“Bagaimana kalau kamu memberikan mata dan ginjalmu untuk Evan?”
Deg!
Jantung Sanna seakan berhenti seketika.
Ia berkedip beberapa kali, tidak menyangka dengan permintaan mertuanya barusan.
“A-apa?” tanya gadis itu.
“Berikan ginjal dan matamu untuk Evan.” Hannah mengulangi. “Kamu bisa melakukannya, ‘kan?”
Sanna menelan saliva yang terasa seperti jarum. Ia sama sekali tak menyangka Hannah akan terang-terangan mengatakan itu kepadanya.
Ia, diminta untuk memberikan apa yang sejak lahir menjadi miliknya. Hal yang menopang hidupnya begitu saja.
“Tapi, jika aku buta, bagaimana aku akan mengurus Evan, Bu?” balas Sanna dengan suara tercekat. “Dan … untuk ginjalku–”
“Ck, ginjalmu kan ada dua. Anggap saja, itu adalah pengabdian terbesar yang bisa kamu lakukan sebagai seorang istri,” ucap Hannah, memotong kalimat Sanna. “Setelah Evan sembuh, kamu tidak perlu merawatnya lagi.”
Meskipun kalimatnya terdengar seperti ingin menenangkan Sanna, wajah Hannah tidak tampak demikian.
“Ayolah, Sanna. Kamu mau melakukannya, ‘kan? Apakah kamu tidak kasihan melihat kondisi Evan semakin memburuk setiap hari?” lanjut sang ibu mertua lagi. Wajahnya menjadi begitu memelas. “Sekarang, sudah lima tahun pria itu tidak bisa melihat. Dahulu Evan memiliki karier yang gemilang, tetapi sekarang dia sepanjang hari berada di rumah karena tidak bisa melakukan apa-apa. Melihatnya membuatku merasa sangat sedih. Ditambah penyakit di ginjalnya, dia hanya bisa memakan makanan itu-itu saja. Sebagai seorang istri, aku yakin kamu merasa kasihan melihatnya seperti itu, bukan?”
Sanna tidak langsung menjawab.
Jelas ia merasa iba dan prihatin melihat kondisi sang suami. Namun, Sanna pun tidak lupa bahwa pria itu juga yang setiap hari mencaci dan menyalahkan dirinya. Pria itu yang membuat Sanna sering menangis pada malam hari.
Kini, bagaimana mungkin ia diminta untuk merelakan organnya sendiri?
“Tapi, jika aku sakit-sakitan, tidak akan ada yang merawat Evan, Bu,” kata Sanna lagi. Meskipun Hannah tadi mengatakan bahwa Sanna tidak harus merawat Evan lagi, tidak seperti tujuan awal pernikahan mereka.
“Ah. Tidak perlu dipikirkan,” sahut Hannah. Raut pucat menghilang dari wajahnya, digantikan oleh binar penuh semangat. ”Kalau kamu benar-benar mengkhawatirkan Evan, kamu seharusnya lebih mementingkan kesembuhan Evan, daripada siapa yang akan merawatnya.”
“Lagipula,” lanjut Hannah. “Aku sendiri yakin, kalaupun kamu tidak bisa merawat Evan, Bethany mampu menggantikan posisimu. Dia wanita yang ceria dan Evan senang berada di dekatnya. Aku yakin dia bisa mengurus Evan dengan baik.”
Bethany?
Sanna seakan merasakan pukulan telak di dadanya mendengar nama adiknya disebut. Pikirannya seketika berkelana pada kotak bekal yang ia lihat tadi.
“Tapi, Bu,” balas Sanna. “Ibu tahu sendiri Bethany sendiri sedang tidak sehat. Ia mengidap sakit jantung sejak lahir. Dia tidak bisa terlalu lelah saat beraktivitas, apalagi merawat orang sakit butuh tenaga–”
“Soal itu, Ibu memiliki ide,” potong Hannah. “Bagaimana jika kamu juga merelakan jantungmu untuk Bethany?”
Sanna terbelalak mendengar ucapan ibu mertuanya tersebut. Namun, dari ekspresi Hannah, wanita paruh baya itu tampaknya tidak berpikir bahwa apa yang ia ucapkan itu adalah sesuatu yang tidak masuk akal untuk diucapkan pada menantunya.
“Dia adalah adik kandungmu,” Hannah berkata dengan lembut, melanjutkan seakan tidak menyadari reaksi Sanna akibat ucapannya. “Aku sangat kasihan melihatnya sakit-sakitan dan terlihat begitu lemah setiap hari. Aku yakin kamu juga merasakan hal yang sama. Sebagai seorang kakak, apakah kamu tidak ingin berbuat sesuatu untuk adikmu?”
Sanna tidak menyahut. Pikirannya kalut.
“Tidakkah kamu berpikir bahwa adaikmu itu bisa hidup lebih panjang dan menikmati dunia ini? Pengorbananmu akan sangat berarti bagi mereka berdua, Sanna,” lanjut Hannah. “Apa yang kamu miliki, daripada kamu monopoli sendiri, bisa jadi menyelamatkan dua orang. Bethany akan hidup lebih lama dan Evan akan mendapatkan kembali penglihatannya. Kamu harus melakukannya jika kamu benar-benar menyayangi mereka.”
Jadi … begitukah? Hidupnya tidak berarti lagi? Tidak ada yang memedulikan nyawanya ini?
Apakah ia dinikahi hanya untuk dijadikan pembantu, kemudian pendonor organ saja?
Sanna menelan saliva yang terasa menyumbat di tenggorokan. Tangannya bertautan di atas paha.
Mereka tak pernah peduli saat Sanna sakit. Ia harus mengurus dirinya sendiri, kini mereka meminta semua yang ia miliki. Tidak hanya sakit-sakitan. Sanna akan kehilangan nyawanya
Namun, sepertinya Sanna memang tidak ada harganya sama sekali di mata suami, adik, bahkan ibu mertuanya.
“Bagaimana, Sanna? Kamu mau melakukannya, ‘kan? Ibu benar-benar memohon pertolonganmu.” Hannah meraih tangan Sanna dan menggenggamnya erat. “Hanya kamu yang bisa menolong mereka.”
Sanna tersenyum getir. Air mata sudah berkumpul di pelupuk matanya.
Sepertinya … memang ia harus merelakan dirinya sendiri. Toh ia sudah tidak punya apa-apa lagi.
Dengan senyum pahit, gadis itu mengangguk.
“Jika itu bisa membahagiakan semua orang, aku akan melakukannya.”
***
“Kau sudah terlalu banyak minum, Nona.”
Sanna mendongak mendengar ucapan seorang pria asing yang duduk tak jauh darinya. Mata mereka bertemu sesaat sebelum kemudian Sanna mengalihkan pandangannya pada sang bartender di seberang meja.
Si bartender tampak ragu mengisi ulang gelasnya karena Sanna memang sudah menghabiskan banyak sekali minuman beralkohol.
Tapi wanita itu tidak peduli.
Sanna menghela napas panjang dan kemudian kembali menoleh ke samping.
“Apakah aku juga dilarang untuk minum?” tanya Sanna kemudian. Tiba-tiba matanya berkaca-kaca, meskipun bibirnya mengukir sebaris senyum. “Padahal ini bisa jadi kesempatan terakhirku. Kenapa kalian justru melarangku?”
Pria itu mengernyitkan keningnya mendengar racauan Sanna. Namun, ia tidak bertanya lebih lanjut, meskipun cukup penasaran tentang maksud kalimat Sanna.
Untungnya, tanpa perlu ditanya, Sanna melanjutkan ucapannya usai menghela napas berat.
“Ibu mertuaku tiba-tiba memintaku mendonorkan mata dan ginjal untuk suamiku,” jelas Sanna. Ia lalu tertawa pelan. “Padahal pria itu tidak pernah memperlakukanku dengan baik, sekalipun aku sudah mengabdikan hidupku padanya.”
Satu tetes air mata jatuh membasahi pipi Sanna. Wanita itu langsung menghapusnya, tetapi air mata itu terus mengalir tanpa bisa dihentikan.
“Tidak hanya itu. Aku juga diminta memberikan jantung pada adikku yang sakit-sakitan.” Sanna melanjutkan, menatap pada gelas kosong di hadapannya. “Aku akan mati sebentar lagi.”
“Bukankah kau bisa menolak?” Akhirnya, si pria asing menanggapi. “Mengapa kau justru mabuk di sini?”
Sudut bibir Sanna kembali tertarik membentuk senyum pahit.
“Benar. Seharusnya, itu yang dilakukan si bodoh ini,” jawab Sanna, “Seharusnya aku melakukan itu, tapi aku tidak bisa. Berbeda dengan Bethany, aku tidak punya tempat di sana. Semua orang terlihat bahagia tanpa kehadiranku.”
Tatapan Sanna jatuh ke bawah. Bahkan dengan pikirannya yang setengah mabuk, ia masih bisa merasakan sesak yang amat sangat di dadanya.
“Terlebih … sepertinya suamiku menyukai adikku. Akulah si orang ketiga itu,” ucap Sanna getir. “Aku yakin mereka akan menikah segera setelah aku tewas di meja operasi.”
Tidak ada yang bicara setelahnya. Yang terdengar hanyalah dentum musik kelab malam tersebut.
Tiba-tiba, tanpa mengatakan apa pun, pria asing itu menyodorkan botol minumannya ke arah Sanna. Kemudian, pria itu juga mengeluarkan kartu hitam dari dalam dompetnya.
“Kalau begitu, kamu harus minum banyak hari ini. Paling tidak, kamu harus memberikan ginjal yang rusak dan tidak sehat untuk pria bajingan seperti dia.”
Sanna tersenyum mendengar ucapan si pria asing. Tak dapat dipungkiri, ia merasa terhibur.
“Terima kasih,” ucap Sanna, membuat pria di hadapannya mematung.
Namun, Sanna tidak mengerti kenapa pria itu tiba-tiba terdiam.
“Kau benar,” ucap Sanna, “Aku akan memberikan ginjal yang rusak dan membuat dia tambah menderita.”
Dan, itu menjadi awal Sanna menenggak berbotol-botol minuman, seakan alkohol tidak dapat memuaskannya.
Atau lebih tepatnya menghilangkan perasaan sesak di dada.
Tiba-tiba, wanita itu mulai menangis dan sekali lagi membuat si pria asing menjadi salah tingkah.
“Bahkan setelah mabuk, aku masih merasa sedih dan sesak,” tutur Sanna, memukul-mukul dadanya dengan kencang.
Mata si pria asing berpendar iba melihat Sanna terlihat amat putus asa. Sejak tadi, pria itu tidak beranjak dari sisi Sanna. Bahkan, sesekali pria itu menanggapi racauan Sanna.
Dan dihadapkan dalam situasi seperti ini sekali lagi, si pria asing berpikir untuk membawa wanita di hadapannya untuk melakukan hal yang lebih ekkstrem lagi.
“Mau kutunjukkan cara untuk melupakannya?” Pria itu bertanya.
Sanna mendongak dan menatap sosok itu dengan mata yang basah oleh air mata.
“Bagaimana?” tanya wanita itu lirih.
“Tidur denganku, dan aku akan menghapus semua kesedihanmu.”
Sanna pasti sudah gila. Ia tahu ia pasti sudah gila karena membiarkan pria asing membawanya ke kamar hotel. Kini, perlahan mata Sanna terbuka. Kepalanya terasa begitu pening dan seluruh tubuhnya pegal. Seluruh rasa sakit itu berpusat di area kewanitaannya. Hingga Sanna membelalakkan mata saat merasakan selimut yang begitu lembut menerpa kulitnya. Tak hanya kulit tangan, tetapi seluruh kulit di tubuhnya. Butuh waktu beberapa detik untuk menyadari bahwa dirinya telanjang tanpa busana. Sontak, ia menoleh ke samping dan jantungnya seakan jatuh ke lambung mendapati punggung terbuka seorang pria. Bodoh, umpat Sanna dalam hati. Sayup-sayup cahaya matahari menyelinap dari jendela kamar hotel dan satu hal langsung terbesit dalam benak Sanna. Ia harus menyiapkan sarapan dan membantu Evan untuk membersihkan diri.Tanpa buang waktu, gadis itu bergegas turun dari ranjang. Ia berusaha bergerak sesenyap mungkin dan berpakaian dalam waktu singkat. Saat ia mengecek ponsel, sudah ada belasan p
“Bagaimana? Kau sudah menemukan informasi mengenai gadis itu?” Logan langsung bertanya begitu tiba di perusahaan mereka. Pria itu tampak perlente dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tubuhnya tegap atletis dan terlihat sempurna dalam balutan jas hitam berpadu kemeja putih. Langkahnya terlihat tegas dan pasti saat melintas dan beberapa pegawai mengangguk hormat saat berpapasan dengannya. “Namanya adalah Drisanna Gabriella, Tuan.” Benny memberitahu, “Dia adalah istri dari Evan William dan sekarang kami sedang mencari tahu keberadaannya.” Mendengar itu, langkah Logan terhenti seketika. Pria itu terlihat serius saat menatap Benny.“Evan William?” tanyanya. Benny mengangguk. Ia tahu apa yang terlintas dalam benak Logan. Evan William adalah salah satu anak keturunan Arthur William, pemimpin Will Company yang sudah meninggal beberapa bulan lalu. Kabar terakhir yang ia dengar adalah Evan William mengalami kebutaan karena suatu insiden. Hal itu sejalan dengan penuturan wanita itu yang m
Jantung Evan tercekat. Pikirannya seakan terguncang mendengar informasi itu. “... Apa?” Evan berkedip canggung, “Apa maksudnya, Suster?” tanya pria itu lagi. Rahangnya terlihat lebih tegas dan batu besar seakan menyumbat di tenggorokannya. “Nyonya Drisanna sudah mendonorkan mata dan ginjalnya untuk Anda, Tuan,” ucap perawat itu, “Dia juga mendonorkan jantungnya untuk adiknya.” Jantung Evan seakan diremas kuat-kuat mendengarnya. Pikirannya menjadi kalut seketika. Ia tidak bisa membayangkannya. Bagaimana mungkin, gadis licik dan mata duitan seperti Sanna sanggup mengorbankan semuanya untuk mereka?“Kamu sudah sadar, Evan?” Suara sang ibu terdengar, disusul derap langkah mendekat. Perawat itu sudah pergi dan Hannah terkejut mendapati sang putra sudah terduduk di atas ranjangnya dengan mata hitam terbuka. “Evan? Kamu mendengar Mama? Apakah kamu bisa melihat Mama?” Hannah bertanya dengan gugup. Perlahan, Evan menoleh ke arah sang ibu dan mengangguk. Ia bisa melihat wajah sang ibu
Mata Sanna membelalak kaget melihat seorang pria berjalan masuk, diikuti oleh pria lain yang terlihat seperti asistennya. Dalam sekali lihat, Sanna bisa langsung mengenali wajah tampan itu. “Kau … kau pria di bar itu!” sergah Sanna. Tenggorokannya tercekat. Sekujur tubuhnya seakan bereaksi begitu melihat dia. Teringat akan malam panas mereka bersama. Sanna yakin ia tak meninggalkan informasi apa pun, bagaimana mungkin dia berhasil menemukan dirinya? “Dia adalah Logan Asher Maverick.” Linda menjelaskan. “Dia membayar seorang mayat sebagai ganti donor yang dibutuhkan.” Mendengar itu, otak Sanna seakan membeku dan tak bisa mencerna seluruh situasi ini. Alisnya mengernyit bingung dan ia menatap ke arah pria bernama Logan itu dengan sorot tidak mengerti. “Mengapa … mengapa kau melakukan ini padaku?” tanya gadis itu. Bukannya menjawab, Logan justru memasukkan salah satu tangannya ke dalam saku dan memberikan gestur kepada sang asisten. Tanpa dikomandoi lebih lanjut, pria itu melangk
Bethany mengerjap berulang kali sebelum melangkah cepat membelah kerumunan untuk mengejar siluet itu. Akan tetapi, begitu ia berhasil melewati keramaian, ia justru tak menemukan apa pun. Area itu begitu sepi. Hanya ada sepeda motor dan mobil yang berlalu-lalang. Tak ada seorang wanita atau manusia pun di sana. Bethany mengerut semakin heran. Ia tak salah lihat. Wanita berambut hitam panjang yang Bethany lihat dari dalam benar-benar mirip sang kakak. … bagaimana mungkin? Gadis itu celingukan memeriksa situasi di sekitarnya. Hari itu matahari terasa terik, tetapi entah mengapa mendadak bahunya bergidik ngeri. Tidak mungkin roh Sanna menghantui dirinya, ‘kan? Bethany kembali bergidik ngeri dan cepat-cepat berjalan menuju mobilnya. *** *** “Hari ini, Anda harus menghadiri lima kencan buta, Tuan.” Benny memberitahu kepada Logan yang baru saja beranjak memasuki mobil. Sebenarnya, Benny tidak mengemban jabatan sebagai sekretaris Logan. Pria itu hanya kepala kuasa usaha hu
Sanna berpikir ia hanya hidup seorang diri di dunia ini. Sekarang Logan justru kembali muncul di hadapannya, membuat Sanna merasa hangat meski derai hujan masih deras di sekitarnya. “... Kau ….” Logan mengulurkan tangan ke arah Sanna. Tatapan pria itu tidak berubah, masih terlihat serius dan perhatian. “Bangunlah,” ucapnya. Mendengar itu, Sanna terisak satu kali. Ia cepat-cepat mengusap air matanya dan menyambut uluran tangan Logan. Tangan pria itu terasa begitu hangat di tangan Sanna yang dingin. “Mengapa … mengapa kau datang?” Sanna bertanya dengan canggung. Sesaat, raut wajahnya terlihat malu dan ketakutan. Jelas ia merasa malu. Kemarin, Sanna bersikeras menolak bantuan Logan dan bertekad untuk membayar semua utang yang ia miliki. Kini Logan menangkap basah dirinya yang menangis dan terlihat lemah. Akan tetapi, Logan tidak terlihat berniat mengejek ataupun merendahkannya. Pria itu masih memegangi payung hitam yang sebagian besar melindungi tubuh Sanna yang sudah basah kuyup
“Mulai sekarang, namamu adalah Ashilla Leandra.” Logan berkata seraya menyodorkan sebuah mop cokelat ke arah Sanna. Pria itu menjemput Sanna sesuai waktu yang dijanjikan dan kini keduanya sudah duduk dalam mobil yang melaju. Tanpa menjawab, Sanna mulai membuka mop cokelat itu. Di dalamnya, ada kartu identitas, ijazah, bahkan paspor yang semuanya terdaftar atas nama Ashilla Leandra. Mata Sanna membelalak dengan tak percaya. Ia tak tahu semua itu bisa didapatkan semudah ini. “Semuanya palsu.” Logan menjelaskan, “Kamu tidak bisa menggunakannya untuk mendaftar kuliah di kampus bagus, tapi cukup untuk menjadi kartu identitas,” tuturnya. Berulang kali, Sanna mengecek seluruh dokumen itu dengan mata berbinar kagum. Foto yang tertera benar gambar dirinya dengan identitas dan tanggal lahir yang berbeda. “Bagaimana Anda bisa melakukannya?” Sanna bertanya dengan penasaran. Logan tersenyum bangga, merasa tersanjung karena berhasil membuat Sanna kagum. “Mudah saja,” ucapnya dengan nada angk
“Apa yang penyihir itu katakan?” sergah Logan dengan gusar. Beberapa menit lalu, sang ibu memang memintanya untuk meninggalkan ruangan yang telah ia pesan. Namun, jelas Logan tak bisa meninggalkannya begitu saja. Gelas, piring, garpu, bahkan pisau. Semuanya berada di sana dan bisa saja Amari gunakan untuk melukai Sanna jika gadis itu salah menjawab. Ini benar-benar di luar prediksi Logan. Sebelumnya, sang ibu tak pernah meminta untuk berbicara langsung dengan wanita yang ia bawa. Kini, pria itu berdiri dengan resah di depan ruangan, sementara Benny menempelkan telinga pada daun pintu. Berharap ia dapat mendengar percakapan keduanya. “Sepertinya, Nyonya Besar menawarkan sejumlah uang kepada Nona Shilla, Tuan.” Pria itu bergumam. “Apa—” Logan hampir berseru dan cepat-cepat merapatkan bibirnya saat tersadar sang ibu bisa mendengar suaranya. Ia berjalan cepat mendekati Benny. “Kau yakin penyihir itu melakukannya?” tanya Logan dengan nada penuh selidik. Benny kembali menempelkan t
“Mengapa kamu keluar dari sana?” Logan bertanya dengan heran. Pagi ini, jantungnya seakan berhenti berdetak saat ia berjalan menuju ruang makan dan menemukan Sanna melangkah keluar dari kamar mandi. Hanya mengenakan mantel mandi berwarna putih. Handuk putih terlilit di rambutnya dan kulitnya terlihat bersih. Tiap kamar di kediaman itu telah dilengkapi kamar mandi dan Sanna tak pernah berkeliaran di rumah ini hanya dengan mengenakan mantel mandi. “Air di kamar mandiku tidak mengalir,” ucap Sanna, “Aku sudah meminta bantuan Barney, tapi terpaksa menggunakan kamar mandi di sini,” tuturnya. Logan tak langsung menjawab. Manik mata hitamnya memandang Sanna dari ujung kepala hingga ujung kaki. Meski telah menikah selama beberapa minggu, Logan belum pernah melihat Sanna berpakaian terbuka. Kini kulit leher dan dada gadis itu terekspos, membuat leher Logan bergerak naik turun dengan gugup. “K—kalau begitu, aku harus bersiap sekarang,” ucap Sanna, kemudian berjalan cepat menuju kamarnya.
“Apakah kamu mencoba menggodaku?” Logan memandang dengan sorot menuduh. Sanna semakin bingung dibuatnya. Ia baru saja tiba dan tahu-tahu diberondong oleh banyak pertanyaan yang tidak ia mengerti. “Aku sama sekali tidak memiliki niat untuk melakukannya,” ucap Sanna, jujur. Manik mata hitamnya berkilau cerah, seakan transparan hingga ia dapat langsung ketahuan kapan pun ia berbohong. “Benarkah?” Salah satu alis terangkat naik. “Lalu, mengapa kamu tiba-tiba melakukan ini?” sergah pria itu. Sanna berkedip canggung. “Aku sudah memikirkan perkataanmu dan sesuai saran yang kau berikan, aku mencoba berubah. Aku tidak ingin menggunakan uang itu karena seluruh fasilitas ini sudah cukup. Aku tidak ingin merepotkan lagi,” tutur Sanna. Ia bersikap jujur saat mengatakannya. Bahkan, alasan Sanna memilih untuk bekerja adalah agar ia bisa menopang kebutuhannya sendiri. “Karena itu ….” Sanna berkata lagi. “Aku tidak akan mengganggumu lagi. Kau bisa membawa gadis ke kantor atau pergi ke mana pun.
Sejak awal, Logan tak terlalu memperhatikan penampilan Sanna. Mereka hanya melakukan pernikahan kontrak yang akan berakhir dalam waktu satu tahun, untuk apa ia memedulikan gadis itu? Jika Logan benar-benar akan menikah, jelas ia akan memilih wanita yang sesuai dengan seleranya. Kini, ia benar-benar terkejut dan hampir tak percaya jika Sanna dapat terlihat begitu cantik. Bahkan, sepanjang hari, Sanna membuat pikiran Logan sulit untuk fokus. Tiap kali gadis itu mendekat untuk memberikan berkas padanya, Logan akan kembali terpikat dan mengikuti tiap pergerakan Sanna. Dalam hati bertanya-tanya apakah itu benar Sanna, gadis buluk seperti kucing liar yang ia temukan di bawah derai hujan di jalan yang kotor? “Bagaimana, Tuan? Apakah Anda setuju untuk menjadikan aktor itu sebagai brand ambassador kita?” tanya seorang pria yang menjadi ketua tim pengiklanan itu. Logan tak langsung menjawab. Sejak dua menit lalu, pria itu justru menatap ke arah Sanna dan mengabaikan presentasi yang d
Sanna sengaja berangkat pagi-pagi sekali. Sekarang baru pukul tujuh pagi dan sopirnya sudah menurunkan gadis itu di depan sebuah klinik kecantikan. Ia telah mencari sepanjang malam dan tempat ini satu-satunya klinik yang buka sejak pagi. Sepanjang malam, Sanna telah memikirkan perkataan Logan dan pria itu benar. Seharusnya Sanna memanfaatkan kesempatan ini untuk meningkatkan dirinya. Oleh sebab itu, Sanna memulai dengan penampilannya. Sanna menoleh ke kanan dan kiri, tampak canggung. Ini kali pertama ia datang ke salon kecantikan. Seperti gajah masuk kota, Sanna tak tahu ke mana ia harus pergi dan apa yang harus ia lakukan. … apakah ia langsung masuk saja? pikirnya. “Apa yang kau lakukan di sini, Nona?” Seorang pria tiba-tiba bertanya. Refleks, Sanna menoleh dengan waspada. Ia sedikit kaget menemukan pria berbadan tegap dan jangkung yang berdiri di sisinya. Garis wajahnya terlihat tegas, dengan hidung mancung dan alis tebal. Sekilas, Sanna teringat akan Logan yang memiliki
Logan langsung menarik Sanna dari tempat itu. Gadis itu tak mengatakan apa-apa hingga Logan mengarahkan gadis itu untuk langsung memasuki mobilnya. “Apa yang sebenarnya kamu lakukan?” sergah Logan. Raut wajahnya masih terlihat kesal. “Siapa yang mengizinkanmu menemui keluargaku begitu saja?” lanjut pria itu. Manik mata hitam Logan menatap Sanna dengan sorot tegas. Membuat gadis itu teringat akan kejadian tempo hari di kelab. “Dia … dia memintaku untuk datang,” jawab Sanna, lirih. “Mengapa kamu datang sendirian?” tanya pria itu, “Jenna adalah perempuan gila. Sudah pasti dia memiliki motif saat mengundangmu untuk datang,” sergah Logan. Tangan Sanna mencengkram sisi kursi dengan erat. Ia berusaha menahan tangisan yang mendesak untuk keluar. Diperlakukan seperti itu oleh Jenna sudah cukup membuatnya syok, kini Logan semakin memarahinya. “Lalu apa yang harus aku lakukan?” tanya gadis itu, balas menatap Logan dengan sorot tegas meski berkaca-kaca. “Apakah menurutmu aku ingin datang se
Sanna menatap rumah mewah yang menjulang tinggi di depannya. Tangan gadis itu menggenggam undangan pemberian Jenna tempo hari. Perayaan kecil itu diadakan di kediaman utama mereka. Sejak awal, Sanna berniat menjaga jarak dari keluarga Logan, tak berusaha untuk terlalu terkait dengan keluarga milyuner itu. Bagaimanapun, semakin Sanna menjaga jarak, semakin mudah baginya untuk terlepas pada waktunya nanti. Akan tetapi, nyatanya ia tak bisa menolak ajakan Jenna. Bahkan, Sanna berani mendatangi kediaman yang sudah seperti kandang singa itu seorang diri. Ia berniat memberitahu Logan saat mereka bekerja. Namun, entah mengapa, tiap kali tatapan mereka bertemu, Sanna teringat akan Logan yang berusaha menyerangnya dan bibirnya seakan terkunci seketika. “Saya bisa menghubungi Tuan Logan jika Nyonya menginginkannya.” Sang sopir menawarkan. Bahkan dia bisa melihat kegugupan pada wajah Sanna. Gadis itu menggelengkan kepala. “Tidak perlu. Aku hanya datang untuk menyapa,” jawab Sanna. Set
Logan tertegun. Begitu pula Sanna. Ini kali pertama ia menampar seseorang secara langsung.Tubuh Sanna gemetar ketakutan. Bahunya bergerak naik turun dengan napas kentara saat pandangannya bertemu dengan sorot Logan. Iris cokelat Sanna yang berkaca-kaca dan manik hitam Logan. Waktu seakan berhenti dan Sanna cepat-cepat berdiri. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia melenggang pergi dari sana. Air matanya berhasil lolos saat Sanna membelah kerumunan. Hingga jantung gadis itu kembali tercekat saat seseorang menyergap lengannya. Sanna menoleh secepat kilat dan melihat seorang pria tidak dikenal. Wajahnya terlihat tampan, tetapi tatapannya memandang Sanna dengan penuh hasrat. “Ada apa, Nona? Pria berengsek mana yang membuat gadis secantik dirimu bersedih?” tanya pria itu dengan nada mencurigakan. Tubuh Sanna kembali gemetar ketakutan. Tempat ini benar-benar dipenuhi orang yang berbahaya. Tak menggubris pertanyaannya, Sanna melepaskan tangan pria itu dan beranjak pergi secepat yang ia bis
Seluruh tubuh Sanna seakan bergetar saat mengatakannya. Ini kali pertama ia bersikap begitu kasar kepada orang lain. Wanita di hadapannya terlihat syok. Ia menatap ke arah Sanna dengan tak percaya, kemudian memandang Logan seakan meminta pembelaan. Rahang Logan mengeras sempurna. Jantung Sanna berdegup lebih cepat saat Logan menghujani dirinya dengan sorot tajam menusuk. “Keluar dari sini,” tukas Logan seraya menjauhi wanita itu. Wanita tak dikenal itu menatap Logan dengan tidak percaya. Logan benar-benar kembali ke tempat duduknya, tanda ia bersiap tenggelam dalam pekerjaannya dan tak mengharapkan sentuhan apa pun. Wanita itu mendengkus tak senang. Ia membereskan pakaiannya seraya menatap tak senang ke arah Sanna, kemudian melangkah kesal ke luar ruangan. Sanna hampir tak percaya ia benar-benar bisa mengusir wanita itu. Tanpa mengatakan apa-apa, Sanna menyerahkan dokumen pagi Logan. “Ini, Tuan—” Logan menyambarnya dengan kasar dan menatap tajam ke arahnya. “Jangan b
Sanna merapatkan bibir dengan gugup. Tamatlah riwayatnya kali ini. Ia telah meneguhkan perasaan hingga yakin tak akan terkejut dengan apa pun yang Logan lakukan hari ini. Namun, Sanna justru kembali membeku saat melihat Amari, ibu mertuanya, di kantor itu. Logan pasti akan membunuhnya jika pertemuan ini membuat Amari mencurigai pernikahan mereka. “Jadi, kamu benar-benar bekerja di sini? Sejak kapan?” Amari bertanya dengan penasaran. Kini keduanya sudah berada di kafetaria. Sanna sengaja mengajak Amari ke tempat yang tidak akan didatangi Logan. Jika keduanya sampai bertemu, Sanna bisa-bisa dipecat hari itu juga. “Aku … aku masih dalam masa training. Aku baru mulai bekerja kemarin.” Gadis itu menjelaskan dengan jujur. Seperti pesan Logan padanya, sang ibu bisa langsung menyadari saat lawan bicaranya berbohong hingga Sanna berpikir satu-satunya cara untuk menghadapi situasi ini adalah dengan jujur. Amari mengangguk satu kali. Gerakannya selalu terlihat terencana, seakan ia merek