Regina menekuk kedua kakinya, berlutut di depan Nyonya Jian. Dia membuang semua harga dirinya untuk melakukan semua ini. Tatapan matanya menunduk dan mengucapkan dengan penuh ketulusan, "Aku minta maaf atas apa yang Kevin perbuat pada Anda. "Nyonya Jian memandang Regina dengan tatapan tajam. Tatapan matanya memandang Regina dengan ketidakpercayaan, "Trik macam apa ini? Apa kau akan bertindak sebagai korban lalu memfitnahku di depan putraku bahwa aku memaksamu berlutut dan meminta maaf?"Regina tetap tenang meskipun tatapan tajam Nyonya Jian menusuk ke dalam dirinya. Wanita itu mengangkat tubuhnya, berdiri tegap dengan tatapan lurus. "Saya tidak memiliki rencana buruk apapun dan hanya berharap Anda memaafkan putra saya. Sebagai orang dewasa sudah sepantasnya untuk merendahkan diri dan mengakui kesalahan."Nyonya Jian menatapnya dengan dingin, beberapa detik kemudian, senyum penuh kemenangan terukir, "Baguslah jika kau mau meminta maaf untuk kau yang tidak becus mendidik anakmu." "
"Tolong bawa saya bersama dengan Anda dan Nyonya!" Pelayan itu memohon. "Saya sungguh ingin melayani Anda dan Nyonya."Henry justru meremehkannya. "Kenapa aku harus membawa seorang mata mata dari pihak orang tuaku?"Pelayan itu mengelak. "Tuan, saya sungguh bukan seorang mata-mata. Saya benar-benar tulus untuk--""Jika kau bukan mata-mata maka kau tidak akan menguping pembicaraan. Jangan menghalangi jalanku!" Henry mendorong pelayan itu menjauh. Pelayan itu menatap Henry cukup lama. Tangannya mengepal dengan erat. *** Henry masuk ke dalam kamar Kevin, dia mendekat ke arah seorang anak laki-laki yang tertidur lelap. Pandangannya tertuju pada pipi yang memerah. Nafas berat keluar dari mulutnya. "Regina tidak berbohong." Henry mengulurkan tangan untuk membangunkannya, tetapi akhirnya menarik kembali. Dia pergi ke almari pakaian dan mulai memasukkannya ke dalam koper. Ketika Henry sedang sibuk memasukkan pakaian ke dalam koper, Kevin akhirnya terbangun dari tidurnya yang lelap. Matan
"Kevin, berhenti mendesaknya, aku tidak ingin mendengar omong kosong apapun darinya!" Regina melirik ke arah Kevin melalui kaca. Kevin mengerutkan bibirnya. Dia menunduk dengan sedih. "Aku hanya ingin membuat Mama dan Papa seperti pasangan pada umumnya. Jika kalian saling bicara manis, bukankah pernikahan kalian akan bertahan lama?" Regina yang melihat anak yang tertunduk dengan aura abu-abu yang dipenuhi dengan kekecewaan membuatnya tidak tahu harus berbuat apa. "Kevin, kau tidak bisa berharap lebih dari ini dan pasangan yang terlihat manis belum tentu mereka akan bersama dalam waktu yang lama. Kau tidak mengerti ini, kan?" Henry menanggapinya, "Kehidupan pasangan nyata tidak seperti dalam dongeng."Kevin justru tersenyum yang membuat Henry merasa heran. "Kenapa kau tersenyum seperti itu?""Aku hanya merasa senang karena Papa berpihak pada Mama. Ini kata untuk penghiburan pada Mama bukan. Meski kasar tapi aku paham sebenarnya Papa ingin mengatakan bahwa meskipun kalian tidak bers
"Ini yang kau maksud lebih baik?" Regina berbicara disela-sela batuknya. Dia dengan cepat mengambil minuman. "Kau bisa melihatnya sendiri, ini tidak hangus, kan?" Henry bertindak biasa saja dan masih menikmati makanannya tanpa menunjukkan ekspresi. "Memang tidak hangus, tapi tidak enaknya sama sekali. Aku tidak sanggup memakannya," ucap Regina dengan sarkas. Henry membalas, "Apa kau pikir makananmu yang hangus itu berasa enak? Kau sendiri tidak bisa memasak, jadi tidak punya hak mengkritik."Henry dan Regina mulai saling berdebat. Kevin memperhatikan kedua orang tuanya. Dia bergumah dengan suara pelan, "Pantas saja tidak ada satupun diantara Mama dan Papa memasakanku makanan sebelumnya. Aku harus ingat ini!"Kevin menghentikan perdebatan itu. "Mama dan Papa, daripada bertengkar, kenapa tidak memesan makanan saja? Papa, kau juga tidak perlu memaksakan diri memakannya. Walau kau tidak menunjukkannya, tapi aku tahu kau juga merasakan rasa yang buruk, kan?""Baiklah, aku akan memesanka
Henry menahan diri. "Masalah sepele tetaplah masalah! Siapa yang tidak akan marah jika makanan miliknya diambil seseorang tanpa sisa?" Regina tersenyum sinis. "Oh, Bagaimana jika aku membayarnya. Aku akan mentransfernya segera."Henry tersenyum meremehkan, "Kau ingin membayar dari uang di kartu yang aku berikan? Bukankah itu sama saja?"Regina melangkah mengambil kopernya yang masih berada di ruang tengah. Dia mengambil dompet, dan melemparkan kartu yang diberikan Henry padanya. "Ambil! Aku tidak butuh itu." Regina membuka aplikasi di ponselnya dan mentransfer sejumlah uang. "Aku juga sudah mentransfernya. Kita tidak punya utang apapun." Regina langsung pergi begitu saja. Henry meraih tangannya sebelum istrinya sempat melarikan diri. "Regina, ada apa denganmu? Kenapa kau lebih marah daripada aku? Hei, jangan bertindak seperti gadis remaja yang sedang merajuk, umurmu terlalu tua untuk itu." Regina menginjak kaki Henry yang membuatnya lengah. Gadis bertubuh ramping ini menggunakan k
"Kenapa kau menambahkan syarat seenaknya? Keu tidak mengatakannya sebelumnya." Regina menoleh ke arah Henry, tetapi jarak mereka yang begitu dekat membuat Regina kembali memandang ke depan, tangannya terlepas dari genggaman pintu dan menerobos melalui tangan Henry, menjauhkan diri dengan jarak aman. "Jika kau tidak mau tidak masalah. Maka, aku tidak akan memberikannya!" Henry mengibaskan filenya. Regina memandang file itu. Tangannya mengepal. Dia harus menahan diri dan ikut bermain dalam permainan Henry. "Berikan padaku sekarang juga," ucap Regina. Henry tersenyum penuh kesombongan. "Aku akan menganggap menerima syarat dariku. " "Ayo, masuk, istriku!" Henry membukakan pintu kamar. Regina memasuki kamar dengan hati-hati, tatapannya terarah pada Henry dengan penuh kecurigaan. Henry menatapnya dengan senyum diwajahnya. "Kenapa kau menatapku begitu? Aku sungguh tidak akan melakukan sesuatu. Ambil dokumen ini!"Regina mengulurkan tangannya, mengambil dengan cepat. Dia memeriksa isiny
"Kenapa?" Henry bertanya pada Regina melirik tanpa mengatakan apapun. Regina menggeleng. Dia tidak mungkin menanyakan darimana Henry yang tidak kembali ke kamar sampai larut malam. Regina menunduk wajahnya dan mulai mengigit roti putih yang telah di panggang. "Mama, apa mana tidak tidur dengan baik? Ada kelompok mata gelap di mata." Regina terkejut dengan Kevin yang menyadarinya walau sudah ditutupi dengan make up. "Bukankah kau tidur nyenyak semalam?" Henry menatapnya penuh keheranan. "Atau kau tidak bisa tidur karena aku meninggalkanmu? Oh, apa istriku tidak bisa tidur tanpaku?""Tidak. Justru aku tidur nyenyak semalam. Ini bukan kelopak mata gelap tapi bagian dari make up." Regina memberi alasan yang masuk akan. "Aku tidak tahu jika kau pergi semalam." "Papa, apa papa keluar saat malam hari? Apa yang Papa lakukan?" Kevin bertanya. Regina tidak menyangka Kevin akan menanyakan pertanyaan yang ingin Regina ketahui. Mata yang terlihat lelah, terarah pada Henry tanpa berkedip. Dia
Saat Henry mendengar tuduhan Regina, ekspresinya berubah serius. " Oh, jadi kau tidak tidur malam itu dan malah menuduh aku keluar untuk berselingkuh? Jika kau penasaran tentang itu kenapa kau tidak keluar dan mengikutiku? Menuduh tanpa bukti tidak bisa di terima!" Regina tersenyum sinis. "Apa aku masih butuh bukti? Interaksimu dengan wanita itu dan bagaimana sikapnya padamu, itu sudah jelas."Henry memicingkan mata, "Regina, jangan katakan padaku bahwa kau cemburu."Regina mengalihkan pandangan, "Tidak, kenapa aku harus cemburu? Aku sudah tahu bahwa kau suka bermain-main dengan para wanita."Henry mendekat dan mencium pipinya. Regina terkejut, tangannya secara refleks mendorongnya, tapi tangan Henry menahannya. "Kita sedang berada di luar, bahkan jika kau marah, kita harus tetap bersikap selayaknya pasangan, kan?" bisik Henry dengan suara yang hanya bisa di dengar oleh Regina. "Permisi, saya tahu kalian pasangan, tapi bisakah jangan bermesraan di sini?" Suara Rose terdengar. Henry