Jantung Evan tercekat.
Pikirannya seakan terguncang mendengar informasi itu.
“... Apa?” Evan berkedip canggung, “Apa maksudnya, Suster?” tanya pria itu lagi.
Rahangnya terlihat lebih tegas dan batu besar seakan menyumbat di tenggorokannya.
“Nyonya Drisanna sudah mendonorkan mata dan ginjalnya untuk Anda, Tuan,” ucap perawat itu, “Dia juga mendonorkan jantungnya untuk adiknya.”
Jantung Evan seakan diremas kuat-kuat mendengarnya.
Pikirannya menjadi kalut seketika. Ia tidak bisa membayangkannya. Bagaimana mungkin, gadis licik dan mata duitan seperti Sanna sanggup mengorbankan semuanya untuk mereka?
“Kamu sudah sadar, Evan?” Suara sang ibu terdengar, disusul derap langkah mendekat.
Perawat itu sudah pergi dan Hannah terkejut mendapati sang putra sudah terduduk di atas ranjangnya dengan mata hitam terbuka.
“Evan? Kamu mendengar Mama? Apakah kamu bisa melihat Mama?” Hannah bertanya dengan gugup.
Perlahan, Evan menoleh ke arah sang ibu dan mengangguk. Ia bisa melihat wajah sang ibu dengan amat jelas.
Hannah langsung memeluk putra sulungnya. Matanya diwarnai air mata bahagia.
“Syukurlah, kamu benar-benar sudah bisa melihat sekarang,” ucap Hannah dengan penuh rasa syukur.
Wajah Evan masih terlihat tawar. Bahkan kebahagiaan yang semula menyelimuti dirinya seakan sirna begitu saja.
“Apakah benar Sanna yang memberikan mata ini untukku, Ma?” Evan bertanya.
Hal itu membuat usapan pada punggung Evan seketika terhenti. Hannah mengurai pelukan mereka. Wajah wanita itu terlihat gugup saat kembali memandang sang putra.
“Mengapa … mengapa tiba-tiba kamu menanyakannya? Informasi pendonor seharusnya dirahasiakan. Lagi pula, itu tidak penting—”
“Jawab aku, Ma!” tegas Evan. Manik hitamnya memandang sang ibu dengan sorot tajam, “Apakah benar Sanna yang mendonorkan mata dan ginjalnya untukku? Apakah benar dia memberikan jantungnya untuk Bethany?” tanya pria itu dengan suara tegas.
Hannah terlihat begitu gugup untuk menjawabnya. Seharusnya, Evan merasa senang dan bersyukur, mengapa pria itu justru marah dan memprotes kepadanya?
“Benar,” Hannah kembali bersuara, “Itu semua karena keinginan Sanna sendiri.”
Alis Evan mengernyit sempurna.
“Apa?” tanyanya dengan tidak percaya.
“Beberapa hari lalu, Sanna sendiri yang mendatangi Mama dan berkata dia ingin mendonorkan mata dan ginjalnya untukmu. Mama ingin menolaknya, tapi dia datang kepada Mama dan menangis-nangis, bagaimana mungkin Mama menolaknya?” jawab Hannah, setengah berbohong.
Ia yakin tak akan ada masalah yang menghampirinya, toh Sanna pun sudah berada di kamar mayat sekarang.
Evan membisu. Masih tidak percaya dengan kenyataan ini.
Padahal, ia sudah bersikap tidak adil kepada gadis itu. Padahal Evan yakin ia sudah membuat hidup Sanna seperti berada di neraka.
Mengapa … mengapa Sanna justru mengorbankan dirinya sendiri?
“Kak Evan.” Suara Bethany terdengar dari pintu masuk.
Gadis itu duduk di kursi rodanya dan bergerak mendekati ranjang pria itu. Sama seperti Evan, Bethany mengenakan seragam khusus pasien.
“Kak Evan sudah siuman,” sapanya dengan senyum cerah di wajah.
Pria itu tidak menjawab. Ia meniti penampilan Bethany dari ujung kepala hingga ujung kaki. Gadis itu terlihat jelita meski wajahnya tampak sedikit pucat.
Namun, bukan itu yang Evan perhatikan. Ia justru bertanya-tanya apakah wajah Sanna mirip dengan wajah gadis itu.
“Apakah operasimu berjalan lancar, Bethany?” Hannah bertanya dengan nada ramah.
Bethany mengangguk. Ia tersenyum saat tangannya meraba area jantungnya.
“Aku merasa sangat sehat,” ucapnya. Ia bisa merasakan detak jantung yang kuat. Bahkan, jantungnya tak terasa sakit setiap ia menarik napas panjang-panjang.
“Semua ini berkat Kak Sanna.” Gadis itu menambahkan.
Di luar dugaan, air mata mulai berkumpul pada mata Bethany dan gadis itu mulai terisak.
“Aku masih tidak percaya Kak Sanna benar-benar berkorban sebanyak ini untuk kita,” tuturnya dengan terisak. Raut wajahnya terlihat sangat berbeda dengan yang ia tunjukkan di sisi ranjang operasi Sanna.
Hannah mengangguk dan ikut larut dalam sandiwara Bethany.
“Kita harus bersama agar pengorbanan Kak Sanna tidak sia-sia, Kak Evan,” ucap Bethany, melanjutkan skenarionya, “Aku akan menggantikan posisi Kak Sanna untuk merawat Kak Evan.”
“Itu benar.” Hannah menambahkan. “Pesan terakhir yang diucapkan Sanna adalah kalian harus menikah sebagai bayaran atas pengorbanannya. Dia ingin melihat kalian hidup bahagia.”
Bethany terisak lebih keras.
“Aku merasa sangat bersalah kepada Kak Sanna. Tapi, jika itu yang dia inginkan, aku akan mengabulkannya,” tutur gadis itu.
Evan tidak mengatakan apa-apa.
Pria itu masih membisu.
Entah mengapa, satu bagian dalam dirinya seakan runtuh dan kosong setelah mengetahui Sanna melakukan itu untuk mereka.
“Jika itu yang kamu inginkan, aku benar-benar akan pergi.”
Kata-kata terakhir Sanna kembali mengiang dalam benak Evan.
Penyesalan memenuhi pikirannya hingga tanpa sadar satu tetes air mata terjatuh di pipinya.
“Aku ingin melihat jasad Sanna,” pinta pria itu.
Ketiganya lantas beranjak pergi menuju kamar mayat di rumah sakit. Namun, mereka justru mendapat penolakan dari petugas di sana.
“Kalian tidak diizinkan melihat jasad yang bersangkutan,” ucap petugas itu.
Hannah dan Bethany bertukar pandangan dengan heran.
“Tapi, kami adalah keluarga pasien,” ucap Hannah, berusaha membela diri.
“Tetap tidak bisa,” ucap petugas itu. “Ini adalah permintaan terakhir dari pasien. Dia tidak ingin membiarkan siapa pun melihat jasadnya. Pihak rumah sakit sendiri yang akan mengurus proses kremasi.”
Hannah dan Bethany terlihat semakin heran, sementara Evan masih membungkam.
Entah mengapa, sejak tadi hatinya terasa tawar dan kosong mengetahui ia tak akan pernah bisa menemui Sanna lagi.
Kini, manik hitamnya terlihat rapuh saat menatap lurus pada pintu kamar mayat.
“Sanna ….”
***
Aroma pengharum ruangan yang wangi menyelinap pada indra penciuman seorang gadis, kontras dengan aroma kuat obat khas rumah sakit.
Sanna mengendus udara di sekitarnya dua kali sebelum matanya perlahan terbuka. Hal pertama yang ia temukan adalah langit-langit ruangan berwarna putih.
… apakah ia sudah berada di surga?
Sanna telah mengorbankan dirinya untuk orang lain. Paling tidak, seharusnya dia dibiarkan masuk surga.
Akan tetapi, alisnya mengernyit heran melihat furnitur kamar yang terlihat tidak asing di sekitarnya.
“Kamu sudah sadar.” Suara seorang wanita terdengar dan Sanna membelalak kaget menemukan Dokter Linda muncul dari ambang pintu.
“Do—dokter? Mengapa dokter ada di sini?” sergahnya, “Apakah terjadi sesuatu saat dokter mengoperasiku? Mengapa dokter ikut mati bersamaku?”
Alis Linda mengernyit dalam mendengarnya. Dia menggelengkan kepala, kemudian terkekeh.
“Kamu tidak berada di surga,” tutur wanita itu, “Ini adalah kamarku dan kita berdua masih hidup sekarang.”
Kini, giliran raut wajah Sanna yang diliputi keheranan.
“Bagaimana bisa? Aku sudah mendonorkan jantung, mata, dan ginjalku. Mana mungkin aku masih hidup?”
Bukannya menjawab, Linda justru mengulas senyum tipis.
“Itu karena bantuanku,” ucap seorang pria seraya berjalan masuk.
Mata Sanna membelalak kaget melihat seorang pria berjalan masuk, diikuti oleh pria lain yang terlihat seperti asistennya. Dalam sekali lihat, Sanna bisa langsung mengenali wajah tampan itu. “Kau … kau pria di bar itu!” sergah Sanna. Tenggorokannya tercekat. Sekujur tubuhnya seakan bereaksi begitu melihat dia. Teringat akan malam panas mereka bersama. Sanna yakin ia tak meninggalkan informasi apa pun, bagaimana mungkin dia berhasil menemukan dirinya? “Dia adalah Logan Asher Maverick.” Linda menjelaskan. “Dia membayar seorang mayat sebagai ganti donor yang dibutuhkan.” Mendengar itu, otak Sanna seakan membeku dan tak bisa mencerna seluruh situasi ini. Alisnya mengernyit bingung dan ia menatap ke arah pria bernama Logan itu dengan sorot tidak mengerti. “Mengapa … mengapa kau melakukan ini padaku?” tanya gadis itu. Bukannya menjawab, Logan justru memasukkan salah satu tangannya ke dalam saku dan memberikan gestur kepada sang asisten. Tanpa dikomandoi lebih lanjut, pria itu melangk
Bethany mengerjap berulang kali sebelum melangkah cepat membelah kerumunan untuk mengejar siluet itu. Akan tetapi, begitu ia berhasil melewati keramaian, ia justru tak menemukan apa pun. Area itu begitu sepi. Hanya ada sepeda motor dan mobil yang berlalu-lalang. Tak ada seorang wanita atau manusia pun di sana. Bethany mengerut semakin heran. Ia tak salah lihat. Wanita berambut hitam panjang yang Bethany lihat dari dalam benar-benar mirip sang kakak. … bagaimana mungkin? Gadis itu celingukan memeriksa situasi di sekitarnya. Hari itu matahari terasa terik, tetapi entah mengapa mendadak bahunya bergidik ngeri. Tidak mungkin roh Sanna menghantui dirinya, ‘kan? Bethany kembali bergidik ngeri dan cepat-cepat berjalan menuju mobilnya. *** *** “Hari ini, Anda harus menghadiri lima kencan buta, Tuan.” Benny memberitahu kepada Logan yang baru saja beranjak memasuki mobil. Sebenarnya, Benny tidak mengemban jabatan sebagai sekretaris Logan. Pria itu hanya kepala kuasa usaha hu
Sanna berpikir ia hanya hidup seorang diri di dunia ini. Sekarang Logan justru kembali muncul di hadapannya, membuat Sanna merasa hangat meski derai hujan masih deras di sekitarnya. “... Kau ….” Logan mengulurkan tangan ke arah Sanna. Tatapan pria itu tidak berubah, masih terlihat serius dan perhatian. “Bangunlah,” ucapnya. Mendengar itu, Sanna terisak satu kali. Ia cepat-cepat mengusap air matanya dan menyambut uluran tangan Logan. Tangan pria itu terasa begitu hangat di tangan Sanna yang dingin. “Mengapa … mengapa kau datang?” Sanna bertanya dengan canggung. Sesaat, raut wajahnya terlihat malu dan ketakutan. Jelas ia merasa malu. Kemarin, Sanna bersikeras menolak bantuan Logan dan bertekad untuk membayar semua utang yang ia miliki. Kini Logan menangkap basah dirinya yang menangis dan terlihat lemah. Akan tetapi, Logan tidak terlihat berniat mengejek ataupun merendahkannya. Pria itu masih memegangi payung hitam yang sebagian besar melindungi tubuh Sanna yang sudah basah kuyup
“Mulai sekarang, namamu adalah Ashilla Leandra.” Logan berkata seraya menyodorkan sebuah mop cokelat ke arah Sanna. Pria itu menjemput Sanna sesuai waktu yang dijanjikan dan kini keduanya sudah duduk dalam mobil yang melaju. Tanpa menjawab, Sanna mulai membuka mop cokelat itu. Di dalamnya, ada kartu identitas, ijazah, bahkan paspor yang semuanya terdaftar atas nama Ashilla Leandra. Mata Sanna membelalak dengan tak percaya. Ia tak tahu semua itu bisa didapatkan semudah ini. “Semuanya palsu.” Logan menjelaskan, “Kamu tidak bisa menggunakannya untuk mendaftar kuliah di kampus bagus, tapi cukup untuk menjadi kartu identitas,” tuturnya. Berulang kali, Sanna mengecek seluruh dokumen itu dengan mata berbinar kagum. Foto yang tertera benar gambar dirinya dengan identitas dan tanggal lahir yang berbeda. “Bagaimana Anda bisa melakukannya?” Sanna bertanya dengan penasaran. Logan tersenyum bangga, merasa tersanjung karena berhasil membuat Sanna kagum. “Mudah saja,” ucapnya dengan nada angk
“Apa yang penyihir itu katakan?” sergah Logan dengan gusar. Beberapa menit lalu, sang ibu memang memintanya untuk meninggalkan ruangan yang telah ia pesan. Namun, jelas Logan tak bisa meninggalkannya begitu saja. Gelas, piring, garpu, bahkan pisau. Semuanya berada di sana dan bisa saja Amari gunakan untuk melukai Sanna jika gadis itu salah menjawab. Ini benar-benar di luar prediksi Logan. Sebelumnya, sang ibu tak pernah meminta untuk berbicara langsung dengan wanita yang ia bawa. Kini, pria itu berdiri dengan resah di depan ruangan, sementara Benny menempelkan telinga pada daun pintu. Berharap ia dapat mendengar percakapan keduanya. “Sepertinya, Nyonya Besar menawarkan sejumlah uang kepada Nona Shilla, Tuan.” Pria itu bergumam. “Apa—” Logan hampir berseru dan cepat-cepat merapatkan bibirnya saat tersadar sang ibu bisa mendengar suaranya. Ia berjalan cepat mendekati Benny. “Kau yakin penyihir itu melakukannya?” tanya Logan dengan nada penuh selidik. Benny kembali menempelkan t
Sanna tahu pernikahan mereka hanyalah sandiwara. Oleh sebab itu, saat Logan berkata mereka akan menikah minggu itu juga, Sanna berpikir mereka hanya akan mengucapkan ikrar pernikahan. Hingga wanita itu tercengang takjub saat seorang sopir membawanya ke sebuah gedung yang khusus untuk melangsungkan pernikahan. Tak sampai di situ, Logan benar-benar telah mengatur semuanya. Mulai dari gaun, penata rias, dan semua pernak-pernik yang Sanna butuhkan. Membuat Sanna merasa sedikit gugup karena rupanya kesepatakan mereka jauh lebih besar dari yang ia duga. Kini, gadis itu telah mengenakan gaun pernikahan putih bersih. Rambutnya ditata, lengkap dengan pernak-perniknya. Sekalipun hanya sandiwara, sebuah senyum kecil terbit di wajah Sanna saat memandang dirinya di cermin. “Semuanya sudah selesai?” Perhatian Sanna teralihkan saat Benny datang menghampiri ruang ganti pengantin. Salah satu penata rias mengangguk. “Sudah, Tuan,” katanya, memutar tempat duduk Sanna perlahan dan menampilkan penam
Logan membelalak, kemudian menyipitkan pandangannya mendengar tebakan tak masuk akal Sanna. Dirinya adalah seorang mafia? “Apa maksudmu?” tanya Logan. Alisnya mengernyit sempurna. Bukannya menjawab, Sanna justru kembali mengambil satu langkah mundur. Gadis itu terlihat jelas berada pada puncak kewaspadaannya. “Pernikahan yang mewah dan para penjaga itu, kau juga memiliki rumah yang besar dan semua ini. Apakah kau seorang pemimpin mafia? Kau menjalankan bisnis kotor seperti … seperti menjual … menjual sesuatu yang tidak seharusnya dijual,” gumam Sanna dengan amat hati-hati. Ia sudah sangat curiga dengan gerak-gerik Logan. Mana mungkin ada pria yang rela menggelontorkan begitu banyak dana hanya untuk menikah dengan wanita seperti dirinya? Di hadapannya, Logan mengukir senyum kecil. Ia nyaris tak percaya dengan isi kepala Sanna. Susah payah Logan bekerja keras dan membangun perusahaan untuk memiliki semua aset ini, dan gadis itu justru menuduhnya sebagai mafia pemilik bisnis
“Apa yang Anda lakukan, Nyonya?” Seorang pelayan perempuan bergegas menghampiri Sanna begitu ia mengeluarkan beberapa sayuran dari kulkas. Sanna terlihat bingung. Sekarang masih pagi dan setelah membersihkan diri, Sanna langsung turun ke dapur, memulai rutinitasnya seperti biasa. “Aku akan memasak sarapan,” jawab Sanna, “Ada apa?” “Anda tidak perlu repot-repot melakukannya, Nyonya,” ucap pelayan wanita itu, “Biar saya yang melakukannya.” Pelayan itu cepat-cepat menggeser sayuran yang telah Sanna keluarkan dan mengambil segenggam daun bawang di tangan Sanna. Gadis itu masih terlihat bingung. Pagi ini, ia sudah bangun pagi-pagi, khawatir Logan akan marah seandainya ia terlambat menyiapkan sarapan. Dahulu Evan selalu seperti ini. Kini, ia justru dilarang untuk memasak. “Tapi, aku harus membuat sarapan ….” Sanna mencoba menjelaskan. “Itu tugas saya, Nyonya,” jawab pelayan itu, “Nyonya bisa duduk di sana. Saya akan menyajikan roti untuk pengganjal lapar.” “Tapi—” “Dia be
“Mengapa kamu keluar dari sana?” Logan bertanya dengan heran. Pagi ini, jantungnya seakan berhenti berdetak saat ia berjalan menuju ruang makan dan menemukan Sanna melangkah keluar dari kamar mandi. Hanya mengenakan mantel mandi berwarna putih. Handuk putih terlilit di rambutnya dan kulitnya terlihat bersih. Tiap kamar di kediaman itu telah dilengkapi kamar mandi dan Sanna tak pernah berkeliaran di rumah ini hanya dengan mengenakan mantel mandi. “Air di kamar mandiku tidak mengalir,” ucap Sanna, “Aku sudah meminta bantuan Barney, tapi terpaksa menggunakan kamar mandi di sini,” tuturnya. Logan tak langsung menjawab. Manik mata hitamnya memandang Sanna dari ujung kepala hingga ujung kaki. Meski telah menikah selama beberapa minggu, Logan belum pernah melihat Sanna berpakaian terbuka. Kini kulit leher dan dada gadis itu terekspos, membuat leher Logan bergerak naik turun dengan gugup. “K—kalau begitu, aku harus bersiap sekarang,” ucap Sanna, kemudian berjalan cepat menuju kamarnya.
“Apakah kamu mencoba menggodaku?” Logan memandang dengan sorot menuduh. Sanna semakin bingung dibuatnya. Ia baru saja tiba dan tahu-tahu diberondong oleh banyak pertanyaan yang tidak ia mengerti. “Aku sama sekali tidak memiliki niat untuk melakukannya,” ucap Sanna, jujur. Manik mata hitamnya berkilau cerah, seakan transparan hingga ia dapat langsung ketahuan kapan pun ia berbohong. “Benarkah?” Salah satu alis terangkat naik. “Lalu, mengapa kamu tiba-tiba melakukan ini?” sergah pria itu. Sanna berkedip canggung. “Aku sudah memikirkan perkataanmu dan sesuai saran yang kau berikan, aku mencoba berubah. Aku tidak ingin menggunakan uang itu karena seluruh fasilitas ini sudah cukup. Aku tidak ingin merepotkan lagi,” tutur Sanna. Ia bersikap jujur saat mengatakannya. Bahkan, alasan Sanna memilih untuk bekerja adalah agar ia bisa menopang kebutuhannya sendiri. “Karena itu ….” Sanna berkata lagi. “Aku tidak akan mengganggumu lagi. Kau bisa membawa gadis ke kantor atau pergi ke mana pun.
Sejak awal, Logan tak terlalu memperhatikan penampilan Sanna. Mereka hanya melakukan pernikahan kontrak yang akan berakhir dalam waktu satu tahun, untuk apa ia memedulikan gadis itu? Jika Logan benar-benar akan menikah, jelas ia akan memilih wanita yang sesuai dengan seleranya. Kini, ia benar-benar terkejut dan hampir tak percaya jika Sanna dapat terlihat begitu cantik. Bahkan, sepanjang hari, Sanna membuat pikiran Logan sulit untuk fokus. Tiap kali gadis itu mendekat untuk memberikan berkas padanya, Logan akan kembali terpikat dan mengikuti tiap pergerakan Sanna. Dalam hati bertanya-tanya apakah itu benar Sanna, gadis buluk seperti kucing liar yang ia temukan di bawah derai hujan di jalan yang kotor? “Bagaimana, Tuan? Apakah Anda setuju untuk menjadikan aktor itu sebagai brand ambassador kita?” tanya seorang pria yang menjadi ketua tim pengiklanan itu. Logan tak langsung menjawab. Sejak dua menit lalu, pria itu justru menatap ke arah Sanna dan mengabaikan presentasi yang d
Sanna sengaja berangkat pagi-pagi sekali. Sekarang baru pukul tujuh pagi dan sopirnya sudah menurunkan gadis itu di depan sebuah klinik kecantikan. Ia telah mencari sepanjang malam dan tempat ini satu-satunya klinik yang buka sejak pagi. Sepanjang malam, Sanna telah memikirkan perkataan Logan dan pria itu benar. Seharusnya Sanna memanfaatkan kesempatan ini untuk meningkatkan dirinya. Oleh sebab itu, Sanna memulai dengan penampilannya. Sanna menoleh ke kanan dan kiri, tampak canggung. Ini kali pertama ia datang ke salon kecantikan. Seperti gajah masuk kota, Sanna tak tahu ke mana ia harus pergi dan apa yang harus ia lakukan. … apakah ia langsung masuk saja? pikirnya. “Apa yang kau lakukan di sini, Nona?” Seorang pria tiba-tiba bertanya. Refleks, Sanna menoleh dengan waspada. Ia sedikit kaget menemukan pria berbadan tegap dan jangkung yang berdiri di sisinya. Garis wajahnya terlihat tegas, dengan hidung mancung dan alis tebal. Sekilas, Sanna teringat akan Logan yang memiliki
Logan langsung menarik Sanna dari tempat itu. Gadis itu tak mengatakan apa-apa hingga Logan mengarahkan gadis itu untuk langsung memasuki mobilnya. “Apa yang sebenarnya kamu lakukan?” sergah Logan. Raut wajahnya masih terlihat kesal. “Siapa yang mengizinkanmu menemui keluargaku begitu saja?” lanjut pria itu. Manik mata hitam Logan menatap Sanna dengan sorot tegas. Membuat gadis itu teringat akan kejadian tempo hari di kelab. “Dia … dia memintaku untuk datang,” jawab Sanna, lirih. “Mengapa kamu datang sendirian?” tanya pria itu, “Jenna adalah perempuan gila. Sudah pasti dia memiliki motif saat mengundangmu untuk datang,” sergah Logan. Tangan Sanna mencengkram sisi kursi dengan erat. Ia berusaha menahan tangisan yang mendesak untuk keluar. Diperlakukan seperti itu oleh Jenna sudah cukup membuatnya syok, kini Logan semakin memarahinya. “Lalu apa yang harus aku lakukan?” tanya gadis itu, balas menatap Logan dengan sorot tegas meski berkaca-kaca. “Apakah menurutmu aku ingin datang se
Sanna menatap rumah mewah yang menjulang tinggi di depannya. Tangan gadis itu menggenggam undangan pemberian Jenna tempo hari. Perayaan kecil itu diadakan di kediaman utama mereka. Sejak awal, Sanna berniat menjaga jarak dari keluarga Logan, tak berusaha untuk terlalu terkait dengan keluarga milyuner itu. Bagaimanapun, semakin Sanna menjaga jarak, semakin mudah baginya untuk terlepas pada waktunya nanti. Akan tetapi, nyatanya ia tak bisa menolak ajakan Jenna. Bahkan, Sanna berani mendatangi kediaman yang sudah seperti kandang singa itu seorang diri. Ia berniat memberitahu Logan saat mereka bekerja. Namun, entah mengapa, tiap kali tatapan mereka bertemu, Sanna teringat akan Logan yang berusaha menyerangnya dan bibirnya seakan terkunci seketika. “Saya bisa menghubungi Tuan Logan jika Nyonya menginginkannya.” Sang sopir menawarkan. Bahkan dia bisa melihat kegugupan pada wajah Sanna. Gadis itu menggelengkan kepala. “Tidak perlu. Aku hanya datang untuk menyapa,” jawab Sanna. Set
Logan tertegun. Begitu pula Sanna. Ini kali pertama ia menampar seseorang secara langsung.Tubuh Sanna gemetar ketakutan. Bahunya bergerak naik turun dengan napas kentara saat pandangannya bertemu dengan sorot Logan. Iris cokelat Sanna yang berkaca-kaca dan manik hitam Logan. Waktu seakan berhenti dan Sanna cepat-cepat berdiri. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia melenggang pergi dari sana. Air matanya berhasil lolos saat Sanna membelah kerumunan. Hingga jantung gadis itu kembali tercekat saat seseorang menyergap lengannya. Sanna menoleh secepat kilat dan melihat seorang pria tidak dikenal. Wajahnya terlihat tampan, tetapi tatapannya memandang Sanna dengan penuh hasrat. “Ada apa, Nona? Pria berengsek mana yang membuat gadis secantik dirimu bersedih?” tanya pria itu dengan nada mencurigakan. Tubuh Sanna kembali gemetar ketakutan. Tempat ini benar-benar dipenuhi orang yang berbahaya. Tak menggubris pertanyaannya, Sanna melepaskan tangan pria itu dan beranjak pergi secepat yang ia bis
Seluruh tubuh Sanna seakan bergetar saat mengatakannya. Ini kali pertama ia bersikap begitu kasar kepada orang lain. Wanita di hadapannya terlihat syok. Ia menatap ke arah Sanna dengan tak percaya, kemudian memandang Logan seakan meminta pembelaan. Rahang Logan mengeras sempurna. Jantung Sanna berdegup lebih cepat saat Logan menghujani dirinya dengan sorot tajam menusuk. “Keluar dari sini,” tukas Logan seraya menjauhi wanita itu. Wanita tak dikenal itu menatap Logan dengan tidak percaya. Logan benar-benar kembali ke tempat duduknya, tanda ia bersiap tenggelam dalam pekerjaannya dan tak mengharapkan sentuhan apa pun. Wanita itu mendengkus tak senang. Ia membereskan pakaiannya seraya menatap tak senang ke arah Sanna, kemudian melangkah kesal ke luar ruangan. Sanna hampir tak percaya ia benar-benar bisa mengusir wanita itu. Tanpa mengatakan apa-apa, Sanna menyerahkan dokumen pagi Logan. “Ini, Tuan—” Logan menyambarnya dengan kasar dan menatap tajam ke arahnya. “Jangan b
Sanna merapatkan bibir dengan gugup. Tamatlah riwayatnya kali ini. Ia telah meneguhkan perasaan hingga yakin tak akan terkejut dengan apa pun yang Logan lakukan hari ini. Namun, Sanna justru kembali membeku saat melihat Amari, ibu mertuanya, di kantor itu. Logan pasti akan membunuhnya jika pertemuan ini membuat Amari mencurigai pernikahan mereka. “Jadi, kamu benar-benar bekerja di sini? Sejak kapan?” Amari bertanya dengan penasaran. Kini keduanya sudah berada di kafetaria. Sanna sengaja mengajak Amari ke tempat yang tidak akan didatangi Logan. Jika keduanya sampai bertemu, Sanna bisa-bisa dipecat hari itu juga. “Aku … aku masih dalam masa training. Aku baru mulai bekerja kemarin.” Gadis itu menjelaskan dengan jujur. Seperti pesan Logan padanya, sang ibu bisa langsung menyadari saat lawan bicaranya berbohong hingga Sanna berpikir satu-satunya cara untuk menghadapi situasi ini adalah dengan jujur. Amari mengangguk satu kali. Gerakannya selalu terlihat terencana, seakan ia merek