Bab24
Maura terkejut, mendengar penuturan Zaki, bahwa dia, berniat mengunjungi anaknya. Sedangkan selama ini, Maura telah mengusir Ganesa dari rumah lamanya.
Maura kini panik dan gugup, jika Zaki tahu tentang perbuatan Maura selama ini, dia takut Zaki marah dan meninggalkan dia dan anaknya kini.
"Mas, aku lagi nggak enak badan, kepalaku sangat sakit. Kumohon pulang dulu, biar si kembar nanti kukirim uang saja," pinta Maura, dengan suara lirih, berusaha menarik simpati Zaki.
"Sayang sebentar ya, ini aku sudah dekat di rumah anak-anak. Kan di rumah kita ada Bik Sum. Minta tolong dia dulu, ya," jawab Zaki dengan lembut.
"Mas, aku maunya kamu! Cepetan pulang, nggak usah kesana dulu," kata Maura lagi. Dengan intonasi penuh penekanan.
Zaki merasa heran, dengan sikap Maura, yang seakan-akan, selalu mencegahnya bertemu si kembar.
"Kamu kenapa sih, selalu seperti ini, jika aku ingin mengunjungi anak-anakku? Apakah kamu tidak suka sama mereka?
Bab25"Bu, dimana Andin dan Gaby? Apakah Ibu tau alamat mereka kini?" tanya Zaki, memecah keheningan."Tidak tau sama sekali. Untuk apa saya tau? Wanita bodoh itu, sama seperti kamu! Orang tua bodoh dan gagal," maki Rohmah."Bu, tolong jangan keterlaluan."Ekspresi wajah Zaki kian tertekan, mendengar lontaran kata demi kata, yang di ucapkan oleh Rohmah tetangga lamanya.Rohmah menghela napas, sembari menatap tajam wajah Zaki."Itu faktanya Zaki. Saya seorang janda yang di tinggal mati suami. Lihat anak saya! Apakah dia menderita? Kehilangan arah atau menghilang? Tidak bukan. Dia tumbuh dengan baik, besar dan sehat, meski hanya dengan keringat dan cinta kasih saya. Sedangkan Ganesa dan Gaby. Memiliki orang tua yang lengkap. Tapi, hanya memikirkan perasaan mereka, kebahagiaan mereka sendiri. Sedangkan kedua anak itu? Entah. Eh, bukan kedua anak itu, tepatnya hanya Ganesa yang menderita dan hidupnya tersia-tersia. Sedangkan Gaby? Entah bagaiman
Bab26"Tunggu aku, Maura. Kujamin, kau akan kehilangan segalanya, seperti aku, yang kau buat kehilangan," gumam Zaki dalam hati. Ketika sambungan telepon sudah di matikan.Sedangkan Maura merasa lega, sikap Zaki yang penurut, membuat Maura selalu yakin, bahwa perbuatannya pada Ganesa, itu aman.Tiga jam telah berlalu.Dia duduk diteras, menunggu kepulangan suami tercintanya.Dengan senyum sumringah, Maura selalu merasa menang."Ganesa, Gaby, lenyaplah kalian dari pikiran dan hati suamiku. Aku tidak akan rela, melihat kalian terhubung dengan suamiku lagi. Sebab bagaimana pun juga, kalian ada, itu hasil dari percintaan Andin dan Mas Zaki suamiku. Aku tidak rela pokoknya. Muak sekali melihat masa lalu, menjadi bayangan masa depan," pekik Maura dalam hati.Kobaran api kebencian, menyala-nyala di pikiran Maura. Bagaimana pun juga, Maura akan selalu berusaha, menjauhkan Zaki dengan anak-anaknya.Yang Maura anggap, bagian dari mas
Bab27"Itu, temanku tadi," sahut Zaki. Sembari meletakkan handphone nya ke atas nakas."Oh ...." Maura mendekat, dan memeluk Zaki dengan erat. "Rindu," lirihnya.Zaki membelai rambut Maura. "Aku mandi dulu," ucapnya pelan. Sambil mengurai pelukan Maura.Maura menatap wajah suaminya dengan lekat. "Ada apa? Mengapa menatap seperti ini?" tanya Zaki."Kamu tidak rindu padaku, Mas?""Rindu. Tapi aku merasa lelah, karena beberapa hari diluar kota, kerjaanku begitu banyak," sahut Zaki dengan tenang."Hhhmm. Baiklah, Mas. Cepetan mandi, biar aku siapkan baju gantinya dulu.""Oke, Sayang."Zaki pun bangkit dari duduknya, dan berjalan menuju kamar mandi. Berbagai strategi pembalasan, kini mulai Zaki susun.Pandangannya pada Maura, yang berwajah malaikat, tapi berhati iblis, tidak lagi sama.Jika dul
Bab28Pagi hari menyambut. Tidur Ganesa begitu nyenyak, hingga tanpa dia sadari, kini jam telah menunjukkan pukul 08 pagi."Bagun, cepat mandi," ucap Elia."Jam berapa El?""Jam 08. Ayo mandi, lekas kita sarapan."Ganesa pun mengucek matanya yang masih terasa berat. Dengan rasa kantuk yang masih bergelayut di matanya. Ganesa berjalan menuju kamar mandi dengan tertatih.Tante Ara mengetuk pintu kamar, Elia pun bergegas membukanya.Ketika pintu dibuka, Elia begitu terkejut, melihat Tante Ara dan dua bodyguard nya."Mana Ganesa?""Lagi mandi, Mi."Tante Ara pun masuk, sedangkan dua bodyguard nya di depan pintu berdiri."Baru bangun dia?""Iya, Mi. Kasihan, dia nampak depresi, atas kejadian malam tadi.""Mami mengerti. Oke El, kita bawa dia jalan-jalan dan perawatan hari ini. Kamu juga ikut, biar dia sedikit rilex dan tidak tegang, jika hanya bersama saya," ucap Tante Ara."Wah, a
Bab29"Sudah ih. Pokoknya, kamu harus mulai perawatan, sesuai dengan permintaan Mami.""Baiklah," sahut Ganesa dengan lembut. Mata Ganesa kian berbinar, ketika dia mengenakan beberapa pakaian mahal, yang terlihat manis membalut tubuhnya."Cantik," seru Elia. "Kamu hanya perlu mengisi tubuh kurusmu ini sedikit lagi. Aku yakin, kamu akan jadi yang paling cantik di Retro sini.""Retro?""Iya, pusat hiburan malam yang terkenal berskala tinggi. Masa kamu tidak tahu?"Ganesa menggeleng, menandakan, dia memang tidak tahu apa-apa."Yasudah deh, nanti pun kamu akan tahu, lagi pula, kamu sudah ada di sini. Jadi, nikmati saja.""Semoga. Haruskah aku menjadi air? Mengalir saja," ucap Ganesa, memandang lekat wajah Elia."Jangan. Kalau kamu hidup mengikuti air yang mengalir. Maka, kamu akan terus hidup seperti itu.""La
Bab30"Sejak awal kusudah tahu. Ganesa itu cantik dan akan menguntungkanku di masa depan. Belum apa-apa saja, dia sudah menghasilkan 60 juta. Padahal, aku belum memperkenalkan nya ke semua tamu. Hanya membuat status khusus, yang harus dilihat asisten Bryan yang bodoh itu," ucap Tante Ara dalam hati.Tekhnik marketing Tante Ara, memang sangat nampak bagus dan piawai.Tante Ara berjalan, mendekati Ganesa, yang tengah asik, mengobrol bersama Elia."Ganesa sayang, sini, Nak." Tante Ara memanggilnya.Ganesa pun tersenyum, dan bergegas bangkit dari duduknya. Dia pun berjalan perlahan, menuju Tante Ara."Ada apa, Mi?" tanya Ganesa. Yang kini, tidak lagi memanggil Tante Ara, tapi seperti yang lainnya, memanggil Mami."Kamu sudah dapat tamu malam ini.""Hhmmm. Siapa Mi?" tanya Ganesa sedikit murung."Hey. Jangan bersedih gitu. Ini seorang laki-laki tampan, dan energik. Masih muda, dan kaya lagi. Jamin deh, kamu pasti suka," bujuk
Bab31"Mengapa kau memilih pekerjaan kotor begini? Kata Asistenku, kau masih perawan."Ganesa menghela napas berat."Tuan, ini terlalu sulit untukku jawab.""Oh, baiklah."Bryan memiringkan badannya, memandangi wajah Ganesa, yang tengah menatap langit-langit kamar."Aku seperti mengenalimu sebelumnya."Ganesa menoleh ke arah Bryan, dia pun sedikit terkejut, ketika mata mereka bertemu."Tuan, bukankah Anda, yang pernah menolong saya.""Menolong bagaimana?""Kejadian di Bar. Saya yang ditendang seseorang, kejadiannya sekitar kurang lebih, lima bulan yang lalu. Saat itu, saya masih sangat kurus.""Oh. Iya, saya ingat. Itu kamu?" Bryan mengernyit, menatap Ganesa tidak percaya."Iya. Itu saya, seorang wanita yang selalu dihina saat itu.""Cepat juga kamu beruba
Bab32Semua bukti tentang perampasan rumah lama Zaki, ada di ponsel Maura.Zaki meremas ponsel dengan kuat, hatinya diliputi kemarahan. Mata Zaki pun ikut memerah, membayangkan tangisan Ganesa, yang terusir paksa dari rumah itu.Bahkan, Maura memiliki rekaman, video pengusiran Ganesa dari rumah itu.Hati Zaki berdebar kuat, kala melihat lelaki bodyguard itu begitu angkuh, dan meludah di samping anaknya begitu saja.Bahkan, disela video itu, terdengar jelas gelak tawa Maura, melihat Ganesa mengiba dan memohon, untuk tidak diusir."Bangsat," maki Zaki. Dia pun tidak kuasa membendung tangisnya lagi.Zaki menangis tersedu-sedu, layaknya anak kecil yang habis di marahi Ibunya.Zaki merasakan hancur hatinya kini, melihat betapa pilunya nasib anak gadisnya. Anak yang dia tidak tahu kini kemana? Bahkan Zaki bingung, harus kemana lagi mencari Ganes
Bab145"Mamah Helena mohon! Helena janji akan jadi anak yang baik untuk Mamah dan Papah. Helena juga akan menuruti, apapun kemauan kalian," kata Helena memohon pada Ganesa.Ganesa terdiam, terpaku mendengarkan tangisan pertama anak gadisnya."Ganesa, bukannya maksud Mamah ingin ikut campur. Tapi tolong kamu pikirkan lagi, demi anak kalian. Beri Najib kesempatan sekali lagi, jika dia berulah kembali, maka apapun yang terjadi, Mamah akan dukung kamu 100 persen, Nak.""Iya Ganesa, bukannya kakak tidak mengerti perasaan kamu. Kakak ngerti banget. Tapi tidak ada salahnya, jika kamu pikirkan lagi."Terdengar langkah kaki pelan seseorang, berjalan ke arah mereka. Najib, memandang sayu ke arah mereka bertiga."Ganesa," panggil Najib. Ganesa pun tidak menoleh ke arah lelaki itu, dia hanya terdiam, dengan pikirannya yang terus berperang dengan hati.
Bab144 "Jadi ini, laki-laki yang menjadi selingkuhan kamu? Dan berarti benar yang dikatakan Jesika, kamu gadaikan rumah, demi lelaki ini," tunjuk Najib. Julian mengernyit. "Najib, kamu nggak malu di lihat orang? Kamu lagi berdongeng?" tanya Ganesa dengan tenang menanggapi Najib. "Ayo pulang!" ajak Najib. Ganesa berdiri, dan menatap Najib sengit. "Kamu pikir kamu siapa? Seenaknya mengusir aku dari rumahku sendiri, demi wanita lain. Dan kini datang kesini, hanya untuk mempermalukan aku?" "Ganesa, kamu itu masih istriku yang sah." "Oh ya? Sekarang baru kamu merasa aku istrimu! Sebelumnya bukan? Sehingga kamu seenaknya menyakitiku, dan selalu membela wanitamu. Ah, sudahlah, aku malas untuk berdebat. Sekarang pergi dari sini, atau kami
Bab143"Berapa lama?" Najib masih bertanya."Seminggu. Berangkatnya tadi pagi.""Seminggu? Lama sekali."Najib merasa kesal dan ingin marah. Tapi dia tidak tahu, harus marah pada siapa.Najib pulang ke rumah, dengan perasaan frustasi."Kenapa kamu?" tanya Ratna."Nggak apa-apa," sahut Najib seadanya. Ia pun menaiki anak tangga dengan gontai, menuju ke kamarnya.Di dalam kamar, dia membayangkan wajah Ganesa, wanita yang kini sangat dia rindukan. Bahkan Najib tidak bisa marah sama sekali, ketika tahu Ganesa menggadaikan rumah ini.Najib tahu, Ganesa tidak berniat jahat. Jika dia jahat, maka rumah ini tidak lagi dia gadaikan, tetapi dia jual."Ganesa, mas rindu sekali, sayang," lirih Najib memeluk guling.Sedangkan di Butik Ganesa, wanita i
Bab142●Pov Najib●"Mah, Najib menyesal," lirihku."Sudah Mamah ingatkan berkali-kali sebelumnya. Tapi kamu, tetap kekeh berkelakuan di belakang. Kalau sudah begini bagaimana.""Mah, biarkan saja sudah kalau begini. Besok kita balik ke Bandung lagi. Lagian, ini itu salahnya Najib sendiri," kata kak Aya dengan raut wajah kecewa.Aku tahu, aku yang salah dan terlalu angkuh dengan pencapaianku sendiri. Terlebih, Jesika selalu memujiku tampan, baik dan rupawan, juga hartawan. Aku melayang, dengan kesombongan diri yang berakhir kacaunya rumah tanggaku.Aku selalu memandang tak suka pada Ganesa. Entah mengapa, aku menganggap Ganesa layaknya wanita yang serba gagal.Gagal menjadi Ibu yang baik bagi anakku, dan gagal menjadi istri, yang bisa membuat suaminya setia.Bagaimana dia bisa membuatku setia? Jika setiap
Bab141"Astagfirullah, kak Najib," seru Jesika, dengan mata membulat karena terkejut, melihat Najib yang begitu marah."Apa yang kamu katakan tadi? Berani sekali kamu berkata seburuk itu pada Putriku," bentak Najib berang."Mas, kami hanya bercanda." Jesika membujuk."Bohong, Pah. Tante dari tadi menghina dan memakiku."Mendengar penuturan Putrinya, Najib semakin marah pada Jesika."Helena, kok kamu ngomong begitu, sih. Tega kamu sama Tante," lirih Jesika sembari menunjuk. Tangannya memilin-milin baju dengan gemetar."Sebaiknya, kamu angkat kaki dari rumah ini," pinta Najib dengan dingin.Jesika mendongak. "Sayang, kok ngomong begitu. Janganlah pake emosi gitu, kita kan bisa bicara baik-baik.""Aku mendengar semuanya. Demi menjaga mental anakku, pergilah dari rumah ini. Kamu dan aku,
Bab140Entah keyakinan dari mana, Jesika memberanikan diri menelpon mertuanya, juga kakak iparnya.Tangis palsu Jesika pecah, ketika menceritakan deritanya bersama Najib di rumah ini."Jesika, nggak mungkin Ganesa melakukan itu! Kamu jangan mengada ngada ya," kata Aya, Kakak tertua Najib."Sumpah kak. Ganesa pergi dari rumah ini, dan hidup bersama lelaki lain. Bahkan dia gadaikan rumah Kak Najib ini, demi membahagiakan lelakinya.""Astagfirullah, kakak akan hubungi Ganesa dulu." Sambungan telepon seketika di matikan begitu saja.Jesika meradang. "Sialan, dasar bedebah," pekik Jesika.Ia pun menghubungi Ratna, mertuanya itu, untuk mengompori wanita tua itu juga."Ada apa, Jesika," tanya Ratna. Ketika menjawab panggilan telepon Jesika."Mah, rumah kak Najib digadaikan Ganesa ke Bank. Bahkan, kak Ganesa tidak mau membayarnya lagi dan pergi dari rumah, bersama laki-laki lain.""Jesika, kamu jangan coba mengada-n
Bab139Mendengar ucapan Najib, dada Jena bergetar, sembari memandangi sesaat wajah Andre, suami yang baru sah pagi tadi menjadi miliknya."Mas, kenapa ada orang kedua yang berucap tentang hal ini. Jika saat itu, Lena kamu katakan berhalusinasi, lalu itu tadi apa?" tanya Jena, ketika mereka duduk di pelaminan."Aku akan jelaskan nanti, usai resepsi ini selesai, bisa kan?" tanya Andre kembali, merasa tidak nyaman.Jena hanya menghela napas berat, menatap Andre dengan tatapan kekecewaan."Salah diri ini, memilih menyimpan bangkai, di bandingkan bercerita kepadanya. Kalau sudah begini, aku hanya menimbulkan getar keraguan di mata Jena," batin Andre.Kini perasaan keduanya menjadi gamang. Sedangkan Ganesa, hanya menatap biasa kepada pasangan itu.Meskipun awal kedatangan Ganesa, sempat membuat Andre gelisah. Namun ketika Ganesa ti
Bab138"Ya, ada apa? Ibu kenal?" tanya Jena.Aku menatap Jena sesaat."Cuma tahu, kalau mengenal banget sih, nggak."Jena mengangguk. "Datang ya, Bu.""Insya Allah," jawabku.Jena pun keluar dari ruanganku, karena memang hanya memberikanku undangan pernikahannya.Aku menyandarkan tubuh di kursi, sambil menscroll status teman-teman kontak whatappku.Terlihat Jesika mengunggah sebuah foto, yang memperlihatkan kemesraannya dengan suamiku. Padahal berkas permohonan perceraian kami, baru masuk beberapa hari yang lalu.Tapi wanita ini, sudah sangat percaya diri, untuk memperlihatkan kemesraan mereka.Aku tersenyum kecut, melihat foto itu. Disusul ketikan status, status yang nyaris 100% memburukkanku."Wanita yang tega meninggalkan suaminya, hanya demi ambisinya. Ka
Bab137●Pov Ganesa●"Helena, yang sopan sama Tante Jesika!" bentak mas Najib, lelaki itu bangkit dan menatap tajam anak perempuan kami itu."Cepat minta maaf," titah mas Najib lagi pada Helena.Jesika menangis keras. "Ya Allah, mengapa aku hidup begini? Lebih baik aku mati saja, dari pada hidup menjadi beban dan hinaan mereka saja.""Jesika, kamu apa-apaan sih?" Mas Najib memindai Jesika dengan aneh."Mas, anak kamu sekarang tega menyakiti hatiku. Tega sekali, membuat hatiku bergejolak sakit.""Uuwu sekali," seruku, ketika melihat sikap Jesika, yang terang-terangan, berani memegangi lengan suamiku."Cepatlah pergi, sebelum rumah ini semakin hancur."Aku berjalan menaiki tangga, melewati Helena yang sudah aku diam kan beberapa hari ini. Tidak lagi kutegur, mau pun aku pedulikan.