Korban Perceraian
Part3"Hai cantik, kamu pasti Ganesa," ucap wanita berambut sebahu itu, lalu dia memeluk lengan lelaki yang mereka sebut Papa.
"Siapa?" tanya Ganesa dengan tatapan dingin. Hati kecilnya mulai curiga.
"Ganesa, dia Maura! Istri baru Papa," jawab Zaki, Papa si gadis kembar.
Bagaikan petir di siang hari, rasanya menyambar tepat di hati gadis itu. Remuk dan hancur.
Lelaki itu berkata dengan tersenyum. Meskipun dia meragu, namun dia tetap memberanikan diri, membawa Maura, dan memperkenalkan wanita itu pada anak-anaknya.
Ganesa berusaha menahan diri dan tetap bersikap tenang, meskipun dia ingin sekali kini mengamuk.
"Sejak kapan?" tanya Ganesa dengan mengernyit.
"Sini, peluk dulu dong! Kamu jangan seperti wartawan, langsung main wawancara. Memangnya, kamu tidak kangen pada Papa?" tanya Zaki pada Ganesa.
"Jangan mau, Kak! Papa penyebab Mama jahat."
Ganesa tersentak, mendengar Gaby berteriak.
"Gaby, ayolah sayang! Ini sudah keputusan yang tepat untuk kami. Kamu nggak boleh seperti ini," imbuh Zaki, dengan menatap kecewa pada Gaby.
"Papa dan Mama jahat! Kalian semua egois. Kalau tahu begini, untuk apa kami di lahirkan?" teriak Gaby dengan terisak.
Ganesa terdiam, kemudian Maura berbisik pada Zaki. Zaki menoleh ke arah Ganesa.
"Sayang, kamu anak Papa yang paling dewasa." Zaki memegang kedua bahu Ganesa, bahu gadis itu bergetar hebat, menahan rasa marah dan sakit hati.
Zaki merasakan getaran di bahu anak sulungnya itu, dia berniat memeluknya. Namun Ganesa membuat jarak, dan melangkah mundur, tanpa mau bersitatap pada Papanya itu.
Ganesa yang selama ini begitu dekat dengan Zaki, merasa paling sakit hati, mendapati kenyataan pahit ini. Sedangkan Gaby yang memang manja, sangat dekat pada Mamanya. Tidak heran, jika Gaby begitu terluka.
Meskipun lukanya sama, namun Ganesa selalu berusaha kuat, demi adik yang sangat dia sayangi.
"Mengapa kalian tega? Berbahagia, di atas tangisan kami?" tanya Ganesa dengan lirih. Suaranya terdengar pilu, dan sukses menusuk hati Zaki.
"Sayang, maafkan Papa," kata Zaki. Mencoba kembali meraih tubuh anak sulungnya itu, namun Ganesa terus berusaha mundur.
"Papa hentikan, aku tidak ingin jadi anak durhaka," ucap Ganesa dengan suara bergetar.
"Sudahlah, mas. Kita tidak punya banyak waktu." Maura mencekal langkah Zaki.
Zaki tidak banyak punya pilihan, dia pun mengeluarkan uang dan kartu ATM dari dalam tasnya.
"Pegang ini, untuk biaya hidup kalian. Papa akan mengirimkan uang setiap bulannya, ke rekening ini."
"Papa berniat meninggalkan kami juga?" tanya Ganesa, dengan mata yang mulai berkaca.
Zaki mengangguk lemah. "Papa harus bekerja sayang! Kalau Papa di sini, bagaimana Papa bisa menghidupi kalian?" Zaki beralasan.
"Papa bisa membawa kami ke tempat Papa, kami pindah sekolah."
Zaki menggeleng lemah. "Itu tidak mungkin sayang."
"Kenapa tidak mungkin? Papa dan Mama berniat membuang kami?" teriak Gaby.
"Ganesa, jaga adik kamu! Dan terima ini," kata Zaki, sambil meletakkan uang tunai dan kartu ATM itu di atas meja.
Zaki dan Maura melangkah pergi, diiringi isakan tangis dari Gaby, juga Ganesa.
Kali ini, Ganesa terisak, wanita tomboy berambut pendek itu pun menangis tersedu dipojokan. Sedangkan Gaby, yang memang sedari tadi terus menangis, kini mulai kelelahan.
"Lebih baik aku mati, dari pada hidup, dibuang orang tua seperti ini," teriak Gaby.
Gadis itu berlari ke arah dapur. Ganesa yang mendengar ucapan adiknya itu pun berlari menyusulnya.
Gaby meraih pisau dapur, dan mengarahkan mata pisau tajam itu ke nadinya. Namun dengan sigap, Ganesa menggenggam pisau itu, hingga merobek telapak tangannya.
"Aaaa ...." Ganesa memekik.
Melihat darah bercucuran, Gaby gemetar dan terkejut.
"Kakak," lirih Gaby. Kemudian dia segera melepaskan pisau itu dari tangannya. Hingga pisau itu jatuh ke lantai, dan Ganesa memekik menahan rasa perih dan sakit luar biasa.
Gaby berlari menuju lemari dapur, tempat penyimpanan kotak P3K. Wanita itu meraih kotak itu dengan panik, hingga menabrak kursi.
"Hati-hati Gaby," ucap Ganesa, yang merasa khawatir dengan adiknya itu.
Gaby duduk di dekatnya dengan gemetar, sembari terisak.
"Kenapa Kakak melakukan ini," tanyanya dengan terisak. Gaby merasa sangat bersalah, membuat Ganesa terluka.
"Kamu jahat, kamu nggak sayang Kakak."
"Gaby sayang kakak," jawabnya. Matanya fokus mengobati luka telapak tangan kakaknya.
"Kalau kamu sayang kakak, kenapa kamu mau ninggalin kakak juga? Apa bedanya kamu sama Papa dan Mama?" lirih Ganesa, gadis itu pun kembali terisak.
Hatinya sakit, dadanya sesak. Orang-orang yang dia sayangi, semua berniat pergi.
"Aku sakit hati, Kak. Aku merasa, kita ini anak yang tidak di harapkan."
"Biarlah sayang! Kita akan hidup berdua. Yang penting, Papa mau ongkosin kita, setidaknya hingga kita lulus sekolah. Kamu dan kakak, harus buktikan pada Mama dan Papa, kita tetap bisa bahagia, walau tanpa mereka."
"Tapi Gaby nggak kuat kak, Gaby nggak bisa tanpa Mama," ungkapnya.
Meskipun hati Ganesa sakit, namun dia berusaha terlihat tegar dan kuat, demi Gaby. Jika dia lemah, maka Gaby akan semakin terpuruk.
"Gaby harus kuat, demi kakak, sayang."
Gaby menatap wajah kakaknya, dengan mata berembun. Hati Ganesa seakan remuk, kala mengingat kenangan keluarganya semasa bersama.
"Apa yang mereka lakukan? Mereka membuangku dan Gaby, demi kebahagian mereka. Sedangkan aku dan Gaby, harus berjuang bangkit, dari keterpurukan." Ganesa berkata dalam hati.
Kedua saudara kembar itu pun kembali menenangkan hati mereka.
"Kak, ayo makan!" ajak Gaby. Meskipun hilang selera, Ganesa tetap berusaha makan.
Semua demi Gaby, Ganesa tidak akan menunjukan luka hatinya, demi menjaga mental Gaby, agar tidak rapuh.
Meskipun kenyataannya, hati Ganesa kini menjerit, sakit dan teramat sakit.
_______"Kamu kenapa, Mas?" Maura bertanya pada Zaki. Wanita itu merasa gusar dan khawatir, mengamati Zaki yang sedari tadi terus terdiam.
Maura takut, takut Zaki berubah pikiran.
"Aku tidak apa-apa."
"Mas, aku nggak mau tahu pokoknya. Kamu nggak boleh terlalu berhubungan pada si kembar, apapun alasannya, meski dia anak kandungmu."
"Maura, kamu tidak kasihan pada mereka? Kini Andin pun pergi entah kemana. Semua gara-gara kamu, yang membuat Andin tahu semuanya."
Maura mendengkus, dia memang sengaja melakukan itu pada Andin. Maura ingin memiliki Zaki seutuhnya, tanpa ada Andin, mau pun si kembar.
"Jadi kamu menyesal?" tanya Maura dengan emosi tertahan.
Zaki kembali terdiam, mata lelaki itu tetap fokus menatap jalanan, sambil mengemudi. Meskipun otaknya berkeliaran wajah anak kembarnya yang menangis.
"Aku bisa saja menarik semua fasilitas yang kamu miliki saat ini. Ingat ya, Mas. Kamu itu pengangguran yang aku tampung! Hidup kamu dan si kembar, ada di tanganku. Jadi, jangan macam-macam," ancam Maura dengan tegas.
Zaki hanya bisa menghela napas berat. Selama ini Zaki berbohong pada istri dan anaknya.
Lelaki itu tidak bekerja di luar kota, melainkan menikahi mantan pacarnya yang terbilang kaya. Selama setahun ini, Maura-lah yang membiayai hidup Zaki, dan anak, serta istrinya.
Namun Maura yang semakin terbuai cinta buta pun, menunjukkan keserakahannya.
Maura meminta Andin mundur, jika Andin menolak, masa depan si kembar taruhannya.Mendengar Andin pergi, tentu saja Maura merasa menang dan menjadi satu-satunya milik Zaki. Bahkan, si kembar pun tidak dia izinkan, berada di sisi lelaki yang kini berada di genggamannya.
"Aku merasa menjadi Papa mereka yang dzolim," gumam Zaki dengan pelan. Suaranya nyaris tak terdengar.
Maura pun bersikap acuh tak acuh, dia tidak akan melunakkan hati, apapun alasannya.
_______ Ganesa dan Gaby bersiap-siap untuk ke sekolah. Wanita berambut panjang, berwajah oval itu pun terlihat gusar, apalagi mengingat berbagai sindiran, serta hinaan kawan-kawan sekolahnya."Mengapa Mama sekejam ini? Apa Mama tidak tahu? Bahwa aku selalu berusaha menjadi anak yang baik dan pintar." Gaby bergumam di depan cermin.
"Apakah Mama malu, punya anak sepertiku? Cuma aku yang cengeng, dan banyak maunya." Gaby bergumam sedari tadi dalam hati.
Lagi, Gaby merasakan nyeri di hatinya. Ganesa membuka kamar Gaby, dan memintanya segera keluar, untuk sarapan bersama.
Jika biasanya mereka sarapan dengan senyuman dan candaan, kini hanya kebisuan yang tercipta di meja makan.
Tidak ada Mama, juga tidak ada Papa. Hanya anak kembar itu yang sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Ganesa dan Gaby menuju sekolah. Debar jantung Gaby bertalu-talu, di tambah tatapan tajam dari wajah-wajah murid yang membenci kelakuan Ibu mereka, yang dilayangkan kepada gadis kembar itu.
Ganesa dan Gaby berpisah di parkiran sepeda.
"Woy si kembar," Nuna berteriak dengan riang, dan berlari ke arah Ganesa.
"Baru datang?" tanya Ganesa, sambil tersenyum.
"Iya, hai Gaby, apa kabar." Nuna menyapa Gaby, yang berniat memisahkan diri, karena beda ruang kelas.
"Aku baik, Na." Gaby menjawab sekenanya.
"Bagaimana luka di bibirmu? Apakah Gaby ada bertanya?"
"Nggak ada, kami terlalu banyak masalah! Tidak ada waktu untuk saling memperhatikan."
Ganesa dan Nuna memasuki ruang kelas, membuat seisi ruangan riuh. Kedua gadis itu terheran, menatap kawan-kawannya yang bersorak.
Kemudian kedua gadis itu menoleh ke arah papan tulis. Ganesa tercengang, melihat foto besar bergambar wajah Ibunya yang berpakaian seksi terpasang di sana.
"Siapa yang melakukan ini?" teriak Nuna.
"Sa, Ibumu boleh juga, bisa di boking nggak?" ledek Brian, kawan satu ruangannya.
"Hahaha, tua-tua keladi, makin tua makin jadi euy." Salah satu kawannya ikut mengejek.
"Pelakor lagi naik daun guys. Meski pun tua, yang penting anu ...." Lili tertawa keras, ikut mengejek Ibu Ganesa.
Ganesa memerah, sakit hati dan juga malu. Gadis itu tanpa suara, dia berdiri dengan langkah cepat. Dan meraih foto itu, serta menyobeknya dengan brutal.
"Kalian pada jahat, mulutnya." Nuna berkata dengan kesal.
"Jahatan mana dengan Ibu G2. Ibu mereka adalah sosok penghancur rumah tangga Ibu Naura."
"Jadi menurut kalian yang salah itu cuma Ibu G2. Dan Papa Naura itu tidak berdosa?"
"Namanya juga kucing di kasih ikan, ya diembatlah."
"Kok bicaramu seperti orang yang sudah paham dan berpengalaman masalah kucing? Apa jangan-jangan kamu salah satunya? Korban kucing, atau simpanan kucing," sindir Nuna dengan pedas, ketika Lili menyahut ucapannya.
Korban PerceraianPart4 Bullying di sekolah pun mulai mereka terima, kebencian yang Naura tanamkan di hati teman-temannya, begitu dalam kepada si Kembar, yang bahkan juga menjadi korban kegagalan orang tuanya. Danur berlari ke ruang kelas Ganesa. "Nesa," teriak Danur, dengan napas tersenggal, dia berusaha mengatur laju napasnya. Semua menoleh ke arah lelaki berwajah blasteran itu. "Gaby, dia di bully di dalam kelas," ucapnya. Ganesa menghempas sobekan foto di tangannya. Dia pun langsung berlari kencang, tanpa perduli dengan teriakan kawan-kawannya yang mentertawakannya. Ganesa berhenti tepat di depan ruang kelas Gaby. Adiknya yang malang itu, masih menggendong tas di kedua bahunya. Rambut hitam panjangnya yang semula terikat dengan rapi, kini terurai berantakan. Di atas kepalanya, di penuhi telur busuk dan juga tepung putih yang merebak mewarnai rambut. Gaby terisak, sambil menyeka air matanya. Bajunya te
Korban PerceraianPart5 Ganesa tercenung di depan jendela kamarnya, terkadang, dia sesekali melirik jam dinding yang ada di dalam kamar kecil miliknya. Akankah yang di katakan Ibunya itu sungguh-sungguh. Bahwa Gaby, akan di bawa pergi. Ganesa menggeleng, berharap prasangka nya salah. Ganesa masih meyakini, Ibu nya hanya emosi sesaat, dia tidak akan tega memisahkan Gaby dan Ganesa. Namun, lagi-lagi masalah tega mengusik hati Ganesa. Meninggalkan mereka berdua saja Ibunya tega, apalagi memisahkan mereka, itu hal mudah bagi Ibunya. Hati Ganesa mencelos, bulir bening menemani hari nya yang menyakitkan. Entah kenapa, rasanya dia semakin berkecil hati, meskipun Ganesa selalu berusaha kuat. "Mengapa mereka seakan menghindariku? Apa salahku sebagai anak? Mengapa aku di lahirkan, jika hanya untuk di sia-siakan." Batin Ganesa terus bergejolak, ada rasa sakit yang tidak mampu dia ucapkan. Bahkan air mata sekalipun, ti
Ketika Mama dan Papa PergiPart6Ganesa menatap daun pintu, dirasa sudah aman, dia pun perlahan melepas jarum inpus yang tertancap di tangannya."Nesa, apa yang kamu lakukan?" tanya Nuna."Shutt ...." Ganesa memberi isyarat diam. "Kita harus keluar, aku nggak mau berhadapan dengan Dokter itu lagi.""Taa-pi." Nuna kebingungan. Dia berniat menahan Ganesa, namun dia takut menyinggung hati sahabatnya itu.Nuna berpikir, mungkin Ganesa tidak ingin merepotkannya, padahal dia sama sekali tidak keberatan menolong Ganesa.Ganesa mengajak Nuna keluar ruangan dengan hati-hati. Mereka melangkah dengan tenang, seperti orang-orang lainnya yang berlalu lalang, di koridor rumah sakit.Hingga sampai di parkiran, kedua gadis itu bergegas meninggalkan halaman rumah sakit.Ganesa dan Nuna menaiki taksi online, yang sudah di pesan Nuna.Nuna menatap Ganesa sesaat. "Ehem, Nesa, tadi kenapa mengaku yatim piatu?" Nuna bertanya dengan p
Korban Perceraian Part7 "Tolong, tolong beri saya waktu," pinta Ganesa, dengan wajah mengiba. Luka dihatinya kian menganga, bahkan dia tidak tahu lagi bagaimana cara mengobatinya. Laki-laki suruhan Maura itu mendengkus, sembari membuang ludah di samping Ganesa. Lelaki itu berkacak pinggang, sembil menunjuk-nunjuk wajah Ganesa. "Kamu pikir kita lagi bernegoisasi? Aku ini disuruh untuk mengusir kamu dari tempat ini, kamu paham nggak sih!" bentaknya. Suara kasar itu mengundang Rohmah tetangga Ganesa untuk keluar. Rohmah yang baru pulang dari kebunnya itu pun bergegas menuju pekarangan rumahnya, mencari asal suara orang ribut yang mengganggu telinganya. Rohmah amat terkejut, melihat Ganesa yang menangis, sembil duduk di tanah. Sedangkan beberapa tetangga lainnya, hanya melihat kejadian itu di balik jendela, tanpa ada niatan untuk mendekat. "Ganesa, ini ada apa sayang?" tanya Rohmah, s
Korban PerceraianPart8 "Nak Ganesa, Ibu tahu kamu anak yang kuat dan hebat. Ibu, para Guru dan semua murid di Sekolah ini, bangga sama kamu sayang." Retno berkata sambil terisak, hatinya perih, kala memeluk tubuh gadis tomboy ini yang bergetar hebat. Namun tidak ada terdengar isakan tangis darinya. Retno mengurai pelukan, semua mata tertuju pada Ganesa. "Dalam hidup ini, seperih apapun keadaannya, berjanjilah, bahwa Ganesa akan terus semangat dan sukses kedepannya nanti." Ganesa tersenyum getir."Ibu jangan khawatir." Hanya itu yang dia katakan. "Berjanjilah, Nak!" pinta Retno penuh harap. "Insya Allah! Apapun yang terjadi, Ganesa berpasrah pada Si Pemilik Kehidupan." Naura memandangi Ganesa tanpa iba, api dendam masih membara dihatinya. Meskipun tidak sebesar dulu lagi. Namun begitu dalam tertanam di hatinya, bahwa Ganesa dan seluruh keluarganya, adalah orang yang bersalah di retaknya r
Korban PerceraianPart9 "Hamil," gumam Andin. Wanita itu menatap lekat alat test kehamilan di tangannya. Garis merah dua itu, berhasil membuat Andin gusar. "Bagaimana hasilnya?" tanya Rasid, lelaki yang masih berstatus suami wanita lain itu bertanya dengan penasaran. Andin berdiri di muara pintu kamar mandi. Kemudian dia menyodorkan hasil testpack itu, kepada Rasid. "Apa? Hamil," pekik Rasid. "Kenapa kamu begitu terlihat syok? Apa ada yang salah?" tanya Andin, wanita itu mulai merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Hanya menatap lekat wajah sang kekasih saja, dia sudah merasakan sesuatu yang tidak beres. "Gugurkan saja! Aku tidak menginginkan anak ini," kata Rasid, sembari melempar asal, benda pipih itu. "Mas, apa maksud kamu?" teriak Andin. "Ini darah daging kamu, Mas. Aku nggak mungkin menggugurkannya, kamu harus tanggung jawab." Rasid menatap Andin dengan tatapan remeh."Tanggung jawab bagaimana? Bukankah k
Korban PerceraianBab10 Andin merasa telah menjadi Ibu yang gagal. Bahkan, kini buah hatinya tidak tahu ada dimana. Sejauh kaki melangkah, Andin tetap tidak menemukan jejak Ganesa sama sekali. Bahkan menghubungi nomor Zaki pun, sudah tidak bisa lagi. Entah bagaimana, sepertinya nomor Andin, masuk dalam daftar tolak otomatis di ponsel Zaki. Andin terpaku dengan kegagalannya sebagai seorang Ibu. Sedangkan di rumahnya, Rasid begitu bahagia. Bagaimana tidak, dengan leluasa, dia meneguk madu muda, yang ditinggalkan Ibunya begitu saja. Bagi Rasid, Gaby cantik dan mempesona, juga menggairahkan. Bodoh, jika dia memberinya makan, namun tidak bisa meneguk madu manisnya. Apalagi, Rasid bukan Ayah kandungnya. Hanya pacar Ibunya, yang diberi kesempatan, untuk menikmati anaknya juga. Rasid sangat terbuai, dan ketagihan, dengan rasa manis yang dia isap dari gadis muda, yang kini tanpa sadar, sudah kehilangan kehormatannya.
Bab11 Ganesa menempati sebuah barak kayu yang terbilang sempit. Namun demi bertahan hidup seorang diri, Ganesa harus kuat melewatinya. Pagi itu, Ganesa sedikit terburu-buru, untuk berangkat kerja. Meskipun harus berjalan kaki selama 30 menit. Ganesa tetap berusaha kuat menjalani hidupnya. "Kamu terlambat 1 menit." Supervisornya yang bernama Alice menatap tajam wajah Ganesa. "Maaf, Bu. Aku, aku kesiangan," sahut Ganesa menunduk. "Hhmmm, baiklah kumaafkan. Lain kali, kamu harus bisa mengatur waktumu dengan disiplin. Sebab saya tidak suka, karyawan yang terlambat datang bekerja." "Baik." Ganesa memasuki minimarket itu, tempat kini dia bekerja. Dia berjalan menuju ruang karyawan, untuk meletakkan barangnya. "Nesa, kamu nampak terlihat pucat," tegur Asri, teman satu profesinya. Ganesa menghela napas. "Aku hanya kurang tidur dan istirahat sepertinya," jawab Ganesa. "Apakah kamu mencuci lagi m
Bab145"Mamah Helena mohon! Helena janji akan jadi anak yang baik untuk Mamah dan Papah. Helena juga akan menuruti, apapun kemauan kalian," kata Helena memohon pada Ganesa.Ganesa terdiam, terpaku mendengarkan tangisan pertama anak gadisnya."Ganesa, bukannya maksud Mamah ingin ikut campur. Tapi tolong kamu pikirkan lagi, demi anak kalian. Beri Najib kesempatan sekali lagi, jika dia berulah kembali, maka apapun yang terjadi, Mamah akan dukung kamu 100 persen, Nak.""Iya Ganesa, bukannya kakak tidak mengerti perasaan kamu. Kakak ngerti banget. Tapi tidak ada salahnya, jika kamu pikirkan lagi."Terdengar langkah kaki pelan seseorang, berjalan ke arah mereka. Najib, memandang sayu ke arah mereka bertiga."Ganesa," panggil Najib. Ganesa pun tidak menoleh ke arah lelaki itu, dia hanya terdiam, dengan pikirannya yang terus berperang dengan hati.
Bab144 "Jadi ini, laki-laki yang menjadi selingkuhan kamu? Dan berarti benar yang dikatakan Jesika, kamu gadaikan rumah, demi lelaki ini," tunjuk Najib. Julian mengernyit. "Najib, kamu nggak malu di lihat orang? Kamu lagi berdongeng?" tanya Ganesa dengan tenang menanggapi Najib. "Ayo pulang!" ajak Najib. Ganesa berdiri, dan menatap Najib sengit. "Kamu pikir kamu siapa? Seenaknya mengusir aku dari rumahku sendiri, demi wanita lain. Dan kini datang kesini, hanya untuk mempermalukan aku?" "Ganesa, kamu itu masih istriku yang sah." "Oh ya? Sekarang baru kamu merasa aku istrimu! Sebelumnya bukan? Sehingga kamu seenaknya menyakitiku, dan selalu membela wanitamu. Ah, sudahlah, aku malas untuk berdebat. Sekarang pergi dari sini, atau kami
Bab143"Berapa lama?" Najib masih bertanya."Seminggu. Berangkatnya tadi pagi.""Seminggu? Lama sekali."Najib merasa kesal dan ingin marah. Tapi dia tidak tahu, harus marah pada siapa.Najib pulang ke rumah, dengan perasaan frustasi."Kenapa kamu?" tanya Ratna."Nggak apa-apa," sahut Najib seadanya. Ia pun menaiki anak tangga dengan gontai, menuju ke kamarnya.Di dalam kamar, dia membayangkan wajah Ganesa, wanita yang kini sangat dia rindukan. Bahkan Najib tidak bisa marah sama sekali, ketika tahu Ganesa menggadaikan rumah ini.Najib tahu, Ganesa tidak berniat jahat. Jika dia jahat, maka rumah ini tidak lagi dia gadaikan, tetapi dia jual."Ganesa, mas rindu sekali, sayang," lirih Najib memeluk guling.Sedangkan di Butik Ganesa, wanita i
Bab142●Pov Najib●"Mah, Najib menyesal," lirihku."Sudah Mamah ingatkan berkali-kali sebelumnya. Tapi kamu, tetap kekeh berkelakuan di belakang. Kalau sudah begini bagaimana.""Mah, biarkan saja sudah kalau begini. Besok kita balik ke Bandung lagi. Lagian, ini itu salahnya Najib sendiri," kata kak Aya dengan raut wajah kecewa.Aku tahu, aku yang salah dan terlalu angkuh dengan pencapaianku sendiri. Terlebih, Jesika selalu memujiku tampan, baik dan rupawan, juga hartawan. Aku melayang, dengan kesombongan diri yang berakhir kacaunya rumah tanggaku.Aku selalu memandang tak suka pada Ganesa. Entah mengapa, aku menganggap Ganesa layaknya wanita yang serba gagal.Gagal menjadi Ibu yang baik bagi anakku, dan gagal menjadi istri, yang bisa membuat suaminya setia.Bagaimana dia bisa membuatku setia? Jika setiap
Bab141"Astagfirullah, kak Najib," seru Jesika, dengan mata membulat karena terkejut, melihat Najib yang begitu marah."Apa yang kamu katakan tadi? Berani sekali kamu berkata seburuk itu pada Putriku," bentak Najib berang."Mas, kami hanya bercanda." Jesika membujuk."Bohong, Pah. Tante dari tadi menghina dan memakiku."Mendengar penuturan Putrinya, Najib semakin marah pada Jesika."Helena, kok kamu ngomong begitu, sih. Tega kamu sama Tante," lirih Jesika sembari menunjuk. Tangannya memilin-milin baju dengan gemetar."Sebaiknya, kamu angkat kaki dari rumah ini," pinta Najib dengan dingin.Jesika mendongak. "Sayang, kok ngomong begitu. Janganlah pake emosi gitu, kita kan bisa bicara baik-baik.""Aku mendengar semuanya. Demi menjaga mental anakku, pergilah dari rumah ini. Kamu dan aku,
Bab140Entah keyakinan dari mana, Jesika memberanikan diri menelpon mertuanya, juga kakak iparnya.Tangis palsu Jesika pecah, ketika menceritakan deritanya bersama Najib di rumah ini."Jesika, nggak mungkin Ganesa melakukan itu! Kamu jangan mengada ngada ya," kata Aya, Kakak tertua Najib."Sumpah kak. Ganesa pergi dari rumah ini, dan hidup bersama lelaki lain. Bahkan dia gadaikan rumah Kak Najib ini, demi membahagiakan lelakinya.""Astagfirullah, kakak akan hubungi Ganesa dulu." Sambungan telepon seketika di matikan begitu saja.Jesika meradang. "Sialan, dasar bedebah," pekik Jesika.Ia pun menghubungi Ratna, mertuanya itu, untuk mengompori wanita tua itu juga."Ada apa, Jesika," tanya Ratna. Ketika menjawab panggilan telepon Jesika."Mah, rumah kak Najib digadaikan Ganesa ke Bank. Bahkan, kak Ganesa tidak mau membayarnya lagi dan pergi dari rumah, bersama laki-laki lain.""Jesika, kamu jangan coba mengada-n
Bab139Mendengar ucapan Najib, dada Jena bergetar, sembari memandangi sesaat wajah Andre, suami yang baru sah pagi tadi menjadi miliknya."Mas, kenapa ada orang kedua yang berucap tentang hal ini. Jika saat itu, Lena kamu katakan berhalusinasi, lalu itu tadi apa?" tanya Jena, ketika mereka duduk di pelaminan."Aku akan jelaskan nanti, usai resepsi ini selesai, bisa kan?" tanya Andre kembali, merasa tidak nyaman.Jena hanya menghela napas berat, menatap Andre dengan tatapan kekecewaan."Salah diri ini, memilih menyimpan bangkai, di bandingkan bercerita kepadanya. Kalau sudah begini, aku hanya menimbulkan getar keraguan di mata Jena," batin Andre.Kini perasaan keduanya menjadi gamang. Sedangkan Ganesa, hanya menatap biasa kepada pasangan itu.Meskipun awal kedatangan Ganesa, sempat membuat Andre gelisah. Namun ketika Ganesa ti
Bab138"Ya, ada apa? Ibu kenal?" tanya Jena.Aku menatap Jena sesaat."Cuma tahu, kalau mengenal banget sih, nggak."Jena mengangguk. "Datang ya, Bu.""Insya Allah," jawabku.Jena pun keluar dari ruanganku, karena memang hanya memberikanku undangan pernikahannya.Aku menyandarkan tubuh di kursi, sambil menscroll status teman-teman kontak whatappku.Terlihat Jesika mengunggah sebuah foto, yang memperlihatkan kemesraannya dengan suamiku. Padahal berkas permohonan perceraian kami, baru masuk beberapa hari yang lalu.Tapi wanita ini, sudah sangat percaya diri, untuk memperlihatkan kemesraan mereka.Aku tersenyum kecut, melihat foto itu. Disusul ketikan status, status yang nyaris 100% memburukkanku."Wanita yang tega meninggalkan suaminya, hanya demi ambisinya. Ka
Bab137●Pov Ganesa●"Helena, yang sopan sama Tante Jesika!" bentak mas Najib, lelaki itu bangkit dan menatap tajam anak perempuan kami itu."Cepat minta maaf," titah mas Najib lagi pada Helena.Jesika menangis keras. "Ya Allah, mengapa aku hidup begini? Lebih baik aku mati saja, dari pada hidup menjadi beban dan hinaan mereka saja.""Jesika, kamu apa-apaan sih?" Mas Najib memindai Jesika dengan aneh."Mas, anak kamu sekarang tega menyakiti hatiku. Tega sekali, membuat hatiku bergejolak sakit.""Uuwu sekali," seruku, ketika melihat sikap Jesika, yang terang-terangan, berani memegangi lengan suamiku."Cepatlah pergi, sebelum rumah ini semakin hancur."Aku berjalan menaiki tangga, melewati Helena yang sudah aku diam kan beberapa hari ini. Tidak lagi kutegur, mau pun aku pedulikan.