Share

Sakit

Author: Rias Ardani
last update Last Updated: 2021-10-05 14:29:11

Korban Perceraian 

Part5

Ganesa tercenung di depan jendela kamarnya, terkadang, dia sesekali melirik jam dinding yang ada di dalam kamar kecil miliknya.

Akankah yang di katakan Ibunya itu sungguh-sungguh. Bahwa Gaby, akan di bawa pergi. Ganesa menggeleng, berharap prasangka nya salah.

Ganesa masih meyakini, Ibu nya hanya emosi sesaat, dia tidak akan tega memisahkan Gaby dan Ganesa.

Namun, lagi-lagi masalah tega mengusik hati Ganesa. Meninggalkan mereka berdua saja Ibunya tega, apalagi memisahkan mereka, itu hal mudah bagi Ibunya.

Hati Ganesa mencelos, bulir bening menemani hari nya yang menyakitkan. Entah kenapa, rasanya dia semakin berkecil hati, meskipun Ganesa selalu berusaha kuat. 

"Mengapa mereka seakan menghindariku? Apa salahku sebagai anak? Mengapa aku di lahirkan, jika hanya untuk di sia-siakan." Batin Ganesa terus bergejolak, ada rasa sakit yang tidak mampu dia ucapkan. 

Bahkan air mata sekalipun, tidak mampu mengobati luka hatinya kini, yang ada semakin membuatnya sakit dan teramat perih. 

*******

"Kamu akan ikut Mama, biarlah Ganesa bersama Papa."

Gaby yang mendengar penuturan Andin itu pun kembali terkejut.

"Mana mungkin, Papa datang bersama istri barunya. Gaby meminta Papa membawa kami, namun Papa menolak," papar Gaby.

Andin menghela napas berat, wanita itu menepis segala rasa yang mengganggu hatinya. Dia tidak ingin terganggu dengan banyaknya beban pikiran yang tidak bermuara.

"Kalau Ganesa sendiri, mungkin Papa akan iba, dan mau menjemput Ganesa juga."

 

Andin berkata tanpa rasa.

"Ma, kenapa Kakak nggak ikut kita saja?" Gaby bertanya dengan wajah kuyu.

"Papa baru kalian, hanya mengizinkan Mama membawa salah satu dari kalian. Jika kamu keberatan, Mama akan antar kamu kembali ke rumah lama, dan Mama tidak akan bertemu kalian lagi."

"Mama ...." Suara Gaby bergetar. Dilema, hingga membuat lelehan air matanya menyeruak terjun bebas, namun Andin tidak tersentuh sama sekali. 

Gadis manis itu tidak ingin di tinggalkan Ibunya lagi, namun hati kecilnya terus mempertanyakan nasib Kakaknya.

Andin menatap dinding ruang rawat Gaby dengan perasaan sedih.

Namun dia selalu berusaha menepis pikirannya, yang melayangkan wajah Ganesa. Si putri sulung yang malang.

"Anak itu sangat dewasa, aku yakin, dia akan mengerti keputusanku." Andin berkata dalam hati, meskipun ragu, dia tetap berusaha terlihat baik-baik saja.

Dengan menatap dinding bercat putih, Andin kembali berkata. "Hidup ini pilihan, Gaby. Jika kamu salah memilih langkah! Maka derita akan membersamaimu."

Gaby terhenyak. "Ma, apakah Mama tidak mencintai Kakak?" 

Andin menoleh ke arah Gaby, dan tersenyum tipis kepada anaknya itu.

"Tidak ada satu pun orang tua, yang tidak sayang dengan anaknya. Begitupun dengan Mama, cinta Mama pada kalian, itu sama."

"Kalau sama, mengapa cuma Gaby yang Mama bawa?"

"Kalau Mama bawa semua, tandanya Mama serakah! Biarlah Ganesa di rawat Papa."

"Kalau Papa tidak perduli bagaimana? Kasihan, Kakak."

Andin menarik napas dengan berat, ini pilihan, dan aku harus kuat berpendirian. Batin Andin menyerukan, keputusannya sudah bulat. 

"Kamu tinggal pilih, ikut Mama? Atau kembali ke rumah itu." Usai berkata, Andin berdiri.

"Ma ...." Gaby meraih tangan Andin. "Ikut Mama," jawabnya pelan.

****

Ganesa terjaga, dia masih berharap Mama dan adiknya pulang ke rumah. Gadis cantik itu duduk di depan jendela, tepat di samping pintu utama.

Hingga larut malam, yang di harapkan tidak juga kunjung datang. Hingga akhirnya gadis cantik yang malang itu pun terlelap di muara pintu. 

Dinginnya lantai keramik tidak mampu membuatnya bangkit untuk berpindah tempat. Seharian, dia hanya menunggu dengan banyaknya beban pikiran, hingga membuatnya lupa makan.

Ganesa terserang demam, dia beringsut ke dalam kamarnya dengan kepala yang teramat berat dia rasakan. 

Diliriknya kembali jam dinding, sudah menunjukkan pukul enam pagi. Namun tidak ada tanda-tanda kepulangan Ibu dan adiknya.

Niat hati ingin tetap masuk ke sekolah. Namun apalah daya, kini dia hanya bisa meringkuk dengan tubuh gemetar. Panas, dingin dia rasakan. Di tambah dengan kepala yang teramat sakit. 

Ganesa menangis, tidak ada seorang pun di rumah. Mungkin jika dia mati, Mama dan Papa tidak akan merasa sakit hati dan kehilangan.

Tubuh Ganesa semakin bergetar, di tambah sakit di perut yang semakin melilit, akibat tidak ada minum, juga makan.

Ganesa berusaha memberi kabar kepada gurunya, melalui pesan singkat. Namun sialnya, ponsel miliknya habis baterai. Dan chargernya pun di pinjam Gaby. 

Sungguh malang nasib si sulung yang terabaikan. 

Sementara di lain tempat. Gaby dan Andin sudah bersiap menuju sekolah, Andin sudah mantap memindahkan Gaby, dan membawa pergi.

"Gaby, kakak kamu mana?" tanya Nuna, ketika melihat Gaby menuju ruang guru, bersama Mamanya.

Gaby mengernyit, kemudian menoleh ke arah Mamanya. Andin mengerti, dan langsung menjawab pertanyaan Nuna, yang merupakan sahabat baik anaknya itu.

"Ganesa di rumah, mungkin izin hari ini," jawab Andin.

Nuna menatap Andin dengan lekat, dia merasakan kebohongan dari perkataan wanita di depannya kini. Nuna kemudian menoleh ke arah Gaby, gadis berambut panjang itu menunduk.

"Oke." Nuna menjawab singkat. 

Dia berlalu dari hadapan keduanya dengan raut wajah kecewa. Juga merasa khawatir kepada Ganesa, yang sedari tadi sulit untuk dia hubungi.

Nuna berinisiatif untuk ke rumah Ganesa, setelah pulang sekolah.

Gaby merasakan ada yang aneh, tidak biasanya Ganesa tidak hadir ke sekolah. Apakah telah terjadi sesuatu pada kakanya itu? Pikiran Gaby mulai terganggu.

"Ma, setelah ini, kita pulang sebentar ya! Aku khawatir dengan kakak."

"Nggak." 

"Ma, kenapa?" tanya Gaby dengan perasaan sedih bernada kecewa.

Andin menoleh ke arah Gaby dengan tajam.

"Mama capek, jika harus ada drama tangisan lagi, Gaby. Kakak kamu mungkin lagi merajuk di rumah sana! Biarin, dia sudah dewasa."

Gaby merasa frustasi mendengar jawaban Andin. Namun dia tidak berdaya.

Setelah mendapatkan surat pindah, kepala sekolah pun bersalaman kepada Gaby dan Andin, kemudian berkata.

"Gaby, kakak kamu hari ini tidak hadir ke sekolah, nggak biasanya."

Gaby tersenyum dengan raut wajah bingung.

"Ganesa butuh istirahat," jawab Andin singkat. "Kami permisi," lanjutnya dengan angkuh.

Ibu kepala sekolah hanya mengangguk, sembari tersenyum tipis.

Perasaannya pun mulai khawatir, namun dia tidak ingin terlalu jauh terlibat urusan pelik keluarga Ganesa.

_____

Ketukan demi ketukan dari luar rumah, yang berasal dari pintu utama, tidak langsung membuat Ganesa mampu membangunkan dirinya yang teramat lemah tak bertenaga.

Gadis tomboy itu berkali-kali mau tersungkur, memaksakan diri untuk bangkit dan keluar kamar. Dia berjalan dengan terseok, menggapai dinding, menuju pintu depan.

Ganesa memutar kunci, kemudian perlahan membuka pintu.

"Ganesa, kamu kenapa?" tanya Nuna. Gadis berambut panjang bergelombang itu pun sangat terkejut, melihat penampilan Ganesa yang begitu lemah, juga berwajah pucat.

Ganesa tersungkur, dan menabrak tubuh Nuna, yang sedikit berisi dari dia, Ganesa tidak mampu lagi bertahan untuk terus berdiri. 

"Ya ampun, kamu demam, badan kamu panas sekali. Dasar nakal, kenapa kamu malah mengurung diri, kalau kamu mati siapa yang bakal tau." 

Nuna memegang kepala Ganesa sambil mengomel panjang lebar.

"Kalau aku mati pun, tidak akan ada yang merasa kehilangan. Aku sudah di buang, aku tidak di harapkan," lirih Ganesa. 

Nuna merasakan nyeri di hati, mendengar penuturan Ganesa yang begitu pilu.

Nuna memukul pelan jidat Ganesa.

"Mana si tomboy yang biasanya kuat dan tidak cengeng? Hei Ganesa, kamu bukan satu-satunya orang yang paling menderita." 

Ya, Ganesa mungkin sedikit lupa. Bahwa Nuna merupakan seorang anak yang tidak jelas orang tuanya. Nuna hanya bercerita kepada Ganesa, bagaimana keadaan hidupnya yang sebenarnya.

Di buang setelah di lahirkan, di benci Ibu angkat, hingga akhirnya mengakibatkan perceraian kedua orang tua angkatnya. 

Kini, Nuna hanya hidup berdua dengan Ayah angkatnya. Mandul, yang membuat Ayah angkat tidak lagi niat untuk menikah.

"Ayo kita ke Dokter! Kamu harus di obati."

Ganesa tidak menyahut, gadis itu pingsan.

Nuna menangis, firasatnya tidak salah, keputusannya tepat. Demi ke rumah Ganesa, dia rela membolos sekolah, dan kabur di jam pelajaran. Nuna memesan taksi, dan membawa Ganesa ke rumah sakit.

Sementara Gaby dan Andin, mereka akhirnya memutuskan menuju pulang ke rumah. Untuk apa? Hanya untuk mengambil semua baju Gaby. 

Pintu rumah tidak terkunci, Gaby terheran. Gadis itu kemudian dengan langkah lebar, berjalan cepat menuju kamar Ganesa.

"Kosong." Gaby berkata pelan, kerinduannya pada sang kakak tidak terpenuhi. 

"Kenapa kamu ke kamar itu? Cepat bereskan baju kamu!" titah Andin.

"Ma, Kakak nggak ada di rumah, gawainya juga ada di kamar. Nggak biasanya kakak begini," kata Gaby dengan suara pelan. 

Mata hitamnya mulai berembun. Andin yang membaca kesedihan anaknya itu pun segera berkata dengan tegas.

"Cepat bereskan baju kamu! Bagus kalau Ganesa tidak ada, kita nggak perlu pake drama tangisan lagi. Mama juga malas, kalau harus ketemu dia," jawab Andin.

Meskipun hati Gaby terasa nyeri, dia tetap mematuhi perintah ibunya.

Andin dan Gaby meninggalkan rumah, tanpa bertemu Ganesa dahulu, dia bahkan tidak mau memikirkan anak sulungnya itu.

Bukan tidak ingin memikirkan, dia hanya fokus dengan kehidupan barunya. Andin yakin, Zaki tidak mungkin melupakan anak mereka. Apalagi jika Zaki tahu, kini Ganesa seorang diri di rumah itu.

Andin yakin, Zaki akan membawa Ganesa bersamanya.

Sementara di rumah sakit, Dokter menatap Ganesa dan langsung bertanya dimana kedua orang tuanya.

Ganesa yang sudah sadar, dan juga sudah melakukan serangkaian pemeriksaan pun menjawab dengan kuyu.

"Saya yatim piatu, Dok."

Nuna yang mendengar jawaban Ganesa pun sedikit terkejut, namun dia tidak berani menyela pembicaraan mereka.

"Hmm maafkan saya," ucap Dokter merasa bersalah. 

"Tidak masalah." Ganesa menjawab pelan.

"Wali?" tanya Dokter lagi hati-hati.

Ganesa kembali menggeleng. "Mereka semua menjauh, ketika tahu saya miskin." 

"Ganesa, kalau kamu tidak punya orang tua, saya mengerti. Tapi setidaknya kamu punya wali. Ada yang harus saya jelaskan," kata Dokter.

"Saya harap, Wali kamu besok bisa menemui saya! Hari ini, kamu tetap di rumah sakit dulu, beristirahatlah." Usai berkata, Dokter itu pun keluar. Meninggalkan Ganesa dan Nuna dengan tatapan bingung.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Cha Cha
sangat menyentuh dan bikin banjir air mata
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Korban Perceraian   Terusir

    Ketika Mama dan Papa PergiPart6Ganesa menatap daun pintu, dirasa sudah aman, dia pun perlahan melepas jarum inpus yang tertancap di tangannya."Nesa, apa yang kamu lakukan?" tanya Nuna."Shutt ...." Ganesa memberi isyarat diam. "Kita harus keluar, aku nggak mau berhadapan dengan Dokter itu lagi.""Taa-pi." Nuna kebingungan. Dia berniat menahan Ganesa, namun dia takut menyinggung hati sahabatnya itu.Nuna berpikir, mungkin Ganesa tidak ingin merepotkannya, padahal dia sama sekali tidak keberatan menolong Ganesa.Ganesa mengajak Nuna keluar ruangan dengan hati-hati. Mereka melangkah dengan tenang, seperti orang-orang lainnya yang berlalu lalang, di koridor rumah sakit.Hingga sampai di parkiran, kedua gadis itu bergegas meninggalkan halaman rumah sakit.Ganesa dan Nuna menaiki taksi online, yang sudah di pesan Nuna.Nuna menatap Ganesa sesaat. "Ehem, Nesa, tadi kenapa mengaku yatim piatu?" Nuna bertanya dengan p

    Last Updated : 2021-10-05
  • Korban Perceraian   Perpisahan

    Korban Perceraian Part7 "Tolong, tolong beri saya waktu," pinta Ganesa, dengan wajah mengiba. Luka dihatinya kian menganga, bahkan dia tidak tahu lagi bagaimana cara mengobatinya. Laki-laki suruhan Maura itu mendengkus, sembari membuang ludah di samping Ganesa. Lelaki itu berkacak pinggang, sembil menunjuk-nunjuk wajah Ganesa. "Kamu pikir kita lagi bernegoisasi? Aku ini disuruh untuk mengusir kamu dari tempat ini, kamu paham nggak sih!" bentaknya. Suara kasar itu mengundang Rohmah tetangga Ganesa untuk keluar. Rohmah yang baru pulang dari kebunnya itu pun bergegas menuju pekarangan rumahnya, mencari asal suara orang ribut yang mengganggu telinganya. Rohmah amat terkejut, melihat Ganesa yang menangis, sembil duduk di tanah. Sedangkan beberapa tetangga lainnya, hanya melihat kejadian itu di balik jendela, tanpa ada niatan untuk mendekat. "Ganesa, ini ada apa sayang?" tanya Rohmah, s

    Last Updated : 2021-10-05
  • Korban Perceraian   Perayaan Perpisahan

    Korban PerceraianPart8 "Nak Ganesa, Ibu tahu kamu anak yang kuat dan hebat. Ibu, para Guru dan semua murid di Sekolah ini, bangga sama kamu sayang." Retno berkata sambil terisak, hatinya perih, kala memeluk tubuh gadis tomboy ini yang bergetar hebat. Namun tidak ada terdengar isakan tangis darinya. Retno mengurai pelukan, semua mata tertuju pada Ganesa. "Dalam hidup ini, seperih apapun keadaannya, berjanjilah, bahwa Ganesa akan terus semangat dan sukses kedepannya nanti." Ganesa tersenyum getir."Ibu jangan khawatir." Hanya itu yang dia katakan. "Berjanjilah, Nak!" pinta Retno penuh harap. "Insya Allah! Apapun yang terjadi, Ganesa berpasrah pada Si Pemilik Kehidupan." Naura memandangi Ganesa tanpa iba, api dendam masih membara dihatinya. Meskipun tidak sebesar dulu lagi. Namun begitu dalam tertanam di hatinya, bahwa Ganesa dan seluruh keluarganya, adalah orang yang bersalah di retaknya r

    Last Updated : 2021-10-06
  • Korban Perceraian   Kamu Dimana?

    Korban PerceraianPart9 "Hamil," gumam Andin. Wanita itu menatap lekat alat test kehamilan di tangannya. Garis merah dua itu, berhasil membuat Andin gusar. "Bagaimana hasilnya?" tanya Rasid, lelaki yang masih berstatus suami wanita lain itu bertanya dengan penasaran. Andin berdiri di muara pintu kamar mandi. Kemudian dia menyodorkan hasil testpack itu, kepada Rasid. "Apa? Hamil," pekik Rasid. "Kenapa kamu begitu terlihat syok? Apa ada yang salah?" tanya Andin, wanita itu mulai merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Hanya menatap lekat wajah sang kekasih saja, dia sudah merasakan sesuatu yang tidak beres. "Gugurkan saja! Aku tidak menginginkan anak ini," kata Rasid, sembari melempar asal, benda pipih itu. "Mas, apa maksud kamu?" teriak Andin. "Ini darah daging kamu, Mas. Aku nggak mungkin menggugurkannya, kamu harus tanggung jawab." Rasid menatap Andin dengan tatapan remeh."Tanggung jawab bagaimana? Bukankah k

    Last Updated : 2021-10-06
  • Korban Perceraian   Niat Jahat

    Korban PerceraianBab10 Andin merasa telah menjadi Ibu yang gagal. Bahkan, kini buah hatinya tidak tahu ada dimana. Sejauh kaki melangkah, Andin tetap tidak menemukan jejak Ganesa sama sekali. Bahkan menghubungi nomor Zaki pun, sudah tidak bisa lagi. Entah bagaimana, sepertinya nomor Andin, masuk dalam daftar tolak otomatis di ponsel Zaki. Andin terpaku dengan kegagalannya sebagai seorang Ibu. Sedangkan di rumahnya, Rasid begitu bahagia. Bagaimana tidak, dengan leluasa, dia meneguk madu muda, yang ditinggalkan Ibunya begitu saja. Bagi Rasid, Gaby cantik dan mempesona, juga menggairahkan. Bodoh, jika dia memberinya makan, namun tidak bisa meneguk madu manisnya. Apalagi, Rasid bukan Ayah kandungnya. Hanya pacar Ibunya, yang diberi kesempatan, untuk menikmati anaknya juga. Rasid sangat terbuai, dan ketagihan, dengan rasa manis yang dia isap dari gadis muda, yang kini tanpa sadar, sudah kehilangan kehormatannya.

    Last Updated : 2021-12-01
  • Korban Perceraian   Dipermalukan

    Bab11 Ganesa menempati sebuah barak kayu yang terbilang sempit. Namun demi bertahan hidup seorang diri, Ganesa harus kuat melewatinya. Pagi itu, Ganesa sedikit terburu-buru, untuk berangkat kerja. Meskipun harus berjalan kaki selama 30 menit. Ganesa tetap berusaha kuat menjalani hidupnya. "Kamu terlambat 1 menit." Supervisornya yang bernama Alice menatap tajam wajah Ganesa. "Maaf, Bu. Aku, aku kesiangan," sahut Ganesa menunduk. "Hhmmm, baiklah kumaafkan. Lain kali, kamu harus bisa mengatur waktumu dengan disiplin. Sebab saya tidak suka, karyawan yang terlambat datang bekerja." "Baik." Ganesa memasuki minimarket itu, tempat kini dia bekerja. Dia berjalan menuju ruang karyawan, untuk meletakkan barangnya. "Nesa, kamu nampak terlihat pucat," tegur Asri, teman satu profesinya. Ganesa menghela napas. "Aku hanya kurang tidur dan istirahat sepertinya," jawab Ganesa. "Apakah kamu mencuci lagi m

    Last Updated : 2021-12-10
  • Korban Perceraian   Tempat Makan

    Bab12"Sudah, maafkan aku," ucap SPV Ganesa, sembari memberikan pelukan hangat, kepada gadis itu.Ganesa kian terisak, kepedihan dalam hatinya, membungkus dirinya bagaikan selimut yang tebal.Dalam hati dia terus bertanya, apa yang salah dalam hidupnya? Sehingga dia harus menjalani nasib sepelik ini.Terkadang, bayangan keluarganya saja, mampu memporak-porandakan hatinya. Namun sebagai manusia yang tidak memiliki kekuatan selain bertahan, dia tidak begitu banyak keberanian untuk memaksakan kehendak.Meskipun dihati kecilnya, dia ingin sekali bertemu Gaby dan Mamanya.Sepulang dari Minimarket, Ganesa melangkah dengan gontai, menyusuri jalanan komplek, menuju kontrakannya."Nona ...." terdengar suara parau seorang wanita memanggil.Ganesa menoleh, seorang wanita paru baya, tersenyum ke arahnya.Gaya yang nyentrik dan masih cantik, sangat memancar di wajah wanita itu."Saya?" tanya Ganesa memastikan

    Last Updated : 2021-12-18
  • Korban Perceraian   Penghancur Mental

    Bab13"Maaf," ucap Ganesa, dan lekas berjalan dengan cepat, melewati lelaki itu."Ganesa," panggil Tante itu. Dan sedikit berlari, mengejar langkah Ganesa.Begitu juga dengan Andin dan Gaby. Serta si lelaki tadi, yang ternyata adalah Rasyid."Mas yakin itu Ganesa?" tanya Andin, dengan wajah nampak panik."Yakin, yakin banget. Wajahnya sangat mirip dengan Gaby, meskipun dia sangat kurus," sahut Rasyid."Ayo kejar," seru Gaby.Mereka pun menyusul, berlarian mengejar Ganesa yang semakin berlari dengan cepat.Bahkan, wanita yang membawa Ganesa tadi, juga kebingungan, dengan tingkah Ganesa."Mbak ...." Andin memanggil wanita di depannya, yang tidak lagi berlari. Sedangkan Gaby dan Rasyid, masih berlari mengejar langkah Ganesa."Ya." Wanita itu menoleh ke arah Andin, dan menghentikan langkahnya."Mbak kenal Ganesa?""Mbak siapa ya?""Saya Ibunya.""Oh." Wanita itu memindai A

    Last Updated : 2021-12-18

Latest chapter

  • Korban Perceraian   TAMAT

    Bab145"Mamah Helena mohon! Helena janji akan jadi anak yang baik untuk Mamah dan Papah. Helena juga akan menuruti, apapun kemauan kalian," kata Helena memohon pada Ganesa.Ganesa terdiam, terpaku mendengarkan tangisan pertama anak gadisnya."Ganesa, bukannya maksud Mamah ingin ikut campur. Tapi tolong kamu pikirkan lagi, demi anak kalian. Beri Najib kesempatan sekali lagi, jika dia berulah kembali, maka apapun yang terjadi, Mamah akan dukung kamu 100 persen, Nak.""Iya Ganesa, bukannya kakak tidak mengerti perasaan kamu. Kakak ngerti banget. Tapi tidak ada salahnya, jika kamu pikirkan lagi."Terdengar langkah kaki pelan seseorang, berjalan ke arah mereka. Najib, memandang sayu ke arah mereka bertiga."Ganesa," panggil Najib. Ganesa pun tidak menoleh ke arah lelaki itu, dia hanya terdiam, dengan pikirannya yang terus berperang dengan hati.

  • Korban Perceraian   Persidangan

    Bab144 "Jadi ini, laki-laki yang menjadi selingkuhan kamu? Dan berarti benar yang dikatakan Jesika, kamu gadaikan rumah, demi lelaki ini," tunjuk Najib. Julian mengernyit. "Najib, kamu nggak malu di lihat orang? Kamu lagi berdongeng?" tanya Ganesa dengan tenang menanggapi Najib. "Ayo pulang!" ajak Najib. Ganesa berdiri, dan menatap Najib sengit. "Kamu pikir kamu siapa? Seenaknya mengusir aku dari rumahku sendiri, demi wanita lain. Dan kini datang kesini, hanya untuk mempermalukan aku?" "Ganesa, kamu itu masih istriku yang sah." "Oh ya? Sekarang baru kamu merasa aku istrimu! Sebelumnya bukan? Sehingga kamu seenaknya menyakitiku, dan selalu membela wanitamu. Ah, sudahlah, aku malas untuk berdebat. Sekarang pergi dari sini, atau kami

  • Korban Perceraian   Bertemu Najib

    Bab143"Berapa lama?" Najib masih bertanya."Seminggu. Berangkatnya tadi pagi.""Seminggu? Lama sekali."Najib merasa kesal dan ingin marah. Tapi dia tidak tahu, harus marah pada siapa.Najib pulang ke rumah, dengan perasaan frustasi."Kenapa kamu?" tanya Ratna."Nggak apa-apa," sahut Najib seadanya. Ia pun menaiki anak tangga dengan gontai, menuju ke kamarnya.Di dalam kamar, dia membayangkan wajah Ganesa, wanita yang kini sangat dia rindukan. Bahkan Najib tidak bisa marah sama sekali, ketika tahu Ganesa menggadaikan rumah ini.Najib tahu, Ganesa tidak berniat jahat. Jika dia jahat, maka rumah ini tidak lagi dia gadaikan, tetapi dia jual."Ganesa, mas rindu sekali, sayang," lirih Najib memeluk guling.Sedangkan di Butik Ganesa, wanita i

  • Korban Perceraian   Berharap Kembali

    Bab142●Pov Najib●"Mah, Najib menyesal," lirihku."Sudah Mamah ingatkan berkali-kali sebelumnya. Tapi kamu, tetap kekeh berkelakuan di belakang. Kalau sudah begini bagaimana.""Mah, biarkan saja sudah kalau begini. Besok kita balik ke Bandung lagi. Lagian, ini itu salahnya Najib sendiri," kata kak Aya dengan raut wajah kecewa.Aku tahu, aku yang salah dan terlalu angkuh dengan pencapaianku sendiri. Terlebih, Jesika selalu memujiku tampan, baik dan rupawan, juga hartawan. Aku melayang, dengan kesombongan diri yang berakhir kacaunya rumah tanggaku.Aku selalu memandang tak suka pada Ganesa. Entah mengapa, aku menganggap Ganesa layaknya wanita yang serba gagal.Gagal menjadi Ibu yang baik bagi anakku, dan gagal menjadi istri, yang bisa membuat suaminya setia.Bagaimana dia bisa membuatku setia? Jika setiap

  • Korban Perceraian   Sidang Pertama

    Bab141"Astagfirullah, kak Najib," seru Jesika, dengan mata membulat karena terkejut, melihat Najib yang begitu marah."Apa yang kamu katakan tadi? Berani sekali kamu berkata seburuk itu pada Putriku," bentak Najib berang."Mas, kami hanya bercanda." Jesika membujuk."Bohong, Pah. Tante dari tadi menghina dan memakiku."Mendengar penuturan Putrinya, Najib semakin marah pada Jesika."Helena, kok kamu ngomong begitu, sih. Tega kamu sama Tante," lirih Jesika sembari menunjuk. Tangannya memilin-milin baju dengan gemetar."Sebaiknya, kamu angkat kaki dari rumah ini," pinta Najib dengan dingin.Jesika mendongak. "Sayang, kok ngomong begitu. Janganlah pake emosi gitu, kita kan bisa bicara baik-baik.""Aku mendengar semuanya. Demi menjaga mental anakku, pergilah dari rumah ini. Kamu dan aku,

  • Korban Perceraian   Fitnah

    Bab140Entah keyakinan dari mana, Jesika memberanikan diri menelpon mertuanya, juga kakak iparnya.Tangis palsu Jesika pecah, ketika menceritakan deritanya bersama Najib di rumah ini."Jesika, nggak mungkin Ganesa melakukan itu! Kamu jangan mengada ngada ya," kata Aya, Kakak tertua Najib."Sumpah kak. Ganesa pergi dari rumah ini, dan hidup bersama lelaki lain. Bahkan dia gadaikan rumah Kak Najib ini, demi membahagiakan lelakinya.""Astagfirullah, kakak akan hubungi Ganesa dulu." Sambungan telepon seketika di matikan begitu saja.Jesika meradang. "Sialan, dasar bedebah," pekik Jesika.Ia pun menghubungi Ratna, mertuanya itu, untuk mengompori wanita tua itu juga."Ada apa, Jesika," tanya Ratna. Ketika menjawab panggilan telepon Jesika."Mah, rumah kak Najib digadaikan Ganesa ke Bank. Bahkan, kak Ganesa tidak mau membayarnya lagi dan pergi dari rumah, bersama laki-laki lain.""Jesika, kamu jangan coba mengada-n

  • Korban Perceraian   Murka

    Bab139Mendengar ucapan Najib, dada Jena bergetar, sembari memandangi sesaat wajah Andre, suami yang baru sah pagi tadi menjadi miliknya."Mas, kenapa ada orang kedua yang berucap tentang hal ini. Jika saat itu, Lena kamu katakan berhalusinasi, lalu itu tadi apa?" tanya Jena, ketika mereka duduk di pelaminan."Aku akan jelaskan nanti, usai resepsi ini selesai, bisa kan?" tanya Andre kembali, merasa tidak nyaman.Jena hanya menghela napas berat, menatap Andre dengan tatapan kekecewaan."Salah diri ini, memilih menyimpan bangkai, di bandingkan bercerita kepadanya. Kalau sudah begini, aku hanya menimbulkan getar keraguan di mata Jena," batin Andre.Kini perasaan keduanya menjadi gamang. Sedangkan Ganesa, hanya menatap biasa kepada pasangan itu.Meskipun awal kedatangan Ganesa, sempat membuat Andre gelisah. Namun ketika Ganesa ti

  • Korban Perceraian   Pernikahan

    Bab138"Ya, ada apa? Ibu kenal?" tanya Jena.Aku menatap Jena sesaat."Cuma tahu, kalau mengenal banget sih, nggak."Jena mengangguk. "Datang ya, Bu.""Insya Allah," jawabku.Jena pun keluar dari ruanganku, karena memang hanya memberikanku undangan pernikahannya.Aku menyandarkan tubuh di kursi, sambil menscroll status teman-teman kontak whatappku.Terlihat Jesika mengunggah sebuah foto, yang memperlihatkan kemesraannya dengan suamiku. Padahal berkas permohonan perceraian kami, baru masuk beberapa hari yang lalu.Tapi wanita ini, sudah sangat percaya diri, untuk memperlihatkan kemesraan mereka.Aku tersenyum kecut, melihat foto itu. Disusul ketikan status, status yang nyaris 100% memburukkanku."Wanita yang tega meninggalkan suaminya, hanya demi ambisinya. Ka

  • Korban Perceraian   Undangan Jena

    Bab137●Pov Ganesa●"Helena, yang sopan sama Tante Jesika!" bentak mas Najib, lelaki itu bangkit dan menatap tajam anak perempuan kami itu."Cepat minta maaf," titah mas Najib lagi pada Helena.Jesika menangis keras. "Ya Allah, mengapa aku hidup begini? Lebih baik aku mati saja, dari pada hidup menjadi beban dan hinaan mereka saja.""Jesika, kamu apa-apaan sih?" Mas Najib memindai Jesika dengan aneh."Mas, anak kamu sekarang tega menyakiti hatiku. Tega sekali, membuat hatiku bergejolak sakit.""Uuwu sekali," seruku, ketika melihat sikap Jesika, yang terang-terangan, berani memegangi lengan suamiku."Cepatlah pergi, sebelum rumah ini semakin hancur."Aku berjalan menaiki tangga, melewati Helena yang sudah aku diam kan beberapa hari ini. Tidak lagi kutegur, mau pun aku pedulikan.

DMCA.com Protection Status