Dia yang terlihat bijaksana dan memiliki kedudukan teratas sebenarnya anak dari seorang Koruptor. Wajahnya terlalu tebal untuk menjadi pemimpin sementara ayahnya seorang pencuri kelas ka

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 4 - Dejavu

    Pikiran Karina berkecamuk. Dia mengambil lilin beraroma lavender dari laci yang berada di seberang rangjang tidur. Kemudian menyalakannya, menaruhnya di atas meja kecil tidak jauh darinya. Detik jam terus berjalan, rasa lelah berkumpul di tubuhnya, namun dia tetap terjaga. Lelah, memikirkan masalah yang baru saja dia hadapi, dan lelah, memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia menarik selimut, menutupi seluruh tubuh. Mencari rasa kantuk yang sebenarnya sejak tadi sudah menghampiri, tetapi matanya tetap saja sulit tertutup. Lagi-lagi Karina memandnag jam dinding untuk menghitung berapa lama dia tetap saja terjaga dan tidak bisa tidur juga.Aroma lavender menyerbak ke seluruh ruang kamar, berhasil membuatnya sedikit relaks dan mulai dapat mengendalikan tubuh untuk tidur. Matanya perlahan menutup dan napasnya teratur.“Hai,” sebuah sapaan membuat Karina kembali membuka mata.Seketika kamarnya berubah menjadi ruangan yang dia kenal. Ruang kelas b

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 5 - Satu Persatu

    Satu hari berlalu dan semuanya mulai berubah. Entah bagaimana isi dalam kotak cepat sekali menyebar di seantero sekolah. Sudah dua kali Roni tidak sengaja mendengar anak-anak lain yang sedang bergosip tentang ayahnya yang seorang Koruptor saat dia berjalan di sekitar koridor sekolah. Ingin sekali dia berteriak di depan mereka, mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi dengan sang Ayah. Bahkan kalau bisa ingin sekali dia menonjok mulut-mulut yang dengan mudah mengatai dirinya serta keluarganya. Tapi buat apa? Roni berpikir bahwa itu semua hanya akan memperkeruh suasana dan membenarkan gosip tersebut. Bukannya ingin menampik, hanya saja itu semua sudah lewat dan bukan saatnya lagi untuk dibahas.Semuanya sudah sekian tahun berlalu, dan bagi Roni, dia sudah hampir melupakannya bahkan merasa sudah berada di posisi yang aman. Tidak ada lagi yang membicarakan keluarganya, tidak ada lagi yang mengata-ngatai Ayah. Tetapi sekarang, semuanya terulang kembali. Roni merasa tertarik kembal

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 6 - Rasa Takut

    Selesai dari latihan vokal, Mili dengan terpaksa harus menaiki kendaraan umum karena supir yang biasa mengantarnya izin pulang lebih cepat. Dia menunggu tepat di halaman mini market yang terletak di seberang tempat latihan. Ada rasa tidak enak yang menempel lekat sejak pulang sekolah. Awalnya dia mengabaikan perasaan itu, tetapi semakin dia sadar bahwa dia sedang sendiri, rasa itu semakin menguat. Menimbulkan rasa takut. Mili memperhatikan sekelilingnya yang sepi. Hanya ada satu gerobak bakso dan dua orang laki-laki duduk di sebelah gerobak tersebut. Mobil dan motor tidak henti berlalu-lalang. Pemandangan yang biasa. Tidak ada yang mencurigakan.Setelah memastikan keadaan aman, Mili memutuskan untuk berjalan kaki sambil menunggu taksi kosong. Semakin dia melangkahkan kakinya, rasa aneh itu kembali muncul. Dia membalikan badan, melihat ke kanan dan ke kiri, menatap langit mendung dan batu trotoar yang ditumbuhi rumput liar di sela-selanya. Tidak tahu mengapa dia selal

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 7 - Hancurnya Persahabatan

    Abdul berlari mengejar Roni yang berjalan cepat menuju kelas. Dia ingin sekali menyelesaikan masalahnya kemarin. Tidak peduli bagaimana Roni marah padanya, yang dia pikirkan hanyalah Karina. Hanya demi Karina. Dia tahu betul, peristiwa di rumah Karina menambah pikiran cewek itu. Padahal jelas, Karina sedang down akibat tulisan yang keluar dari kotak itu. Karina butuh orang yang sangat dia sayangi saat ini dan orang itu salah satunya adalah Roni. Kini masalah yang harus dihadapi Karina bertambah.Abdul dapat melihat tatapan penuh amarah Roni ketika dia berhasil membuat langkah kaki Roni terhenti. Bahu Roni meninggi, kepalanya tegak, matanya lurus menatap Abdul. Melihat tampang Roni, membuat keinginan Abdul kembali mencuat. Keinginan untuk memukul wajah Roni, membalas yang belum terbalas.

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 8 - Cerita Sebenarnya

    Mili mendatangi rumah Karina. Setelah menekan tombol bel, lalu dipersilakan masuk, Mili duduk di sofa ruang tamu. Tubuhnya lemas, suhu tubuhnya tidak stabil. Mili tahu sendiri bahwa kondisi kesehatannya semakin menurun. Seharusnya dia tidak keluar rumah dan beristirahat saja. Namun dia justru lebih merasa tidak sehat kalau harus sendirian di kamar. Karina terkejut melihat kehadiran Mili. “Mil, kamu nggak sekolah?” Mili mengangguk. “Gue boleh nginep di rumah lo malam ini, kan, Kar?” “Ada apa, Mil?” Karina duduk di samping Mili, memegang kening Mili yang terasa hangat. “Mil?” “Gue cuma lagi kurang fit akhir-akhir ini. Lagian, bokap nyokap gue tadi subuh berangkat ke Brunei, ada kerja

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 9 - Hari-Hari Buruk Itu Datang Lagi

    Semua tampak sama saja. Karina mengamati setiap sudut sekolah. Dia menghindari tatapan-tatapan aneh yang diberikan oleh siswa lain sepanjang koridor menuju kelas. Mengapa kabar bohong itu menyebar cepat? Siapa yang menaruh dendam? Karina menggelengkan kepala, tetap coba berpikir positif. Toh ada Milli yang berada di sampingnya memasang badan.“Lo akhirnya berani masuk juga?” Amanda melipat tangannya di depan dada. Ekspresinya penuh maksud, seulas senyum keluar dari bibirnya yang tebal. “Ya ampun, lo harusnya pakai apa kek, masker, atau semacamnya. Lo mau nularin satu sekolahan?”Karina dan Mili saling pandang. Mili memasukan untaian rambut ke balik telinga. “Apa? Lo ngomong apa barusan?”Amanda menyipitkan mata. “Sebentar, jangan-jangan lo udah tertular juga. Lo kan temen se

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 10 - Mencari Alasan Pertama

    Jam belajar telah dimulai. Suasana sekolah mulai tenang dan sepi. Lapangan dipenuhi murid dari sebuah kelas yang sedang mengikuti mata pelajaran olahraga.Abdul menendang gelas plastik bekas minuman yang tergeletak di pinggir lapangan. Menuangkan emosi yang masih bergemuruh di dalam dadanya. Dia tidak terima dengan apa yang baru saja ia dengar. Keputusan kepala sekolah mengenai hukuman mereka.Sementara Roni sejak tadi hanya memandang kelas Karina dari kejauhan, lalu bergantian memandang Abdul. Sesekali dia memegang hidungnya yang mulai terasa berdenyut. Pukulan Abdul lumayan juga, pikir Roni.“Roni?” Tiara memenghampiri Roni sambil membawa tumpukan kertas yang dia peluk di dada.Cukup sulit untuk mengeluarkan senyum saat kondisi wajahnya babak belur. Roni menaikan alisnya.Tiara memperhatikan luka Roni serius. Dia tahu kejadian apa yang baru saja terjadi dengan teman sekelasnya itu. “Nggak masuk kelas?”“Gue di

Bab terbaru

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 12 - Rasa Benci

    Gue ini kenapa? Salah gue di mana?Pertanyaan-pertanyaan yang berterbangan dalam benak Roni menambah rasa kecewa yang sulit dia jelaskan. Sambil mengganti seragam dengan baju seadanya yang dia ambil dari lemari, dia memandang seorang pria tua yang terbaring di sebuah ranjang dengan hati-hati.Hampir seluruh rambut pria tersebut sudah memutih disertai kulit tubuh yang sudah dipenuhi kerutan. Pria itu tenang, menikmati tidurnya. Hanya terlihat perutnya yang buncit bergerak naik turun, mengikuti irama napas.Roni mengikat celana training yang sedikit longgar. Merasakan perbedaan ukuran tubuhnya dengan sang ayah. Begitu juga dengan Polo t-shirt berwarna navy yang gombrang. Selesai berganti pakaian, Roni duduk di atas kursi yang terletak tepat di samping ranjang. Dia memperhatikan wajah pria di hadapannya.Tetesan cairan infus mengalir teratur, memasuki jarum yang tertusuk di tangan pria itu. Sesaat Roni bisa merasakan amarah ketika

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 11 - Semua Ada Alasannya

    Mili menyeruput teh dingin dari dalam botol. Tangannya mengelap keringat yang keluar dari pori-pori keningnya. Dia memandang seluruh isi kantin. Dari satu sudut ke sudut lainnya. Kemudian kembali menikmati menu makan siang yang sebenarnya tidak terasa enak ketika teringat rupa dari bangkai yang dia temukan beberapa jam lalu. Perutnya terasa mual saat secara tidak sadar aroma tidak enak terasa terus menempel di rongga hidungnya.“Hai, Mili.” Suara familiar terdengar di telingnya.Mili mengehela napas malas. “Lo ngapain lagi?”“Saya? Nggak, mau datengin kamu aja. Kamu nggak apa-apa?”Melihat wajah cowok di sampingnya tersebut, semakin membuat Mili tidak nafsu menghabiskan makan siangnya. “Lo punya mata? Bisa lihat kan kalau gue nggak kenapa-kenapa?”Cowok itu membenarkan posisi kaca matanya. “Bukannya kamu tadi nemuin sesuatu ya di bawah meja kamu?”Mili membaca tulisan dalam name

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 10 - Mencari Alasan Pertama

    Jam belajar telah dimulai. Suasana sekolah mulai tenang dan sepi. Lapangan dipenuhi murid dari sebuah kelas yang sedang mengikuti mata pelajaran olahraga.Abdul menendang gelas plastik bekas minuman yang tergeletak di pinggir lapangan. Menuangkan emosi yang masih bergemuruh di dalam dadanya. Dia tidak terima dengan apa yang baru saja ia dengar. Keputusan kepala sekolah mengenai hukuman mereka.Sementara Roni sejak tadi hanya memandang kelas Karina dari kejauhan, lalu bergantian memandang Abdul. Sesekali dia memegang hidungnya yang mulai terasa berdenyut. Pukulan Abdul lumayan juga, pikir Roni.“Roni?” Tiara memenghampiri Roni sambil membawa tumpukan kertas yang dia peluk di dada.Cukup sulit untuk mengeluarkan senyum saat kondisi wajahnya babak belur. Roni menaikan alisnya.Tiara memperhatikan luka Roni serius. Dia tahu kejadian apa yang baru saja terjadi dengan teman sekelasnya itu. “Nggak masuk kelas?”“Gue di

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 9 - Hari-Hari Buruk Itu Datang Lagi

    Semua tampak sama saja. Karina mengamati setiap sudut sekolah. Dia menghindari tatapan-tatapan aneh yang diberikan oleh siswa lain sepanjang koridor menuju kelas. Mengapa kabar bohong itu menyebar cepat? Siapa yang menaruh dendam? Karina menggelengkan kepala, tetap coba berpikir positif. Toh ada Milli yang berada di sampingnya memasang badan.“Lo akhirnya berani masuk juga?” Amanda melipat tangannya di depan dada. Ekspresinya penuh maksud, seulas senyum keluar dari bibirnya yang tebal. “Ya ampun, lo harusnya pakai apa kek, masker, atau semacamnya. Lo mau nularin satu sekolahan?”Karina dan Mili saling pandang. Mili memasukan untaian rambut ke balik telinga. “Apa? Lo ngomong apa barusan?”Amanda menyipitkan mata. “Sebentar, jangan-jangan lo udah tertular juga. Lo kan temen se

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 8 - Cerita Sebenarnya

    Mili mendatangi rumah Karina. Setelah menekan tombol bel, lalu dipersilakan masuk, Mili duduk di sofa ruang tamu. Tubuhnya lemas, suhu tubuhnya tidak stabil. Mili tahu sendiri bahwa kondisi kesehatannya semakin menurun. Seharusnya dia tidak keluar rumah dan beristirahat saja. Namun dia justru lebih merasa tidak sehat kalau harus sendirian di kamar. Karina terkejut melihat kehadiran Mili. “Mil, kamu nggak sekolah?” Mili mengangguk. “Gue boleh nginep di rumah lo malam ini, kan, Kar?” “Ada apa, Mil?” Karina duduk di samping Mili, memegang kening Mili yang terasa hangat. “Mil?” “Gue cuma lagi kurang fit akhir-akhir ini. Lagian, bokap nyokap gue tadi subuh berangkat ke Brunei, ada kerja

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 7 - Hancurnya Persahabatan

    Abdul berlari mengejar Roni yang berjalan cepat menuju kelas. Dia ingin sekali menyelesaikan masalahnya kemarin. Tidak peduli bagaimana Roni marah padanya, yang dia pikirkan hanyalah Karina. Hanya demi Karina. Dia tahu betul, peristiwa di rumah Karina menambah pikiran cewek itu. Padahal jelas, Karina sedang down akibat tulisan yang keluar dari kotak itu. Karina butuh orang yang sangat dia sayangi saat ini dan orang itu salah satunya adalah Roni. Kini masalah yang harus dihadapi Karina bertambah.Abdul dapat melihat tatapan penuh amarah Roni ketika dia berhasil membuat langkah kaki Roni terhenti. Bahu Roni meninggi, kepalanya tegak, matanya lurus menatap Abdul. Melihat tampang Roni, membuat keinginan Abdul kembali mencuat. Keinginan untuk memukul wajah Roni, membalas yang belum terbalas.

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 6 - Rasa Takut

    Selesai dari latihan vokal, Mili dengan terpaksa harus menaiki kendaraan umum karena supir yang biasa mengantarnya izin pulang lebih cepat. Dia menunggu tepat di halaman mini market yang terletak di seberang tempat latihan. Ada rasa tidak enak yang menempel lekat sejak pulang sekolah. Awalnya dia mengabaikan perasaan itu, tetapi semakin dia sadar bahwa dia sedang sendiri, rasa itu semakin menguat. Menimbulkan rasa takut. Mili memperhatikan sekelilingnya yang sepi. Hanya ada satu gerobak bakso dan dua orang laki-laki duduk di sebelah gerobak tersebut. Mobil dan motor tidak henti berlalu-lalang. Pemandangan yang biasa. Tidak ada yang mencurigakan.Setelah memastikan keadaan aman, Mili memutuskan untuk berjalan kaki sambil menunggu taksi kosong. Semakin dia melangkahkan kakinya, rasa aneh itu kembali muncul. Dia membalikan badan, melihat ke kanan dan ke kiri, menatap langit mendung dan batu trotoar yang ditumbuhi rumput liar di sela-selanya. Tidak tahu mengapa dia selal

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 5 - Satu Persatu

    Satu hari berlalu dan semuanya mulai berubah. Entah bagaimana isi dalam kotak cepat sekali menyebar di seantero sekolah. Sudah dua kali Roni tidak sengaja mendengar anak-anak lain yang sedang bergosip tentang ayahnya yang seorang Koruptor saat dia berjalan di sekitar koridor sekolah. Ingin sekali dia berteriak di depan mereka, mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi dengan sang Ayah. Bahkan kalau bisa ingin sekali dia menonjok mulut-mulut yang dengan mudah mengatai dirinya serta keluarganya. Tapi buat apa? Roni berpikir bahwa itu semua hanya akan memperkeruh suasana dan membenarkan gosip tersebut. Bukannya ingin menampik, hanya saja itu semua sudah lewat dan bukan saatnya lagi untuk dibahas.Semuanya sudah sekian tahun berlalu, dan bagi Roni, dia sudah hampir melupakannya bahkan merasa sudah berada di posisi yang aman. Tidak ada lagi yang membicarakan keluarganya, tidak ada lagi yang mengata-ngatai Ayah. Tetapi sekarang, semuanya terulang kembali. Roni merasa tertarik kembal

  • Kotak Itu Berbicara   BAB 4 - Dejavu

    Pikiran Karina berkecamuk. Dia mengambil lilin beraroma lavender dari laci yang berada di seberang rangjang tidur. Kemudian menyalakannya, menaruhnya di atas meja kecil tidak jauh darinya. Detik jam terus berjalan, rasa lelah berkumpul di tubuhnya, namun dia tetap terjaga. Lelah, memikirkan masalah yang baru saja dia hadapi, dan lelah, memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia menarik selimut, menutupi seluruh tubuh. Mencari rasa kantuk yang sebenarnya sejak tadi sudah menghampiri, tetapi matanya tetap saja sulit tertutup. Lagi-lagi Karina memandnag jam dinding untuk menghitung berapa lama dia tetap saja terjaga dan tidak bisa tidur juga.Aroma lavender menyerbak ke seluruh ruang kamar, berhasil membuatnya sedikit relaks dan mulai dapat mengendalikan tubuh untuk tidur. Matanya perlahan menutup dan napasnya teratur.“Hai,” sebuah sapaan membuat Karina kembali membuka mata.Seketika kamarnya berubah menjadi ruangan yang dia kenal. Ruang kelas b

DMCA.com Protection Status