Korban Perceraian
Part1
"Mama mau kemana?" tanya Ganesa, gadis manis berkulit putih, serta berlesung pipi itu pun terheran, menatap koper yang Mama nya bawa.
Andin, yang merupakan Ibu dari dua anak kembar, yang kini berumur 16 tahun itu pun menghentikan langkahnya.
Andin menatap lekat wajah Ganesa, wanita yang masih mengenakan seragam sekolah itu pun masih diam terpaku di tempat dia berdiri semula.
"Mama, mau kemana?" Pertanyaan itu kembali Andin dapatkan, dari kembaran Ganesa, yang bernama Gaby.
Andin menatap anaknya bergantian.
"Mama akan pergi, kalian hiduplah bersama Papa, dia akan pulang seminggu lagi."
"Ma, ini ada apa? Maksud Mama apa?" Ganesa kembali bertanya. Dalam hati, dia mulai merasakan, sesuatu telah terjadi di rumah tangga kedua orang tuanya.
"Ganesa, kamu jaga adikmu, ya sayang." Andin berusaha memegang pipi anak sulungnya itu, namun Ganesa mundur dan menghindari sentuhan tangan Mamanya.
"Jelaskan pada kami, apa yang terjadi? Mengapa Mama berniat pergi?" tanya Ganesa, tanpa mau menoleh ke arah wajah Mamanya.
"Ma, Mama tidak mencintai kami lagi?" tanya Gaby dengan tangan bergetar memegang tangan Mamanya, sembari isak tangis mulai terdengar.
Berbeda dengan Ganesa, dia memang sedikit tomboy dan jarang menangis. Sedangkan Gaby, dia memang termasuk anak yang manja, dan selalu banyak maunya, dia juga termasuk anak yang suka berbuat sesuka hatinya.
Andin melepaskan tangan Gaby dari lengannya dengan perlahan.
"Mama sayang kalian selamanya, tapi keadaan memang sudah tidak berpihak kepada kita. Mama dan Papa, sudah sepakat untuk bercerai, maafkan kami, kelak, kalian akan mengerti."
Gaby dan Ganesa sangat terkejut, mendengar penuturan Ibu mereka, Gaby menangis.
Sedangkan Ganesa, dia terduduk di lantai, tanpa berkata sepatah kata pun."Ganesa, Mama mengandalkan kamu, sayang! Jaga dan sayangi adik kamu! Mama pamit."
Tanpa menunggu jawaban Ganesa, Andin melajukan langkahnya menuju pintu.
"Mama jangan pergi, Gaby tidak bisa tanpa Mama."
Gaby meraih tangan wanita yang mereka panggil Mama itu, namun Andin dengan kasar melepaskan pegangan tangan Gaby dari lengannya.
"Berhenti bersikap kekanak-kanakan, Gaby. Kamu sudah dewasa! Sebentar lagi kamu lulus SMA, kalau kamu secengeng ini, bagaimana kamu mampu, menghadapi dunia nyata diluar sana?" teriak Andin dengan emosi, ada perasaan sakit dalam hatinya.
"Tapi Gaby sayang Mama, tidak bisa kah Mama bersama kami? Setidaknya, hingga Gaby dan Kakak siap! Siap menghadapi dunia nyata, kami masih butuh kasih sayang, dan bimbingan Mama."
"Apa? Itu artinya kamu mau Mama masih di sini? Itu tidak akan terjadi, berhentilah bersikap cengeng! Mama muak ya. Sudah cukup derita ini, Mama juga ingin bahagia," teriak Andin.
Andin kembali membentak Gaby, hingga bunyi klakson mobil menghentikan keributan mereka. Andin menoleh ke arah pagar rumah.
Terlihat seseorang yang mengendarai mobil CRV Hitam menunggunya, sambil melambaikan tangan.
Ganesa berdiri, tepat di samping Gaby.
"Mama akan pergi bersama siapa?" tanya Gaby, sambil menyeka air matanya.
"Kalian tidak perlu tahu, urus diri kalian dengan baik, jangan pernah berusaha mencari Mama."
Andin berkata dengan dingin, membuat Gaby kembali menangis dan berusaha menahan langkah Ibunya.
"Lepaskan Gaby, jangan sampai Mama berbuat kasar, teman Mama sudah menunggu," hardik Andin dengan segala emosi di dalam dadanya.
"Tidak, Gaby mohon! Mama jangan pergi," jawab Gaby dengan terisak. "Kalau Gaby nakal, Mama bisa pukul Gaby, Gaby janji tidak akan banyak maunya lagi. Tapi tolong! Jangan pergi," lanjutnya.
Andin mendorong kasar tubuh Gaby, hingga wanita itu hampir jatuh tersungkur. Ganesa menahan tubuh Gaby. Tatapan marah, serta kebencian kini mendominasi di mata Ganesa, dan itu di rasakan oleh Andin.
"Gaby, jangan tangisi Mama, biarkan Mama pergi," kata Ganesa dengan dingin. Tatapan marah begitu terpancar di mata hitamnya.
"Biarkan Mama bahagia, biarkan Mama mengejar dunianya. Lupakan Mama, anggaplah kita tidak pernah lahir dari rahimnya."
Andin terpaku dalam sesaat, mendengar ucapan Ganesa yang menusuk kalbunya.
"Kakak." Gaby menatap kakaknya dengan tidak percaya.
"Bagaimana mungkin, ada seorang Ibu yang tega meninggalkan anak-anaknya, demi mencari kebahagiaannya. Lalu apa yang harus kita lakukan? Selain mengikhlaskannya."
Andin terhenyak mendengar setiap bait-bait perkataan anak sulungnya. Ada rasa nyeri, yang terpatri di relung hatinya kini.
"Ketika begitu banyak wanita di luaran sana mendamba seorang keturunan, Mama malah meninggalkan keturunannya. Kita tidak akan rugi Mama tinggalkan, tapi Mama lah yang akan rugi, meninggalkan buah hatinya, demi kepuasan hati."
Andin tidak menyangka, anaknya bisa berkata setajam itu. Namun, lagi-lagi bunyi klakson mobil mengalihkan perhatian mereka. Dengan langkah cepat, Andin pergi meninggalkan kediamannya.
Rumah yang sudah berpuluh tahun menemaninya, kini dia tinggalkan. Tangisan serta teriakkan Gaby mengiringi kepergian Andin.
Gaby meronta-ronta di depan pintu, dengan Ganesa yang menahan tubuh adiknya itu, agar tidak mengejar langkah Mamanya.
Kedua gadis kembar itu pun berpelukan, sambil terisak pilu.
Rumah dengan type 70 itu pun kini menjadi sunyi.Dengan langkah gontai, mereka masuk ke dalam kamarnya masing-masing.
Kedua gadis itu, mengurung diri di dalam kamarnya."Mengapa Mama tega, apa salah Gaby? Padahal Gaby pulang dengan membawa kabar baik. Gaby kini juara kelas, Ma. Bukankah itu, yang selama ini Mama banggakan, tapi kenapa? Kenapa semua ini bisa terjadi."
Gaby terisak, dia terus berbicara sendiri di dalam kamarnya.
Sedangkan Ganesa, hatinya memupuk kemarahan. Yang terpatri di benaknya, Mama pergi, demi mencari kebahagiaan lain."Mama tidak pantas menjadi seorang Ibu, aku benci Mama," ucapnya, sambil memandangi potret mereka berempat. Papa yang tersenyum kocak, Mama yang tersenyum manis, sedangkan Ganesa? Dia bergaya layaknya anak tomboy.
Dan, Gaby, anak manis itu pun sama seperti gaya Andin, Mama yang kini tega, tega menyakiti hati mereka.
Hingga sebuah pesan singkat masuk ke gawai mereka berdua.
Ganesa meraih gawainya, dan membuka pesan dari group w******p yang berjudul. Kawan Sekolah.Ganesa dan Gaby terkejut. Foto Mama nya menyebar di dalam pesan itu.
"Pelakor, Mama G2. Ganesa dan Gaby, wanita perusak rumah tangga Ibuku."
Pesan yang berasal dari Naura, teman satu sekolah mereka.
Gaby semakin menangis, ditambah berbagai cacian dan hinaan yang mereka terima.
Pose mesra Andin dan Ayah Naura pun menyebar di berbagai media.Naura murka, dan hal itu pun membuat Gaby berlari ke kamar kakaknya.
"Kak, Gaby takut ke sekolah! Mereka bahkan berniat menghajar kita. Mama yang bersalah, mengapa kita yang jadi korbannya."
Ganesa memeluk adiknya.
"Kakak akan melindungi kamu," ucapnya datar. Hati Ganesa semakin murka pada sosok, yang bergelar Ibu itu.
Sementara Andin, dia tengah menikmati kebahagiaannya bersama Rasid, yang merupakan ayah Naura itu, tanpa tahu nasib anak-anaknya.
Hati Andin sedikit gusar, kala mengingat wajah si kembar. Terutama pada Gaby, anak manis yang begitu manja kepadanya. Kadang, mendengar petir di malam hari saja, Gaby menjerit. Hal itu, tentu saja membangunkan Andin dari tidurnya.
"Mama, ada petir," teriak Gaby.
Meskipun Andin sangat mengantuk, dia tetap bangun dan masuk ke dalam kamar anaknya itu.
"Dasar bayi gede! Gitu aja kamu takut," celetuk Andin, sembari memeluk anaknya yang ketakutan.
"Petirnya ngeri, Ma."
Andin tersenyum, kemudian mengajak Gaby untuk tidur kembali.
"Ehem." Suara Rasid menarik Andin dari lamunannya.
"Mau makan apa sayang? Aku pandai menyulap masakan biasa menjadi luar biasa," kelakar Rasid.
"Mau makan apapun yang kamu masak, aku yakin, jika kamu sajikan dengan cinta, semua akan terasa nikmat."
Rasid tersenyum bahagia, mendengar penuturan wanita yang sangat di sukainya itu. Sudah sejak lama, Rasid memendam perasaan tertarik pada sosok Andin.
Meskipun dia telah beristri, namun obsesinya untuk meraih hati Andin tidak pernah padam.
Andin, wanita yang dia kenal ketika ada pertemuan wali murid di sekolah putrinya itu, membuat perasaan terlarang di hatinya bermekaran.
Berbagai macam cara, Rasid lakukan, demi menggapai cinta wanita idamannya itu.
"Mas, kamu sudah gila! Kamu berniat pergi? Meninggalkan aku dan Naura, demi wanita lain."
"Sudah menjadi keputusanku, suka tidak suka! Kamu wajib menerimanya."
"Maksud kamu ini apa? Apakah kamu berniat menceraikan aku?" tanya wanita yang berstatus istri sahnya itu.
"Oh, tidak! Hanya saja, aku ingin bersama wanitaku."
Rasid mengulas senyum, tanpa perduli perasaan istri sahnya.
Lelaki itu menarik koper bajunya, dan membawanya menuju mobil CRV miliknya.
Naura menatap kepergian Ayahnya dari atas balkon.Sedari tadi, Naura dengan jelas mendengarkan pertengkaran Ayah dan Mamanya.
Gadis malang itu pun, telah menyimpan bukti perselingkuhan Rasid.Dia sangat mengenali wajah wanita yang berpelukan dengan Ayahnya itu. Naura mengumpat dalam hati, terlebih saat dia melihat Mama yang sangat dia cintai, di dorong kasar oleh Ayahnya.
"Jangan coba-coba menghalangi langkahku! Aku tidak segan-segan menyakiti kamu. Kalau bukan demi Naura, mungkin sudah lama kita berpisah."
Kata-kata yang sangat kejam. Wanita itu terdiam membeku, dia kesulitan untuk mencerna perkataan suaminya itu.
Seakan tidak percaya, keluarga yang begitu harmonis, dan berkecukupan, harus di terpa badai perselingkuhan.
Wanita ini merasakan dunianya runtuh! Suami yang menjadi kebanggaanya, panutan dalam hidupnya, tempat dia menggantungkan hidup.
Kini dengan tega menyakiti hatinya tanpa ragu. Bahkan dia tidak memandang wajah anaknya yang terisak pilu. Rumah tangga orang tuanya, di hancurkan Mama dari kawan sekolahnya.
Naura murka, hal itulah yang membuat Andin dan Rasid viral di berbagai sosial media. Namun, Rasid dan Andin yang kini tengah di mabuk cinta, tidak tahu apa-apa mengenai hal ini.
"Mama jangan bersedih lagi, cepat atau lambat, kita pasti akan menemukan wanita jahat itu," ucap Naura, sembari memeluk Ibunya dari belakang.
Wanita itu masih menangisi kepergian suaminya. Sulit baginya untuk terima kenyataan ini, dia benar-benar merasa hancur.
"Ma, jangan menangis lagi, Ayah tidak pantas untuk Mama tangisi. Ayah jahat, Naura malu punya Ayah sepertinya."
Bahu wanita itu semakin bergetar hebat. Dendam dan sakit hati kian berkobar di benaknya. Dia berjanji, akan membuat perhitungan pada wanita, yang merusak rumah tangganya dengan sengaja.
Korban PerceraianPart2 Andin begitu menikmati kebersamaannya bersama kekasih barunya. Rasid memeluk tubuh ramping itu dari belakang, wanita yang sedari tadi menikmati keindahan sejuknya pegunungan itu pun terkejut dengan pelukan Rasid yang tiba-tiba. Andin tersenyum, dan merasakan detak jantung kekasihnya dengan perasaan yang sulit dia artikan. "Apakah anak-anakmu tidak marah?" bisik Rasid, di telinga Andin. Andin mengulas senyum, namun hatinya teramat nyeri. Mengingat, betapa pilunya wajah kedua putri kembarnya itu.Namun perasaan sakit itu segera dia tepis, Andin yakin, pilihannya sudah sangat tepat. "Mereka akan baik-baik saja! Papanya akan pulang besok, aku tidak perlu khawatir. Lagi pula, mereka bukan anak bayi lagi, mereka sudah tumbuh dewasa." Rasid tersenyum, dan mengeratkan pelukannya. "Terimakasih, sayang! Aku mencintaimu," bisiknya lagi. "Aku juga," sahut Andin. Rasid membawanya ketempa
Korban PerceraianPart3 "Hai cantik, kamu pasti Ganesa," ucap wanita berambut sebahu itu, lalu dia memeluk lengan lelaki yang mereka sebut Papa. "Siapa?" tanya Ganesa dengan tatapan dingin. Hati kecilnya mulai curiga. "Ganesa, dia Maura! Istri baru Papa," jawab Zaki, Papa si gadis kembar. Bagaikan petir di siang hari, rasanya menyambar tepat di hati gadis itu. Remuk dan hancur. Lelaki itu berkata dengan tersenyum. Meskipun dia meragu, namun dia tetap memberanikan diri, membawa Maura, dan memperkenalkan wanita itu pada anak-anaknya. Ganesa berusaha menahan diri dan tetap bersikap tenang, meskipun dia ingin sekali kini mengamuk. "Sejak kapan?" tanya Ganesa dengan mengernyit. "Sini, peluk dulu dong! Kamu jangan seperti wartawan, langsung main wawancara. Memangnya, kamu tidak kangen pada Papa?" tanya Zaki pada Ganesa. "Jangan mau, Kak! Papa penyebab Mama jahat." Ganesa tersentak, mendengar Gaby berteriak.
Korban PerceraianPart4 Bullying di sekolah pun mulai mereka terima, kebencian yang Naura tanamkan di hati teman-temannya, begitu dalam kepada si Kembar, yang bahkan juga menjadi korban kegagalan orang tuanya. Danur berlari ke ruang kelas Ganesa. "Nesa," teriak Danur, dengan napas tersenggal, dia berusaha mengatur laju napasnya. Semua menoleh ke arah lelaki berwajah blasteran itu. "Gaby, dia di bully di dalam kelas," ucapnya. Ganesa menghempas sobekan foto di tangannya. Dia pun langsung berlari kencang, tanpa perduli dengan teriakan kawan-kawannya yang mentertawakannya. Ganesa berhenti tepat di depan ruang kelas Gaby. Adiknya yang malang itu, masih menggendong tas di kedua bahunya. Rambut hitam panjangnya yang semula terikat dengan rapi, kini terurai berantakan. Di atas kepalanya, di penuhi telur busuk dan juga tepung putih yang merebak mewarnai rambut. Gaby terisak, sambil menyeka air matanya. Bajunya te
Korban PerceraianPart5 Ganesa tercenung di depan jendela kamarnya, terkadang, dia sesekali melirik jam dinding yang ada di dalam kamar kecil miliknya. Akankah yang di katakan Ibunya itu sungguh-sungguh. Bahwa Gaby, akan di bawa pergi. Ganesa menggeleng, berharap prasangka nya salah. Ganesa masih meyakini, Ibu nya hanya emosi sesaat, dia tidak akan tega memisahkan Gaby dan Ganesa. Namun, lagi-lagi masalah tega mengusik hati Ganesa. Meninggalkan mereka berdua saja Ibunya tega, apalagi memisahkan mereka, itu hal mudah bagi Ibunya. Hati Ganesa mencelos, bulir bening menemani hari nya yang menyakitkan. Entah kenapa, rasanya dia semakin berkecil hati, meskipun Ganesa selalu berusaha kuat. "Mengapa mereka seakan menghindariku? Apa salahku sebagai anak? Mengapa aku di lahirkan, jika hanya untuk di sia-siakan." Batin Ganesa terus bergejolak, ada rasa sakit yang tidak mampu dia ucapkan. Bahkan air mata sekalipun, ti
Ketika Mama dan Papa PergiPart6Ganesa menatap daun pintu, dirasa sudah aman, dia pun perlahan melepas jarum inpus yang tertancap di tangannya."Nesa, apa yang kamu lakukan?" tanya Nuna."Shutt ...." Ganesa memberi isyarat diam. "Kita harus keluar, aku nggak mau berhadapan dengan Dokter itu lagi.""Taa-pi." Nuna kebingungan. Dia berniat menahan Ganesa, namun dia takut menyinggung hati sahabatnya itu.Nuna berpikir, mungkin Ganesa tidak ingin merepotkannya, padahal dia sama sekali tidak keberatan menolong Ganesa.Ganesa mengajak Nuna keluar ruangan dengan hati-hati. Mereka melangkah dengan tenang, seperti orang-orang lainnya yang berlalu lalang, di koridor rumah sakit.Hingga sampai di parkiran, kedua gadis itu bergegas meninggalkan halaman rumah sakit.Ganesa dan Nuna menaiki taksi online, yang sudah di pesan Nuna.Nuna menatap Ganesa sesaat. "Ehem, Nesa, tadi kenapa mengaku yatim piatu?" Nuna bertanya dengan p
Korban Perceraian Part7 "Tolong, tolong beri saya waktu," pinta Ganesa, dengan wajah mengiba. Luka dihatinya kian menganga, bahkan dia tidak tahu lagi bagaimana cara mengobatinya. Laki-laki suruhan Maura itu mendengkus, sembari membuang ludah di samping Ganesa. Lelaki itu berkacak pinggang, sembil menunjuk-nunjuk wajah Ganesa. "Kamu pikir kita lagi bernegoisasi? Aku ini disuruh untuk mengusir kamu dari tempat ini, kamu paham nggak sih!" bentaknya. Suara kasar itu mengundang Rohmah tetangga Ganesa untuk keluar. Rohmah yang baru pulang dari kebunnya itu pun bergegas menuju pekarangan rumahnya, mencari asal suara orang ribut yang mengganggu telinganya. Rohmah amat terkejut, melihat Ganesa yang menangis, sembil duduk di tanah. Sedangkan beberapa tetangga lainnya, hanya melihat kejadian itu di balik jendela, tanpa ada niatan untuk mendekat. "Ganesa, ini ada apa sayang?" tanya Rohmah, s
Korban PerceraianPart8 "Nak Ganesa, Ibu tahu kamu anak yang kuat dan hebat. Ibu, para Guru dan semua murid di Sekolah ini, bangga sama kamu sayang." Retno berkata sambil terisak, hatinya perih, kala memeluk tubuh gadis tomboy ini yang bergetar hebat. Namun tidak ada terdengar isakan tangis darinya. Retno mengurai pelukan, semua mata tertuju pada Ganesa. "Dalam hidup ini, seperih apapun keadaannya, berjanjilah, bahwa Ganesa akan terus semangat dan sukses kedepannya nanti." Ganesa tersenyum getir."Ibu jangan khawatir." Hanya itu yang dia katakan. "Berjanjilah, Nak!" pinta Retno penuh harap. "Insya Allah! Apapun yang terjadi, Ganesa berpasrah pada Si Pemilik Kehidupan." Naura memandangi Ganesa tanpa iba, api dendam masih membara dihatinya. Meskipun tidak sebesar dulu lagi. Namun begitu dalam tertanam di hatinya, bahwa Ganesa dan seluruh keluarganya, adalah orang yang bersalah di retaknya r
Korban PerceraianPart9 "Hamil," gumam Andin. Wanita itu menatap lekat alat test kehamilan di tangannya. Garis merah dua itu, berhasil membuat Andin gusar. "Bagaimana hasilnya?" tanya Rasid, lelaki yang masih berstatus suami wanita lain itu bertanya dengan penasaran. Andin berdiri di muara pintu kamar mandi. Kemudian dia menyodorkan hasil testpack itu, kepada Rasid. "Apa? Hamil," pekik Rasid. "Kenapa kamu begitu terlihat syok? Apa ada yang salah?" tanya Andin, wanita itu mulai merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Hanya menatap lekat wajah sang kekasih saja, dia sudah merasakan sesuatu yang tidak beres. "Gugurkan saja! Aku tidak menginginkan anak ini," kata Rasid, sembari melempar asal, benda pipih itu. "Mas, apa maksud kamu?" teriak Andin. "Ini darah daging kamu, Mas. Aku nggak mungkin menggugurkannya, kamu harus tanggung jawab." Rasid menatap Andin dengan tatapan remeh."Tanggung jawab bagaimana? Bukankah k
Bab145"Mamah Helena mohon! Helena janji akan jadi anak yang baik untuk Mamah dan Papah. Helena juga akan menuruti, apapun kemauan kalian," kata Helena memohon pada Ganesa.Ganesa terdiam, terpaku mendengarkan tangisan pertama anak gadisnya."Ganesa, bukannya maksud Mamah ingin ikut campur. Tapi tolong kamu pikirkan lagi, demi anak kalian. Beri Najib kesempatan sekali lagi, jika dia berulah kembali, maka apapun yang terjadi, Mamah akan dukung kamu 100 persen, Nak.""Iya Ganesa, bukannya kakak tidak mengerti perasaan kamu. Kakak ngerti banget. Tapi tidak ada salahnya, jika kamu pikirkan lagi."Terdengar langkah kaki pelan seseorang, berjalan ke arah mereka. Najib, memandang sayu ke arah mereka bertiga."Ganesa," panggil Najib. Ganesa pun tidak menoleh ke arah lelaki itu, dia hanya terdiam, dengan pikirannya yang terus berperang dengan hati.
Bab144 "Jadi ini, laki-laki yang menjadi selingkuhan kamu? Dan berarti benar yang dikatakan Jesika, kamu gadaikan rumah, demi lelaki ini," tunjuk Najib. Julian mengernyit. "Najib, kamu nggak malu di lihat orang? Kamu lagi berdongeng?" tanya Ganesa dengan tenang menanggapi Najib. "Ayo pulang!" ajak Najib. Ganesa berdiri, dan menatap Najib sengit. "Kamu pikir kamu siapa? Seenaknya mengusir aku dari rumahku sendiri, demi wanita lain. Dan kini datang kesini, hanya untuk mempermalukan aku?" "Ganesa, kamu itu masih istriku yang sah." "Oh ya? Sekarang baru kamu merasa aku istrimu! Sebelumnya bukan? Sehingga kamu seenaknya menyakitiku, dan selalu membela wanitamu. Ah, sudahlah, aku malas untuk berdebat. Sekarang pergi dari sini, atau kami
Bab143"Berapa lama?" Najib masih bertanya."Seminggu. Berangkatnya tadi pagi.""Seminggu? Lama sekali."Najib merasa kesal dan ingin marah. Tapi dia tidak tahu, harus marah pada siapa.Najib pulang ke rumah, dengan perasaan frustasi."Kenapa kamu?" tanya Ratna."Nggak apa-apa," sahut Najib seadanya. Ia pun menaiki anak tangga dengan gontai, menuju ke kamarnya.Di dalam kamar, dia membayangkan wajah Ganesa, wanita yang kini sangat dia rindukan. Bahkan Najib tidak bisa marah sama sekali, ketika tahu Ganesa menggadaikan rumah ini.Najib tahu, Ganesa tidak berniat jahat. Jika dia jahat, maka rumah ini tidak lagi dia gadaikan, tetapi dia jual."Ganesa, mas rindu sekali, sayang," lirih Najib memeluk guling.Sedangkan di Butik Ganesa, wanita i
Bab142●Pov Najib●"Mah, Najib menyesal," lirihku."Sudah Mamah ingatkan berkali-kali sebelumnya. Tapi kamu, tetap kekeh berkelakuan di belakang. Kalau sudah begini bagaimana.""Mah, biarkan saja sudah kalau begini. Besok kita balik ke Bandung lagi. Lagian, ini itu salahnya Najib sendiri," kata kak Aya dengan raut wajah kecewa.Aku tahu, aku yang salah dan terlalu angkuh dengan pencapaianku sendiri. Terlebih, Jesika selalu memujiku tampan, baik dan rupawan, juga hartawan. Aku melayang, dengan kesombongan diri yang berakhir kacaunya rumah tanggaku.Aku selalu memandang tak suka pada Ganesa. Entah mengapa, aku menganggap Ganesa layaknya wanita yang serba gagal.Gagal menjadi Ibu yang baik bagi anakku, dan gagal menjadi istri, yang bisa membuat suaminya setia.Bagaimana dia bisa membuatku setia? Jika setiap
Bab141"Astagfirullah, kak Najib," seru Jesika, dengan mata membulat karena terkejut, melihat Najib yang begitu marah."Apa yang kamu katakan tadi? Berani sekali kamu berkata seburuk itu pada Putriku," bentak Najib berang."Mas, kami hanya bercanda." Jesika membujuk."Bohong, Pah. Tante dari tadi menghina dan memakiku."Mendengar penuturan Putrinya, Najib semakin marah pada Jesika."Helena, kok kamu ngomong begitu, sih. Tega kamu sama Tante," lirih Jesika sembari menunjuk. Tangannya memilin-milin baju dengan gemetar."Sebaiknya, kamu angkat kaki dari rumah ini," pinta Najib dengan dingin.Jesika mendongak. "Sayang, kok ngomong begitu. Janganlah pake emosi gitu, kita kan bisa bicara baik-baik.""Aku mendengar semuanya. Demi menjaga mental anakku, pergilah dari rumah ini. Kamu dan aku,
Bab140Entah keyakinan dari mana, Jesika memberanikan diri menelpon mertuanya, juga kakak iparnya.Tangis palsu Jesika pecah, ketika menceritakan deritanya bersama Najib di rumah ini."Jesika, nggak mungkin Ganesa melakukan itu! Kamu jangan mengada ngada ya," kata Aya, Kakak tertua Najib."Sumpah kak. Ganesa pergi dari rumah ini, dan hidup bersama lelaki lain. Bahkan dia gadaikan rumah Kak Najib ini, demi membahagiakan lelakinya.""Astagfirullah, kakak akan hubungi Ganesa dulu." Sambungan telepon seketika di matikan begitu saja.Jesika meradang. "Sialan, dasar bedebah," pekik Jesika.Ia pun menghubungi Ratna, mertuanya itu, untuk mengompori wanita tua itu juga."Ada apa, Jesika," tanya Ratna. Ketika menjawab panggilan telepon Jesika."Mah, rumah kak Najib digadaikan Ganesa ke Bank. Bahkan, kak Ganesa tidak mau membayarnya lagi dan pergi dari rumah, bersama laki-laki lain.""Jesika, kamu jangan coba mengada-n
Bab139Mendengar ucapan Najib, dada Jena bergetar, sembari memandangi sesaat wajah Andre, suami yang baru sah pagi tadi menjadi miliknya."Mas, kenapa ada orang kedua yang berucap tentang hal ini. Jika saat itu, Lena kamu katakan berhalusinasi, lalu itu tadi apa?" tanya Jena, ketika mereka duduk di pelaminan."Aku akan jelaskan nanti, usai resepsi ini selesai, bisa kan?" tanya Andre kembali, merasa tidak nyaman.Jena hanya menghela napas berat, menatap Andre dengan tatapan kekecewaan."Salah diri ini, memilih menyimpan bangkai, di bandingkan bercerita kepadanya. Kalau sudah begini, aku hanya menimbulkan getar keraguan di mata Jena," batin Andre.Kini perasaan keduanya menjadi gamang. Sedangkan Ganesa, hanya menatap biasa kepada pasangan itu.Meskipun awal kedatangan Ganesa, sempat membuat Andre gelisah. Namun ketika Ganesa ti
Bab138"Ya, ada apa? Ibu kenal?" tanya Jena.Aku menatap Jena sesaat."Cuma tahu, kalau mengenal banget sih, nggak."Jena mengangguk. "Datang ya, Bu.""Insya Allah," jawabku.Jena pun keluar dari ruanganku, karena memang hanya memberikanku undangan pernikahannya.Aku menyandarkan tubuh di kursi, sambil menscroll status teman-teman kontak whatappku.Terlihat Jesika mengunggah sebuah foto, yang memperlihatkan kemesraannya dengan suamiku. Padahal berkas permohonan perceraian kami, baru masuk beberapa hari yang lalu.Tapi wanita ini, sudah sangat percaya diri, untuk memperlihatkan kemesraan mereka.Aku tersenyum kecut, melihat foto itu. Disusul ketikan status, status yang nyaris 100% memburukkanku."Wanita yang tega meninggalkan suaminya, hanya demi ambisinya. Ka
Bab137●Pov Ganesa●"Helena, yang sopan sama Tante Jesika!" bentak mas Najib, lelaki itu bangkit dan menatap tajam anak perempuan kami itu."Cepat minta maaf," titah mas Najib lagi pada Helena.Jesika menangis keras. "Ya Allah, mengapa aku hidup begini? Lebih baik aku mati saja, dari pada hidup menjadi beban dan hinaan mereka saja.""Jesika, kamu apa-apaan sih?" Mas Najib memindai Jesika dengan aneh."Mas, anak kamu sekarang tega menyakiti hatiku. Tega sekali, membuat hatiku bergejolak sakit.""Uuwu sekali," seruku, ketika melihat sikap Jesika, yang terang-terangan, berani memegangi lengan suamiku."Cepatlah pergi, sebelum rumah ini semakin hancur."Aku berjalan menaiki tangga, melewati Helena yang sudah aku diam kan beberapa hari ini. Tidak lagi kutegur, mau pun aku pedulikan.