Bethany mengerjap berulang kali sebelum melangkah cepat membelah kerumunan untuk mengejar siluet itu.
Akan tetapi, begitu ia berhasil melewati keramaian, ia justru tak menemukan apa pun. Area itu begitu sepi. Hanya ada sepeda motor dan mobil yang berlalu-lalang. Tak ada seorang wanita atau manusia pun di sana.
Bethany mengerut semakin heran.
Ia tak salah lihat. Wanita berambut hitam panjang yang Bethany lihat dari dalam benar-benar mirip sang kakak.
… bagaimana mungkin?
Gadis itu celingukan memeriksa situasi di sekitarnya. Hari itu matahari terasa terik, tetapi entah mengapa mendadak bahunya bergidik ngeri.
Tidak mungkin roh Sanna menghantui dirinya, ‘kan?
Bethany kembali bergidik ngeri dan cepat-cepat berjalan menuju mobilnya.
***
***
“Hari ini, Anda harus menghadiri lima kencan buta, Tuan.” Benny memberitahu kepada Logan yang baru saja beranjak memasuki mobil.
Sebenarnya, Benny tidak mengemban jabatan sebagai sekretaris Logan. Pria itu hanya kepala kuasa usaha hukum yang merangkap menjadi asisten pribadi Logan. Mereka telah menjadi teman sejak bertahun-tahun. Saat Logan mengambil kuliah master bisnis, Benny mengambil jurusan hukum dan keduanya kembali bertemu di perusahaan Logan yang kini telah menjadi salah satu perusahaan paling bergengsi di negeri itu.
Logan baru saja duduk di mobil, siap untuk bekerja. Kini, suasana hatinya seakan sudah berantakan mendengar pengumuman Benny.
Bagi Logan, wanita adalah hal yang menarik, tetapi hanya sebagai kesenangan semata. Bukan untuk membicarakan jenjang serius seperti pernikahan dan tanggung jawab sebagai seorang suami.
Kini, pria itu mengembuskan napas panjang dan memijat celah di antara matanya.
“Bagaimana jika aku tidak menghadirinya?” Pria itu bertanya.
Awalnya, sang ibu hanya menghimbau Logan yang sudah memasuki usia matang untuk menikah. Namun, Logan tak mengindahkannya dan kini wanita itu bertindak lebih jauh dengan mencampuri jadwal Logan. Menyisipkan kencan buta dalam agenda kerjanya. Tak hanya satu, tetapi lima sekaligus.
“Jika Anda menghindarinya, Nyonya Besar akan langsung memesan sebuah gedung dan merancang pernikahan untuk Anda, Tuan.” Benny menjawab.
Bayangan itu menjadi lebih mengerikan bagi Logan. Pria itu menggelengkan kepala.
“Bagaimana jika aku pergi ke luar negeri dan menjalankan perusahaan dari sana?” Ia bertanya lagi. Seakan memanfaatkan kemampuan analisa Benny untuk memikirkan angka resiko.
“Nyonya Besar akan mempengaruhi Tuan Besar dan menyerahkan tampuk perusahaan kepada saudara Anda, Tuan.” Benny menjawab lagi.
Hal itu justru menjadi jauh lebih buruk.
Logan mendapatkan perusahaan itu sebagai warisan dari sang ayah. Akan tetapi, ia benar-benar telah mengembangkannya begitu pesat hingga menjadi perusahaan mega-company. Akan tetapi, seluruh pencapaian itu seakan tak berarti di mata Amari, ibunya, dan dia berani mengancam akan memindahkan warisan itu kepada saudaranya hanya karena Logan tak kunjung mendapatkan seorang istri.
“Ck,” Logan berdecak dengan tak senang, “Ini semua gara-gara gadis tak berguna itu,” gumamnya dengan geram.
Mobil mereka masih berjalan di tepi jalan raya. Alis hitam Logan seketika menukik saat menangkap pemandangan tak asing.
Di sisi jalan, ia melihat Sanna. Wanita itu tengah berjualan kue di pinggir jalan dan wajahnya menjadi semakin jelas saat mobil Logan melintas tepat di sisinya. Dari balik kaca mobil, Benny juga menyaksikannya dan sesaat, raut wajah Logan berubah menjadi kaku.
Pria itu mendengkus tidak percaya.
Sanna menolak tawarannya dan memilih berjualan di pinggir jalan?
“Gadis bodoh,” gumam Logan, “Kirim orang untuk mengusirnya,” titah pria itu.
Benny yang berada di kursi depan seketika berkedip tidak percaya.
“Apa …?”
“Kirim orang untuk mengusir gadis itu! Dia membuatku kesal setiap melihatnya,” sergah Logan dengan geram, “Pastikan dia menyesal dan merangkak memohon kepadaku,” tukas pria itu.
Benny terlihat ragu dan segan. Namun, apa pilihan yang ia punya?
Tanpa membantah lebih lanjut, dia mengaktifkan ponselnya untuk menjalankan perintah Logan.
Biasanya, hal pertama yang ia lakukan adalah pergi ke kantor untuk membaca pertumbuhan perusahaan atau menikmati kopi pagi dengan mitra bisnisnya. Kali ini, Logan dipaksa pergi ke kafe untuk menemui seorang gadis.
“Namanya adalah Calista. Usianya dua puluh tiga dan dia blasteran Indonesia dengan Jerman. Ayahnya—”
“Apakah aku benar-benar membutuhkan informasi ini?” sergah Logan. Merasa tak senang karena Benny benar-benar mengumpulkan biodata seluruh wanita itu sesuai perintah ibunya.
Mendengar itu, Benny lantas menyimpan kembali tabletnya dan memberi gestur kepada Logan agar segera memasuki kafe.
“Kau … kau benar-benar lebih tampan daripada di fotomu,” ucap gadis pertama yang Logan temui hari ini.
Mata biru cerahnya menatap Logan dengan berbinar, tetapi pria itu tidak terlihat tertarik. Belum lima menit Logan duduk di sana dan ia sudah mendengkus belasan kali.
“Apakah kamu suka kue? Aku sudah memesan kue khas Jerman untuk kita.” Dia memberitahu.
… kue?
Alis Logan mengernyit dalam dan seketika teringat akan pemandangan yang ia lihat pagi ini. Gadis bodoh itu juga memilih berjualan kue daripada hidup dengannya.
“Tidak. Saya tidak suka kue. Saya sangat membencinya,” ucap Logan dengan tajam.
Pertemuan kedua diadakan sebelum makan siang dan sepanjang sepuluh menit mereka bersama, Logan amat irit bicara serta memasang wajah tanpa ekspresi.
“Jika kita memiliki bayi, dia pasti sangat tampan sepertimu,” ucap wanita itu.
Alis Logan menukik tajam.
“Ba—bayi?” sergahnya dengan terbata.
Sekujur tubuhnya seakan digerayangi serangga seketika. Sepanjang hidupnya, Logan tak pernah membayangkan ia akan memiliki seorang bayi, makhluk yang lemah dan merepotkan itu.
“Anda baik-baik saja, Tuan?” Benny bertanya begitu Logan kembali berjalan ke mobilnya.
Raut wajah pria itu terlihat begitu pucat seakan hampir muntah. Ia menggelengkan kepala.
“Aku tidak bisa melakukan ini lagi,” sergahnya, “Apakah tidak ada jadwal kencan buta di kelab?” tanyanya, terlihat frustrasi.
Benny menggelengkan kepala dengan wajah tenang.
“Setelah ini, Anda akan terbang ke Singapura untuk menemui gadis ketiga, Tuan.” Benny memberitahu.
Mendengar itu, kepala Logan seakan menjadi berat seketika.
“Si—Singapura?” ucap pria itu dengan putus asa.
Seluruh rangkaian kencan buta Logan baru berakhir menjelang sore. Pria itu benar-benar sudah muak hingga ia mengutus Benny untuk menemui gadis terakhir.
Logan tak akan sanggup lagi.
Tak ada satu pun dari mereka yang cukup menarik untuk diajak berkomitmen dan Logan lebih memilih menjalani rapat dua belas jam daripada mengikuti kencan buta lagi.
Kini Logan kembali duduk di mobilnya yang berjalan menuju kantor. Begitu melintasi ruas jalan yang sama, Logan refleks menoleh, hendak memastikan apakah Sanna masih berjualan di sana.
Tidak ada.
Lapak wanita itu benar-benar sudah bersih. Sudut bibir Logan tertarik ke samping membentuk seringai tipis.
Seharusnya ia memberi balasan yang lebih berat. Gara-gara Sanna, ia harus terbang jauh ke Singapura hanya untuk menemui seorang wanita.
Mobil Logan berjalan lebih jauh dan alisnya mengernyit dalam saat melihat gadis yang familier.
Itu adalah Sanna.
Setelah diusir, gadis itu memindahkan lapaknya ke area yang lain. Iris Logan seketika memicing tak percaya.
“Gadis itu benar-benar—”
Ucapan Logan terhenti saat melihat beberapa pria berpakaian urakan menghampiri lapak berjualan Sanna. Gadis itu terlihat waspada.
“Sepertinya, kau dapat banyak hari ini, Manis,” ucap salah satu dari mereka, “Berikan semua uang itu pada kami!” sergahnya.
Sanna mengerjap dengan ketakutan. Ia meraih dompet berisi uang hasil penjualan dan berusaha melindunginya.
“Ini … ini harus saya gunakan untuk modal berjualan, Tuan,” ucap Sanna dengan terbata.
“Memangnya kami peduli?” sergah salah satu dari mereka. Ia memberi isyarat kepada yang lain. “Cepat! Bereskan ini!”
Detik berikutnya, mereka sudah mengobrak-abrik sisa dagangan Sanna. Kue yang semula berjajar rapi kini berantakan. Diinjak dan dibuang. Gadis itu gemetar ketakutan.
“Jangan lakukan ini, Tuan. Saya mohon, jangan,” pinta Sanna, berusaha mempertahankan sisa kue yang belum terjual.
Ia menatap sekitar. Tak ada satu pun orang selain mereka dan hanya ada mobil motor yang lalu lalang. Meski demikian, tak satu pun dari mereka berhenti dan menolong Sanna.
Hingga salah satu dari mereka berhasil merebut paksa dompet Sanna. Semua preman itu tersenyum melihat lembaran uang yang berjubelan di dalam.
Melihat itu, Sanna membelalak dan berusaha merebutnya kembali.
“Itu uang terakhir saya, Tuan. Kalian tidak boleh mengambilnya—”
“Diam!” bentak seorang pria, kemudian mengempas tubuh Sanna hingga jatuh terperosok. “Masih untung kami hanya mengambil uangmu! Jangan sampai kami juga melukaimu! Ayo pergi!”
Kerumunan pria urakan itu berjalan pergi dari sana. Meninggalkan Sanna yang terlihat berantakan bersama kue yang berceceran.
Sanna menelan saliva dengan kelat. Matanya sudah berkaca-kaca, tetapi ia berusaha keras menahan tangisan.
Tanpa mengatakan apa-apa, ia mulai memunguti kue yang belum terjual satu per satu, menaruhnya di dalam sebuah kardus. Ia mengambil satu kue yang kotor dan hancur karena terinjak-injak.
“Padahal rasanya enak,” isak Sanna.
Kue itu mengingatkan akan sang ibu. Sejak SMP, Sanna telah membantu ibunya berjualan kue. Karena itu ia memutuskan untuk memulai usaha itu. Namun, ia tak menyangka jika ujiannya akan sesulit ini.
Rintik-rintik hujan mulai jatuh. Mula-mula kecil, tetapi makin lama semakin deras hingga Sanna cepat-cepat membereskan barang dagangannya.
Begitu selesai, Sanna mengangkatnya dan berlari berusaha mencari tempat untuk berteduh. Akan tetapi, kakinya justru terperosok, membuat tubuh Sanna limbung dan seluruh kuenya jatuh berserakan.
Rambut dan sekujur tubuh Sanna basah kuyup. Kue-kuenya pun menjadi kotor dan basah oleh genangan air berwarna kecokelatan. Tanpa sadar, air mata yang sejak tadi berusaha Sanna tahan kini lolos satu per satu, larut bersama hujan.
Ia seharusnya berdiri, tetapi Sanna tetap terduduk di sana dan mulai menangis. Meluapkan seluruh kesedihan dan rasa sesak di dadanya.
Sang ibu yang mengajarkan Sanna membuat kue dan selalu menyemangati Sanna untuk bangkit setiap kali terjatuh. Namun, kali ini ia tidak sanggup. Seluruh kesedihannya seakan meluap saat Sanna sendirian.
Napas Sanna tersendat-sendat dan ia berusaha menghapus air matanya. Tatapannya tanpa sengaja menatap sepasang sepatu pantofel yang berjalan mendekat. Detik itu juga, derai hujan berhenti membasahi dirinya.
Sanna mendongak dan wajahnya terkejut melihat Logan. Pria itu berdiri menjulang dan memegang sebuah payung hitam untuk melindungi Sanna, tak memedulikan punggungnya yang mulai kebasahan. Iris hitam pekat Logan menunduk untuk menatap Sanna.
Sesaat, Sanna tak melihat keangkuhan dalam tatapannya.
“Sampai kapan kamu mau berada di situ?” tanya Logan dengan suara berat dan dalam.
Sanna berpikir ia hanya hidup seorang diri di dunia ini. Sekarang Logan justru kembali muncul di hadapannya, membuat Sanna merasa hangat meski derai hujan masih deras di sekitarnya. “... Kau ….” Logan mengulurkan tangan ke arah Sanna. Tatapan pria itu tidak berubah, masih terlihat serius dan perhatian. “Bangunlah,” ucapnya. Mendengar itu, Sanna terisak satu kali. Ia cepat-cepat mengusap air matanya dan menyambut uluran tangan Logan. Tangan pria itu terasa begitu hangat di tangan Sanna yang dingin. “Mengapa … mengapa kau datang?” Sanna bertanya dengan canggung. Sesaat, raut wajahnya terlihat malu dan ketakutan. Jelas ia merasa malu. Kemarin, Sanna bersikeras menolak bantuan Logan dan bertekad untuk membayar semua utang yang ia miliki. Kini Logan menangkap basah dirinya yang menangis dan terlihat lemah. Akan tetapi, Logan tidak terlihat berniat mengejek ataupun merendahkannya. Pria itu masih memegangi payung hitam yang sebagian besar melindungi tubuh Sanna yang sudah basah kuyup
“Mulai sekarang, namamu adalah Ashilla Leandra.” Logan berkata seraya menyodorkan sebuah mop cokelat ke arah Sanna. Pria itu menjemput Sanna sesuai waktu yang dijanjikan dan kini keduanya sudah duduk dalam mobil yang melaju. Tanpa menjawab, Sanna mulai membuka mop cokelat itu. Di dalamnya, ada kartu identitas, ijazah, bahkan paspor yang semuanya terdaftar atas nama Ashilla Leandra. Mata Sanna membelalak dengan tak percaya. Ia tak tahu semua itu bisa didapatkan semudah ini. “Semuanya palsu.” Logan menjelaskan, “Kamu tidak bisa menggunakannya untuk mendaftar kuliah di kampus bagus, tapi cukup untuk menjadi kartu identitas,” tuturnya. Berulang kali, Sanna mengecek seluruh dokumen itu dengan mata berbinar kagum. Foto yang tertera benar gambar dirinya dengan identitas dan tanggal lahir yang berbeda. “Bagaimana Anda bisa melakukannya?” Sanna bertanya dengan penasaran. Logan tersenyum bangga, merasa tersanjung karena berhasil membuat Sanna kagum. “Mudah saja,” ucapnya dengan nada angk
“Apa yang penyihir itu katakan?” sergah Logan dengan gusar. Beberapa menit lalu, sang ibu memang memintanya untuk meninggalkan ruangan yang telah ia pesan. Namun, jelas Logan tak bisa meninggalkannya begitu saja. Gelas, piring, garpu, bahkan pisau. Semuanya berada di sana dan bisa saja Amari gunakan untuk melukai Sanna jika gadis itu salah menjawab. Ini benar-benar di luar prediksi Logan. Sebelumnya, sang ibu tak pernah meminta untuk berbicara langsung dengan wanita yang ia bawa. Kini, pria itu berdiri dengan resah di depan ruangan, sementara Benny menempelkan telinga pada daun pintu. Berharap ia dapat mendengar percakapan keduanya. “Sepertinya, Nyonya Besar menawarkan sejumlah uang kepada Nona Shilla, Tuan.” Pria itu bergumam. “Apa—” Logan hampir berseru dan cepat-cepat merapatkan bibirnya saat tersadar sang ibu bisa mendengar suaranya. Ia berjalan cepat mendekati Benny. “Kau yakin penyihir itu melakukannya?” tanya Logan dengan nada penuh selidik. Benny kembali menempelkan t
Sanna tahu pernikahan mereka hanyalah sandiwara. Oleh sebab itu, saat Logan berkata mereka akan menikah minggu itu juga, Sanna berpikir mereka hanya akan mengucapkan ikrar pernikahan. Hingga wanita itu tercengang takjub saat seorang sopir membawanya ke sebuah gedung yang khusus untuk melangsungkan pernikahan. Tak sampai di situ, Logan benar-benar telah mengatur semuanya. Mulai dari gaun, penata rias, dan semua pernak-pernik yang Sanna butuhkan. Membuat Sanna merasa sedikit gugup karena rupanya kesepatakan mereka jauh lebih besar dari yang ia duga. Kini, gadis itu telah mengenakan gaun pernikahan putih bersih. Rambutnya ditata, lengkap dengan pernak-perniknya. Sekalipun hanya sandiwara, sebuah senyum kecil terbit di wajah Sanna saat memandang dirinya di cermin. “Semuanya sudah selesai?” Perhatian Sanna teralihkan saat Benny datang menghampiri ruang ganti pengantin. Salah satu penata rias mengangguk. “Sudah, Tuan,” katanya, memutar tempat duduk Sanna perlahan dan menampilkan penam
Logan membelalak, kemudian menyipitkan pandangannya mendengar tebakan tak masuk akal Sanna. Dirinya adalah seorang mafia? “Apa maksudmu?” tanya Logan. Alisnya mengernyit sempurna. Bukannya menjawab, Sanna justru kembali mengambil satu langkah mundur. Gadis itu terlihat jelas berada pada puncak kewaspadaannya. “Pernikahan yang mewah dan para penjaga itu, kau juga memiliki rumah yang besar dan semua ini. Apakah kau seorang pemimpin mafia? Kau menjalankan bisnis kotor seperti … seperti menjual … menjual sesuatu yang tidak seharusnya dijual,” gumam Sanna dengan amat hati-hati. Ia sudah sangat curiga dengan gerak-gerik Logan. Mana mungkin ada pria yang rela menggelontorkan begitu banyak dana hanya untuk menikah dengan wanita seperti dirinya? Di hadapannya, Logan mengukir senyum kecil. Ia nyaris tak percaya dengan isi kepala Sanna. Susah payah Logan bekerja keras dan membangun perusahaan untuk memiliki semua aset ini, dan gadis itu justru menuduhnya sebagai mafia pemilik bisnis
“Apa yang Anda lakukan, Nyonya?” Seorang pelayan perempuan bergegas menghampiri Sanna begitu ia mengeluarkan beberapa sayuran dari kulkas. Sanna terlihat bingung. Sekarang masih pagi dan setelah membersihkan diri, Sanna langsung turun ke dapur, memulai rutinitasnya seperti biasa. “Aku akan memasak sarapan,” jawab Sanna, “Ada apa?” “Anda tidak perlu repot-repot melakukannya, Nyonya,” ucap pelayan wanita itu, “Biar saya yang melakukannya.” Pelayan itu cepat-cepat menggeser sayuran yang telah Sanna keluarkan dan mengambil segenggam daun bawang di tangan Sanna. Gadis itu masih terlihat bingung. Pagi ini, ia sudah bangun pagi-pagi, khawatir Logan akan marah seandainya ia terlambat menyiapkan sarapan. Dahulu Evan selalu seperti ini. Kini, ia justru dilarang untuk memasak. “Tapi, aku harus membuat sarapan ….” Sanna mencoba menjelaskan. “Itu tugas saya, Nyonya,” jawab pelayan itu, “Nyonya bisa duduk di sana. Saya akan menyajikan roti untuk pengganjal lapar.” “Tapi—” “Dia be
“Apa?” Benny menatap bosnya dengan sorot penuh tanda tanya. “Kau tidak mendengarku? Langsung tolak dia,” ucap Logan. Tanpa ragu, pria itu menyerahkan CV Sanna kepada Benny dan lanjut meninjau CV pendaftar untuk posisi sekretaris. “Apakah Anda akan langsung menolaknya? Masih ada beberapa posisi yang kosong,” ucap Benny. Sedikit banyak Benny telah melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap hidup Sanna dan mengetahui karakter gadis itu. Hingga saat melihat namanya pada daftar pelamar, Benny tahu Sanna melakukannya dengan sungguh-sungguh. “Dia tidak akan bekerja di perusahaanku,” tukas Logan acuh tak acuh. “Tapi, mengapa, Tuan? Bukankah Nyonya mendaftar karena tahu Anda bekerja di sini?” Benny bertanya lagi. Meski telah melangsungkan resepsi pernikahan, tak ada satu pun pegawai yang mengetahui Logan sudah menikah. Benny menduga Sanna mendaftar untuk mengawasi Logan yang memang sering membawa wanita ke ruangannya. “Dia tidak tahu,” jawab Logan. Tatapannya mendadak menjadi
“Saya sudah mengirim pesan dan meminta Nyonya Sanna untuk datang hari ini sesuai perintah Anda.” Benny memberitahu begitu ia menemui Logan di lobby perusahaan. Pria itu mengangguk satu kali dan terus berjalan lurus. Ia tak perlu repot-repot menyelinap di antara pegawai yang berlalu-lalang sebab tatapan tegas Logan dan dentum pantofelnya sudah cukup memberi tanda bagi pegawai untuk menyingkir sesaat, memberi jalan khusus bagi pemimpin mereka itu menuju lift. “Apakah Anda berubah pikiran dan berencana menerimanya bekerja di sini, Tuan?” Benny bertanya lagi. Tak puas dengan anggukan Logan yang tidak menjelaskan apa pun. Logan tak juga menjawab. Di dalam lift, pria itu justru menatap pantulan perawakan tingginya, kemudian mendengkus pendek. Rasanya tak benar jika dibilang berubah pikiran, sebab Logan tak mudah mengubah keputusannya. Ia bukan pria yang plin-plan. Sekali ia tak ingin menerima Sanna di perusahaannya, maka ia benar-benar enggan. Namun, posisinya akan lebih terancam ji
“Mengapa kamu keluar dari sana?” Logan bertanya dengan heran. Pagi ini, jantungnya seakan berhenti berdetak saat ia berjalan menuju ruang makan dan menemukan Sanna melangkah keluar dari kamar mandi. Hanya mengenakan mantel mandi berwarna putih. Handuk putih terlilit di rambutnya dan kulitnya terlihat bersih. Tiap kamar di kediaman itu telah dilengkapi kamar mandi dan Sanna tak pernah berkeliaran di rumah ini hanya dengan mengenakan mantel mandi. “Air di kamar mandiku tidak mengalir,” ucap Sanna, “Aku sudah meminta bantuan Barney, tapi terpaksa menggunakan kamar mandi di sini,” tuturnya. Logan tak langsung menjawab. Manik mata hitamnya memandang Sanna dari ujung kepala hingga ujung kaki. Meski telah menikah selama beberapa minggu, Logan belum pernah melihat Sanna berpakaian terbuka. Kini kulit leher dan dada gadis itu terekspos, membuat leher Logan bergerak naik turun dengan gugup. “K—kalau begitu, aku harus bersiap sekarang,” ucap Sanna, kemudian berjalan cepat menuju kamarnya.
“Apakah kamu mencoba menggodaku?” Logan memandang dengan sorot menuduh. Sanna semakin bingung dibuatnya. Ia baru saja tiba dan tahu-tahu diberondong oleh banyak pertanyaan yang tidak ia mengerti. “Aku sama sekali tidak memiliki niat untuk melakukannya,” ucap Sanna, jujur. Manik mata hitamnya berkilau cerah, seakan transparan hingga ia dapat langsung ketahuan kapan pun ia berbohong. “Benarkah?” Salah satu alis terangkat naik. “Lalu, mengapa kamu tiba-tiba melakukan ini?” sergah pria itu. Sanna berkedip canggung. “Aku sudah memikirkan perkataanmu dan sesuai saran yang kau berikan, aku mencoba berubah. Aku tidak ingin menggunakan uang itu karena seluruh fasilitas ini sudah cukup. Aku tidak ingin merepotkan lagi,” tutur Sanna. Ia bersikap jujur saat mengatakannya. Bahkan, alasan Sanna memilih untuk bekerja adalah agar ia bisa menopang kebutuhannya sendiri. “Karena itu ….” Sanna berkata lagi. “Aku tidak akan mengganggumu lagi. Kau bisa membawa gadis ke kantor atau pergi ke mana pun.
Sejak awal, Logan tak terlalu memperhatikan penampilan Sanna. Mereka hanya melakukan pernikahan kontrak yang akan berakhir dalam waktu satu tahun, untuk apa ia memedulikan gadis itu? Jika Logan benar-benar akan menikah, jelas ia akan memilih wanita yang sesuai dengan seleranya. Kini, ia benar-benar terkejut dan hampir tak percaya jika Sanna dapat terlihat begitu cantik. Bahkan, sepanjang hari, Sanna membuat pikiran Logan sulit untuk fokus. Tiap kali gadis itu mendekat untuk memberikan berkas padanya, Logan akan kembali terpikat dan mengikuti tiap pergerakan Sanna. Dalam hati bertanya-tanya apakah itu benar Sanna, gadis buluk seperti kucing liar yang ia temukan di bawah derai hujan di jalan yang kotor? “Bagaimana, Tuan? Apakah Anda setuju untuk menjadikan aktor itu sebagai brand ambassador kita?” tanya seorang pria yang menjadi ketua tim pengiklanan itu. Logan tak langsung menjawab. Sejak dua menit lalu, pria itu justru menatap ke arah Sanna dan mengabaikan presentasi yang d
Sanna sengaja berangkat pagi-pagi sekali. Sekarang baru pukul tujuh pagi dan sopirnya sudah menurunkan gadis itu di depan sebuah klinik kecantikan. Ia telah mencari sepanjang malam dan tempat ini satu-satunya klinik yang buka sejak pagi. Sepanjang malam, Sanna telah memikirkan perkataan Logan dan pria itu benar. Seharusnya Sanna memanfaatkan kesempatan ini untuk meningkatkan dirinya. Oleh sebab itu, Sanna memulai dengan penampilannya. Sanna menoleh ke kanan dan kiri, tampak canggung. Ini kali pertama ia datang ke salon kecantikan. Seperti gajah masuk kota, Sanna tak tahu ke mana ia harus pergi dan apa yang harus ia lakukan. … apakah ia langsung masuk saja? pikirnya. “Apa yang kau lakukan di sini, Nona?” Seorang pria tiba-tiba bertanya. Refleks, Sanna menoleh dengan waspada. Ia sedikit kaget menemukan pria berbadan tegap dan jangkung yang berdiri di sisinya. Garis wajahnya terlihat tegas, dengan hidung mancung dan alis tebal. Sekilas, Sanna teringat akan Logan yang memiliki
Logan langsung menarik Sanna dari tempat itu. Gadis itu tak mengatakan apa-apa hingga Logan mengarahkan gadis itu untuk langsung memasuki mobilnya. “Apa yang sebenarnya kamu lakukan?” sergah Logan. Raut wajahnya masih terlihat kesal. “Siapa yang mengizinkanmu menemui keluargaku begitu saja?” lanjut pria itu. Manik mata hitam Logan menatap Sanna dengan sorot tegas. Membuat gadis itu teringat akan kejadian tempo hari di kelab. “Dia … dia memintaku untuk datang,” jawab Sanna, lirih. “Mengapa kamu datang sendirian?” tanya pria itu, “Jenna adalah perempuan gila. Sudah pasti dia memiliki motif saat mengundangmu untuk datang,” sergah Logan. Tangan Sanna mencengkram sisi kursi dengan erat. Ia berusaha menahan tangisan yang mendesak untuk keluar. Diperlakukan seperti itu oleh Jenna sudah cukup membuatnya syok, kini Logan semakin memarahinya. “Lalu apa yang harus aku lakukan?” tanya gadis itu, balas menatap Logan dengan sorot tegas meski berkaca-kaca. “Apakah menurutmu aku ingin datang se
Sanna menatap rumah mewah yang menjulang tinggi di depannya. Tangan gadis itu menggenggam undangan pemberian Jenna tempo hari. Perayaan kecil itu diadakan di kediaman utama mereka. Sejak awal, Sanna berniat menjaga jarak dari keluarga Logan, tak berusaha untuk terlalu terkait dengan keluarga milyuner itu. Bagaimanapun, semakin Sanna menjaga jarak, semakin mudah baginya untuk terlepas pada waktunya nanti. Akan tetapi, nyatanya ia tak bisa menolak ajakan Jenna. Bahkan, Sanna berani mendatangi kediaman yang sudah seperti kandang singa itu seorang diri. Ia berniat memberitahu Logan saat mereka bekerja. Namun, entah mengapa, tiap kali tatapan mereka bertemu, Sanna teringat akan Logan yang berusaha menyerangnya dan bibirnya seakan terkunci seketika. “Saya bisa menghubungi Tuan Logan jika Nyonya menginginkannya.” Sang sopir menawarkan. Bahkan dia bisa melihat kegugupan pada wajah Sanna. Gadis itu menggelengkan kepala. “Tidak perlu. Aku hanya datang untuk menyapa,” jawab Sanna. Set
Logan tertegun. Begitu pula Sanna. Ini kali pertama ia menampar seseorang secara langsung.Tubuh Sanna gemetar ketakutan. Bahunya bergerak naik turun dengan napas kentara saat pandangannya bertemu dengan sorot Logan. Iris cokelat Sanna yang berkaca-kaca dan manik hitam Logan. Waktu seakan berhenti dan Sanna cepat-cepat berdiri. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia melenggang pergi dari sana. Air matanya berhasil lolos saat Sanna membelah kerumunan. Hingga jantung gadis itu kembali tercekat saat seseorang menyergap lengannya. Sanna menoleh secepat kilat dan melihat seorang pria tidak dikenal. Wajahnya terlihat tampan, tetapi tatapannya memandang Sanna dengan penuh hasrat. “Ada apa, Nona? Pria berengsek mana yang membuat gadis secantik dirimu bersedih?” tanya pria itu dengan nada mencurigakan. Tubuh Sanna kembali gemetar ketakutan. Tempat ini benar-benar dipenuhi orang yang berbahaya. Tak menggubris pertanyaannya, Sanna melepaskan tangan pria itu dan beranjak pergi secepat yang ia bis
Seluruh tubuh Sanna seakan bergetar saat mengatakannya. Ini kali pertama ia bersikap begitu kasar kepada orang lain. Wanita di hadapannya terlihat syok. Ia menatap ke arah Sanna dengan tak percaya, kemudian memandang Logan seakan meminta pembelaan. Rahang Logan mengeras sempurna. Jantung Sanna berdegup lebih cepat saat Logan menghujani dirinya dengan sorot tajam menusuk. “Keluar dari sini,” tukas Logan seraya menjauhi wanita itu. Wanita tak dikenal itu menatap Logan dengan tidak percaya. Logan benar-benar kembali ke tempat duduknya, tanda ia bersiap tenggelam dalam pekerjaannya dan tak mengharapkan sentuhan apa pun. Wanita itu mendengkus tak senang. Ia membereskan pakaiannya seraya menatap tak senang ke arah Sanna, kemudian melangkah kesal ke luar ruangan. Sanna hampir tak percaya ia benar-benar bisa mengusir wanita itu. Tanpa mengatakan apa-apa, Sanna menyerahkan dokumen pagi Logan. “Ini, Tuan—” Logan menyambarnya dengan kasar dan menatap tajam ke arahnya. “Jangan b
Sanna merapatkan bibir dengan gugup. Tamatlah riwayatnya kali ini. Ia telah meneguhkan perasaan hingga yakin tak akan terkejut dengan apa pun yang Logan lakukan hari ini. Namun, Sanna justru kembali membeku saat melihat Amari, ibu mertuanya, di kantor itu. Logan pasti akan membunuhnya jika pertemuan ini membuat Amari mencurigai pernikahan mereka. “Jadi, kamu benar-benar bekerja di sini? Sejak kapan?” Amari bertanya dengan penasaran. Kini keduanya sudah berada di kafetaria. Sanna sengaja mengajak Amari ke tempat yang tidak akan didatangi Logan. Jika keduanya sampai bertemu, Sanna bisa-bisa dipecat hari itu juga. “Aku … aku masih dalam masa training. Aku baru mulai bekerja kemarin.” Gadis itu menjelaskan dengan jujur. Seperti pesan Logan padanya, sang ibu bisa langsung menyadari saat lawan bicaranya berbohong hingga Sanna berpikir satu-satunya cara untuk menghadapi situasi ini adalah dengan jujur. Amari mengangguk satu kali. Gerakannya selalu terlihat terencana, seakan ia merek