Bab76
"Bunda ...." Gaby kembali terisak pilu, sembari memeluk erat Bunda Jelita.
Aku terhenyak, menatap semua itu. Jangan ditanya, bagaimana hatiku kini, selain sakit, aku merasakan impianku hancur melebur di pelupuk mata.
"Bunda akan telepon Papa kalian, biar dia yang memutuskan."
"Apa maksud Bunda melakukan semua ini?" tanya Bryan dengan tatapan serius.
"Ayo Gaby, kita keluar," seru Bunda Jelita, mengabaikan pertanyaan Bryan. Gaby menuruti ucapan Bunda Jelita, dan melilitkan selimut ke tubuhnya.
Bunda Jelita membantu memapah Gaby.
"Cepat kenakan pakaianmu! Ini masalah serius," titah Bunda Jelita pada Bryan, sebelum mereka benar-benar keluar dari kamar.
Bunda Jelita keluar begitu saja bersama Gaby, melewatiku, seolah aku tidak ada di hadapan mereka.
Begitu juga Gaby, benar-benar berbeda sekali sikapnya di rumah dan di tempat ini.
Bryan mengusap rambutnya dengan kasar, lelakiku itu namp
Bab77 "Tunggu! Apa maksud kamu, Ganesa?" tanya Bunda Jelita. "Bunda, lihat sendiri kelakuan Kakak, dia bisa sekasar itu padaku!" Lagi-lagi Gaby terisak, seolah-olah, akulah yang paling kejam di sini. "Ganesa, tenang dulu, Nak!" pinta Papa dengan lembut. "Tenang? Bagaimana aku bisa tenang? Dari tadi, kalian hanya membahas Gaby, dan menuntut pertanggung jawaban Bryan. Mengapa kalian begitu egois? Tidak mendengarkan penjelasan Bryan sama sekali. Dan, hanya percaya pada Gaby." "Ganesa, Gaby ini adik kamu! Mana mungkin dia membohongi kita semua dalam hal ini, itu sama saja, menghancurkan martabat keluarga. Biar bagaimana pun juga, ini kesalahan anak Bunda, jadi wajar, Bunda memaksa Bryan tanggung jawab." "Baiklah, kita tidak perlu berdebat lagi." Aku melepaskan cincin dari Bryan. "Ini, aku kembalikan." Aku meletakkan cincin itu di atas meja. "Dan mulai hari ini, kita lupakan tentang impian manis kita, dan lupakan tentang pertunangan
Bab78 "Papa sudah tahu." Kini Papa menyahut. Gaby menoleh ke arah Papa. "Maaf," lirihnya. "Oh, oke. Aku mengerti," kataku. "Jangan salah paham dulu," sahut Papa. Aku menatap Papa. "Tenang, aku tidak perlu salah paham." "Ganesa. Asal kamu tahu, Papa tidak pernah ingkar janji. Seperti yang pernah kamu pinta dari awal. Bahwa seluruh aset kekayaan Papa, itu hak milik kamu. Dan, termasuk rumah, beserta perusahaan. Maka dari itu, Papa sengaja membiarkan Gaby, mengambil uang sekecil itu. Selama jumlahnya hanya 10 juta. Itu, tidak akan membuat Papa bangkrut. Tapi Gaby, tidak akan mendapat apa-apa." "Apa? Papa nggak adil." Gaby berteriak terkejut. "Itu adil. Kamu memilih hidup dengan Mama, dan membiarkan Ganesa berjuang hidup sendiri. Ini harga yang cukup adil untuk Papa bayar. Kamu bisa kuliah dan hidup mewah. Sedangkan Ganesa? Sudahlah, Papa bisa menilai kalian berdua. Kamu egois, itu mewarisi sikap Mama kamu. Yang Papa nggak
Bab79 "Kamu yakin, ingin mengakhiri hubungan kamu dan Bryan?" tanya Papa, saat kami menuju pulang ke rumah. Mungkin saja, Papa merasakan kegundahan hati ini. Sedari tadi, aku memang hanya terdiam, menatap kosong ke depan jalan raya. Entah tatapanku di depan, tapi pikiranku melayang jauh. "Ganesa," panggil Papa, membuatku sedikit terkejut, dan sadar dari lamunanku, yang tidak bermanfaat sama sekali. Bahkan, hanya menjadi luka yang semakin dalam di hati ini. Bayangan wajah Bryan, tidak bisa begitu saja menghilang di pikiranku. Ini jelas bukan hal mudah, seperti ucapanku tadi. Aku hanya berusaha meyakinkan diri, bahwa semua akan baik-baik saja. "Iya, Pa." Aku menyahut kali ini, meskipun tidak sepenuhnya fokus. "Apa kamu baik-baik saja?" Aku menghela napas, entah pertanyaan macam apa, yang kini Papa tanyakan padaku, orang yang baru saj
Bab80"Gaby ...." Terdengar suara Papa di kejauhan, aku menoleh ke arahnya.Papa berlari, dengan wajah yang nampak panik, karena melihat darah yang lumayan banyak di lantai."Ganesa, kamu apakan adik kamu?" bentak Papa. Aku tidak menjawab sama sekali, aku bingung, pikiranku mendadak kosong.Dan mulut ini, seakan tertutup rapat, aku tidak bisa bersuara lagi. Yang ada dalam pikiran ini, aku jahat dan keterlaluan.Karena tidak mendapat jawaban dariku, yang hanya diam mematung tanpa suara. Papa pun berusaha mengangkat tubuh Gaby, yang ternyata adik kembarku itu telah pingsan.Apa yang aku lakukan padanya? Mengapa aku setega ini? Pikirku.Papa membawa tubuh yang sudah tidak sadarkan diri itu menuruni tangga. Sedangkan aku, masih terpaku layaknya orang bodoh.Menatap kosong pada darah yang masih berada di lantai, tepat di depan kini aku berdiri."Nona ...." suara Bi Sum menyadarkanku."Apa yang terjadi?" Beliau be
Bab81Aku tidak kuasa lagi menahan diri, aku semakin marah, juga kecewa pada Gaby. Mengapa Bik Sum yang menjadi kawan curhatnya, bukan aku, kakaknya sendiri.Aku menyeka kasar air mata, aku berlari kencang meninggalkan Bik Sum yang masih tergugu. Entah apa maksud wanita itu, mengatakan hal ini.Mungkin dia sudah sangat tidak nyaman, melihat sikap dinginku pada Gaby selama ini. Ya, aku memang bersikap acuh tak acuh pada adikku itu. Selain di karenakan kecewa, bayangan perbuatan bejatnya dan suami Mama saat itu, masih menjadi kebencianku.Aku hanya mengira, Gaby tergiur dengan harta. Itulah sebabnya, dia tega menggoda suami Mama, itu alasanku tidak menyukai Gaby ada di rumah Papa.Akan tetapi hari ini, aku merasakan duniaku runtuh dengan perbuatannya. Aku akan meminta alasan yang jelas pada Gaby, mengapa dia melakukan semua ini.Aku mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi,
Bab82Kehidupan di rumah semakin dingin dan tidak nyaman. Aku bahkan tidak lagi makan bersama Papa dan Gaby.Dan Papa maupun Gaby, tidak perduli denganku sama sekali. Bagi mereka, mungkin aku tidak pernah ada di rumah ini.Aku tidak ingin merusak mental dan diri ini. Biar bagaimana pun juga, aku harus kuat dan bertahan. Setelah pendidikanku selesai, aku akan pergi meninggalkan Papa dan Gaby.Aku tidak akan gegabah dalam hal ini, biar bagaimana pun juga, masa lalu adalah hal yang membuatku kuat menjalani semua ini.Demi masa depan, aku pun merelakan mengikuti kemauan Papa, yang menginginkan aku keluar Negeri.Dengan perasaan yang setiap hari menahan luka, aku terus mensugesti diri ini, memberi semangat. Bahwa aku, akan baik-baik saja.Andai saja ada Bryan, ingin sekali aku menceritakan segalanya. Tapi semenjak kejadian itu, dia bahkan tidak pernah berusaha menghubungiku sama sekali."Selamat ya, Non. Semoga Pak Bryan, bisa
Bab83"Mengapa takdirku begini?" teriakku di depan cermin. Aku meraih segala yang tersusun rapi di atas meja rias.Aku melemparkannya ke sembarang arah, dan juga ke arah cermin besar di depanku.Pecahan kacanya menggema di dalam kamar, diikuti dengan ketukan keras di pintu kamar yang aku abaikan."Jahat, tidak adil, kalian kejam," raungku. Oh Tuhan, aku ini bukanlah malaikat, aku hanya mahlukmu yang teramat lemah dan rapuh."Sungguh, aku benar-benar tidak mengerti lagi dengan rencanamu pada hidupku. Semua teramat sakit, aku tidak merasa kuat dalam hal ini," keluhku pada Tuhan.Orang bilang, akan ada pelangi setelah hujan. Tapi mengapa, hujan di hidupku seperti sepanjang tahun lamanya.Bukan cuma kehampaan yang selama ini terpatri di hatiku, juga kekecewaan. Kupikir, semua itu telah hilang dan selesai, nyatanya kini, semua kembali seolah menjadi awal.Ya, awal kehancuran dalam hidupku lagi. Takdir memperolok harapanku, yan
Bab84"Astagfirullah," lirih Papa.Aku tetap menangis, meluapkan rasa sakit, hingga membuatku sangat lelah dan teramat lelah.Entah apa yang terjadi, aku tidak ingat apa-apa lagi. Saat aku membuka mata, yang pertama kulihat hanyalah ruangan yang tidak begitu terang dan asing."Non ...." Suara Bik Sum di samping. Aku menoleh dengannya perlahan, meski rasa berat di kepala, masih begitu terasa.Aku menyisir ke sekeliling. Tanganku kini terpasang infus, dan aku baru sadar, kini aku terbaring di rumah sakit.Tanganku banyak mendapatkan perban, dengan kondisi tubuh yang terasa semua sangat sakit.Tidak ada Papa, juga Gaby di kamar ini. Hanya ada Bik Sum, yang menatapku begitu sedih."Papa dan Gaby mana?" tanyaku memberanikan diri.Bik Sum menangis, membuatku mendadak kuatir."Bik, jawab!" kejarku tidak sabar. Melihat raut wajah bibi yang seperti tadi, membuatku semakin merasa tidak nyaman hati."Non, Bibi m