Bab70
"Apa? Kurang ajar. Oke, kamu tenang dulu. Sekarang kamu kirim alamat lengkap, Mas akan kesana hari ini juga," kata Zaki. Membuat Ganesa dan Bryan penasaran.
Zaki nampak emosi dan panik.
"Ada apa, Pa?" tanya Ganesa, ketika sambungan telepon berakhir.
"Gaby di kurung Rasid. Dan yang lebih parahnya lagi, Rasid memperkosa Gaby di depan Mama kamu."
Ganesa tidak terkejut sama sekali, mengingat kejadian di Retro saat itu, Gaby dan Rasid begitu mesra.
"Papa mau ke tempat Mama?" tanya Ganesa lagi.
"Iya." Zaki menyahut, sembari bangkit dari duduk.
"Papa akan langsung terbang ke Kalimantan hari ini."
"Ganesa ikut."
"Saya juga ya, Om."
"Oke." Zaki pun pergi menuju Kalimantan, bersama Ganesa dan Bryan.
Mereka menaiki Zet pribadi milik Zaki.
Zaki terlihat begitu gelisah, dan tidak bisa duduk dengan tenang.
"Papa," panggil Ganesa. Zaki menoleh.
"Tena
Bab71 "Papa," seru Gaby. Rasid turun dari tubuh bugil Gaby dengan cepat. Namun Bryan bergegas masuk dan menarik lelaki itu. Sedangkan Rasid, menutupi tubuh Gaby dengan cepat. "Pakai pakaian kamu," teriak Zaki dengan emosi pada Gaby. Sedangkan Rasid, Zaki dan Bryan pukuli. Mereka memukul membabi buta, sedangkan Gaby hanya bisa menangis, dengan selimut membalut tubuhnya. "Jahanam, kamu bukan lagi manusia," teriak Zaki. "Sudah-sudah hentikan, dia bisa mati," cegah Pak RT, yang tiba-tiba datang ke lantai dua. Mereka pun menghentikan pukulan pada Rasid, yang sudah babak belur. "Andin dan anaknya meninggal," lanjut Pak RT. "Mari kita urus itu dulu." "Apa? Apa yang Pak RT katakan?" tanya Rasid terkejut, meskipun dia begitu tidak berdaya kini. "Mama," pekik Gaby yang mendengar. Dia pun langsung berdiri, dan berlari keluar kamar dengan selimutnya. "Istrimu meninggal bunuh diri, dia juga membunuh anaknya."
Bab72 Gaby tidak bersuara sama sekali, dia merasakan syok berat, dengan kematian Andin dan adik kecilnya. Zaki mengurus semuanya, dan menyewa pengacara, untuk menuntut Rasyid hukuman berat. ******* Di sebuah kontrakkan kecil, Ibu dan anak itu berbincang.Ambar yang baru tahu kabar Rasyid pun sangat terkejut. Ambar merasa senang dan puas, dengan kehancuran hidup Rasyid dan Andin. "Wanita itu bunuh diri, dia pikir akan selamanya bahagia, setelah menghancurkan rumah tanggaku dengan sengaja." Batin Ambar. Sedangkan Naura hanya terdiam. "Kita akan merebut rumah itu," kata Ambar. "Tidak bisa, Ma. Rumah itu sudah Papa gadaikan," sahut Naura. Ambar menoleh ke arah Naura dengan serius. "Kamu tahu dari mana?" tanya Ambar penasaran. "Dari Gaby langsung, sebelum dia dib
Bab73 "Ayo!" ucap Papa lagi. Meskipun dengan perasaan malas, aku pun akhirnya menuruti ucapannya. Aku merasa sangat tidak nyaman, dengan kedekatan Gaby pada Bryan dan keluarganya. Namun apalah daya, aku jelas tidak bisa menghalanginya. Biar bagaimana pun juga, Gaby adalah adikku sendiri. Kami pun menuruni anak tangga, menuju meja makan. Semua masakan lezat telah terhidang. "Ganesa, coba lihat semua masakan ini, ini Gaby loh yang buat. Kamu beruntung banget, punya adik yang cantik, juga pandai membuat makanan lezat. Menantu impian banget ini." Deg .... entah mengapa, hatiku lagi-lagi terasa sakit, mendengar pujian yang Bunda Jelita ucapkan untuk Gaby. Namun aku berusaha untuk tersenyum, mendengar hal itu. "Tante berlebihan. Inikan juga karena kalian ikut membantu," sahut Gaby. "Duh, kamu manis banget sih," kata Bunda Jelita lagi, seakan melihat Gaby, dengan penuh kekaguman. Hatiku meringis menahan sak
Bab74 "Yan, kamu kasihakan makanan ini ke Gaby, ya!" pinta Bunda Jelita. "Apa ini?" tanya Bryan, sembari meraih, tupperware yang berisikan bekal makan siang. "Makan siang untuk Gaby." "Bun, tolonglah jangan begini, nggak enak sama Ganesa." "Loh kenapa? Gaby itu adeknya, bukan orang lain. Bunda cuma suka sama Gaby, karena anaknya manis, ramah dan juga baik." "Iya tau, tapi hargai perasaan Ganesa, Bun. Dia itu calon istriku, bukan Gaby." "Jodoh kita nggak ada yang tau, Yan. Sudahlah, cepat antar ini ke kantor Pak Zaki." "Sepagi ini?" Bryan melongo. "Aku juga harus ke kantorku, Bun." "Ya sekalian, Yan. Udah ah, bawel banget. Kirim ini, Bunda nggak mau tau," tegas Bunda Jelita, sembari meninggalkan Bryan yang serba-salah. Biar bagaimana pun juga, Bryan jelas mulai menyadari, bahwa Ganesa kini sangat jauh berubah. Dia terlihat begitu sering menghindari Bryan. Bukan cuma itu, Ganesa tidak begitu
Bab75 Dadaku berdebar tidak karuan, menunggu acara pertunanganku dan Bryan secara resmi. Yang akan diadakan sebentar lagi. Akhir-akhir ini, aku merasakan hal berbeda dari Gaby. Dia selalu nampak terlihat murung dan banyak diam. Mungkin bisa saja, dia lagi banyak masalah. Akan tetapi, aku tidak berminat untuk bertanya. Sebab bagaimana pun juga, aku masih kecewa dengan kelakuan Gaby dan Rasid. Terlebih karena Gaby, Mama memilih bunuh diri bersama anaknya. Aku menghela napas, mencoba mengikhlaskan semua yang terjadi, meskipun sulit untukku lakukan. ******** Dengan semangat, aku menuju apartemen Bryan, karena rasanya tidak kuat lama-lama menahan rindu. Kemarin Bryan sudah datang dari luar kota. Setelah seminggu tidak bertemu, hati ini semakin mengebu-gebu, karena dikuasi rindu. Aku menuju apartemennya, dengan niat memberikan keju
Bab76 "Bunda ...." Gaby kembali terisak pilu, sembari memeluk erat Bunda Jelita. Aku terhenyak, menatap semua itu. Jangan ditanya, bagaimana hatiku kini, selain sakit, aku merasakan impianku hancur melebur di pelupuk mata. "Bunda akan telepon Papa kalian, biar dia yang memutuskan." "Apa maksud Bunda melakukan semua ini?" tanya Bryan dengan tatapan serius. "Ayo Gaby, kita keluar," seru Bunda Jelita, mengabaikan pertanyaan Bryan. Gaby menuruti ucapan Bunda Jelita, dan melilitkan selimut ke tubuhnya. Bunda Jelita membantu memapah Gaby. "Cepat kenakan pakaianmu! Ini masalah serius," titah Bunda Jelita pada Bryan, sebelum mereka benar-benar keluar dari kamar. Bunda Jelita keluar begitu saja bersama Gaby, melewatiku, seolah aku tidak ada di hadapan mereka. Begitu juga Gaby, benar-benar berbeda sekali sikapnya di rumah dan di tempat ini. Bryan mengusap rambutnya dengan kasar, lelakiku itu namp
Bab77 "Tunggu! Apa maksud kamu, Ganesa?" tanya Bunda Jelita. "Bunda, lihat sendiri kelakuan Kakak, dia bisa sekasar itu padaku!" Lagi-lagi Gaby terisak, seolah-olah, akulah yang paling kejam di sini. "Ganesa, tenang dulu, Nak!" pinta Papa dengan lembut. "Tenang? Bagaimana aku bisa tenang? Dari tadi, kalian hanya membahas Gaby, dan menuntut pertanggung jawaban Bryan. Mengapa kalian begitu egois? Tidak mendengarkan penjelasan Bryan sama sekali. Dan, hanya percaya pada Gaby." "Ganesa, Gaby ini adik kamu! Mana mungkin dia membohongi kita semua dalam hal ini, itu sama saja, menghancurkan martabat keluarga. Biar bagaimana pun juga, ini kesalahan anak Bunda, jadi wajar, Bunda memaksa Bryan tanggung jawab." "Baiklah, kita tidak perlu berdebat lagi." Aku melepaskan cincin dari Bryan. "Ini, aku kembalikan." Aku meletakkan cincin itu di atas meja. "Dan mulai hari ini, kita lupakan tentang impian manis kita, dan lupakan tentang pertunangan
Bab78 "Papa sudah tahu." Kini Papa menyahut. Gaby menoleh ke arah Papa. "Maaf," lirihnya. "Oh, oke. Aku mengerti," kataku. "Jangan salah paham dulu," sahut Papa. Aku menatap Papa. "Tenang, aku tidak perlu salah paham." "Ganesa. Asal kamu tahu, Papa tidak pernah ingkar janji. Seperti yang pernah kamu pinta dari awal. Bahwa seluruh aset kekayaan Papa, itu hak milik kamu. Dan, termasuk rumah, beserta perusahaan. Maka dari itu, Papa sengaja membiarkan Gaby, mengambil uang sekecil itu. Selama jumlahnya hanya 10 juta. Itu, tidak akan membuat Papa bangkrut. Tapi Gaby, tidak akan mendapat apa-apa." "Apa? Papa nggak adil." Gaby berteriak terkejut. "Itu adil. Kamu memilih hidup dengan Mama, dan membiarkan Ganesa berjuang hidup sendiri. Ini harga yang cukup adil untuk Papa bayar. Kamu bisa kuliah dan hidup mewah. Sedangkan Ganesa? Sudahlah, Papa bisa menilai kalian berdua. Kamu egois, itu mewarisi sikap Mama kamu. Yang Papa nggak