Korban Perceraian
Bab10Andin merasa telah menjadi Ibu yang gagal. Bahkan, kini buah hatinya tidak tahu ada dimana.
Sejauh kaki melangkah, Andin tetap tidak menemukan jejak Ganesa sama sekali.
Bahkan menghubungi nomor Zaki pun, sudah tidak bisa lagi. Entah bagaimana, sepertinya nomor Andin, masuk dalam daftar tolak otomatis di ponsel Zaki.
Andin terpaku dengan kegagalannya sebagai seorang Ibu. Sedangkan di rumahnya, Rasid begitu bahagia.
Bagaimana tidak, dengan leluasa, dia meneguk madu muda, yang ditinggalkan Ibunya begitu saja.
Bagi Rasid, Gaby cantik dan mempesona, juga menggairahkan. Bodoh, jika dia memberinya makan, namun tidak bisa meneguk madu manisnya.
Apalagi, Rasid bukan Ayah kandungnya. Hanya pacar Ibunya, yang diberi kesempatan, untuk menikmati anaknya juga.
Rasid sangat terbuai, dan ketagihan, dengan rasa manis yang dia isap dari gadis muda, yang kini tanpa sadar, sudah kehilangan kehormatannya.
Bab11 Ganesa menempati sebuah barak kayu yang terbilang sempit. Namun demi bertahan hidup seorang diri, Ganesa harus kuat melewatinya. Pagi itu, Ganesa sedikit terburu-buru, untuk berangkat kerja. Meskipun harus berjalan kaki selama 30 menit. Ganesa tetap berusaha kuat menjalani hidupnya. "Kamu terlambat 1 menit." Supervisornya yang bernama Alice menatap tajam wajah Ganesa. "Maaf, Bu. Aku, aku kesiangan," sahut Ganesa menunduk. "Hhmmm, baiklah kumaafkan. Lain kali, kamu harus bisa mengatur waktumu dengan disiplin. Sebab saya tidak suka, karyawan yang terlambat datang bekerja." "Baik." Ganesa memasuki minimarket itu, tempat kini dia bekerja. Dia berjalan menuju ruang karyawan, untuk meletakkan barangnya. "Nesa, kamu nampak terlihat pucat," tegur Asri, teman satu profesinya. Ganesa menghela napas. "Aku hanya kurang tidur dan istirahat sepertinya," jawab Ganesa. "Apakah kamu mencuci lagi m
Bab12"Sudah, maafkan aku," ucap SPV Ganesa, sembari memberikan pelukan hangat, kepada gadis itu.Ganesa kian terisak, kepedihan dalam hatinya, membungkus dirinya bagaikan selimut yang tebal.Dalam hati dia terus bertanya, apa yang salah dalam hidupnya? Sehingga dia harus menjalani nasib sepelik ini.Terkadang, bayangan keluarganya saja, mampu memporak-porandakan hatinya. Namun sebagai manusia yang tidak memiliki kekuatan selain bertahan, dia tidak begitu banyak keberanian untuk memaksakan kehendak.Meskipun dihati kecilnya, dia ingin sekali bertemu Gaby dan Mamanya.Sepulang dari Minimarket, Ganesa melangkah dengan gontai, menyusuri jalanan komplek, menuju kontrakannya."Nona ...." terdengar suara parau seorang wanita memanggil.Ganesa menoleh, seorang wanita paru baya, tersenyum ke arahnya.Gaya yang nyentrik dan masih cantik, sangat memancar di wajah wanita itu."Saya?" tanya Ganesa memastikan
Bab13"Maaf," ucap Ganesa, dan lekas berjalan dengan cepat, melewati lelaki itu."Ganesa," panggil Tante itu. Dan sedikit berlari, mengejar langkah Ganesa.Begitu juga dengan Andin dan Gaby. Serta si lelaki tadi, yang ternyata adalah Rasyid."Mas yakin itu Ganesa?" tanya Andin, dengan wajah nampak panik."Yakin, yakin banget. Wajahnya sangat mirip dengan Gaby, meskipun dia sangat kurus," sahut Rasyid."Ayo kejar," seru Gaby.Mereka pun menyusul, berlarian mengejar Ganesa yang semakin berlari dengan cepat.Bahkan, wanita yang membawa Ganesa tadi, juga kebingungan, dengan tingkah Ganesa."Mbak ...." Andin memanggil wanita di depannya, yang tidak lagi berlari. Sedangkan Gaby dan Rasyid, masih berlari mengejar langkah Ganesa."Ya." Wanita itu menoleh ke arah Andin, dan menghentikan langkahnya."Mbak kenal Ganesa?""Mbak siapa ya?""Saya Ibunya.""Oh." Wanita itu memindai A
Bab14Andin tidak menghiraukan seruan Gaby. Dia tetap menatap dalam wajah Ganesa yang menunduk."Ganesa, Mama minta maaf, Nak. Mama salah selaam ini, maaf."Ganesa tidak merespon apapun, seperti dulu, dia hanya terdiam, tanpa bisa bersuara apapun. Ganesa berusaha kuat, dan menahan tangisnya dalam hati."Ganesa, Mama paham, jika kamu membenci Mama. Tapi sayang, tolong berikan Mama kesempatan, untuk menebus semua kesalahan ini. Mama mohon, Nak."Andin kembali berusaha menyentuh Ganesa, namun lagi-lagi Ganesa menghindar dan menolak untuk disentuh. Hal itu kembali membuat Gaby kesal, dan menarik napas dalam.Mencoba menahan amarahnya kali ini, melihat sikap Ganesa, yang dia anggap berlebihan.Semua terdiam membeku untuk beberapa saat."Ganesa, ayo Tante antar pulang," ucap wanita, yang sedari tadi diam, menyaksikan keributan mereka.Wanita yang tadinya berniat berbincang-bincang banyak dengan Ganesa, malah menyak
Bab15"Iya Mas ngerti. Mungkin Ganesa perlu waktu, untuk memaafkan kamu.""Tapi Mas, sampai kapan? Aku nggak bisa tenang memikirkan keadaannya yang seperti itu.""Sudahlah, Ma. Yang penting dia hidup," ucap Gaby menimpali."Gaby. Kenapa kamu seperti ini? Dia itu Kakak kamu. Tapi sedari tadi, kamu bersikap seperti ini.""Ma, aku itu nggak suka Kakak Ganesa seperti tadi sama Mama. Mama sudah tulus mencari dan memohon maaf sama Kakak. Tapi apa balasannya? Mama diabaikan seperti tadi.""Gaby. Kamu apakah tidak sadar? Penampilan kamu dan Ganesa itu berbeda. Jadi sudah sangat jelas, kehidupan kalian pun berbeda. Tadi itu, adalah bentuk rasa kecewa dan sakit hatinya pada Mama. Apakah kamu tidak peka sedikitpun pada Kakak kamu sendiri."Gaby terdiam, melihat dan mendengar ucapan Mama nya. Dia tahu, ini bukan saatnya untuk berdebat. Biar bagaimana pun juga, Gaby sangat sayang pada Andin."Sudahlah, kita tidak perlu ribut di sini. Ayo ki
Bab16Sesampainya di depan kontrakkan Ganesa, mereka pun keluar."Ya Allah," gumam Andin dalam hati, ketika melihat lingkungan, tempat tinggal Ganesa.Gaby pun merasa jijik, melihat sekeliling, yang terbilang kumuh dan banyak sampah berserakan."Kakak tinggal di sini? Ih ngeri banget. Aku nggak akan sanggup Ma."Andin hanya terdiam membeku, menyisir sekelilingnya."Ayo," ajak Rasyid.Mereka kembali berjalan, menuju ke kontrakkan tersebut."Mbak, benar nggak di sini alamat Ganesa?" tanya Andin, kepada wanita tua, yang sedang jemur pakaian."Benar. Tapi kemarin sudah pindah, bersama Tante nya katanya.""Pindah. Bersama Tante nya?""Iya. Katanya sih Tante Ganesa. Orangnya cantik dan punya mobil juga. Sepertinya dia orang kaya. Tapi ngomong-ngomong, kalian ini siapa?""Apa rambutnya kriting dan menggunakan mobil putih?" tanya Andin, tanpa menjawab pertanyaan orang tua itu."Betul
Bab17"Sudah lama aku tidak mengunjungi anak-anak," gumam Zaki, sembari menyesap kopinya. Pemandangan pagi yang begitu segar, selepas hujan mengguyur kota Bandung.Zaki duduk di balkon belakang rumah, yang berdiri tegak di tepi jurang. Bangunan rumah berlantai tiga itu, begitu memukau setiap orang yang melihatnya.Sisian jurang, terdapat curuk yang begitu indah dipandang mata. Pemandangan inilah, yang kadang ingin Zaki perlihatkan pada anak-anaknya, yang berada di Kalimantan."Mas," tegur Maura, sembari mendekati Zaki, dan ikut duduk di dekat Zaki yang tengah menikmati udara pagi yang sangat sejuk."Hhmm ....""Sepertinya akhir-akhir ini, Mas sering sekali melamun. Ada apa?" tanya Maura.Zaki menghela napas. "Aku rindu anak-anakku," ungkap Zaki, sembari menghembuskan asap rokoknya ke udara.Mendengar ungkapan Zaki, Maura merasa gugup."Mas ..., Kalimantan itu jauh. Lagi pula, aku dan anak kita, tidak ingin kamu tin
Bab18Gemerlap Ibu kota Jakarta menyilaukan mata Ganesa."Kenapa? Kamu takjub?" tanya Tante Ara, sembari tersenyum ke arah Ganesa."Luar biasa Tan." Mata Ganesa masih berbinar terang, menyusuri jalanan Ibu Kota, menuju ke kediaman Tante Ara."Tante harap, kamu betah tinggal di Kota ini. Tante yakin, kamu akan bahagia, dan bisa sukses.""Kata orang, Jakarta itu keras, Tan.""Semua tempat itu keras. Tinggal bagaimana kamu menyesuaikan diri saja. Jika kamu mau hidup praktis, semua ada jalannya dan konsekuensinya.""Aku nggak mau Tan. Aku terbiasa bekerja keras mencari uang."Tante Ara tersenyum."Karena kamu belum menemukan jalan praktis. Jadi wajar, jika kamu berkata begini."Ganesa terdiam mendengar ucapan Tante Ara.Mobil taksi yang tadinya membawa mereka dari Bandara, kini sudah sampai di titik tujuan, rumah Tante Ara."Ini rumah Tante?" tanya Ganesa, sembari melihat betapa besar dan mewahnya rumah
Bab145"Mamah Helena mohon! Helena janji akan jadi anak yang baik untuk Mamah dan Papah. Helena juga akan menuruti, apapun kemauan kalian," kata Helena memohon pada Ganesa.Ganesa terdiam, terpaku mendengarkan tangisan pertama anak gadisnya."Ganesa, bukannya maksud Mamah ingin ikut campur. Tapi tolong kamu pikirkan lagi, demi anak kalian. Beri Najib kesempatan sekali lagi, jika dia berulah kembali, maka apapun yang terjadi, Mamah akan dukung kamu 100 persen, Nak.""Iya Ganesa, bukannya kakak tidak mengerti perasaan kamu. Kakak ngerti banget. Tapi tidak ada salahnya, jika kamu pikirkan lagi."Terdengar langkah kaki pelan seseorang, berjalan ke arah mereka. Najib, memandang sayu ke arah mereka bertiga."Ganesa," panggil Najib. Ganesa pun tidak menoleh ke arah lelaki itu, dia hanya terdiam, dengan pikirannya yang terus berperang dengan hati.
Bab144 "Jadi ini, laki-laki yang menjadi selingkuhan kamu? Dan berarti benar yang dikatakan Jesika, kamu gadaikan rumah, demi lelaki ini," tunjuk Najib. Julian mengernyit. "Najib, kamu nggak malu di lihat orang? Kamu lagi berdongeng?" tanya Ganesa dengan tenang menanggapi Najib. "Ayo pulang!" ajak Najib. Ganesa berdiri, dan menatap Najib sengit. "Kamu pikir kamu siapa? Seenaknya mengusir aku dari rumahku sendiri, demi wanita lain. Dan kini datang kesini, hanya untuk mempermalukan aku?" "Ganesa, kamu itu masih istriku yang sah." "Oh ya? Sekarang baru kamu merasa aku istrimu! Sebelumnya bukan? Sehingga kamu seenaknya menyakitiku, dan selalu membela wanitamu. Ah, sudahlah, aku malas untuk berdebat. Sekarang pergi dari sini, atau kami
Bab143"Berapa lama?" Najib masih bertanya."Seminggu. Berangkatnya tadi pagi.""Seminggu? Lama sekali."Najib merasa kesal dan ingin marah. Tapi dia tidak tahu, harus marah pada siapa.Najib pulang ke rumah, dengan perasaan frustasi."Kenapa kamu?" tanya Ratna."Nggak apa-apa," sahut Najib seadanya. Ia pun menaiki anak tangga dengan gontai, menuju ke kamarnya.Di dalam kamar, dia membayangkan wajah Ganesa, wanita yang kini sangat dia rindukan. Bahkan Najib tidak bisa marah sama sekali, ketika tahu Ganesa menggadaikan rumah ini.Najib tahu, Ganesa tidak berniat jahat. Jika dia jahat, maka rumah ini tidak lagi dia gadaikan, tetapi dia jual."Ganesa, mas rindu sekali, sayang," lirih Najib memeluk guling.Sedangkan di Butik Ganesa, wanita i
Bab142●Pov Najib●"Mah, Najib menyesal," lirihku."Sudah Mamah ingatkan berkali-kali sebelumnya. Tapi kamu, tetap kekeh berkelakuan di belakang. Kalau sudah begini bagaimana.""Mah, biarkan saja sudah kalau begini. Besok kita balik ke Bandung lagi. Lagian, ini itu salahnya Najib sendiri," kata kak Aya dengan raut wajah kecewa.Aku tahu, aku yang salah dan terlalu angkuh dengan pencapaianku sendiri. Terlebih, Jesika selalu memujiku tampan, baik dan rupawan, juga hartawan. Aku melayang, dengan kesombongan diri yang berakhir kacaunya rumah tanggaku.Aku selalu memandang tak suka pada Ganesa. Entah mengapa, aku menganggap Ganesa layaknya wanita yang serba gagal.Gagal menjadi Ibu yang baik bagi anakku, dan gagal menjadi istri, yang bisa membuat suaminya setia.Bagaimana dia bisa membuatku setia? Jika setiap
Bab141"Astagfirullah, kak Najib," seru Jesika, dengan mata membulat karena terkejut, melihat Najib yang begitu marah."Apa yang kamu katakan tadi? Berani sekali kamu berkata seburuk itu pada Putriku," bentak Najib berang."Mas, kami hanya bercanda." Jesika membujuk."Bohong, Pah. Tante dari tadi menghina dan memakiku."Mendengar penuturan Putrinya, Najib semakin marah pada Jesika."Helena, kok kamu ngomong begitu, sih. Tega kamu sama Tante," lirih Jesika sembari menunjuk. Tangannya memilin-milin baju dengan gemetar."Sebaiknya, kamu angkat kaki dari rumah ini," pinta Najib dengan dingin.Jesika mendongak. "Sayang, kok ngomong begitu. Janganlah pake emosi gitu, kita kan bisa bicara baik-baik.""Aku mendengar semuanya. Demi menjaga mental anakku, pergilah dari rumah ini. Kamu dan aku,
Bab140Entah keyakinan dari mana, Jesika memberanikan diri menelpon mertuanya, juga kakak iparnya.Tangis palsu Jesika pecah, ketika menceritakan deritanya bersama Najib di rumah ini."Jesika, nggak mungkin Ganesa melakukan itu! Kamu jangan mengada ngada ya," kata Aya, Kakak tertua Najib."Sumpah kak. Ganesa pergi dari rumah ini, dan hidup bersama lelaki lain. Bahkan dia gadaikan rumah Kak Najib ini, demi membahagiakan lelakinya.""Astagfirullah, kakak akan hubungi Ganesa dulu." Sambungan telepon seketika di matikan begitu saja.Jesika meradang. "Sialan, dasar bedebah," pekik Jesika.Ia pun menghubungi Ratna, mertuanya itu, untuk mengompori wanita tua itu juga."Ada apa, Jesika," tanya Ratna. Ketika menjawab panggilan telepon Jesika."Mah, rumah kak Najib digadaikan Ganesa ke Bank. Bahkan, kak Ganesa tidak mau membayarnya lagi dan pergi dari rumah, bersama laki-laki lain.""Jesika, kamu jangan coba mengada-n
Bab139Mendengar ucapan Najib, dada Jena bergetar, sembari memandangi sesaat wajah Andre, suami yang baru sah pagi tadi menjadi miliknya."Mas, kenapa ada orang kedua yang berucap tentang hal ini. Jika saat itu, Lena kamu katakan berhalusinasi, lalu itu tadi apa?" tanya Jena, ketika mereka duduk di pelaminan."Aku akan jelaskan nanti, usai resepsi ini selesai, bisa kan?" tanya Andre kembali, merasa tidak nyaman.Jena hanya menghela napas berat, menatap Andre dengan tatapan kekecewaan."Salah diri ini, memilih menyimpan bangkai, di bandingkan bercerita kepadanya. Kalau sudah begini, aku hanya menimbulkan getar keraguan di mata Jena," batin Andre.Kini perasaan keduanya menjadi gamang. Sedangkan Ganesa, hanya menatap biasa kepada pasangan itu.Meskipun awal kedatangan Ganesa, sempat membuat Andre gelisah. Namun ketika Ganesa ti
Bab138"Ya, ada apa? Ibu kenal?" tanya Jena.Aku menatap Jena sesaat."Cuma tahu, kalau mengenal banget sih, nggak."Jena mengangguk. "Datang ya, Bu.""Insya Allah," jawabku.Jena pun keluar dari ruanganku, karena memang hanya memberikanku undangan pernikahannya.Aku menyandarkan tubuh di kursi, sambil menscroll status teman-teman kontak whatappku.Terlihat Jesika mengunggah sebuah foto, yang memperlihatkan kemesraannya dengan suamiku. Padahal berkas permohonan perceraian kami, baru masuk beberapa hari yang lalu.Tapi wanita ini, sudah sangat percaya diri, untuk memperlihatkan kemesraan mereka.Aku tersenyum kecut, melihat foto itu. Disusul ketikan status, status yang nyaris 100% memburukkanku."Wanita yang tega meninggalkan suaminya, hanya demi ambisinya. Ka
Bab137●Pov Ganesa●"Helena, yang sopan sama Tante Jesika!" bentak mas Najib, lelaki itu bangkit dan menatap tajam anak perempuan kami itu."Cepat minta maaf," titah mas Najib lagi pada Helena.Jesika menangis keras. "Ya Allah, mengapa aku hidup begini? Lebih baik aku mati saja, dari pada hidup menjadi beban dan hinaan mereka saja.""Jesika, kamu apa-apaan sih?" Mas Najib memindai Jesika dengan aneh."Mas, anak kamu sekarang tega menyakiti hatiku. Tega sekali, membuat hatiku bergejolak sakit.""Uuwu sekali," seruku, ketika melihat sikap Jesika, yang terang-terangan, berani memegangi lengan suamiku."Cepatlah pergi, sebelum rumah ini semakin hancur."Aku berjalan menaiki tangga, melewati Helena yang sudah aku diam kan beberapa hari ini. Tidak lagi kutegur, mau pun aku pedulikan.