Bab66
"Gaby," lirih Andin. Membuat Gaby terkejut, dan menoleh ke arah Mamanya itu.
"Iya," sahut Gaby dengan lembut.
Andin tersenyum, dan masuk ke kamar anaknya itu. Andin mendekat duduk ke samping Gaby.
"Ada apa, Ma?" tanya Gaby.
"Kamu sudah punya pacar?" Andin bertanya balik.
Gaby sedikit terkejut, mendapati pertanyaan Andin yang tidak biasa.
Gaby paham, mengapa Andin, mempertanyakan hal ini, sebab kejadian pagi tadi, di dengar jelas olehnya. Hanya saja, Gaby berpura-pura tidak tahu.
"Tumben, kenapa nih?" Gaby berusaha dengan tenang, agar Andin tidak curiga.
"Ah, tidak apa-apa." Andin serba salah.
Akhirnya, dia pun keluar kamar Gaby, dengan membawa si kecil. Andin masuk ke kamar tamu, dan merebahkan dirinya bersama si buah hati.
Entah mengapa, ada rasa curiga di hatinya. Namun,
Bab67 Bunyi panggilan telepon ponsel Rasid, membuatnya berdiri, dan meraih benda pipih itu, yang terletak di atas meja makan, di samping piring nasinya. Rasid mengernyit, ketika melihat nama Ambar di layar ponsel. Dengan raut wajah tidak senang, Rasid menjawab panggilan mantan istrinya itu. "Hhhmmm ..., ada apa?" tanya Rasid. "Brengsek! Orang tua macam iblis," maki Ambar, membuat Rasid terkejut. "Kamu ini kenapa?" bentakkan suara Rasid, mengejutkan Gaby. Wanita itu masih duduk di lantai, tidak melakukan apapun, hanya bisa terisak pelan dan mulai semakin tertekan. "Naura kritis. Dan itu semua, karena omongan jahat kamu padanya. Dia nekat menyayat nadinya di depanku. Karena apa? Naura menuntut penjelasan, karena ucapan kasar dan kejammu kepadanya." Suara Ambar terdengar melemah, dan pilu. "Apa salahnya anak kita? Sehingga kamu tega mengatakan hal sekejam itu? Jika cinta tidak ada lagi untukku dan Nau
Bab68 "Keluar," pinta Andin dengan dingin. "Tapi kepala Mama itu bengkak. Biar Ganesa kompres ya, Ma." "Nggak usah, Mama bisa urus diri Mama sendiri." Andin berusaha berdiri, meski pun kepalanya sangat pusing dan sakit. Anak dalam gendongannya terus menangis, sama seperti hati Andin. Dia memeluk anak dalam gendongannya itu dengan erat, sembari menjauhkan diri dari Gaby. "Keluar," kata Andin lagi. Dengan terseok, Gaby pun keluar dari kamar tamu yang di tempati Andin, dan melangkah menuju kamarnya. "Gaby," lirih Rasid. Gaby yang masih menangis, menoleh ke arah Rasid, yang berjalan mendekatinya. Mata wanita itu bengkak, hatinya sangat sakit luar biasa. Rasid memeluk Gaby tiba-tiba. Namun Gaby hanya diam, dan tidak mau bersuara apapun. "Maaf, aku terlalu pusing," katanya dengan santai, tanpa rasa bersalah sama sekali. "Aku pengen istirahat," lirih Gaby. Hembusan na
Bab69 "Mama," lirih Naura. Wanita itu terbata-bata bersuara. Sudah semingguan ini, Naura menjalani rawat inap. Bukan karena percobaan bunuh dirinya yang membuatnya tetap harus di rumah sakit. Tapi karena tekanan mentalnya yang sering meraung dan hilang kendali, membuat Ambar, tidak berani membawa Naura pulang. "Iya, Nak," sahut Ambar, sambil mendekati anak perempuannya itu. "Papa tidak datang lagi?" tanya Naura. Ambar menunduk, dengan perasaan sesak di dadanya yang kian penuh. Pertanyaan ini, sudah setiap hari Naura tanyakan pada Ambar. Dan jawaban pun tetap sama, Papa tidak datang, karena banyak pekerjaan. Begitulah selalu jawaban Ambar. Dia bahkan mengatakan kebohongan pada Rasid, bahwa Naura kini kritis, agar lelaki itu mau datang menemui anak semata wayang mereka. Namun hingga kini, sosok Rasid yang diharap-ha
Bab70 "Apa? Kurang ajar. Oke, kamu tenang dulu. Sekarang kamu kirim alamat lengkap, Mas akan kesana hari ini juga," kata Zaki. Membuat Ganesa dan Bryan penasaran. Zaki nampak emosi dan panik. "Ada apa, Pa?" tanya Ganesa, ketika sambungan telepon berakhir. "Gaby di kurung Rasid. Dan yang lebih parahnya lagi, Rasid memperkosa Gaby di depan Mama kamu." Ganesa tidak terkejut sama sekali, mengingat kejadian di Retro saat itu, Gaby dan Rasid begitu mesra. "Papa mau ke tempat Mama?" tanya Ganesa lagi. "Iya." Zaki menyahut, sembari bangkit dari duduk. "Papa akan langsung terbang ke Kalimantan hari ini." "Ganesa ikut." "Saya juga ya, Om." "Oke." Zaki pun pergi menuju Kalimantan, bersama Ganesa dan Bryan. Mereka menaiki Zet pribadi milik Zaki. Zaki terlihat begitu gelisah, dan tidak bisa duduk dengan tenang. "Papa," panggil Ganesa. Zaki menoleh. "Tena
Bab71 "Papa," seru Gaby. Rasid turun dari tubuh bugil Gaby dengan cepat. Namun Bryan bergegas masuk dan menarik lelaki itu. Sedangkan Rasid, menutupi tubuh Gaby dengan cepat. "Pakai pakaian kamu," teriak Zaki dengan emosi pada Gaby. Sedangkan Rasid, Zaki dan Bryan pukuli. Mereka memukul membabi buta, sedangkan Gaby hanya bisa menangis, dengan selimut membalut tubuhnya. "Jahanam, kamu bukan lagi manusia," teriak Zaki. "Sudah-sudah hentikan, dia bisa mati," cegah Pak RT, yang tiba-tiba datang ke lantai dua. Mereka pun menghentikan pukulan pada Rasid, yang sudah babak belur. "Andin dan anaknya meninggal," lanjut Pak RT. "Mari kita urus itu dulu." "Apa? Apa yang Pak RT katakan?" tanya Rasid terkejut, meskipun dia begitu tidak berdaya kini. "Mama," pekik Gaby yang mendengar. Dia pun langsung berdiri, dan berlari keluar kamar dengan selimutnya. "Istrimu meninggal bunuh diri, dia juga membunuh anaknya."
Bab72 Gaby tidak bersuara sama sekali, dia merasakan syok berat, dengan kematian Andin dan adik kecilnya. Zaki mengurus semuanya, dan menyewa pengacara, untuk menuntut Rasyid hukuman berat. ******* Di sebuah kontrakkan kecil, Ibu dan anak itu berbincang.Ambar yang baru tahu kabar Rasyid pun sangat terkejut. Ambar merasa senang dan puas, dengan kehancuran hidup Rasyid dan Andin. "Wanita itu bunuh diri, dia pikir akan selamanya bahagia, setelah menghancurkan rumah tanggaku dengan sengaja." Batin Ambar. Sedangkan Naura hanya terdiam. "Kita akan merebut rumah itu," kata Ambar. "Tidak bisa, Ma. Rumah itu sudah Papa gadaikan," sahut Naura. Ambar menoleh ke arah Naura dengan serius. "Kamu tahu dari mana?" tanya Ambar penasaran. "Dari Gaby langsung, sebelum dia dib
Bab73 "Ayo!" ucap Papa lagi. Meskipun dengan perasaan malas, aku pun akhirnya menuruti ucapannya. Aku merasa sangat tidak nyaman, dengan kedekatan Gaby pada Bryan dan keluarganya. Namun apalah daya, aku jelas tidak bisa menghalanginya. Biar bagaimana pun juga, Gaby adalah adikku sendiri. Kami pun menuruni anak tangga, menuju meja makan. Semua masakan lezat telah terhidang. "Ganesa, coba lihat semua masakan ini, ini Gaby loh yang buat. Kamu beruntung banget, punya adik yang cantik, juga pandai membuat makanan lezat. Menantu impian banget ini." Deg .... entah mengapa, hatiku lagi-lagi terasa sakit, mendengar pujian yang Bunda Jelita ucapkan untuk Gaby. Namun aku berusaha untuk tersenyum, mendengar hal itu. "Tante berlebihan. Inikan juga karena kalian ikut membantu," sahut Gaby. "Duh, kamu manis banget sih," kata Bunda Jelita lagi, seakan melihat Gaby, dengan penuh kekaguman. Hatiku meringis menahan sak
Bab74 "Yan, kamu kasihakan makanan ini ke Gaby, ya!" pinta Bunda Jelita. "Apa ini?" tanya Bryan, sembari meraih, tupperware yang berisikan bekal makan siang. "Makan siang untuk Gaby." "Bun, tolonglah jangan begini, nggak enak sama Ganesa." "Loh kenapa? Gaby itu adeknya, bukan orang lain. Bunda cuma suka sama Gaby, karena anaknya manis, ramah dan juga baik." "Iya tau, tapi hargai perasaan Ganesa, Bun. Dia itu calon istriku, bukan Gaby." "Jodoh kita nggak ada yang tau, Yan. Sudahlah, cepat antar ini ke kantor Pak Zaki." "Sepagi ini?" Bryan melongo. "Aku juga harus ke kantorku, Bun." "Ya sekalian, Yan. Udah ah, bawel banget. Kirim ini, Bunda nggak mau tau," tegas Bunda Jelita, sembari meninggalkan Bryan yang serba-salah. Biar bagaimana pun juga, Bryan jelas mulai menyadari, bahwa Ganesa kini sangat jauh berubah. Dia terlihat begitu sering menghindari Bryan. Bukan cuma itu, Ganesa tidak begitu