Bab72
Gaby tidak bersuara sama sekali, dia merasakan syok berat, dengan kematian Andin dan adik kecilnya.
Zaki mengurus semuanya, dan menyewa pengacara, untuk menuntut Rasyid hukuman berat.
*******
Di sebuah kontrakkan kecil, Ibu dan anak itu berbincang.
Ambar yang baru tahu kabar Rasyid pun sangat terkejut.Ambar merasa senang dan puas, dengan kehancuran hidup Rasyid dan Andin.
"Wanita itu bunuh diri, dia pikir akan selamanya bahagia, setelah menghancurkan rumah tanggaku dengan sengaja." Batin Ambar.
Sedangkan Naura hanya terdiam.
"Kita akan merebut rumah itu," kata Ambar.
"Tidak bisa, Ma. Rumah itu sudah Papa gadaikan," sahut Naura.
Ambar menoleh ke arah Naura dengan serius.
"Kamu tahu dari mana?" tanya Ambar penasaran.
"Dari Gaby langsung, sebelum dia dib
Bab73 "Ayo!" ucap Papa lagi. Meskipun dengan perasaan malas, aku pun akhirnya menuruti ucapannya. Aku merasa sangat tidak nyaman, dengan kedekatan Gaby pada Bryan dan keluarganya. Namun apalah daya, aku jelas tidak bisa menghalanginya. Biar bagaimana pun juga, Gaby adalah adikku sendiri. Kami pun menuruni anak tangga, menuju meja makan. Semua masakan lezat telah terhidang. "Ganesa, coba lihat semua masakan ini, ini Gaby loh yang buat. Kamu beruntung banget, punya adik yang cantik, juga pandai membuat makanan lezat. Menantu impian banget ini." Deg .... entah mengapa, hatiku lagi-lagi terasa sakit, mendengar pujian yang Bunda Jelita ucapkan untuk Gaby. Namun aku berusaha untuk tersenyum, mendengar hal itu. "Tante berlebihan. Inikan juga karena kalian ikut membantu," sahut Gaby. "Duh, kamu manis banget sih," kata Bunda Jelita lagi, seakan melihat Gaby, dengan penuh kekaguman. Hatiku meringis menahan sak
Bab74 "Yan, kamu kasihakan makanan ini ke Gaby, ya!" pinta Bunda Jelita. "Apa ini?" tanya Bryan, sembari meraih, tupperware yang berisikan bekal makan siang. "Makan siang untuk Gaby." "Bun, tolonglah jangan begini, nggak enak sama Ganesa." "Loh kenapa? Gaby itu adeknya, bukan orang lain. Bunda cuma suka sama Gaby, karena anaknya manis, ramah dan juga baik." "Iya tau, tapi hargai perasaan Ganesa, Bun. Dia itu calon istriku, bukan Gaby." "Jodoh kita nggak ada yang tau, Yan. Sudahlah, cepat antar ini ke kantor Pak Zaki." "Sepagi ini?" Bryan melongo. "Aku juga harus ke kantorku, Bun." "Ya sekalian, Yan. Udah ah, bawel banget. Kirim ini, Bunda nggak mau tau," tegas Bunda Jelita, sembari meninggalkan Bryan yang serba-salah. Biar bagaimana pun juga, Bryan jelas mulai menyadari, bahwa Ganesa kini sangat jauh berubah. Dia terlihat begitu sering menghindari Bryan. Bukan cuma itu, Ganesa tidak begitu
Bab75 Dadaku berdebar tidak karuan, menunggu acara pertunanganku dan Bryan secara resmi. Yang akan diadakan sebentar lagi. Akhir-akhir ini, aku merasakan hal berbeda dari Gaby. Dia selalu nampak terlihat murung dan banyak diam. Mungkin bisa saja, dia lagi banyak masalah. Akan tetapi, aku tidak berminat untuk bertanya. Sebab bagaimana pun juga, aku masih kecewa dengan kelakuan Gaby dan Rasid. Terlebih karena Gaby, Mama memilih bunuh diri bersama anaknya. Aku menghela napas, mencoba mengikhlaskan semua yang terjadi, meskipun sulit untukku lakukan. ******** Dengan semangat, aku menuju apartemen Bryan, karena rasanya tidak kuat lama-lama menahan rindu. Kemarin Bryan sudah datang dari luar kota. Setelah seminggu tidak bertemu, hati ini semakin mengebu-gebu, karena dikuasi rindu. Aku menuju apartemennya, dengan niat memberikan keju
Bab76 "Bunda ...." Gaby kembali terisak pilu, sembari memeluk erat Bunda Jelita. Aku terhenyak, menatap semua itu. Jangan ditanya, bagaimana hatiku kini, selain sakit, aku merasakan impianku hancur melebur di pelupuk mata. "Bunda akan telepon Papa kalian, biar dia yang memutuskan." "Apa maksud Bunda melakukan semua ini?" tanya Bryan dengan tatapan serius. "Ayo Gaby, kita keluar," seru Bunda Jelita, mengabaikan pertanyaan Bryan. Gaby menuruti ucapan Bunda Jelita, dan melilitkan selimut ke tubuhnya. Bunda Jelita membantu memapah Gaby. "Cepat kenakan pakaianmu! Ini masalah serius," titah Bunda Jelita pada Bryan, sebelum mereka benar-benar keluar dari kamar. Bunda Jelita keluar begitu saja bersama Gaby, melewatiku, seolah aku tidak ada di hadapan mereka. Begitu juga Gaby, benar-benar berbeda sekali sikapnya di rumah dan di tempat ini. Bryan mengusap rambutnya dengan kasar, lelakiku itu namp
Bab77 "Tunggu! Apa maksud kamu, Ganesa?" tanya Bunda Jelita. "Bunda, lihat sendiri kelakuan Kakak, dia bisa sekasar itu padaku!" Lagi-lagi Gaby terisak, seolah-olah, akulah yang paling kejam di sini. "Ganesa, tenang dulu, Nak!" pinta Papa dengan lembut. "Tenang? Bagaimana aku bisa tenang? Dari tadi, kalian hanya membahas Gaby, dan menuntut pertanggung jawaban Bryan. Mengapa kalian begitu egois? Tidak mendengarkan penjelasan Bryan sama sekali. Dan, hanya percaya pada Gaby." "Ganesa, Gaby ini adik kamu! Mana mungkin dia membohongi kita semua dalam hal ini, itu sama saja, menghancurkan martabat keluarga. Biar bagaimana pun juga, ini kesalahan anak Bunda, jadi wajar, Bunda memaksa Bryan tanggung jawab." "Baiklah, kita tidak perlu berdebat lagi." Aku melepaskan cincin dari Bryan. "Ini, aku kembalikan." Aku meletakkan cincin itu di atas meja. "Dan mulai hari ini, kita lupakan tentang impian manis kita, dan lupakan tentang pertunangan
Bab78 "Papa sudah tahu." Kini Papa menyahut. Gaby menoleh ke arah Papa. "Maaf," lirihnya. "Oh, oke. Aku mengerti," kataku. "Jangan salah paham dulu," sahut Papa. Aku menatap Papa. "Tenang, aku tidak perlu salah paham." "Ganesa. Asal kamu tahu, Papa tidak pernah ingkar janji. Seperti yang pernah kamu pinta dari awal. Bahwa seluruh aset kekayaan Papa, itu hak milik kamu. Dan, termasuk rumah, beserta perusahaan. Maka dari itu, Papa sengaja membiarkan Gaby, mengambil uang sekecil itu. Selama jumlahnya hanya 10 juta. Itu, tidak akan membuat Papa bangkrut. Tapi Gaby, tidak akan mendapat apa-apa." "Apa? Papa nggak adil." Gaby berteriak terkejut. "Itu adil. Kamu memilih hidup dengan Mama, dan membiarkan Ganesa berjuang hidup sendiri. Ini harga yang cukup adil untuk Papa bayar. Kamu bisa kuliah dan hidup mewah. Sedangkan Ganesa? Sudahlah, Papa bisa menilai kalian berdua. Kamu egois, itu mewarisi sikap Mama kamu. Yang Papa nggak
Bab79 "Kamu yakin, ingin mengakhiri hubungan kamu dan Bryan?" tanya Papa, saat kami menuju pulang ke rumah. Mungkin saja, Papa merasakan kegundahan hati ini. Sedari tadi, aku memang hanya terdiam, menatap kosong ke depan jalan raya. Entah tatapanku di depan, tapi pikiranku melayang jauh. "Ganesa," panggil Papa, membuatku sedikit terkejut, dan sadar dari lamunanku, yang tidak bermanfaat sama sekali. Bahkan, hanya menjadi luka yang semakin dalam di hati ini. Bayangan wajah Bryan, tidak bisa begitu saja menghilang di pikiranku. Ini jelas bukan hal mudah, seperti ucapanku tadi. Aku hanya berusaha meyakinkan diri, bahwa semua akan baik-baik saja. "Iya, Pa." Aku menyahut kali ini, meskipun tidak sepenuhnya fokus. "Apa kamu baik-baik saja?" Aku menghela napas, entah pertanyaan macam apa, yang kini Papa tanyakan padaku, orang yang baru saj
Bab80"Gaby ...." Terdengar suara Papa di kejauhan, aku menoleh ke arahnya.Papa berlari, dengan wajah yang nampak panik, karena melihat darah yang lumayan banyak di lantai."Ganesa, kamu apakan adik kamu?" bentak Papa. Aku tidak menjawab sama sekali, aku bingung, pikiranku mendadak kosong.Dan mulut ini, seakan tertutup rapat, aku tidak bisa bersuara lagi. Yang ada dalam pikiran ini, aku jahat dan keterlaluan.Karena tidak mendapat jawaban dariku, yang hanya diam mematung tanpa suara. Papa pun berusaha mengangkat tubuh Gaby, yang ternyata adik kembarku itu telah pingsan.Apa yang aku lakukan padanya? Mengapa aku setega ini? Pikirku.Papa membawa tubuh yang sudah tidak sadarkan diri itu menuruni tangga. Sedangkan aku, masih terpaku layaknya orang bodoh.Menatap kosong pada darah yang masih berada di lantai, tepat di depan kini aku berdiri."Nona ...." suara Bi Sum menyadarkanku."Apa yang terjadi?" Beliau be
Bab145"Mamah Helena mohon! Helena janji akan jadi anak yang baik untuk Mamah dan Papah. Helena juga akan menuruti, apapun kemauan kalian," kata Helena memohon pada Ganesa.Ganesa terdiam, terpaku mendengarkan tangisan pertama anak gadisnya."Ganesa, bukannya maksud Mamah ingin ikut campur. Tapi tolong kamu pikirkan lagi, demi anak kalian. Beri Najib kesempatan sekali lagi, jika dia berulah kembali, maka apapun yang terjadi, Mamah akan dukung kamu 100 persen, Nak.""Iya Ganesa, bukannya kakak tidak mengerti perasaan kamu. Kakak ngerti banget. Tapi tidak ada salahnya, jika kamu pikirkan lagi."Terdengar langkah kaki pelan seseorang, berjalan ke arah mereka. Najib, memandang sayu ke arah mereka bertiga."Ganesa," panggil Najib. Ganesa pun tidak menoleh ke arah lelaki itu, dia hanya terdiam, dengan pikirannya yang terus berperang dengan hati.
Bab144 "Jadi ini, laki-laki yang menjadi selingkuhan kamu? Dan berarti benar yang dikatakan Jesika, kamu gadaikan rumah, demi lelaki ini," tunjuk Najib. Julian mengernyit. "Najib, kamu nggak malu di lihat orang? Kamu lagi berdongeng?" tanya Ganesa dengan tenang menanggapi Najib. "Ayo pulang!" ajak Najib. Ganesa berdiri, dan menatap Najib sengit. "Kamu pikir kamu siapa? Seenaknya mengusir aku dari rumahku sendiri, demi wanita lain. Dan kini datang kesini, hanya untuk mempermalukan aku?" "Ganesa, kamu itu masih istriku yang sah." "Oh ya? Sekarang baru kamu merasa aku istrimu! Sebelumnya bukan? Sehingga kamu seenaknya menyakitiku, dan selalu membela wanitamu. Ah, sudahlah, aku malas untuk berdebat. Sekarang pergi dari sini, atau kami
Bab143"Berapa lama?" Najib masih bertanya."Seminggu. Berangkatnya tadi pagi.""Seminggu? Lama sekali."Najib merasa kesal dan ingin marah. Tapi dia tidak tahu, harus marah pada siapa.Najib pulang ke rumah, dengan perasaan frustasi."Kenapa kamu?" tanya Ratna."Nggak apa-apa," sahut Najib seadanya. Ia pun menaiki anak tangga dengan gontai, menuju ke kamarnya.Di dalam kamar, dia membayangkan wajah Ganesa, wanita yang kini sangat dia rindukan. Bahkan Najib tidak bisa marah sama sekali, ketika tahu Ganesa menggadaikan rumah ini.Najib tahu, Ganesa tidak berniat jahat. Jika dia jahat, maka rumah ini tidak lagi dia gadaikan, tetapi dia jual."Ganesa, mas rindu sekali, sayang," lirih Najib memeluk guling.Sedangkan di Butik Ganesa, wanita i
Bab142●Pov Najib●"Mah, Najib menyesal," lirihku."Sudah Mamah ingatkan berkali-kali sebelumnya. Tapi kamu, tetap kekeh berkelakuan di belakang. Kalau sudah begini bagaimana.""Mah, biarkan saja sudah kalau begini. Besok kita balik ke Bandung lagi. Lagian, ini itu salahnya Najib sendiri," kata kak Aya dengan raut wajah kecewa.Aku tahu, aku yang salah dan terlalu angkuh dengan pencapaianku sendiri. Terlebih, Jesika selalu memujiku tampan, baik dan rupawan, juga hartawan. Aku melayang, dengan kesombongan diri yang berakhir kacaunya rumah tanggaku.Aku selalu memandang tak suka pada Ganesa. Entah mengapa, aku menganggap Ganesa layaknya wanita yang serba gagal.Gagal menjadi Ibu yang baik bagi anakku, dan gagal menjadi istri, yang bisa membuat suaminya setia.Bagaimana dia bisa membuatku setia? Jika setiap
Bab141"Astagfirullah, kak Najib," seru Jesika, dengan mata membulat karena terkejut, melihat Najib yang begitu marah."Apa yang kamu katakan tadi? Berani sekali kamu berkata seburuk itu pada Putriku," bentak Najib berang."Mas, kami hanya bercanda." Jesika membujuk."Bohong, Pah. Tante dari tadi menghina dan memakiku."Mendengar penuturan Putrinya, Najib semakin marah pada Jesika."Helena, kok kamu ngomong begitu, sih. Tega kamu sama Tante," lirih Jesika sembari menunjuk. Tangannya memilin-milin baju dengan gemetar."Sebaiknya, kamu angkat kaki dari rumah ini," pinta Najib dengan dingin.Jesika mendongak. "Sayang, kok ngomong begitu. Janganlah pake emosi gitu, kita kan bisa bicara baik-baik.""Aku mendengar semuanya. Demi menjaga mental anakku, pergilah dari rumah ini. Kamu dan aku,
Bab140Entah keyakinan dari mana, Jesika memberanikan diri menelpon mertuanya, juga kakak iparnya.Tangis palsu Jesika pecah, ketika menceritakan deritanya bersama Najib di rumah ini."Jesika, nggak mungkin Ganesa melakukan itu! Kamu jangan mengada ngada ya," kata Aya, Kakak tertua Najib."Sumpah kak. Ganesa pergi dari rumah ini, dan hidup bersama lelaki lain. Bahkan dia gadaikan rumah Kak Najib ini, demi membahagiakan lelakinya.""Astagfirullah, kakak akan hubungi Ganesa dulu." Sambungan telepon seketika di matikan begitu saja.Jesika meradang. "Sialan, dasar bedebah," pekik Jesika.Ia pun menghubungi Ratna, mertuanya itu, untuk mengompori wanita tua itu juga."Ada apa, Jesika," tanya Ratna. Ketika menjawab panggilan telepon Jesika."Mah, rumah kak Najib digadaikan Ganesa ke Bank. Bahkan, kak Ganesa tidak mau membayarnya lagi dan pergi dari rumah, bersama laki-laki lain.""Jesika, kamu jangan coba mengada-n
Bab139Mendengar ucapan Najib, dada Jena bergetar, sembari memandangi sesaat wajah Andre, suami yang baru sah pagi tadi menjadi miliknya."Mas, kenapa ada orang kedua yang berucap tentang hal ini. Jika saat itu, Lena kamu katakan berhalusinasi, lalu itu tadi apa?" tanya Jena, ketika mereka duduk di pelaminan."Aku akan jelaskan nanti, usai resepsi ini selesai, bisa kan?" tanya Andre kembali, merasa tidak nyaman.Jena hanya menghela napas berat, menatap Andre dengan tatapan kekecewaan."Salah diri ini, memilih menyimpan bangkai, di bandingkan bercerita kepadanya. Kalau sudah begini, aku hanya menimbulkan getar keraguan di mata Jena," batin Andre.Kini perasaan keduanya menjadi gamang. Sedangkan Ganesa, hanya menatap biasa kepada pasangan itu.Meskipun awal kedatangan Ganesa, sempat membuat Andre gelisah. Namun ketika Ganesa ti
Bab138"Ya, ada apa? Ibu kenal?" tanya Jena.Aku menatap Jena sesaat."Cuma tahu, kalau mengenal banget sih, nggak."Jena mengangguk. "Datang ya, Bu.""Insya Allah," jawabku.Jena pun keluar dari ruanganku, karena memang hanya memberikanku undangan pernikahannya.Aku menyandarkan tubuh di kursi, sambil menscroll status teman-teman kontak whatappku.Terlihat Jesika mengunggah sebuah foto, yang memperlihatkan kemesraannya dengan suamiku. Padahal berkas permohonan perceraian kami, baru masuk beberapa hari yang lalu.Tapi wanita ini, sudah sangat percaya diri, untuk memperlihatkan kemesraan mereka.Aku tersenyum kecut, melihat foto itu. Disusul ketikan status, status yang nyaris 100% memburukkanku."Wanita yang tega meninggalkan suaminya, hanya demi ambisinya. Ka
Bab137●Pov Ganesa●"Helena, yang sopan sama Tante Jesika!" bentak mas Najib, lelaki itu bangkit dan menatap tajam anak perempuan kami itu."Cepat minta maaf," titah mas Najib lagi pada Helena.Jesika menangis keras. "Ya Allah, mengapa aku hidup begini? Lebih baik aku mati saja, dari pada hidup menjadi beban dan hinaan mereka saja.""Jesika, kamu apa-apaan sih?" Mas Najib memindai Jesika dengan aneh."Mas, anak kamu sekarang tega menyakiti hatiku. Tega sekali, membuat hatiku bergejolak sakit.""Uuwu sekali," seruku, ketika melihat sikap Jesika, yang terang-terangan, berani memegangi lengan suamiku."Cepatlah pergi, sebelum rumah ini semakin hancur."Aku berjalan menaiki tangga, melewati Helena yang sudah aku diam kan beberapa hari ini. Tidak lagi kutegur, mau pun aku pedulikan.