Mata Sanna membelalak kaget melihat seorang pria berjalan masuk, diikuti oleh pria lain yang terlihat seperti asistennya. Dalam sekali lihat, Sanna bisa langsung mengenali wajah tampan itu.
“Kau … kau pria di bar itu!” sergah Sanna. Tenggorokannya tercekat.
Sekujur tubuhnya seakan bereaksi begitu melihat dia. Teringat akan malam panas mereka bersama. Sanna yakin ia tak meninggalkan informasi apa pun, bagaimana mungkin dia berhasil menemukan dirinya?
“Dia adalah Logan Asher Maverick.” Linda menjelaskan. “Dia membayar seorang mayat sebagai ganti donor yang dibutuhkan.”
Mendengar itu, otak Sanna seakan membeku dan tak bisa mencerna seluruh situasi ini. Alisnya mengernyit bingung dan ia menatap ke arah pria bernama Logan itu dengan sorot tidak mengerti.
“Mengapa … mengapa kau melakukan ini padaku?” tanya gadis itu.
Bukannya menjawab, Logan justru memasukkan salah satu tangannya ke dalam saku dan memberikan gestur kepada sang asisten.
Tanpa dikomandoi lebih lanjut, pria itu melangkah mendekati Sanna dan menyodorkan beberapa carik kertas ke arahnya. Sanna masih terlihat bingung, tetapi ia menerima kertas itu dan berusaha mencari jawaban.
Hal pertama yang ia baca adalah ‘KONTRAK PERNIKAHAN’ yang ditulis di kepala dokumen. Semakin Sanna membacanya, semakin pelipis wanita itu mengernyit heran.
“Ini ….”
“Tuan Logan telah memilih Anda, Nona,” ucap Benny, “Anda akan menjalani pernikahan kontrak dengan Tuan Logan selama dua tahun,” lanjut pria itu dengan nada tenang khas seorang konsultan.
Sanna mendengarnya dengan jelas dan ia bisa memahami setiap huruf yang tercetak di sana. Hanya, ia tidak mengerti.
“... apa maksudnya?” Wanita itu bertanya lagi.
Benny membuka bibir untuk menjelaskan, tetapi Logan lebih cepat menyela.
“Kamu akan menjadi istriku selama satu tahun dan menjalani pernikahan kontrak itu denganku. Apa sulitnya memahami ini semua?” tukas Logan dengan tidak sabar.
Benny hanya tersenyum sungkan melihatnya. Beberapa hari belakangan, Logan memang benar-benar dipusingkan oleh desakan sang ibu untuk menikah hingga kesabarannya menjadi setipis tisu.
“Apakah Anda menyelamatkanku hanya untuk hal ini?” Sanna kembali bertanya dengan penasaran.
Logan mengangguk satu kali.
Jangankan Sanna, Logan sendiri pun tidak menyangka ia benar-benar melakukan ini.
Selama ini, Logan selalu memutus kontak dengan wanita yang telah berhubungan dengannya. Namun, entah mengapa, ia tak bisa melupakan Sanna. Hingga saat sang ibu terus mendesaknya untuk menikah, Logan memiliki ide untuk menyelamatkan wanita itu dan menjadikan Sanna sebagai istrinya.
Sepanjang tiga puluh tahun hidupnya, Logan tak pernah memikirkan pernikahan. Ia sudah menjalani banyak penjelajahan cinta, tetapi tak satu pun yang menariknya pada jenjang pernikahan. Bagi Logan, kebebasan adalah nomor satu dan terikat dengan akad suci seperti pernikahan membuatnya terbelenggu. Akan tetapi, ibunya tak akan berhenti mendesak dan mengganggu Logan. Ia membutuhkan seorang wanita yang mau menempati kursi singgasana sebagai istrinya tanpa mencampuri urusannya.
“Kamu tidak perlu tahu situasinya,” ucap Logan, “Aku telah menyelamatkanmu dari kematian. Sebagai gantinya, kamu harus menandatangani surat perjanjian itu dan menikah denganku,” tuturnya tanpa basa-basi. Ia memberi isyarat kepada Benny dan pria itu menyodorkan bolpoin ke arah Sanna.
Detik demi detik, Sanna tidak bereaksi hingga wanita itu menggelengkan kepala.
“Maaf, tapi aku tidak bisa melakukannya, Tuan,” jawab wanita itu, kembali menyodorkan dokumen dan bolpoin ke arah Benny.
Alis Logan seketika menukik tajam.
Penolakan itu seperti pukulan yang memukul telak dadanya. Bahkan Benny dan Linda yang sejak tadi terdiam ikut terkejut oleh jawaban Sanna.
“Apa katamu?” tukas pria itu.
Sanna menatap ke arah Logan. Entah mengapa, iris hitam wanita itu terlihat terluka dan senyum pahit terbit di wajahnya.
“Pernikahan adalah hal yang sakral, Tuan. Anda tidak bisa melakukannya jika bukan dengan wanita yang Anda cintai. Jika tidak, pernikahan itu akan terasa seperti neraka,” gumam Sanna, “Anda … Anda tidak akan bahagia.”
Pikirannya mulai berkelana pada dua tahun kehidupannya bersama Evan. Pria itu tak pernah menyimpan perasaan pada Sanna. Selama itu, ia diperlakukan seperti wanita tidak berharga. Tak ada rasa cinta, bahkan tatapan Evan kepadanya selalu terlihat dingin. Sanna seperti disiksa setiap hari. Kini, setelah ia berhasil melepaskan diri dari pria itu, Logan menawarinya untuk menjalani pernikahan ‘dingin’ lainnya.
Sanna tidak akan sanggup.
Ia tak ingin mengulangi hari-hari terberatnya.
Jika Sanna memiliki kesempatan untuk membangun rumah tangga, ia akan melakukannya dengan pria sederhana yang mencintainya dengan tulus, bukan menjual hidup dan dirinya seperti ini.
Jelas, Logan tak akan menerima jawaban bodoh seperti itu.
“Tidak perlu bahagia,” ucap Logan, “Yang aku butuhkan hanya sebuah pernikahan dan seorang istri, bukan kebahagiaan,” sergah Logan. Memandang ke arah Sanna dengan sorot merendahkan.
Pikirnya, Sanna adalah wanita cerdas yang mampu membaca keadaan. Tak disangka, rupanya Sanna masih menaruh harapan pada kehidupan seperti itu.
Mendengarnya, senyum Sanna terlihat semakin pahit. Entah mengapa, berhadapan dengan Logan semakin mengingatkan Sanna akan Evan.
Gadis itu kembali menggelengkan kepala.
“Maaf, Tuan, aku tidak bisa melakukannya,” jawab Sanna, “Anda harus mencari orang lain untuk melakukannya.”
Tangannya mengepal erat dengan kesal. Rahangnya mengeras seperti batu.
“Aku sudah menyelamatkan hidupmu dan kau menolaknya begitu saja? Apakah kau tahu berapa banyak uang yang aku keluarkan?” sergah Logan.
Tangan Logan terkepal semakin erat. Ini kali pertama seorang wanita menolaknya begitu saja.
Sanna tampak gugup melihat amarah mulai bangkit pada perangai pria itu.
“Aku … aku akan menggantinya,” tutur wanita itu, “Aku akan mengganti biaya itu, Tuan.”
“Lima ratus juta,” Logan menyela, “Aku mengeluarkan lima ratus juta untuk menyelamatkan nyawamu. Bagaimana mungkin kamu akan menggantinya?” tantang pria itu.
Logan tahu, Sanna tidak memiliki siapa pun sekarang. Logan yakin wanita itu tak akan mampu melunasi utang sebanyak itu. Tak ada wanita yang cukup bodoh untuk melakukannya.
Di luar dugaan, Sanna justru mengangguk. Benny dan Linda yang menyaksikannya seketika tersentak.
“Aku akan melunasinya jika Anda memberiku waktu, Tuan,” ucap Sanna, “Sekali lagi, aku benar-benar berterima kasih karena telah membantuku, tapi maaf aku tidak bisa mengabulkan permintaan Anda,” tutur wanita itu.
Sanna tahu ia terlihat bodoh. Ia hanya sebatang kara sekarang. Mana mungkin ia dapat mengumpulkan uang sebanyak itu?
Namun, hati Sanna sudah hancur berantakan. Ia bisa membayangkan ia harus menghadapi pernikahan dingin dan mertua yang membencinya. Direndahkan dan dihina. Ia tak akan sanggup melakukannya. Lebih baik Sanna membanting tulang bertahun-tahun daripada melakukannya.
Logan mendengkus dan menyeringai ganas. Tak percaya jika Sanna benar-benar menolaknya setelah semua usaha yang Logan lakukan.
“Gadis bodoh,” tukas pria itu, “Aku pastikan kau akan menyesali keputusanmu,” kecam Logan, kemudian melenggang pergi dengan langkah geram.
***
***
Sanna tak pernah membayangkan ia akan diberikan kesempatan untuk hidup lebih lama. Pikirnya, ia akan berakhir di tangan keluarga kejam Evan.
Setelah Logan pergi, dokter Linda menjelaskan bahwa keluarga Evan tidak mengetahui tentang hal ini. Mereka beranggapan Sanna benar-benar telah kehilangan nyawa di ruang operasi karena mengorbankan jantung, mata, dan ginjalnya.
Mendengar itu, Sanna justru merasa beruntung. Ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Sanna ingin memulai hidupnya yang baru. Sekalipun itu berarti ia harus bekerja keras siang dan malam, Sanna lebih senang melakukannya daripada menjadi bahan penghinaan oleh orang lain.
Oleh sebab itu, setelah pamit kepada dokter Linda, Sanna pergi ke gerai atm terdekat untuk menarik semua tabungannya.
Tidak banyak. Hanya ada satu juta rupiah. Selama ini, orang-orang iri dan memandang Sanna sebagai Cinderella karena berhasil menikahi pria kaya seperti Evan. Padahal, Evan tak pernah memberinya uang sepeser pun. Sanna harus bersusah payah mengerjakan ini dan itu untuk mengumpulkan tabungan sebanyak ini.
Kini, uang itu telah berada di tangannya dan Sanna tersenyum hangat. Ia akan menggunakannya untuk membangun hidup baru yang jauh lebih baik.
Sementara itu, di sisi lain, Bethany tampak mendatangi sebuah bank. Di tangannya, terdapat mop cokelat berisi dokumen dan ia langsung mendatangi salah satu bagian pelayanan.
“Kakak saya sudah meninggal. Ini adalah surat kematiannya dan saya ingin mengambil sisa tabungannya,” tutur Bethany dengan nada datar. Raut wajahnya tidak terlihat sedih sedikit pun saat menyodorkan surat kematian dan kartu identitas Sanna sang kakak.
Selama ini, ia tahu kakaknya memiliki tabungan dan Bethany berniat menggunakannya untuk pergi ke salon. Kini, ia akan secara resmi menjadi istri Evan. Ia harus memperbaiki penampilannya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Akan tetapi, pihak pelayanan itu menggelengkan kepala.
“Tabungan Almarhum Drisanna kosong, Nona. Hanya ada sepuluh ribu rupiah di dalamnya.” Dia menjelaskan.
“Apa!?” sergah Bethany tidak percaya. Wanita itu mendesis kesal. “Dasar kakak yang miskin!” gumamnya dengan penuh kegeraman.
Ia menatap ke arah luar dengan kesal dan tanpa sengaja melihat siluet yang tak asing. Alisnya mengernyit heran.
“... kakak?”
Bethany mengerjap berulang kali sebelum melangkah cepat membelah kerumunan untuk mengejar siluet itu. Akan tetapi, begitu ia berhasil melewati keramaian, ia justru tak menemukan apa pun. Area itu begitu sepi. Hanya ada sepeda motor dan mobil yang berlalu-lalang. Tak ada seorang wanita atau manusia pun di sana. Bethany mengerut semakin heran. Ia tak salah lihat. Wanita berambut hitam panjang yang Bethany lihat dari dalam benar-benar mirip sang kakak. … bagaimana mungkin? Gadis itu celingukan memeriksa situasi di sekitarnya. Hari itu matahari terasa terik, tetapi entah mengapa mendadak bahunya bergidik ngeri. Tidak mungkin roh Sanna menghantui dirinya, ‘kan? Bethany kembali bergidik ngeri dan cepat-cepat berjalan menuju mobilnya. *** *** “Hari ini, Anda harus menghadiri lima kencan buta, Tuan.” Benny memberitahu kepada Logan yang baru saja beranjak memasuki mobil. Sebenarnya, Benny tidak mengemban jabatan sebagai sekretaris Logan. Pria itu hanya kepala kuasa usaha hu
Sanna berpikir ia hanya hidup seorang diri di dunia ini. Sekarang Logan justru kembali muncul di hadapannya, membuat Sanna merasa hangat meski derai hujan masih deras di sekitarnya. “... Kau ….” Logan mengulurkan tangan ke arah Sanna. Tatapan pria itu tidak berubah, masih terlihat serius dan perhatian. “Bangunlah,” ucapnya. Mendengar itu, Sanna terisak satu kali. Ia cepat-cepat mengusap air matanya dan menyambut uluran tangan Logan. Tangan pria itu terasa begitu hangat di tangan Sanna yang dingin. “Mengapa … mengapa kau datang?” Sanna bertanya dengan canggung. Sesaat, raut wajahnya terlihat malu dan ketakutan. Jelas ia merasa malu. Kemarin, Sanna bersikeras menolak bantuan Logan dan bertekad untuk membayar semua utang yang ia miliki. Kini Logan menangkap basah dirinya yang menangis dan terlihat lemah. Akan tetapi, Logan tidak terlihat berniat mengejek ataupun merendahkannya. Pria itu masih memegangi payung hitam yang sebagian besar melindungi tubuh Sanna yang sudah basah kuyup
“Mulai sekarang, namamu adalah Ashilla Leandra.” Logan berkata seraya menyodorkan sebuah mop cokelat ke arah Sanna. Pria itu menjemput Sanna sesuai waktu yang dijanjikan dan kini keduanya sudah duduk dalam mobil yang melaju. Tanpa menjawab, Sanna mulai membuka mop cokelat itu. Di dalamnya, ada kartu identitas, ijazah, bahkan paspor yang semuanya terdaftar atas nama Ashilla Leandra. Mata Sanna membelalak dengan tak percaya. Ia tak tahu semua itu bisa didapatkan semudah ini. “Semuanya palsu.” Logan menjelaskan, “Kamu tidak bisa menggunakannya untuk mendaftar kuliah di kampus bagus, tapi cukup untuk menjadi kartu identitas,” tuturnya. Berulang kali, Sanna mengecek seluruh dokumen itu dengan mata berbinar kagum. Foto yang tertera benar gambar dirinya dengan identitas dan tanggal lahir yang berbeda. “Bagaimana Anda bisa melakukannya?” Sanna bertanya dengan penasaran. Logan tersenyum bangga, merasa tersanjung karena berhasil membuat Sanna kagum. “Mudah saja,” ucapnya dengan nada angk
“Apa yang penyihir itu katakan?” sergah Logan dengan gusar. Beberapa menit lalu, sang ibu memang memintanya untuk meninggalkan ruangan yang telah ia pesan. Namun, jelas Logan tak bisa meninggalkannya begitu saja. Gelas, piring, garpu, bahkan pisau. Semuanya berada di sana dan bisa saja Amari gunakan untuk melukai Sanna jika gadis itu salah menjawab. Ini benar-benar di luar prediksi Logan. Sebelumnya, sang ibu tak pernah meminta untuk berbicara langsung dengan wanita yang ia bawa. Kini, pria itu berdiri dengan resah di depan ruangan, sementara Benny menempelkan telinga pada daun pintu. Berharap ia dapat mendengar percakapan keduanya. “Sepertinya, Nyonya Besar menawarkan sejumlah uang kepada Nona Shilla, Tuan.” Pria itu bergumam. “Apa—” Logan hampir berseru dan cepat-cepat merapatkan bibirnya saat tersadar sang ibu bisa mendengar suaranya. Ia berjalan cepat mendekati Benny. “Kau yakin penyihir itu melakukannya?” tanya Logan dengan nada penuh selidik. Benny kembali menempelkan t
Sanna tahu pernikahan mereka hanyalah sandiwara. Oleh sebab itu, saat Logan berkata mereka akan menikah minggu itu juga, Sanna berpikir mereka hanya akan mengucapkan ikrar pernikahan. Hingga wanita itu tercengang takjub saat seorang sopir membawanya ke sebuah gedung yang khusus untuk melangsungkan pernikahan. Tak sampai di situ, Logan benar-benar telah mengatur semuanya. Mulai dari gaun, penata rias, dan semua pernak-pernik yang Sanna butuhkan. Membuat Sanna merasa sedikit gugup karena rupanya kesepatakan mereka jauh lebih besar dari yang ia duga. Kini, gadis itu telah mengenakan gaun pernikahan putih bersih. Rambutnya ditata, lengkap dengan pernak-perniknya. Sekalipun hanya sandiwara, sebuah senyum kecil terbit di wajah Sanna saat memandang dirinya di cermin. “Semuanya sudah selesai?” Perhatian Sanna teralihkan saat Benny datang menghampiri ruang ganti pengantin. Salah satu penata rias mengangguk. “Sudah, Tuan,” katanya, memutar tempat duduk Sanna perlahan dan menampilkan penam
Logan membelalak, kemudian menyipitkan pandangannya mendengar tebakan tak masuk akal Sanna. Dirinya adalah seorang mafia? “Apa maksudmu?” tanya Logan. Alisnya mengernyit sempurna. Bukannya menjawab, Sanna justru kembali mengambil satu langkah mundur. Gadis itu terlihat jelas berada pada puncak kewaspadaannya. “Pernikahan yang mewah dan para penjaga itu, kau juga memiliki rumah yang besar dan semua ini. Apakah kau seorang pemimpin mafia? Kau menjalankan bisnis kotor seperti … seperti menjual … menjual sesuatu yang tidak seharusnya dijual,” gumam Sanna dengan amat hati-hati. Ia sudah sangat curiga dengan gerak-gerik Logan. Mana mungkin ada pria yang rela menggelontorkan begitu banyak dana hanya untuk menikah dengan wanita seperti dirinya? Di hadapannya, Logan mengukir senyum kecil. Ia nyaris tak percaya dengan isi kepala Sanna. Susah payah Logan bekerja keras dan membangun perusahaan untuk memiliki semua aset ini, dan gadis itu justru menuduhnya sebagai mafia pemilik bisnis
“Apa yang Anda lakukan, Nyonya?” Seorang pelayan perempuan bergegas menghampiri Sanna begitu ia mengeluarkan beberapa sayuran dari kulkas. Sanna terlihat bingung. Sekarang masih pagi dan setelah membersihkan diri, Sanna langsung turun ke dapur, memulai rutinitasnya seperti biasa. “Aku akan memasak sarapan,” jawab Sanna, “Ada apa?” “Anda tidak perlu repot-repot melakukannya, Nyonya,” ucap pelayan wanita itu, “Biar saya yang melakukannya.” Pelayan itu cepat-cepat menggeser sayuran yang telah Sanna keluarkan dan mengambil segenggam daun bawang di tangan Sanna. Gadis itu masih terlihat bingung. Pagi ini, ia sudah bangun pagi-pagi, khawatir Logan akan marah seandainya ia terlambat menyiapkan sarapan. Dahulu Evan selalu seperti ini. Kini, ia justru dilarang untuk memasak. “Tapi, aku harus membuat sarapan ….” Sanna mencoba menjelaskan. “Itu tugas saya, Nyonya,” jawab pelayan itu, “Nyonya bisa duduk di sana. Saya akan menyajikan roti untuk pengganjal lapar.” “Tapi—” “Dia be
“Apa?” Benny menatap bosnya dengan sorot penuh tanda tanya. “Kau tidak mendengarku? Langsung tolak dia,” ucap Logan. Tanpa ragu, pria itu menyerahkan CV Sanna kepada Benny dan lanjut meninjau CV pendaftar untuk posisi sekretaris. “Apakah Anda akan langsung menolaknya? Masih ada beberapa posisi yang kosong,” ucap Benny. Sedikit banyak Benny telah melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap hidup Sanna dan mengetahui karakter gadis itu. Hingga saat melihat namanya pada daftar pelamar, Benny tahu Sanna melakukannya dengan sungguh-sungguh. “Dia tidak akan bekerja di perusahaanku,” tukas Logan acuh tak acuh. “Tapi, mengapa, Tuan? Bukankah Nyonya mendaftar karena tahu Anda bekerja di sini?” Benny bertanya lagi. Meski telah melangsungkan resepsi pernikahan, tak ada satu pun pegawai yang mengetahui Logan sudah menikah. Benny menduga Sanna mendaftar untuk mengawasi Logan yang memang sering membawa wanita ke ruangannya. “Dia tidak tahu,” jawab Logan. Tatapannya mendadak menjadi
“Mengapa kamu keluar dari sana?” Logan bertanya dengan heran. Pagi ini, jantungnya seakan berhenti berdetak saat ia berjalan menuju ruang makan dan menemukan Sanna melangkah keluar dari kamar mandi. Hanya mengenakan mantel mandi berwarna putih. Handuk putih terlilit di rambutnya dan kulitnya terlihat bersih. Tiap kamar di kediaman itu telah dilengkapi kamar mandi dan Sanna tak pernah berkeliaran di rumah ini hanya dengan mengenakan mantel mandi. “Air di kamar mandiku tidak mengalir,” ucap Sanna, “Aku sudah meminta bantuan Barney, tapi terpaksa menggunakan kamar mandi di sini,” tuturnya. Logan tak langsung menjawab. Manik mata hitamnya memandang Sanna dari ujung kepala hingga ujung kaki. Meski telah menikah selama beberapa minggu, Logan belum pernah melihat Sanna berpakaian terbuka. Kini kulit leher dan dada gadis itu terekspos, membuat leher Logan bergerak naik turun dengan gugup. “K—kalau begitu, aku harus bersiap sekarang,” ucap Sanna, kemudian berjalan cepat menuju kamarnya.
“Apakah kamu mencoba menggodaku?” Logan memandang dengan sorot menuduh. Sanna semakin bingung dibuatnya. Ia baru saja tiba dan tahu-tahu diberondong oleh banyak pertanyaan yang tidak ia mengerti. “Aku sama sekali tidak memiliki niat untuk melakukannya,” ucap Sanna, jujur. Manik mata hitamnya berkilau cerah, seakan transparan hingga ia dapat langsung ketahuan kapan pun ia berbohong. “Benarkah?” Salah satu alis terangkat naik. “Lalu, mengapa kamu tiba-tiba melakukan ini?” sergah pria itu. Sanna berkedip canggung. “Aku sudah memikirkan perkataanmu dan sesuai saran yang kau berikan, aku mencoba berubah. Aku tidak ingin menggunakan uang itu karena seluruh fasilitas ini sudah cukup. Aku tidak ingin merepotkan lagi,” tutur Sanna. Ia bersikap jujur saat mengatakannya. Bahkan, alasan Sanna memilih untuk bekerja adalah agar ia bisa menopang kebutuhannya sendiri. “Karena itu ….” Sanna berkata lagi. “Aku tidak akan mengganggumu lagi. Kau bisa membawa gadis ke kantor atau pergi ke mana pun.
Sejak awal, Logan tak terlalu memperhatikan penampilan Sanna. Mereka hanya melakukan pernikahan kontrak yang akan berakhir dalam waktu satu tahun, untuk apa ia memedulikan gadis itu? Jika Logan benar-benar akan menikah, jelas ia akan memilih wanita yang sesuai dengan seleranya. Kini, ia benar-benar terkejut dan hampir tak percaya jika Sanna dapat terlihat begitu cantik. Bahkan, sepanjang hari, Sanna membuat pikiran Logan sulit untuk fokus. Tiap kali gadis itu mendekat untuk memberikan berkas padanya, Logan akan kembali terpikat dan mengikuti tiap pergerakan Sanna. Dalam hati bertanya-tanya apakah itu benar Sanna, gadis buluk seperti kucing liar yang ia temukan di bawah derai hujan di jalan yang kotor? “Bagaimana, Tuan? Apakah Anda setuju untuk menjadikan aktor itu sebagai brand ambassador kita?” tanya seorang pria yang menjadi ketua tim pengiklanan itu. Logan tak langsung menjawab. Sejak dua menit lalu, pria itu justru menatap ke arah Sanna dan mengabaikan presentasi yang d
Sanna sengaja berangkat pagi-pagi sekali. Sekarang baru pukul tujuh pagi dan sopirnya sudah menurunkan gadis itu di depan sebuah klinik kecantikan. Ia telah mencari sepanjang malam dan tempat ini satu-satunya klinik yang buka sejak pagi. Sepanjang malam, Sanna telah memikirkan perkataan Logan dan pria itu benar. Seharusnya Sanna memanfaatkan kesempatan ini untuk meningkatkan dirinya. Oleh sebab itu, Sanna memulai dengan penampilannya. Sanna menoleh ke kanan dan kiri, tampak canggung. Ini kali pertama ia datang ke salon kecantikan. Seperti gajah masuk kota, Sanna tak tahu ke mana ia harus pergi dan apa yang harus ia lakukan. … apakah ia langsung masuk saja? pikirnya. “Apa yang kau lakukan di sini, Nona?” Seorang pria tiba-tiba bertanya. Refleks, Sanna menoleh dengan waspada. Ia sedikit kaget menemukan pria berbadan tegap dan jangkung yang berdiri di sisinya. Garis wajahnya terlihat tegas, dengan hidung mancung dan alis tebal. Sekilas, Sanna teringat akan Logan yang memiliki
Logan langsung menarik Sanna dari tempat itu. Gadis itu tak mengatakan apa-apa hingga Logan mengarahkan gadis itu untuk langsung memasuki mobilnya. “Apa yang sebenarnya kamu lakukan?” sergah Logan. Raut wajahnya masih terlihat kesal. “Siapa yang mengizinkanmu menemui keluargaku begitu saja?” lanjut pria itu. Manik mata hitam Logan menatap Sanna dengan sorot tegas. Membuat gadis itu teringat akan kejadian tempo hari di kelab. “Dia … dia memintaku untuk datang,” jawab Sanna, lirih. “Mengapa kamu datang sendirian?” tanya pria itu, “Jenna adalah perempuan gila. Sudah pasti dia memiliki motif saat mengundangmu untuk datang,” sergah Logan. Tangan Sanna mencengkram sisi kursi dengan erat. Ia berusaha menahan tangisan yang mendesak untuk keluar. Diperlakukan seperti itu oleh Jenna sudah cukup membuatnya syok, kini Logan semakin memarahinya. “Lalu apa yang harus aku lakukan?” tanya gadis itu, balas menatap Logan dengan sorot tegas meski berkaca-kaca. “Apakah menurutmu aku ingin datang se
Sanna menatap rumah mewah yang menjulang tinggi di depannya. Tangan gadis itu menggenggam undangan pemberian Jenna tempo hari. Perayaan kecil itu diadakan di kediaman utama mereka. Sejak awal, Sanna berniat menjaga jarak dari keluarga Logan, tak berusaha untuk terlalu terkait dengan keluarga milyuner itu. Bagaimanapun, semakin Sanna menjaga jarak, semakin mudah baginya untuk terlepas pada waktunya nanti. Akan tetapi, nyatanya ia tak bisa menolak ajakan Jenna. Bahkan, Sanna berani mendatangi kediaman yang sudah seperti kandang singa itu seorang diri. Ia berniat memberitahu Logan saat mereka bekerja. Namun, entah mengapa, tiap kali tatapan mereka bertemu, Sanna teringat akan Logan yang berusaha menyerangnya dan bibirnya seakan terkunci seketika. “Saya bisa menghubungi Tuan Logan jika Nyonya menginginkannya.” Sang sopir menawarkan. Bahkan dia bisa melihat kegugupan pada wajah Sanna. Gadis itu menggelengkan kepala. “Tidak perlu. Aku hanya datang untuk menyapa,” jawab Sanna. Set
Logan tertegun. Begitu pula Sanna. Ini kali pertama ia menampar seseorang secara langsung.Tubuh Sanna gemetar ketakutan. Bahunya bergerak naik turun dengan napas kentara saat pandangannya bertemu dengan sorot Logan. Iris cokelat Sanna yang berkaca-kaca dan manik hitam Logan. Waktu seakan berhenti dan Sanna cepat-cepat berdiri. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia melenggang pergi dari sana. Air matanya berhasil lolos saat Sanna membelah kerumunan. Hingga jantung gadis itu kembali tercekat saat seseorang menyergap lengannya. Sanna menoleh secepat kilat dan melihat seorang pria tidak dikenal. Wajahnya terlihat tampan, tetapi tatapannya memandang Sanna dengan penuh hasrat. “Ada apa, Nona? Pria berengsek mana yang membuat gadis secantik dirimu bersedih?” tanya pria itu dengan nada mencurigakan. Tubuh Sanna kembali gemetar ketakutan. Tempat ini benar-benar dipenuhi orang yang berbahaya. Tak menggubris pertanyaannya, Sanna melepaskan tangan pria itu dan beranjak pergi secepat yang ia bis
Seluruh tubuh Sanna seakan bergetar saat mengatakannya. Ini kali pertama ia bersikap begitu kasar kepada orang lain. Wanita di hadapannya terlihat syok. Ia menatap ke arah Sanna dengan tak percaya, kemudian memandang Logan seakan meminta pembelaan. Rahang Logan mengeras sempurna. Jantung Sanna berdegup lebih cepat saat Logan menghujani dirinya dengan sorot tajam menusuk. “Keluar dari sini,” tukas Logan seraya menjauhi wanita itu. Wanita tak dikenal itu menatap Logan dengan tidak percaya. Logan benar-benar kembali ke tempat duduknya, tanda ia bersiap tenggelam dalam pekerjaannya dan tak mengharapkan sentuhan apa pun. Wanita itu mendengkus tak senang. Ia membereskan pakaiannya seraya menatap tak senang ke arah Sanna, kemudian melangkah kesal ke luar ruangan. Sanna hampir tak percaya ia benar-benar bisa mengusir wanita itu. Tanpa mengatakan apa-apa, Sanna menyerahkan dokumen pagi Logan. “Ini, Tuan—” Logan menyambarnya dengan kasar dan menatap tajam ke arahnya. “Jangan b
Sanna merapatkan bibir dengan gugup. Tamatlah riwayatnya kali ini. Ia telah meneguhkan perasaan hingga yakin tak akan terkejut dengan apa pun yang Logan lakukan hari ini. Namun, Sanna justru kembali membeku saat melihat Amari, ibu mertuanya, di kantor itu. Logan pasti akan membunuhnya jika pertemuan ini membuat Amari mencurigai pernikahan mereka. “Jadi, kamu benar-benar bekerja di sini? Sejak kapan?” Amari bertanya dengan penasaran. Kini keduanya sudah berada di kafetaria. Sanna sengaja mengajak Amari ke tempat yang tidak akan didatangi Logan. Jika keduanya sampai bertemu, Sanna bisa-bisa dipecat hari itu juga. “Aku … aku masih dalam masa training. Aku baru mulai bekerja kemarin.” Gadis itu menjelaskan dengan jujur. Seperti pesan Logan padanya, sang ibu bisa langsung menyadari saat lawan bicaranya berbohong hingga Sanna berpikir satu-satunya cara untuk menghadapi situasi ini adalah dengan jujur. Amari mengangguk satu kali. Gerakannya selalu terlihat terencana, seakan ia merek