Bab73
"Ayo!" ucap Papa lagi. Meskipun dengan perasaan malas, aku pun akhirnya menuruti ucapannya.
Aku merasa sangat tidak nyaman, dengan kedekatan Gaby pada Bryan dan keluarganya.
Namun apalah daya, aku jelas tidak bisa menghalanginya. Biar bagaimana pun juga, Gaby adalah adikku sendiri.
Kami pun menuruni anak tangga, menuju meja makan. Semua masakan lezat telah terhidang.
"Ganesa, coba lihat semua masakan ini, ini Gaby loh yang buat. Kamu beruntung banget, punya adik yang cantik, juga pandai membuat makanan lezat. Menantu impian banget ini."
Deg .... entah mengapa, hatiku lagi-lagi terasa sakit, mendengar pujian yang Bunda Jelita ucapkan untuk Gaby.
Namun aku berusaha untuk tersenyum, mendengar hal itu.
"Tante berlebihan. Inikan juga karena kalian ikut membantu," sahut Gaby.
"Duh, kamu manis banget sih," kata Bunda Jelita lagi, seakan melihat Gaby, dengan penuh kekaguman. Hatiku meringis menahan sak
Bab74 "Yan, kamu kasihakan makanan ini ke Gaby, ya!" pinta Bunda Jelita. "Apa ini?" tanya Bryan, sembari meraih, tupperware yang berisikan bekal makan siang. "Makan siang untuk Gaby." "Bun, tolonglah jangan begini, nggak enak sama Ganesa." "Loh kenapa? Gaby itu adeknya, bukan orang lain. Bunda cuma suka sama Gaby, karena anaknya manis, ramah dan juga baik." "Iya tau, tapi hargai perasaan Ganesa, Bun. Dia itu calon istriku, bukan Gaby." "Jodoh kita nggak ada yang tau, Yan. Sudahlah, cepat antar ini ke kantor Pak Zaki." "Sepagi ini?" Bryan melongo. "Aku juga harus ke kantorku, Bun." "Ya sekalian, Yan. Udah ah, bawel banget. Kirim ini, Bunda nggak mau tau," tegas Bunda Jelita, sembari meninggalkan Bryan yang serba-salah. Biar bagaimana pun juga, Bryan jelas mulai menyadari, bahwa Ganesa kini sangat jauh berubah. Dia terlihat begitu sering menghindari Bryan. Bukan cuma itu, Ganesa tidak begitu
Bab75 Dadaku berdebar tidak karuan, menunggu acara pertunanganku dan Bryan secara resmi. Yang akan diadakan sebentar lagi. Akhir-akhir ini, aku merasakan hal berbeda dari Gaby. Dia selalu nampak terlihat murung dan banyak diam. Mungkin bisa saja, dia lagi banyak masalah. Akan tetapi, aku tidak berminat untuk bertanya. Sebab bagaimana pun juga, aku masih kecewa dengan kelakuan Gaby dan Rasid. Terlebih karena Gaby, Mama memilih bunuh diri bersama anaknya. Aku menghela napas, mencoba mengikhlaskan semua yang terjadi, meskipun sulit untukku lakukan. ******** Dengan semangat, aku menuju apartemen Bryan, karena rasanya tidak kuat lama-lama menahan rindu. Kemarin Bryan sudah datang dari luar kota. Setelah seminggu tidak bertemu, hati ini semakin mengebu-gebu, karena dikuasi rindu. Aku menuju apartemennya, dengan niat memberikan keju
Bab76 "Bunda ...." Gaby kembali terisak pilu, sembari memeluk erat Bunda Jelita. Aku terhenyak, menatap semua itu. Jangan ditanya, bagaimana hatiku kini, selain sakit, aku merasakan impianku hancur melebur di pelupuk mata. "Bunda akan telepon Papa kalian, biar dia yang memutuskan." "Apa maksud Bunda melakukan semua ini?" tanya Bryan dengan tatapan serius. "Ayo Gaby, kita keluar," seru Bunda Jelita, mengabaikan pertanyaan Bryan. Gaby menuruti ucapan Bunda Jelita, dan melilitkan selimut ke tubuhnya. Bunda Jelita membantu memapah Gaby. "Cepat kenakan pakaianmu! Ini masalah serius," titah Bunda Jelita pada Bryan, sebelum mereka benar-benar keluar dari kamar. Bunda Jelita keluar begitu saja bersama Gaby, melewatiku, seolah aku tidak ada di hadapan mereka. Begitu juga Gaby, benar-benar berbeda sekali sikapnya di rumah dan di tempat ini. Bryan mengusap rambutnya dengan kasar, lelakiku itu namp
Bab77 "Tunggu! Apa maksud kamu, Ganesa?" tanya Bunda Jelita. "Bunda, lihat sendiri kelakuan Kakak, dia bisa sekasar itu padaku!" Lagi-lagi Gaby terisak, seolah-olah, akulah yang paling kejam di sini. "Ganesa, tenang dulu, Nak!" pinta Papa dengan lembut. "Tenang? Bagaimana aku bisa tenang? Dari tadi, kalian hanya membahas Gaby, dan menuntut pertanggung jawaban Bryan. Mengapa kalian begitu egois? Tidak mendengarkan penjelasan Bryan sama sekali. Dan, hanya percaya pada Gaby." "Ganesa, Gaby ini adik kamu! Mana mungkin dia membohongi kita semua dalam hal ini, itu sama saja, menghancurkan martabat keluarga. Biar bagaimana pun juga, ini kesalahan anak Bunda, jadi wajar, Bunda memaksa Bryan tanggung jawab." "Baiklah, kita tidak perlu berdebat lagi." Aku melepaskan cincin dari Bryan. "Ini, aku kembalikan." Aku meletakkan cincin itu di atas meja. "Dan mulai hari ini, kita lupakan tentang impian manis kita, dan lupakan tentang pertunangan
Bab78 "Papa sudah tahu." Kini Papa menyahut. Gaby menoleh ke arah Papa. "Maaf," lirihnya. "Oh, oke. Aku mengerti," kataku. "Jangan salah paham dulu," sahut Papa. Aku menatap Papa. "Tenang, aku tidak perlu salah paham." "Ganesa. Asal kamu tahu, Papa tidak pernah ingkar janji. Seperti yang pernah kamu pinta dari awal. Bahwa seluruh aset kekayaan Papa, itu hak milik kamu. Dan, termasuk rumah, beserta perusahaan. Maka dari itu, Papa sengaja membiarkan Gaby, mengambil uang sekecil itu. Selama jumlahnya hanya 10 juta. Itu, tidak akan membuat Papa bangkrut. Tapi Gaby, tidak akan mendapat apa-apa." "Apa? Papa nggak adil." Gaby berteriak terkejut. "Itu adil. Kamu memilih hidup dengan Mama, dan membiarkan Ganesa berjuang hidup sendiri. Ini harga yang cukup adil untuk Papa bayar. Kamu bisa kuliah dan hidup mewah. Sedangkan Ganesa? Sudahlah, Papa bisa menilai kalian berdua. Kamu egois, itu mewarisi sikap Mama kamu. Yang Papa nggak
Bab79 "Kamu yakin, ingin mengakhiri hubungan kamu dan Bryan?" tanya Papa, saat kami menuju pulang ke rumah. Mungkin saja, Papa merasakan kegundahan hati ini. Sedari tadi, aku memang hanya terdiam, menatap kosong ke depan jalan raya. Entah tatapanku di depan, tapi pikiranku melayang jauh. "Ganesa," panggil Papa, membuatku sedikit terkejut, dan sadar dari lamunanku, yang tidak bermanfaat sama sekali. Bahkan, hanya menjadi luka yang semakin dalam di hati ini. Bayangan wajah Bryan, tidak bisa begitu saja menghilang di pikiranku. Ini jelas bukan hal mudah, seperti ucapanku tadi. Aku hanya berusaha meyakinkan diri, bahwa semua akan baik-baik saja. "Iya, Pa." Aku menyahut kali ini, meskipun tidak sepenuhnya fokus. "Apa kamu baik-baik saja?" Aku menghela napas, entah pertanyaan macam apa, yang kini Papa tanyakan padaku, orang yang baru saj
Bab80"Gaby ...." Terdengar suara Papa di kejauhan, aku menoleh ke arahnya.Papa berlari, dengan wajah yang nampak panik, karena melihat darah yang lumayan banyak di lantai."Ganesa, kamu apakan adik kamu?" bentak Papa. Aku tidak menjawab sama sekali, aku bingung, pikiranku mendadak kosong.Dan mulut ini, seakan tertutup rapat, aku tidak bisa bersuara lagi. Yang ada dalam pikiran ini, aku jahat dan keterlaluan.Karena tidak mendapat jawaban dariku, yang hanya diam mematung tanpa suara. Papa pun berusaha mengangkat tubuh Gaby, yang ternyata adik kembarku itu telah pingsan.Apa yang aku lakukan padanya? Mengapa aku setega ini? Pikirku.Papa membawa tubuh yang sudah tidak sadarkan diri itu menuruni tangga. Sedangkan aku, masih terpaku layaknya orang bodoh.Menatap kosong pada darah yang masih berada di lantai, tepat di depan kini aku berdiri."Nona ...." suara Bi Sum menyadarkanku."Apa yang terjadi?" Beliau be
Bab81Aku tidak kuasa lagi menahan diri, aku semakin marah, juga kecewa pada Gaby. Mengapa Bik Sum yang menjadi kawan curhatnya, bukan aku, kakaknya sendiri.Aku menyeka kasar air mata, aku berlari kencang meninggalkan Bik Sum yang masih tergugu. Entah apa maksud wanita itu, mengatakan hal ini.Mungkin dia sudah sangat tidak nyaman, melihat sikap dinginku pada Gaby selama ini. Ya, aku memang bersikap acuh tak acuh pada adikku itu. Selain di karenakan kecewa, bayangan perbuatan bejatnya dan suami Mama saat itu, masih menjadi kebencianku.Aku hanya mengira, Gaby tergiur dengan harta. Itulah sebabnya, dia tega menggoda suami Mama, itu alasanku tidak menyukai Gaby ada di rumah Papa.Akan tetapi hari ini, aku merasakan duniaku runtuh dengan perbuatannya. Aku akan meminta alasan yang jelas pada Gaby, mengapa dia melakukan semua ini.Aku mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi,