Share

Papa Datang

Penulis: Rias Ardani
last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-05 12:39:20

Korban Perceraian

Part2

Andin begitu menikmati kebersamaannya bersama kekasih barunya.

Rasid memeluk tubuh ramping itu dari belakang, wanita yang sedari tadi menikmati keindahan sejuknya pegunungan itu pun terkejut dengan pelukan Rasid yang tiba-tiba.

Andin tersenyum, dan merasakan detak jantung kekasihnya dengan perasaan yang sulit dia artikan.

"Apakah anak-anakmu tidak marah?" bisik Rasid, di telinga Andin.

Andin mengulas senyum, namun hatinya teramat nyeri. Mengingat, betapa pilunya wajah kedua putri kembarnya itu.

Namun perasaan sakit itu segera dia tepis, Andin yakin, pilihannya sudah sangat tepat.

"Mereka akan baik-baik saja! Papanya akan pulang besok, aku tidak perlu khawatir. Lagi pula, mereka bukan anak bayi lagi, mereka sudah tumbuh dewasa."

Rasid tersenyum, dan mengeratkan pelukannya.

"Terimakasih, sayang! Aku mencintaimu," bisiknya lagi.

"Aku juga," sahut Andin.

Rasid membawanya ketempat tidur, dan mereguk indahnya malam panas penuh dosa bersama. Andin begitu terbuai dengan permainan Rasid yang begitu liar, hal itu, membuatnya semakin tidak mampu menolak nikmatnya kebersamaan dengan lelaki yang berstatus suami orang itu.

Sementara nasib si kembar. Mereka berdua terus berpelukan, hingga Gaby kini tertidur, wanita malang itu, dia telah lelah terus menangis. Sedangkan Ganesa, pikirannya terus menggali kebencian dan rasa marah pada Andin.

Kekecewaan mendalam, kini tengah memupuk perasaan Ganesa yang terluka.

Hingga semalam suntuk, dia tidak bisa tertidur, bayangan kekhawatiran terus menghantui benaknya.

******

Pagi yang indah kini menyapa, namun tidak seindah bagi kedua gadis itu. Mereka berdua bangkit dari tempat tidur. Mata Gaby sembab, seharian semalaman suntuk dia meratapi nasib, serta kepergian Ibu yang dia kasihi.

Ganesa pergi ke kamar mandi. Sedangkan Gaby, masih termenung di tempat tidur, dengan menyandarkan diri didipan.

Melihat Ganesa yang sudah kembali masuk ke dalam kamar, Gaby pun mulai mengungkapkan keinginannya.

"Kak, aku tidak ingin ke sekolah hari ini," ungkap Gaby, masih dengan wajah sendunya.

"Kenapa?" tanya Ganesa, sembari memasang seragam sekolah, putih abu-abunya.

Wanita itu masih tampak tenang dan tetap memiliki semangat untuk bersekolah, tidak perduli dengan apapun, Ganesa tidak memiliki rasa takut sama sekali. Karena bagi Ganesa, ini semua bukan kesalahan mereka.

Sementara Gaby, dia menghela napas berat, gadis itu nampak terlihat semakin lesu dan tidak bersemangat lagi.

"Gaby ragu, takut juga. Rasanya, masih tidak berani menampakkan wajah ke sekolah! Teman-teman, pasti membenci kita," jawabnya.

Ganesa memandangi Gaby. "Mau sejauh apa kita berlari? Mau sehebat apa kita menghindar? Semua tetap harus di hadapi."

"Gaby belum siap!" jawabnya. Gadis itu kemudian tercenung, menatap ke arah luar jendela kamar. Pagi itu, udara memang begitu sejuk, namun tidak dengan hati mereka.

"Jangan sampai, gara-gara masalah ini, kamu takut bersekolah! Apakah kamu mau, mengorbankan cita-cita kamu, hanya karena rasa takut."

Gaby menggeleng.

"Kita tidak punya banyak pilihan, semua sudah terjadi, satu-satunya yang kita bisa lakukan, adalah menghadapi kenyataan."

Gaby menatap kakaknya dengan mata berembun.

"Kak, mengapa Mama tega, meninggalkan kita, juga meninggalkan masalah untuk kita."

Ganesa yang sedari tadi mempersiapkan diri untuk ke sekolah pun berhenti sejenak dari aktivitasnya.

"Itu pilihan Mama, kita tidak bisa mengukur dalamnya hati seseorang, meskipun dia Ibu kita sendiri. Seperti yang pernah Mama katakan, kita jangan cengeng. Kaka akan buktikan pada Mama, bahwa kita berdua, bukan anak yang lemah."

"Tapi kenyataannya, Gaby anak yang lemah." Gaby berkata dengan terisak.

Ganesa merasa perih di hatinya, melihat adik kesayangannya itu terus meratapi kepergian Mamanya, seorang Ibu yang tega, tega meninggalkan buah hatinya. Demi kesenangan, yang belum tentu kekal.

Ganesa membelai rambut hitam panjang, milik adiknya itu.

"Kakak berangkat sekolah dulu! Kamu istirahat di rumah saja hari ini dan jangan lupa sarapan. Tadi, Kakak sudah masak, nanti siang, Bu Rohma akan kemari, untuk memasak makan siang."

Gaby tak bergeming, pikirannya terus melayang pada Mama nya.

Ganesa melangkahkan kaki menuju keluar rumah, dengan menggunakan sepedanya, dia melaju menuju sekolahnya.

Sesampainya di gerbang sekolah, beberapa kawan satu sekolahnya menatap marah, benci, juga jijik.

Namun Ganesa berusaha bersikap tenang, dan terus melajukan sepedanya, menuju parkiran, khusus sepeda.

"Ganesa," teriak seseorang, yang sangat Ganesa kenali. 

Nuna, dia sahabat baik Ganesa, gadis periang itu pun menghambur ke pelukan Ganesa.

"Ada apa?" tanya Ganesa, seraya melepaskan pelukan Nuna.

Nuna menatap Ganesa dengan pilu, membuat Ganesa tidak nyaman.

"Aku sudah tahu, kamu yang kuat," ucap Nuna, sembari menggenggam telapak tangan Ganesa, seakan berusaha menyalurkan kekuatan.

Ganesa mengulas senyum, lalu mereka berdua melangkah, menuju koridor sekolah. 

"Liat tuh, siapa yang datang! Anak pela---" ucapan gadis itu terhenti, kala menatap sosok yang berada di belakang Ganesa.

Wanita berpakaian nyentrik itu menarik tangan Ganesa dengan kasar. Membuat gadis itu sangat terkejut dan menoleh ke arah perempuan yang tidak dia kenali itu, namun dengan kasarnya menarik lengannya.

"Mama," lirih Naura, gadis yang tadinya menyeru ketika melihat sosok Ganesa. 

"Ini Ganesa, anak perempuan itu?" tanya wanita yang di sebut Naura mama itu.

Naura mengangguk.

Ambar, yang merupakan Ibu dari Naura, serta istri sah dari Rasid itu pun menampar dengan keras pipi Ganesa.

"Tante, apa yang Tante lakukan?" teriak Nuna, membuat seluruh murid-murid yang berada di sekolahan riuh berlarian ke arah mereka. 

"Apa kamu? Anak kecil jangan coba-coba ikut campur! Saya muak dengan Ibu mereka, berani sekali kabur bersama suami orang."

"Apa hubungannya dengan saya?" tanya Ganesa, dengan bahu bergetar. Kalau bukan karena wanita di depannya ini orang tua, mungkin Ganesa sudah membalas menghajarnya.

Wanita berpakaian nyentrik itu pun mencibir.

"Tidak bisa menyakiti Ibunya, setidaknya aku bisa melukai anaknya." 

"Tante, ini itu sekolahan, bukan tempat adu kekuatan. Lawan Tante pun tidak seimbang, lebih baik Tante pergi dari sekolahan ini," kata Nuna, mata gadis itu berkilat penuh emosi. 

Ganesa meraih lengan Nuna, Nuna menatap Ganesa dengan perasaan terluka, apalagi, saat dia memandangi pipi kawannya itu yang terluka.

"Apa hak kamu mengusir saya?" Ambar membuka kacamata hitamnya, menatap angkuh wajah Nuna.

"Ada apa ini?" Laki-laki berpakaian rapi itu pun mendekati mereka. 

"Wanita ini menampar wajah Ganesa." Nuna berkata, sembari menunjuk wajah Ambar, hilang rasa hormatnya pada wanita yang berstatus lebih tua itu.

Naura hanya terdiam, melihat Ibunya membuat kekacauan di sekolahnya.

Laki-laki yang merupakan penjaga sekolah itu pun menatap ke arah wanita itu.

"Ada masalah apa? Jadi Anda memukul murid di sini?" tanya Kusma, penjaga sekolah.

"Saya marah pada Ibu anak ini, Ibunya membawa kabur suami saya! Saya tidak dapat memukul Ibunya, memukul anaknya pun jadi."

"Ibu tidak bisa melakukan itu, kami bisa membawa masalah ini ke ranah hukum. Anda melakukan tindak kekerasan, pada anak yang tidak bersalah sama sekali."

Wajah Ambar memucat, namun keangkuhannya lebih mendominasi.

"Sekarang Ibu minta maaf pada Ganesa, atau Ibu mau kami perpanjang masalah ini."

Ambar mendengkus, dia tetap diam dan bersikap acuh tak acuh.

"Ganesa, apakah kamu mau menyelesaikan masalah ini dengan baik? Atau mau ke jalur hukum?" tanya Nuna. "Kamu jangan takut, aku akan minta Papa, untuk bantu kamu," lanjut Nuna.

"Ma, minta maaflah pada Ganesa, Naura mohon. Naura cuma punya Mama," kata Naura dengan terisak.

Ganesa merasa serba salah. Di lain sisi, dia marah. Namun, semua ini adalah salah Mama mereka. Melihat tangisan Naura, dia pun merasakan kehancuran yang sama.

Kedua orang yang tengah berbahagia di luaran sana, sukses menghancurkan hati mereka, yang tidak tahu apa-apa.

Ambarita menatap tajam wajah Ganesa, ada semburat kebencian di matanya, namun demi anaknya, Ambarita berusaha mengakui kesalahannya.

"Maafkan saya, saya tidak tahu harus seperti apalagi. Gara-gara Ibu kamu, keluarga kami yang harmonis, menjadi hancur seketika."

"Itu bukan cuma keluarga Tante, keluarga Ganesa juga. Mereka juga korban, Tan." 

Nuna berusaha membela Ganesa, Ambar tidak menggubrisnya. Kebencian dan kemarahan, mendominasi hatinya.

Wanita itu pergi begitu saja, Ganesa bahkan tidak berkata apapun. Gadis itu bahkan tidak mengucapkan kata iya, di saat Ambarita berkata maaf.

"Kenapa kamu diam saja? Kalau aku jadi kamu, kuhajar anaknya. Adil bukan?" ucap Nuna berapi-api.

Naura menatap Ganesa dari kejauhan, hatinya pun sama seperti Ibunya. Benci dan dendam.

Nuna dengan telaten mengompres luka disisi bibir mungil Ganesa.

"Ganesa, Bapak minta maaf, begitu terlambat datang." Pak Kusma duduk, dan bergabung bersama Ganesa dan Nuna di depan pintu UKS.

"Tidak apa-apa, Pak."

"Apapun yang terjadi, Bapak harap, kamu kuat." 

Ganesa tersenyum, menanggapi ucapan penjaga sekolah.

Hatinya terus merasakan sakit, mengingat kejadian tadi. Tiba-tiba, di benaknya timbul kekhawatiran. Bagaimana jika Gaby masuk sekolah nanti, dia takut, adiknya menjadi korban bully juga.

"Ganesa, kenapa kamu terus diam? Lama-lama kamu gila kalau begini," celetuk Nuna. Wanita berambut sebahu itu pun mulai kesal.

"Sakit, jika aku banyak bicara."

"Makanya, seharusnya kamu hajar tadi anaknya! Biar Ibunya tahu diri, dan nggak seenaknya memukul orang."

"Kamu kok bawel sih, aku susah ngomong ini."

Nuna berdecak kesal. Ganesa tersenyum dalam hati, melihat raut wajah Nuna.

Dalam hati dia bersukur, memiliki sahabat sebaik Nuna.

Kemudian sebuah pesan singkat masuk ke gawainya.

"Tunggulah, aku tidak akan melepaskanmu begitu saja, sampai aku ketemu Ibumu."

Ganesa menatap gawainya dengan perasaan marah. 

"Ada apa?" tanya Nuna, yang curiga dengan perubahan raut wajah Ganesa.

Ganesa memperlihatkan pesan singkat itu, dari nomor tanpa nama.

"Kurang ajar, kan, seharusnya kamu bikin jera orang itu tadi." 

Nuna mengepalkan tinju, semburat kemarahan, terbit di wajah wanita cantik itu.

"Kamu tenang saja, aku akan meminta Papaku, untuk membantu kamu, jika mereka macam-macam."

Ganesa sebenarnya tidak takut dengan ancaman itu, hanya saja, dia takut adiknya yang mereka sakiti.

Bagi Ganesa, Gaby adalah segalanya.

Gadis itu, tidak akan mampu menahan diri, jika adiknya yang mereka sakiti.

Sepulang dari sekolah, Ganesa menyipitkan mata, menatap sebuah mobil sedan berwarna hitam. Mobil itu, terparkir di depan halaman rumah mereka.

Ganesa melajukan sepedanya, dan memarkirnya di tempat biasa. Dia melepas sepatunya, dan meletakkannya di tempat khusus sepatu.

Ganesa masuk ke dalam rumah, di sambut dengan senyuman manis dari Papa mereka.

Gadis itu merasa bahagia, sudah lima bulan tidak bertemu dengan Papa, kini sosok lelaki yang selalu dia rindukan itu pun datang.

Namun dia terheran, melihat Gaby diam mematung duduk di sofa.

Saat Papa mereka berniat memeluk Ganesa, dia di kejutkan dengan kehadiran sosok perempuan, yang baru keluar dari kamar mandi.

Bab terkait

  • Korban Perceraian   Papa Juga Pergi

    Korban PerceraianPart3 "Hai cantik, kamu pasti Ganesa," ucap wanita berambut sebahu itu, lalu dia memeluk lengan lelaki yang mereka sebut Papa. "Siapa?" tanya Ganesa dengan tatapan dingin. Hati kecilnya mulai curiga. "Ganesa, dia Maura! Istri baru Papa," jawab Zaki, Papa si gadis kembar. Bagaikan petir di siang hari, rasanya menyambar tepat di hati gadis itu. Remuk dan hancur. Lelaki itu berkata dengan tersenyum. Meskipun dia meragu, namun dia tetap memberanikan diri, membawa Maura, dan memperkenalkan wanita itu pada anak-anaknya. Ganesa berusaha menahan diri dan tetap bersikap tenang, meskipun dia ingin sekali kini mengamuk. "Sejak kapan?" tanya Ganesa dengan mengernyit. "Sini, peluk dulu dong! Kamu jangan seperti wartawan, langsung main wawancara. Memangnya, kamu tidak kangen pada Papa?" tanya Zaki pada Ganesa. "Jangan mau, Kak! Papa penyebab Mama jahat." Ganesa tersentak, mendengar Gaby berteriak.

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-05
  • Korban Perceraian   Di Bully

    Korban PerceraianPart4 Bullying di sekolah pun mulai mereka terima, kebencian yang Naura tanamkan di hati teman-temannya, begitu dalam kepada si Kembar, yang bahkan juga menjadi korban kegagalan orang tuanya. Danur berlari ke ruang kelas Ganesa. "Nesa," teriak Danur, dengan napas tersenggal, dia berusaha mengatur laju napasnya. Semua menoleh ke arah lelaki berwajah blasteran itu. "Gaby, dia di bully di dalam kelas," ucapnya. Ganesa menghempas sobekan foto di tangannya. Dia pun langsung berlari kencang, tanpa perduli dengan teriakan kawan-kawannya yang mentertawakannya. Ganesa berhenti tepat di depan ruang kelas Gaby. Adiknya yang malang itu, masih menggendong tas di kedua bahunya. Rambut hitam panjangnya yang semula terikat dengan rapi, kini terurai berantakan. Di atas kepalanya, di penuhi telur busuk dan juga tepung putih yang merebak mewarnai rambut. Gaby terisak, sambil menyeka air matanya. Bajunya te

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-05
  • Korban Perceraian   Sakit

    Korban PerceraianPart5 Ganesa tercenung di depan jendela kamarnya, terkadang, dia sesekali melirik jam dinding yang ada di dalam kamar kecil miliknya. Akankah yang di katakan Ibunya itu sungguh-sungguh. Bahwa Gaby, akan di bawa pergi. Ganesa menggeleng, berharap prasangka nya salah. Ganesa masih meyakini, Ibu nya hanya emosi sesaat, dia tidak akan tega memisahkan Gaby dan Ganesa. Namun, lagi-lagi masalah tega mengusik hati Ganesa. Meninggalkan mereka berdua saja Ibunya tega, apalagi memisahkan mereka, itu hal mudah bagi Ibunya. Hati Ganesa mencelos, bulir bening menemani hari nya yang menyakitkan. Entah kenapa, rasanya dia semakin berkecil hati, meskipun Ganesa selalu berusaha kuat. "Mengapa mereka seakan menghindariku? Apa salahku sebagai anak? Mengapa aku di lahirkan, jika hanya untuk di sia-siakan." Batin Ganesa terus bergejolak, ada rasa sakit yang tidak mampu dia ucapkan. Bahkan air mata sekalipun, ti

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-05
  • Korban Perceraian   Terusir

    Ketika Mama dan Papa PergiPart6Ganesa menatap daun pintu, dirasa sudah aman, dia pun perlahan melepas jarum inpus yang tertancap di tangannya."Nesa, apa yang kamu lakukan?" tanya Nuna."Shutt ...." Ganesa memberi isyarat diam. "Kita harus keluar, aku nggak mau berhadapan dengan Dokter itu lagi.""Taa-pi." Nuna kebingungan. Dia berniat menahan Ganesa, namun dia takut menyinggung hati sahabatnya itu.Nuna berpikir, mungkin Ganesa tidak ingin merepotkannya, padahal dia sama sekali tidak keberatan menolong Ganesa.Ganesa mengajak Nuna keluar ruangan dengan hati-hati. Mereka melangkah dengan tenang, seperti orang-orang lainnya yang berlalu lalang, di koridor rumah sakit.Hingga sampai di parkiran, kedua gadis itu bergegas meninggalkan halaman rumah sakit.Ganesa dan Nuna menaiki taksi online, yang sudah di pesan Nuna.Nuna menatap Ganesa sesaat. "Ehem, Nesa, tadi kenapa mengaku yatim piatu?" Nuna bertanya dengan p

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-05
  • Korban Perceraian   Perpisahan

    Korban Perceraian Part7 "Tolong, tolong beri saya waktu," pinta Ganesa, dengan wajah mengiba. Luka dihatinya kian menganga, bahkan dia tidak tahu lagi bagaimana cara mengobatinya. Laki-laki suruhan Maura itu mendengkus, sembari membuang ludah di samping Ganesa. Lelaki itu berkacak pinggang, sembil menunjuk-nunjuk wajah Ganesa. "Kamu pikir kita lagi bernegoisasi? Aku ini disuruh untuk mengusir kamu dari tempat ini, kamu paham nggak sih!" bentaknya. Suara kasar itu mengundang Rohmah tetangga Ganesa untuk keluar. Rohmah yang baru pulang dari kebunnya itu pun bergegas menuju pekarangan rumahnya, mencari asal suara orang ribut yang mengganggu telinganya. Rohmah amat terkejut, melihat Ganesa yang menangis, sembil duduk di tanah. Sedangkan beberapa tetangga lainnya, hanya melihat kejadian itu di balik jendela, tanpa ada niatan untuk mendekat. "Ganesa, ini ada apa sayang?" tanya Rohmah, s

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-05
  • Korban Perceraian   Perayaan Perpisahan

    Korban PerceraianPart8 "Nak Ganesa, Ibu tahu kamu anak yang kuat dan hebat. Ibu, para Guru dan semua murid di Sekolah ini, bangga sama kamu sayang." Retno berkata sambil terisak, hatinya perih, kala memeluk tubuh gadis tomboy ini yang bergetar hebat. Namun tidak ada terdengar isakan tangis darinya. Retno mengurai pelukan, semua mata tertuju pada Ganesa. "Dalam hidup ini, seperih apapun keadaannya, berjanjilah, bahwa Ganesa akan terus semangat dan sukses kedepannya nanti." Ganesa tersenyum getir."Ibu jangan khawatir." Hanya itu yang dia katakan. "Berjanjilah, Nak!" pinta Retno penuh harap. "Insya Allah! Apapun yang terjadi, Ganesa berpasrah pada Si Pemilik Kehidupan." Naura memandangi Ganesa tanpa iba, api dendam masih membara dihatinya. Meskipun tidak sebesar dulu lagi. Namun begitu dalam tertanam di hatinya, bahwa Ganesa dan seluruh keluarganya, adalah orang yang bersalah di retaknya r

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-06
  • Korban Perceraian   Kamu Dimana?

    Korban PerceraianPart9 "Hamil," gumam Andin. Wanita itu menatap lekat alat test kehamilan di tangannya. Garis merah dua itu, berhasil membuat Andin gusar. "Bagaimana hasilnya?" tanya Rasid, lelaki yang masih berstatus suami wanita lain itu bertanya dengan penasaran. Andin berdiri di muara pintu kamar mandi. Kemudian dia menyodorkan hasil testpack itu, kepada Rasid. "Apa? Hamil," pekik Rasid. "Kenapa kamu begitu terlihat syok? Apa ada yang salah?" tanya Andin, wanita itu mulai merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Hanya menatap lekat wajah sang kekasih saja, dia sudah merasakan sesuatu yang tidak beres. "Gugurkan saja! Aku tidak menginginkan anak ini," kata Rasid, sembari melempar asal, benda pipih itu. "Mas, apa maksud kamu?" teriak Andin. "Ini darah daging kamu, Mas. Aku nggak mungkin menggugurkannya, kamu harus tanggung jawab." Rasid menatap Andin dengan tatapan remeh."Tanggung jawab bagaimana? Bukankah k

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-06
  • Korban Perceraian   Niat Jahat

    Korban PerceraianBab10 Andin merasa telah menjadi Ibu yang gagal. Bahkan, kini buah hatinya tidak tahu ada dimana. Sejauh kaki melangkah, Andin tetap tidak menemukan jejak Ganesa sama sekali. Bahkan menghubungi nomor Zaki pun, sudah tidak bisa lagi. Entah bagaimana, sepertinya nomor Andin, masuk dalam daftar tolak otomatis di ponsel Zaki. Andin terpaku dengan kegagalannya sebagai seorang Ibu. Sedangkan di rumahnya, Rasid begitu bahagia. Bagaimana tidak, dengan leluasa, dia meneguk madu muda, yang ditinggalkan Ibunya begitu saja. Bagi Rasid, Gaby cantik dan mempesona, juga menggairahkan. Bodoh, jika dia memberinya makan, namun tidak bisa meneguk madu manisnya. Apalagi, Rasid bukan Ayah kandungnya. Hanya pacar Ibunya, yang diberi kesempatan, untuk menikmati anaknya juga. Rasid sangat terbuai, dan ketagihan, dengan rasa manis yang dia isap dari gadis muda, yang kini tanpa sadar, sudah kehilangan kehormatannya.

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-01

Bab terbaru

  • Korban Perceraian   TAMAT

    Bab145"Mamah Helena mohon! Helena janji akan jadi anak yang baik untuk Mamah dan Papah. Helena juga akan menuruti, apapun kemauan kalian," kata Helena memohon pada Ganesa.Ganesa terdiam, terpaku mendengarkan tangisan pertama anak gadisnya."Ganesa, bukannya maksud Mamah ingin ikut campur. Tapi tolong kamu pikirkan lagi, demi anak kalian. Beri Najib kesempatan sekali lagi, jika dia berulah kembali, maka apapun yang terjadi, Mamah akan dukung kamu 100 persen, Nak.""Iya Ganesa, bukannya kakak tidak mengerti perasaan kamu. Kakak ngerti banget. Tapi tidak ada salahnya, jika kamu pikirkan lagi."Terdengar langkah kaki pelan seseorang, berjalan ke arah mereka. Najib, memandang sayu ke arah mereka bertiga."Ganesa," panggil Najib. Ganesa pun tidak menoleh ke arah lelaki itu, dia hanya terdiam, dengan pikirannya yang terus berperang dengan hati.

  • Korban Perceraian   Persidangan

    Bab144 "Jadi ini, laki-laki yang menjadi selingkuhan kamu? Dan berarti benar yang dikatakan Jesika, kamu gadaikan rumah, demi lelaki ini," tunjuk Najib. Julian mengernyit. "Najib, kamu nggak malu di lihat orang? Kamu lagi berdongeng?" tanya Ganesa dengan tenang menanggapi Najib. "Ayo pulang!" ajak Najib. Ganesa berdiri, dan menatap Najib sengit. "Kamu pikir kamu siapa? Seenaknya mengusir aku dari rumahku sendiri, demi wanita lain. Dan kini datang kesini, hanya untuk mempermalukan aku?" "Ganesa, kamu itu masih istriku yang sah." "Oh ya? Sekarang baru kamu merasa aku istrimu! Sebelumnya bukan? Sehingga kamu seenaknya menyakitiku, dan selalu membela wanitamu. Ah, sudahlah, aku malas untuk berdebat. Sekarang pergi dari sini, atau kami

  • Korban Perceraian   Bertemu Najib

    Bab143"Berapa lama?" Najib masih bertanya."Seminggu. Berangkatnya tadi pagi.""Seminggu? Lama sekali."Najib merasa kesal dan ingin marah. Tapi dia tidak tahu, harus marah pada siapa.Najib pulang ke rumah, dengan perasaan frustasi."Kenapa kamu?" tanya Ratna."Nggak apa-apa," sahut Najib seadanya. Ia pun menaiki anak tangga dengan gontai, menuju ke kamarnya.Di dalam kamar, dia membayangkan wajah Ganesa, wanita yang kini sangat dia rindukan. Bahkan Najib tidak bisa marah sama sekali, ketika tahu Ganesa menggadaikan rumah ini.Najib tahu, Ganesa tidak berniat jahat. Jika dia jahat, maka rumah ini tidak lagi dia gadaikan, tetapi dia jual."Ganesa, mas rindu sekali, sayang," lirih Najib memeluk guling.Sedangkan di Butik Ganesa, wanita i

  • Korban Perceraian   Berharap Kembali

    Bab142●Pov Najib●"Mah, Najib menyesal," lirihku."Sudah Mamah ingatkan berkali-kali sebelumnya. Tapi kamu, tetap kekeh berkelakuan di belakang. Kalau sudah begini bagaimana.""Mah, biarkan saja sudah kalau begini. Besok kita balik ke Bandung lagi. Lagian, ini itu salahnya Najib sendiri," kata kak Aya dengan raut wajah kecewa.Aku tahu, aku yang salah dan terlalu angkuh dengan pencapaianku sendiri. Terlebih, Jesika selalu memujiku tampan, baik dan rupawan, juga hartawan. Aku melayang, dengan kesombongan diri yang berakhir kacaunya rumah tanggaku.Aku selalu memandang tak suka pada Ganesa. Entah mengapa, aku menganggap Ganesa layaknya wanita yang serba gagal.Gagal menjadi Ibu yang baik bagi anakku, dan gagal menjadi istri, yang bisa membuat suaminya setia.Bagaimana dia bisa membuatku setia? Jika setiap

  • Korban Perceraian   Sidang Pertama

    Bab141"Astagfirullah, kak Najib," seru Jesika, dengan mata membulat karena terkejut, melihat Najib yang begitu marah."Apa yang kamu katakan tadi? Berani sekali kamu berkata seburuk itu pada Putriku," bentak Najib berang."Mas, kami hanya bercanda." Jesika membujuk."Bohong, Pah. Tante dari tadi menghina dan memakiku."Mendengar penuturan Putrinya, Najib semakin marah pada Jesika."Helena, kok kamu ngomong begitu, sih. Tega kamu sama Tante," lirih Jesika sembari menunjuk. Tangannya memilin-milin baju dengan gemetar."Sebaiknya, kamu angkat kaki dari rumah ini," pinta Najib dengan dingin.Jesika mendongak. "Sayang, kok ngomong begitu. Janganlah pake emosi gitu, kita kan bisa bicara baik-baik.""Aku mendengar semuanya. Demi menjaga mental anakku, pergilah dari rumah ini. Kamu dan aku,

  • Korban Perceraian   Fitnah

    Bab140Entah keyakinan dari mana, Jesika memberanikan diri menelpon mertuanya, juga kakak iparnya.Tangis palsu Jesika pecah, ketika menceritakan deritanya bersama Najib di rumah ini."Jesika, nggak mungkin Ganesa melakukan itu! Kamu jangan mengada ngada ya," kata Aya, Kakak tertua Najib."Sumpah kak. Ganesa pergi dari rumah ini, dan hidup bersama lelaki lain. Bahkan dia gadaikan rumah Kak Najib ini, demi membahagiakan lelakinya.""Astagfirullah, kakak akan hubungi Ganesa dulu." Sambungan telepon seketika di matikan begitu saja.Jesika meradang. "Sialan, dasar bedebah," pekik Jesika.Ia pun menghubungi Ratna, mertuanya itu, untuk mengompori wanita tua itu juga."Ada apa, Jesika," tanya Ratna. Ketika menjawab panggilan telepon Jesika."Mah, rumah kak Najib digadaikan Ganesa ke Bank. Bahkan, kak Ganesa tidak mau membayarnya lagi dan pergi dari rumah, bersama laki-laki lain.""Jesika, kamu jangan coba mengada-n

  • Korban Perceraian   Murka

    Bab139Mendengar ucapan Najib, dada Jena bergetar, sembari memandangi sesaat wajah Andre, suami yang baru sah pagi tadi menjadi miliknya."Mas, kenapa ada orang kedua yang berucap tentang hal ini. Jika saat itu, Lena kamu katakan berhalusinasi, lalu itu tadi apa?" tanya Jena, ketika mereka duduk di pelaminan."Aku akan jelaskan nanti, usai resepsi ini selesai, bisa kan?" tanya Andre kembali, merasa tidak nyaman.Jena hanya menghela napas berat, menatap Andre dengan tatapan kekecewaan."Salah diri ini, memilih menyimpan bangkai, di bandingkan bercerita kepadanya. Kalau sudah begini, aku hanya menimbulkan getar keraguan di mata Jena," batin Andre.Kini perasaan keduanya menjadi gamang. Sedangkan Ganesa, hanya menatap biasa kepada pasangan itu.Meskipun awal kedatangan Ganesa, sempat membuat Andre gelisah. Namun ketika Ganesa ti

  • Korban Perceraian   Pernikahan

    Bab138"Ya, ada apa? Ibu kenal?" tanya Jena.Aku menatap Jena sesaat."Cuma tahu, kalau mengenal banget sih, nggak."Jena mengangguk. "Datang ya, Bu.""Insya Allah," jawabku.Jena pun keluar dari ruanganku, karena memang hanya memberikanku undangan pernikahannya.Aku menyandarkan tubuh di kursi, sambil menscroll status teman-teman kontak whatappku.Terlihat Jesika mengunggah sebuah foto, yang memperlihatkan kemesraannya dengan suamiku. Padahal berkas permohonan perceraian kami, baru masuk beberapa hari yang lalu.Tapi wanita ini, sudah sangat percaya diri, untuk memperlihatkan kemesraan mereka.Aku tersenyum kecut, melihat foto itu. Disusul ketikan status, status yang nyaris 100% memburukkanku."Wanita yang tega meninggalkan suaminya, hanya demi ambisinya. Ka

  • Korban Perceraian   Undangan Jena

    Bab137●Pov Ganesa●"Helena, yang sopan sama Tante Jesika!" bentak mas Najib, lelaki itu bangkit dan menatap tajam anak perempuan kami itu."Cepat minta maaf," titah mas Najib lagi pada Helena.Jesika menangis keras. "Ya Allah, mengapa aku hidup begini? Lebih baik aku mati saja, dari pada hidup menjadi beban dan hinaan mereka saja.""Jesika, kamu apa-apaan sih?" Mas Najib memindai Jesika dengan aneh."Mas, anak kamu sekarang tega menyakiti hatiku. Tega sekali, membuat hatiku bergejolak sakit.""Uuwu sekali," seruku, ketika melihat sikap Jesika, yang terang-terangan, berani memegangi lengan suamiku."Cepatlah pergi, sebelum rumah ini semakin hancur."Aku berjalan menaiki tangga, melewati Helena yang sudah aku diam kan beberapa hari ini. Tidak lagi kutegur, mau pun aku pedulikan.

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status