Bab17
"Sudah lama aku tidak mengunjungi anak-anak," gumam Zaki, sembari menyesap kopinya. Pemandangan pagi yang begitu segar, selepas hujan mengguyur kota Bandung.
Zaki duduk di balkon belakang rumah, yang berdiri tegak di tepi jurang. Bangunan rumah berlantai tiga itu, begitu memukau setiap orang yang melihatnya.
Sisian jurang, terdapat curuk yang begitu indah dipandang mata. Pemandangan inilah, yang kadang ingin Zaki perlihatkan pada anak-anaknya, yang berada di Kalimantan.
"Mas," tegur Maura, sembari mendekati Zaki, dan ikut duduk di dekat Zaki yang tengah menikmati udara pagi yang sangat sejuk.
"Hhmm ...."
"Sepertinya akhir-akhir ini, Mas sering sekali melamun. Ada apa?" tanya Maura.
Zaki menghela napas. "Aku rindu anak-anakku," ungkap Zaki, sembari menghembuskan asap rokoknya ke udara.
Mendengar ungkapan Zaki, Maura merasa gugup.
"Mas ..., Kalimantan itu jauh. Lagi pula, aku dan anak kita, tidak ingin kamu tin
Bab18Gemerlap Ibu kota Jakarta menyilaukan mata Ganesa."Kenapa? Kamu takjub?" tanya Tante Ara, sembari tersenyum ke arah Ganesa."Luar biasa Tan." Mata Ganesa masih berbinar terang, menyusuri jalanan Ibu Kota, menuju ke kediaman Tante Ara."Tante harap, kamu betah tinggal di Kota ini. Tante yakin, kamu akan bahagia, dan bisa sukses.""Kata orang, Jakarta itu keras, Tan.""Semua tempat itu keras. Tinggal bagaimana kamu menyesuaikan diri saja. Jika kamu mau hidup praktis, semua ada jalannya dan konsekuensinya.""Aku nggak mau Tan. Aku terbiasa bekerja keras mencari uang."Tante Ara tersenyum."Karena kamu belum menemukan jalan praktis. Jadi wajar, jika kamu berkata begini."Ganesa terdiam mendengar ucapan Tante Ara.Mobil taksi yang tadinya membawa mereka dari Bandara, kini sudah sampai di titik tujuan, rumah Tante Ara."Ini rumah Tante?" tanya Ganesa, sembari melihat betapa besar dan mewahnya rumah
Bab19Ganesa keluar kamar mandi, dengan wajah nampak bersinar ceria."Kok nampak senang sekali, ada apa?" tanya Elia."Kamar mandinya bagus banget. Aku senang, bisa tinggal di tempat ini," sahut Ganesa sambil tersenyum, dan memilih baju dalam tasnya.Elia memandangi Ganesa. "Senang tidak senang, kamu sudah ada di sini. Apapun yang terjadi, kuharap kamu kuat," ucap Elia, tanpa mau menoleh ke arah Ganesa."Memang kenapa? Tante Ara galak?" tanya Ganesa dengan polos."Nggak juga. Hanya saja, dia tegas dan ambisius. Ntar juga kamu tahu," balas Elia, sembari bangkit dari duduknya."Pakaian macam apa itu?" tanya Elia, ketika melihat Ganesa, memakai daster lusuhnya, yang banyak terdapat bolongan."Keeennapa?" Ganesa merasa tidak nyaman, ditatap Elia seperti itu."Ganesa, maafkan aku. Tapi jujur saja, baju yang kamu kini gunakan, itu sangat tidak layak!""Kan aku, aku tidak begitu banyak punya baju."Eli
Bab20Memasuki ruang bawah tanah, hati Ganesa semakin gugup."Kalian mau bawa aku kemana?" tanya Ganesa. Manik matanya menatap mengiba, mengharap belas kasihan para petugas keamanan rumah Tante Ara.Ketiga petugas itu, berperawakan tinggi, besar dan tegap."Apa yang membuatmu begitu berani? Melawan perintahku?" tanya suara yang menggema, dengan hentakan suara high heels yang juga berdengung.Sosok Tante Ara mengejutkan Ganesa.Wanita berpakaian dress putih pendek tanpa tali itu, berjalan ke arah Ganesa, dengan satu tangan kanannya memegangi sebatang roko yang menyala."Tante Ara, aku ingin pulang, aku nggak bisa di sini, ini bukan tempat yang cocok untukku!" ungkap Ganesa, dengan mata yang mulai berkaca-kaca.Sudut bibir Tante Ara tertarik. "Kau pikir mudah, keluar begitu saja, setelah aku begitu banyak keluar biaya. Aku membawamu ke tempat ini, agar kamu hidup mewah dan nyaman. Tapi kamu, sepertinya tidak tahu terimakasi
Bab21Ganesa dibawa Tante Ara, menuju sebuah gedung sebelah rumahnya. Gedung yang lumayan besar dan tinggi. Juga begitu banyak parkiran mobil dan motor.Mereka masuk dari belakang, yang juga begitu banyak para petugas keamanan rumah dan gedung tempat hiburan milik Tante Ara."Anak-anak," sapa Tante Ara, ketika dia dan Ganesa, memasuki bagian karyawan.Para karyawan yang ada di dalam ruangan, langsung berdiri."Perkenalkan, ini Ganesa, yang akan bertugas khusus, untuk mengantarkan pesanan minuman. Awasi dia, dan laporkan kepada saya, jika ada hal aneh, yang dia lakukan. Dia baru di sini.""Baik, Mami Ara," sahut para karyawan wanita, yang berjumlah dua orang. Dan kini jadi bertiga, dengan Ganesa."Ingat. Dalam jangka satu minggu. Ganesa hanya bertugas, untuk mengantarkan pesanan minuman. Dia tidak wajib, untuk melayani para tamu. Jika ada tamu, yang ingin memakainya, minta mereka, konfirmasi kepada saya.""Baik, Mami." Mereka ke
Bab22"Angelina, sudahlah," pinta Wiwin, yang baru masuk kembali, ke ruang karyawan."Ih Wiwin. Coba deh kamu lihat penampilan Ganesa, nggak banget tau," sahut Angelina, dengan menatap Ganesa dengan tatapan geli."Angelina, biar bagaimana pun, Ganesa kini team kerja kita.""Ya aku tahu. Tapi lucu aja, liat Ganesa seperti ini. Cantik enggak, tubuhnya juga nggak banget. Masa kayak begini, jadi wanita penghibur? Nggak laku yang ada."Wiwin menggeleng. "Sudah ah, nggak usah body shaming. Pada intinya, semua perempuan itu cantik, tergantung bagaimana perawatannya saja.""Nah itu dia. Bagaimana wanita ini mau perawatan? Dari penampilannya saja, jelas sekali, dia orang miskin," terang Angelina."Angelina," bentak Wiwin."Sudah Win, aku nggak apa-apa," sahut Ganesa. "Ayo ajak aku ke depan, aku masih nggak ngerti kerjaan ini," lanjut Ganesa dengan lembut.Sedangkan Angelina, hanya memperlihatkan wajah malasnya saja, mendengar uca
Bab23"Kenapa kamu memukulku?" teriak lelaki yang dipukul Bryan tadi.Lelaki itu berdiri dengan tertatih."Kamu laki-laki macam apa? Memukul wanita sesadis itu. Bahkan, kamu meludahinya tanpa perasaan.""Itu hukuman, atas kecerobohannya.""Dan itu juga, hukuman buat kamu, lelaki yang mempermalukan martabat sesama lelaki.""Memalukan martabat apa?""Apakah orang tuamu, tidak pernah mengajari? Bahwa tangan seorang lelaki, tidak boleh digunakan, untuk menyakiti perempuan. Sebaliknya, untuk melindungi.""Cih." Lelaki itu menyeka darah disudut bibirnya. "Kita pulang saja," ucap lelaki itu, kepada teman-temannya.Mereka pun berlalu begitu saja, sedangkan Ganesa, menutupi tubuhnya yang basah dan terasa dingin.Bryan melepaskan, baju jaket kulitnya yang berwarna hitam. Dan melemparkan, jaket itu ke Ganesa."Pake itu, biar kamu tidak dingin."Ganesa dengan cepat, mengenakan jaket itu ke tubuhnya. Dalam hati d
Bab24Maura terkejut, mendengar penuturan Zaki, bahwa dia, berniat mengunjungi anaknya. Sedangkan selama ini, Maura telah mengusir Ganesa dari rumah lamanya.Maura kini panik dan gugup, jika Zaki tahu tentang perbuatan Maura selama ini, dia takut Zaki marah dan meninggalkan dia dan anaknya kini."Mas, aku lagi nggak enak badan, kepalaku sangat sakit. Kumohon pulang dulu, biar si kembar nanti kukirim uang saja," pinta Maura, dengan suara lirih, berusaha menarik simpati Zaki."Sayang sebentar ya, ini aku sudah dekat di rumah anak-anak. Kan di rumah kita ada Bik Sum. Minta tolong dia dulu, ya," jawab Zaki dengan lembut."Mas, aku maunya kamu! Cepetan pulang, nggak usah kesana dulu," kata Maura lagi. Dengan intonasi penuh penekanan.Zaki merasa heran, dengan sikap Maura, yang seakan-akan, selalu mencegahnya bertemu si kembar."Kamu kenapa sih, selalu seperti ini, jika aku ingin mengunjungi anak-anakku? Apakah kamu tidak suka sama mereka?
Bab25"Bu, dimana Andin dan Gaby? Apakah Ibu tau alamat mereka kini?" tanya Zaki, memecah keheningan."Tidak tau sama sekali. Untuk apa saya tau? Wanita bodoh itu, sama seperti kamu! Orang tua bodoh dan gagal," maki Rohmah."Bu, tolong jangan keterlaluan."Ekspresi wajah Zaki kian tertekan, mendengar lontaran kata demi kata, yang di ucapkan oleh Rohmah tetangga lamanya.Rohmah menghela napas, sembari menatap tajam wajah Zaki."Itu faktanya Zaki. Saya seorang janda yang di tinggal mati suami. Lihat anak saya! Apakah dia menderita? Kehilangan arah atau menghilang? Tidak bukan. Dia tumbuh dengan baik, besar dan sehat, meski hanya dengan keringat dan cinta kasih saya. Sedangkan Ganesa dan Gaby. Memiliki orang tua yang lengkap. Tapi, hanya memikirkan perasaan mereka, kebahagiaan mereka sendiri. Sedangkan kedua anak itu? Entah. Eh, bukan kedua anak itu, tepatnya hanya Ganesa yang menderita dan hidupnya tersia-tersia. Sedangkan Gaby? Entah bagaiman
Bab145"Mamah Helena mohon! Helena janji akan jadi anak yang baik untuk Mamah dan Papah. Helena juga akan menuruti, apapun kemauan kalian," kata Helena memohon pada Ganesa.Ganesa terdiam, terpaku mendengarkan tangisan pertama anak gadisnya."Ganesa, bukannya maksud Mamah ingin ikut campur. Tapi tolong kamu pikirkan lagi, demi anak kalian. Beri Najib kesempatan sekali lagi, jika dia berulah kembali, maka apapun yang terjadi, Mamah akan dukung kamu 100 persen, Nak.""Iya Ganesa, bukannya kakak tidak mengerti perasaan kamu. Kakak ngerti banget. Tapi tidak ada salahnya, jika kamu pikirkan lagi."Terdengar langkah kaki pelan seseorang, berjalan ke arah mereka. Najib, memandang sayu ke arah mereka bertiga."Ganesa," panggil Najib. Ganesa pun tidak menoleh ke arah lelaki itu, dia hanya terdiam, dengan pikirannya yang terus berperang dengan hati.
Bab144 "Jadi ini, laki-laki yang menjadi selingkuhan kamu? Dan berarti benar yang dikatakan Jesika, kamu gadaikan rumah, demi lelaki ini," tunjuk Najib. Julian mengernyit. "Najib, kamu nggak malu di lihat orang? Kamu lagi berdongeng?" tanya Ganesa dengan tenang menanggapi Najib. "Ayo pulang!" ajak Najib. Ganesa berdiri, dan menatap Najib sengit. "Kamu pikir kamu siapa? Seenaknya mengusir aku dari rumahku sendiri, demi wanita lain. Dan kini datang kesini, hanya untuk mempermalukan aku?" "Ganesa, kamu itu masih istriku yang sah." "Oh ya? Sekarang baru kamu merasa aku istrimu! Sebelumnya bukan? Sehingga kamu seenaknya menyakitiku, dan selalu membela wanitamu. Ah, sudahlah, aku malas untuk berdebat. Sekarang pergi dari sini, atau kami
Bab143"Berapa lama?" Najib masih bertanya."Seminggu. Berangkatnya tadi pagi.""Seminggu? Lama sekali."Najib merasa kesal dan ingin marah. Tapi dia tidak tahu, harus marah pada siapa.Najib pulang ke rumah, dengan perasaan frustasi."Kenapa kamu?" tanya Ratna."Nggak apa-apa," sahut Najib seadanya. Ia pun menaiki anak tangga dengan gontai, menuju ke kamarnya.Di dalam kamar, dia membayangkan wajah Ganesa, wanita yang kini sangat dia rindukan. Bahkan Najib tidak bisa marah sama sekali, ketika tahu Ganesa menggadaikan rumah ini.Najib tahu, Ganesa tidak berniat jahat. Jika dia jahat, maka rumah ini tidak lagi dia gadaikan, tetapi dia jual."Ganesa, mas rindu sekali, sayang," lirih Najib memeluk guling.Sedangkan di Butik Ganesa, wanita i
Bab142●Pov Najib●"Mah, Najib menyesal," lirihku."Sudah Mamah ingatkan berkali-kali sebelumnya. Tapi kamu, tetap kekeh berkelakuan di belakang. Kalau sudah begini bagaimana.""Mah, biarkan saja sudah kalau begini. Besok kita balik ke Bandung lagi. Lagian, ini itu salahnya Najib sendiri," kata kak Aya dengan raut wajah kecewa.Aku tahu, aku yang salah dan terlalu angkuh dengan pencapaianku sendiri. Terlebih, Jesika selalu memujiku tampan, baik dan rupawan, juga hartawan. Aku melayang, dengan kesombongan diri yang berakhir kacaunya rumah tanggaku.Aku selalu memandang tak suka pada Ganesa. Entah mengapa, aku menganggap Ganesa layaknya wanita yang serba gagal.Gagal menjadi Ibu yang baik bagi anakku, dan gagal menjadi istri, yang bisa membuat suaminya setia.Bagaimana dia bisa membuatku setia? Jika setiap
Bab141"Astagfirullah, kak Najib," seru Jesika, dengan mata membulat karena terkejut, melihat Najib yang begitu marah."Apa yang kamu katakan tadi? Berani sekali kamu berkata seburuk itu pada Putriku," bentak Najib berang."Mas, kami hanya bercanda." Jesika membujuk."Bohong, Pah. Tante dari tadi menghina dan memakiku."Mendengar penuturan Putrinya, Najib semakin marah pada Jesika."Helena, kok kamu ngomong begitu, sih. Tega kamu sama Tante," lirih Jesika sembari menunjuk. Tangannya memilin-milin baju dengan gemetar."Sebaiknya, kamu angkat kaki dari rumah ini," pinta Najib dengan dingin.Jesika mendongak. "Sayang, kok ngomong begitu. Janganlah pake emosi gitu, kita kan bisa bicara baik-baik.""Aku mendengar semuanya. Demi menjaga mental anakku, pergilah dari rumah ini. Kamu dan aku,
Bab140Entah keyakinan dari mana, Jesika memberanikan diri menelpon mertuanya, juga kakak iparnya.Tangis palsu Jesika pecah, ketika menceritakan deritanya bersama Najib di rumah ini."Jesika, nggak mungkin Ganesa melakukan itu! Kamu jangan mengada ngada ya," kata Aya, Kakak tertua Najib."Sumpah kak. Ganesa pergi dari rumah ini, dan hidup bersama lelaki lain. Bahkan dia gadaikan rumah Kak Najib ini, demi membahagiakan lelakinya.""Astagfirullah, kakak akan hubungi Ganesa dulu." Sambungan telepon seketika di matikan begitu saja.Jesika meradang. "Sialan, dasar bedebah," pekik Jesika.Ia pun menghubungi Ratna, mertuanya itu, untuk mengompori wanita tua itu juga."Ada apa, Jesika," tanya Ratna. Ketika menjawab panggilan telepon Jesika."Mah, rumah kak Najib digadaikan Ganesa ke Bank. Bahkan, kak Ganesa tidak mau membayarnya lagi dan pergi dari rumah, bersama laki-laki lain.""Jesika, kamu jangan coba mengada-n
Bab139Mendengar ucapan Najib, dada Jena bergetar, sembari memandangi sesaat wajah Andre, suami yang baru sah pagi tadi menjadi miliknya."Mas, kenapa ada orang kedua yang berucap tentang hal ini. Jika saat itu, Lena kamu katakan berhalusinasi, lalu itu tadi apa?" tanya Jena, ketika mereka duduk di pelaminan."Aku akan jelaskan nanti, usai resepsi ini selesai, bisa kan?" tanya Andre kembali, merasa tidak nyaman.Jena hanya menghela napas berat, menatap Andre dengan tatapan kekecewaan."Salah diri ini, memilih menyimpan bangkai, di bandingkan bercerita kepadanya. Kalau sudah begini, aku hanya menimbulkan getar keraguan di mata Jena," batin Andre.Kini perasaan keduanya menjadi gamang. Sedangkan Ganesa, hanya menatap biasa kepada pasangan itu.Meskipun awal kedatangan Ganesa, sempat membuat Andre gelisah. Namun ketika Ganesa ti
Bab138"Ya, ada apa? Ibu kenal?" tanya Jena.Aku menatap Jena sesaat."Cuma tahu, kalau mengenal banget sih, nggak."Jena mengangguk. "Datang ya, Bu.""Insya Allah," jawabku.Jena pun keluar dari ruanganku, karena memang hanya memberikanku undangan pernikahannya.Aku menyandarkan tubuh di kursi, sambil menscroll status teman-teman kontak whatappku.Terlihat Jesika mengunggah sebuah foto, yang memperlihatkan kemesraannya dengan suamiku. Padahal berkas permohonan perceraian kami, baru masuk beberapa hari yang lalu.Tapi wanita ini, sudah sangat percaya diri, untuk memperlihatkan kemesraan mereka.Aku tersenyum kecut, melihat foto itu. Disusul ketikan status, status yang nyaris 100% memburukkanku."Wanita yang tega meninggalkan suaminya, hanya demi ambisinya. Ka
Bab137●Pov Ganesa●"Helena, yang sopan sama Tante Jesika!" bentak mas Najib, lelaki itu bangkit dan menatap tajam anak perempuan kami itu."Cepat minta maaf," titah mas Najib lagi pada Helena.Jesika menangis keras. "Ya Allah, mengapa aku hidup begini? Lebih baik aku mati saja, dari pada hidup menjadi beban dan hinaan mereka saja.""Jesika, kamu apa-apaan sih?" Mas Najib memindai Jesika dengan aneh."Mas, anak kamu sekarang tega menyakiti hatiku. Tega sekali, membuat hatiku bergejolak sakit.""Uuwu sekali," seruku, ketika melihat sikap Jesika, yang terang-terangan, berani memegangi lengan suamiku."Cepatlah pergi, sebelum rumah ini semakin hancur."Aku berjalan menaiki tangga, melewati Helena yang sudah aku diam kan beberapa hari ini. Tidak lagi kutegur, mau pun aku pedulikan.