Bab91
Gaby tidak menyangka, semua kesabarannya, berujung sia-sia. Rumah tangga yang selama ini dia pertahankan sekuat tenaga.
Nyata, tetap berakhir hancur lebur. Dan hari ini, sudah berada di puncaknya. Dia terusir, dan kini tidak memiliki tujuan.
Hanya tersisa, sebuah rumah kecil, yang menjadi warisannya dari Zaki beberapa tahun lalu. Sebab Zaki, telah memilih untuk pindah ke Singapur.
Meninggalkan Gaby, dan beberapa aset lainnya. Bahkan, Zaki maupun Ganesa, tidak bisa dihubungi lagi.
Dengan berat hati, Gaby menjual warisan dari Papanya itu, dan pergi kembali ke Kalimantan.
Hidup di kota besar, tentu saja tidak mudah baginya. Maka dari itu, Gaby memutuskan, untuk pergi ke Kalimantan, tempat dia di besarkan.
Gaby bahkan tidak ingin memikirkan Rumi lagi. Gadis malang yang masih terikat di dalam hutan itu, hanya bisa menangis, dan meratapi nasibnya.
Bab92"Mamah ...." Terdengar suara teriakkan Harumi.Melin yang tengah asik memasak di dapur pun sangat terkejut."Ada apa sih?" sahut Melin, masih asik memotong kecil sayuran wortel dan teman-temannya.Harumi berlari ke dapur, dan memeluk Melin dari belakang.Melin tersenyum. "Tangan Mamah ini kotor, Nak.""Biarin. Harumi punya kejutan buat Mamah," bisik Harumi, kemudian wanita cantik itu mencium sayang pipi Melin.Melin pun lagi-lagi tersenyum. "Apa kejutannya."Harumi melepaskan pelukannya, dan memperlihatkan benda pipih kecil bergaris dua."Waaaahhhhhh ...." Mata Melin membulat, ketika melihat benda pipih itu."Anakku sayang," pekik Melin, kembali memeluk tubuh Harumi.Melin tiba-tiba terisak, membuat Harumi kebingungan."Mamah kenapa?""Mamah terharu,
Bab93Tangan Harumi gemetar, dia yang tadinya duduk di meja makan, yang sudah siap dengan hidangan lezatnya, pun sangat terkejut.Kaca pecah itu, tepat di dekat meja makannya. Batu besar, yang digunakan untuk melempar kaca itu pun, menggelinding di dekatnya."Astagfirullah," lirih Harumi. Dia pun menghubungi Andre, namun nomor itu, sedang dalam keadaan tidak aktif.Harumi mengirimkan pesan, dengan tangan gemetar. Dia panik, dan sangat ketakutan kini.Rumah mereka, lumayan berjarak jauh dari tetangga, jadi tidak lah heran, jika kini Harumi semakin ketakutan.Mengingat kini dirinya seorang diri di rumah.Harumi gegas berlari menaiki tangga, dan menuju ke kamarnya, mengunci pintu dan terus menerus menghubungi mertua, Gaby dan suaminya.Jam 22.10"Mas, seseorang melemparkan batu kekaca bagian dapur rumah."Jam 22.20
Bab94"Tidak mungkin, aku yakin Harumi lagi bermain-main padaku. Awas saja kamu, tidak akan kumaafkan," gumam Andre.Biar bagaimana pun juga, Andre sangat yakin, bahwa Harumi tidak mungkin mengalami hal buruk. Secara di rumah besar Andre, itu memiliki seorang Satpam.Dan Melin sang mama, tidak mungkin meninggalkan menantunya seorang diri di rumah.Andre pun masih berusaha tenang, dan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Dia berusaha mengendalikan diri, dan menghapus air matanya tadi.Andre hanya merasa bersalah, karena tidak menepati janjinya. Dan dia yakin, Harumi kini sedang marah dan berniat menghukumnya.Namun panggilan telepon dari Melin, membuat degupan jantung Andre berpacu kuat.Alasan apa yang akan Andre katakan pada Mamahnya? Dia pun sedikit panik dan bingung. Namun mau tidak mau, Andre pun menjawab panggilan telepon itu."Hallo.""Dimana kamu?" tanya Melin dengan suara datar."Di jala
Bab95Mayat Harumi pun dibawa, untuk di lakukan autopsi. Melin dan Gaby berpelukan.Gaby tidak menangis sama sekali, sedangkan Melin terus menangis. Bahkan, wanita itu sudah pingsan tiga kali hari ini.Dan Andre, meratapi kebodohannya di dalam kamar mereka. Andre menyisir seluruh kamar, dengan wajah yang masih basah air mata.Andre tidak menyangka, istrinya bisa mengalami hal sena'as ini. Padahal yang dia tahu, Harumi merupakan wanita yang baik, lembut dan juga ramah.Mereka hidup dengan baik, dan tidak merasa memiliki dendam sama sekali pada siapapun.Jika merujuk kejadian ini pada perampokkan, nyatanya, tidak ada benda mau pun harta berharga mereka yang hilang.Melin yang merasa sakit hati dan hancur, pun masuk ke kamar Andre."Dari mana saja kamu?" bentak Melin sambil bertanya. Tatapan tajam dan membunuh, kini terlihat jelas di mata wanita itu.Andre menunduk. "Lembur, dan Andre ketiduran.""Bodoh!
Bab96Andre berniat memeluk tubuh kaku Harumi. Namun Melin melarangnya, dan meminta Andre menjauh. Masih sangat jelas terpancar, kekecewaan mendalam di mata Melin.Andre berlutut, memohon ampun maaf pada Gaby."Maafkan saya, Ma. Saya gagal menjadi suami, saya gagal melindungi Harumi."Gaby menarik napas. "Semua sudah menjadi takdirnya." Hanya itu, jawaban dari Gaby.Wanita itu kini tidak banyak bicara. Dia pun berdiri, dan meninggalkan Andre yang terus terisak.Hati Ibu mana yang tidak hancur? Tidak ada, semua pasti hancur karena kehilangan. Namun sebagai manusia yang lemah, Gaby berusaha menegarkan diri.Dia merindukan Ganesa, juga Zaki sang Papa. Namun kedua orang ini, bagaikan hilang ditelan bumi. Mereka pergi tanpa kabar sama sekali, dan hanya menyisakan warisan, bukan lagi kasih sayang.Anak satu-satunya yang dia besarkan, kini pun pe
Bab97"Andre," panggil Parwira."Ya, Pah." Andre yang duduk bersebelahan dengan Parwira, pun menoleh saat dipanggil."Kamu yakin tidak memiliki musuh?" selidik Parwira."Sumpah nggak ada, Pah. Harumi pun pasti tidak punya. Karena selama ini, Harumi jarang bergaul.""Apa kamu memiliki wanita lain?"Andre terlonjak, dengan pertanyaan Papahnya. "Kenapa Papah bertanya begitu?""Jawab saja! Sebagai laki-laki, Papah paham betul dengan hal semacam ini. Apalagi, Papah sering mendengar dari Mamah kamu, bahwa kamu, sering lembur dan telat pulang."Andre menghela napas. "Tidak." Andre menyahut singkat, namun dia tidak berani melihat ke arah Papahnya."It's oke, Andre. Jujur tidak jujur, semua akan kamu tanggung seorang diri. Tapi satu hal yang harus kamu ingat. Bermain-main dengan api, tentu saja sangat berbahaya, kalau bukan kamu ya
Bab98Hari berganti hari, kini Melin mulai berusaha tegar.Keluarga Parwira pun, sudah pindah dari rumah lama. Kini rumah mereka, berdekatan dengan rumah Gaby.Rumah sederhana, sangat berbeda dari sebelumnya. Demi menjaga dari bayangan tragis masa lalu.Parwira membangun gaya rumah yang berbeda, demi memberi suasana baru pada istri yang sangat dia cintai itu.Melin pun selalu menyambangi rumah Gaby. Mereka berdua terkadang bercerita banyak hal, mencoba saling menguraikan rasa sakit kehilangan."Aku benar-benar nggak nyangka, kehidupan kamu serumit itu. Lagian, kenapa kamu kuat bertahan dengan lelaki brengsek seperti Bryan itu?" tanya Melin kesal, mendengar cerita rumah tangga Gaby."Aku yang salah, terlalu memaksakan kehendak. Karena selama hidup sama Mama, dia selalu berusaha menuruti apapun mauku. Jadi, aku tumbuh menjadi anak yang egois. Jika mauku tidak dituruti, aku akan sanggup melukai diriku.""Ih, untung Har
Bab99"Melin, tolong bersabar," pinta Gaby, yang berdiri menyabarkan Melin yang sangat emosi."Mamah ada apa sih?" tanya Andre kebingungan, sembari memegangi pipinya yang teramat sakit, juga panas."Ada apa katamu? Dasar laki-laki bodoh!" bentak Melin. Wanita itu pun melemparkan sesuatu, yang sedari tadi dipegangnya dengan perasaan marah.Melin melemparkan beberapa lembar foto, ke wajah Andre. Foto-foto mesra Andre dan Lena di tempat tidur, berserakan jatuh di lantai.Gaby terkejut, dan menutup mulutnya dengan kedua tangan. Dia tidak menyangka, ternyata Andre berkhianat selama ini.Foto-foto itu, memiliki keterangan detail, mengenai tanggal pengambilan gambar.Tanggal dimana, kejadian na'as yang menimpa Harumi terjadi."Rupanya kau selama ini berkhianat, dan bermain kembali dengan wanita murahan itu. Bahkan, foto ini sangat jelas tanggal p
Bab145"Mamah Helena mohon! Helena janji akan jadi anak yang baik untuk Mamah dan Papah. Helena juga akan menuruti, apapun kemauan kalian," kata Helena memohon pada Ganesa.Ganesa terdiam, terpaku mendengarkan tangisan pertama anak gadisnya."Ganesa, bukannya maksud Mamah ingin ikut campur. Tapi tolong kamu pikirkan lagi, demi anak kalian. Beri Najib kesempatan sekali lagi, jika dia berulah kembali, maka apapun yang terjadi, Mamah akan dukung kamu 100 persen, Nak.""Iya Ganesa, bukannya kakak tidak mengerti perasaan kamu. Kakak ngerti banget. Tapi tidak ada salahnya, jika kamu pikirkan lagi."Terdengar langkah kaki pelan seseorang, berjalan ke arah mereka. Najib, memandang sayu ke arah mereka bertiga."Ganesa," panggil Najib. Ganesa pun tidak menoleh ke arah lelaki itu, dia hanya terdiam, dengan pikirannya yang terus berperang dengan hati.
Bab144 "Jadi ini, laki-laki yang menjadi selingkuhan kamu? Dan berarti benar yang dikatakan Jesika, kamu gadaikan rumah, demi lelaki ini," tunjuk Najib. Julian mengernyit. "Najib, kamu nggak malu di lihat orang? Kamu lagi berdongeng?" tanya Ganesa dengan tenang menanggapi Najib. "Ayo pulang!" ajak Najib. Ganesa berdiri, dan menatap Najib sengit. "Kamu pikir kamu siapa? Seenaknya mengusir aku dari rumahku sendiri, demi wanita lain. Dan kini datang kesini, hanya untuk mempermalukan aku?" "Ganesa, kamu itu masih istriku yang sah." "Oh ya? Sekarang baru kamu merasa aku istrimu! Sebelumnya bukan? Sehingga kamu seenaknya menyakitiku, dan selalu membela wanitamu. Ah, sudahlah, aku malas untuk berdebat. Sekarang pergi dari sini, atau kami
Bab143"Berapa lama?" Najib masih bertanya."Seminggu. Berangkatnya tadi pagi.""Seminggu? Lama sekali."Najib merasa kesal dan ingin marah. Tapi dia tidak tahu, harus marah pada siapa.Najib pulang ke rumah, dengan perasaan frustasi."Kenapa kamu?" tanya Ratna."Nggak apa-apa," sahut Najib seadanya. Ia pun menaiki anak tangga dengan gontai, menuju ke kamarnya.Di dalam kamar, dia membayangkan wajah Ganesa, wanita yang kini sangat dia rindukan. Bahkan Najib tidak bisa marah sama sekali, ketika tahu Ganesa menggadaikan rumah ini.Najib tahu, Ganesa tidak berniat jahat. Jika dia jahat, maka rumah ini tidak lagi dia gadaikan, tetapi dia jual."Ganesa, mas rindu sekali, sayang," lirih Najib memeluk guling.Sedangkan di Butik Ganesa, wanita i
Bab142●Pov Najib●"Mah, Najib menyesal," lirihku."Sudah Mamah ingatkan berkali-kali sebelumnya. Tapi kamu, tetap kekeh berkelakuan di belakang. Kalau sudah begini bagaimana.""Mah, biarkan saja sudah kalau begini. Besok kita balik ke Bandung lagi. Lagian, ini itu salahnya Najib sendiri," kata kak Aya dengan raut wajah kecewa.Aku tahu, aku yang salah dan terlalu angkuh dengan pencapaianku sendiri. Terlebih, Jesika selalu memujiku tampan, baik dan rupawan, juga hartawan. Aku melayang, dengan kesombongan diri yang berakhir kacaunya rumah tanggaku.Aku selalu memandang tak suka pada Ganesa. Entah mengapa, aku menganggap Ganesa layaknya wanita yang serba gagal.Gagal menjadi Ibu yang baik bagi anakku, dan gagal menjadi istri, yang bisa membuat suaminya setia.Bagaimana dia bisa membuatku setia? Jika setiap
Bab141"Astagfirullah, kak Najib," seru Jesika, dengan mata membulat karena terkejut, melihat Najib yang begitu marah."Apa yang kamu katakan tadi? Berani sekali kamu berkata seburuk itu pada Putriku," bentak Najib berang."Mas, kami hanya bercanda." Jesika membujuk."Bohong, Pah. Tante dari tadi menghina dan memakiku."Mendengar penuturan Putrinya, Najib semakin marah pada Jesika."Helena, kok kamu ngomong begitu, sih. Tega kamu sama Tante," lirih Jesika sembari menunjuk. Tangannya memilin-milin baju dengan gemetar."Sebaiknya, kamu angkat kaki dari rumah ini," pinta Najib dengan dingin.Jesika mendongak. "Sayang, kok ngomong begitu. Janganlah pake emosi gitu, kita kan bisa bicara baik-baik.""Aku mendengar semuanya. Demi menjaga mental anakku, pergilah dari rumah ini. Kamu dan aku,
Bab140Entah keyakinan dari mana, Jesika memberanikan diri menelpon mertuanya, juga kakak iparnya.Tangis palsu Jesika pecah, ketika menceritakan deritanya bersama Najib di rumah ini."Jesika, nggak mungkin Ganesa melakukan itu! Kamu jangan mengada ngada ya," kata Aya, Kakak tertua Najib."Sumpah kak. Ganesa pergi dari rumah ini, dan hidup bersama lelaki lain. Bahkan dia gadaikan rumah Kak Najib ini, demi membahagiakan lelakinya.""Astagfirullah, kakak akan hubungi Ganesa dulu." Sambungan telepon seketika di matikan begitu saja.Jesika meradang. "Sialan, dasar bedebah," pekik Jesika.Ia pun menghubungi Ratna, mertuanya itu, untuk mengompori wanita tua itu juga."Ada apa, Jesika," tanya Ratna. Ketika menjawab panggilan telepon Jesika."Mah, rumah kak Najib digadaikan Ganesa ke Bank. Bahkan, kak Ganesa tidak mau membayarnya lagi dan pergi dari rumah, bersama laki-laki lain.""Jesika, kamu jangan coba mengada-n
Bab139Mendengar ucapan Najib, dada Jena bergetar, sembari memandangi sesaat wajah Andre, suami yang baru sah pagi tadi menjadi miliknya."Mas, kenapa ada orang kedua yang berucap tentang hal ini. Jika saat itu, Lena kamu katakan berhalusinasi, lalu itu tadi apa?" tanya Jena, ketika mereka duduk di pelaminan."Aku akan jelaskan nanti, usai resepsi ini selesai, bisa kan?" tanya Andre kembali, merasa tidak nyaman.Jena hanya menghela napas berat, menatap Andre dengan tatapan kekecewaan."Salah diri ini, memilih menyimpan bangkai, di bandingkan bercerita kepadanya. Kalau sudah begini, aku hanya menimbulkan getar keraguan di mata Jena," batin Andre.Kini perasaan keduanya menjadi gamang. Sedangkan Ganesa, hanya menatap biasa kepada pasangan itu.Meskipun awal kedatangan Ganesa, sempat membuat Andre gelisah. Namun ketika Ganesa ti
Bab138"Ya, ada apa? Ibu kenal?" tanya Jena.Aku menatap Jena sesaat."Cuma tahu, kalau mengenal banget sih, nggak."Jena mengangguk. "Datang ya, Bu.""Insya Allah," jawabku.Jena pun keluar dari ruanganku, karena memang hanya memberikanku undangan pernikahannya.Aku menyandarkan tubuh di kursi, sambil menscroll status teman-teman kontak whatappku.Terlihat Jesika mengunggah sebuah foto, yang memperlihatkan kemesraannya dengan suamiku. Padahal berkas permohonan perceraian kami, baru masuk beberapa hari yang lalu.Tapi wanita ini, sudah sangat percaya diri, untuk memperlihatkan kemesraan mereka.Aku tersenyum kecut, melihat foto itu. Disusul ketikan status, status yang nyaris 100% memburukkanku."Wanita yang tega meninggalkan suaminya, hanya demi ambisinya. Ka
Bab137●Pov Ganesa●"Helena, yang sopan sama Tante Jesika!" bentak mas Najib, lelaki itu bangkit dan menatap tajam anak perempuan kami itu."Cepat minta maaf," titah mas Najib lagi pada Helena.Jesika menangis keras. "Ya Allah, mengapa aku hidup begini? Lebih baik aku mati saja, dari pada hidup menjadi beban dan hinaan mereka saja.""Jesika, kamu apa-apaan sih?" Mas Najib memindai Jesika dengan aneh."Mas, anak kamu sekarang tega menyakiti hatiku. Tega sekali, membuat hatiku bergejolak sakit.""Uuwu sekali," seruku, ketika melihat sikap Jesika, yang terang-terangan, berani memegangi lengan suamiku."Cepatlah pergi, sebelum rumah ini semakin hancur."Aku berjalan menaiki tangga, melewati Helena yang sudah aku diam kan beberapa hari ini. Tidak lagi kutegur, mau pun aku pedulikan.