Irene mengangkat bahu, lemas. Ia juga terkejut melihat tingkah Adam barusan. Padahal beberapa saat sebelum ini, dia terlihat bersemangat soal kehamilan Irene.“Apa dia bakal membenci anak ini, karena walau darah dagingnya, tapi bukan dari perempuan yang dia cintai?” batin Irene bertanya-tanya. Ia jadi merasa kasihan dengan janin yang dikandungnya, jika Adam hanya akan menggunakannya sebagai alat meraih kekuasaan dan semua yang diinginkannya.Melihat Irene murung, Darren pun langsung berkomentar asal saja, untuk menaikkan suasana. “Kurasa dia cuma kebelet ke kamar mandi, Ir. Kamu istirahat aja dulu. Kayaknya morning sick kamu agak berat nih.”Dan sedikit berhasil membuat Irene terkekeh, walau tawa kecilnya itu tak nampak dari pancaran netranya. “Yeah. Kayaknya aku juga ngantuk, Dok.”Darren mengangguk. Ia kemudian membereskan peralatan USG dan berniat untuk meninggalkan Irene agar beristirahat. Namun, Irene menghentikan langkahnya. Gadis itu sepertinya tak bisa menutupi kesedihan ter
“Aku tidak ingin membahasnya lagi.” Adam memutuskan untuk menyimpan semua pemikiran dan perasaannya tersembunyi dari semua orang. “Ha?! Dam, kau nggak bisa begini. Irene akan salah paham—”“Aku ada rapat lagi, Ren,” ujar Adam memotong protes sang dokter. Ia juga menambahkan, “Cukup untuk diketahui, bahwa aku tetap akan memenuhi semua yang diminta Irene dalam kontrak perjanjian kami. Dan aku nggak berniat membuang anak itu.”Tak bisa memaksa Adam untuk bicara lebih dalam lagi, Darren pun menyerah. “Oke, oke. Tapi aku minta satu hal padamu, jangan abaikan Irene. Dia butuh semua perhatian yang bisa kau berikan, untuk melewati masa kehamilan ini sampai bayi itu lahir.”Adam mengangguk. “Tentu saja.”“Dan kalau bayinya ternyata bukan laki-laki—walaupun menurut hasil tes terdahulu mengatakan bahwa 98% bayi pertama yang akan dilahirkan Irene adalah laki-laki, jangan marah padanya. Dan jangan membuang bayi itu.”Kali ini Adam terdiam sesaat sebelum mengangguk. “Tentu saja.” Adam sendiri ma
“Ha–hamil?! Mati aku kalau ada yang tahu soal aku hamil!” pikir Irene panik. Raut wajah gadis itu sempat menunjukkan shock sepersekian detik, tetapi langsung bisa menguasai diri untuk merespon dengan gurauan. “Nggak lah, Mbak Noora. Cuma lagi agak sensitif aja ini.”“Iya juga sih. Kamu belum punya pacar juga kan, apalagi suami.” Noora membalas seolah ia percaya dengan ucapan IrenePadahal, Irene tidak tahu kalau Noora sempat menangkap raut wajah shock-nya tadi, seolah apa yang dikatakan Noora adalah benar.Karena penemuan yang tidak seberapa itu, dengan caranya Noora mulai menyebar gosip. Semua gosip dimulai dari kantin karyawan—di mana staf sekretariat kebanyakan, tidak pernah menginjakkan kakinya di sana.“Si Irene sakit apa sih ya. Kemarin ketemu sama tenant buat copywriter laporan tahunan kan, terus dia tiba-tiba lari ke toilet. Kukira dia kebelet, ternyata dia kayak muntah gitu.” Noora terlihat khawatir, tetapi tujuannya tidak semulia itu. Gadis itu paling mahir menggiring opin
Tubuh Irene menegang, tetapi ia mengangguk menuruti perintah Adam dan mengekor di belakang sang CEO.“Ir … apa yang kalian bahas di ruang rapat tadi? Apa mengenai pekerjaan?” tanya Adam setelah mereka berada di dalam ruangan.Irene tak langsung menjawab. Ia tidak tahu harus memulai dari mana. Ia juga takut kalau Adam marah karena dirinya membiarkan orang lain mengetahui kondisinya. “Ir … Apa ini soal gosip yang dibuat Noora?”Deg!Irene yang tadinya menggantung kepalanya dan berusaha menata kalimat pun langsung menyentak naik menunjukkan wajah yang seolah bertanya, “Bagaimana bapak bisa tahu?!”Melihat Irene tak kunjung duduk di kursi yang ada di seberang mejanya, Adam memutuskan untuk duduk di sofa. Ia meraih tangan Irene dan menuntunnya ke salah satu sofa yang ada di ruangan.“Duduklah dulu, Irene. Jangan sampai kau kelelahan.”Sikap manis Adam membuat Irene terkejut. Ia tidak menyangka kalau Adam mau menggenggam tangannya hanya supaya ia duduk nyaman.“Sebenarnya, aku sudah mencur
“Nggak usah sok peduli, Noora. Aku dengar sendiri bagaimana kamu—”Julia baru saja ingin menyerang Noora, tetapi seseorang masuk ke dalam ruangan dan berteriak murka, “Ada apa ini?! Membuat keributan di ruangan direksi, apa kalian sudah bosan kerja di sini?”“Bu Lily!” seru Noora bersikap seolah ia yang tersakiti. Julia dan Galleon kehilangan momen untuk menarik perhatian direktur pembelian itu lebih awal.“Saya ke sini cuma mau tahu kondisi Irene yang sempat muntah-muntah kemarin, Bu. Tapi mereka nuduh saya bikin gosip kalau Irene hamil.” Noora terlihat tak lagi menahan diri. Dan karena memang tidak ada yang tahu awal mula gosip itu menyebar, semua berpihak pada Noora. Julia jadi terlihat sebagai pihak yang melakukan perundungan pada Noora.“Irene hamil? Seharusnya itu kabar baik kan? Kenapa jadi masalah?” tanya Lily yang kemungkinan besar tertinggal gosip karena sejak kemarin beliau memang sibuk di luar kantor.Salah satu staf di sana menyahut, “Kalau dia sudah bersuami memang ngga
“Nggak usah dipikirkan masalah itu. Jalani saja hubungan kita seperti di rumah. Dengan begini, kau nggak repot kan? Tinggal bersikap padaku seperti biasa kau di rumah saja.”Irene terdiam menatap Adam. Ia merasa ada yang tidak beres dengan otak pria itu. Di awal pertemuan mereka terasa sekali aura ‘lahirkan anakku dan kita selesai’. Namun sekarang, Irene sama sekali tidak merasakan hawa seperti itu lagi. “Apa benar nggak apa-apa? Apa aku bisa menganggap kita saling cinta dan bersikap layaknya pasangan di luar sana?” tanya Irene lagi. Hatinya meluap dengan harapan. Adam tertegun cukup lama ketika mendengar ucapan Irene. Untungnya dia bukan tipe pria yang wajahnya bisa memerah karena tersipu. Kemudian, pria itu mengangguk setuju. “Yeah. Sure. Yang penting kau senang dan nggak stres, Irene. Nggak baik buat kesehatanmu sekarang.”Diam-diam, Irene tersenyum kecut. Harapannya langsung hancur mendengar ucapan Adam. “Tapi begini juga sudah diluar perkiraan. Dulu, kupikir aku akan diabaika
Satu minggu sudah berlalu sejak kejadian itu. Suasana kerja di ruang sekretariat sudah kembali normal. Sementara Irene tetap menyibukkan diri bekerja sebagai sekretaris, Adam pun tengah sibuk mencari keberadaan Jeremy. Sang CEO sudah memenuhi 2 permintaan Irene yaitu membayarkan denda pada perusahaan lama Irene dan membelikan city car. Ia bahkan sudah membersihkan nama Irene dari tuduhan-tuduhan jahat. Dan kali ini, ia berniat untuk menyelesaikan permintaan gadis itu yang terakhir, sebelum anaknya lahir. Mengambil kembali semua harta warisan yang sudah direbut Jeremy darinya. “Pria ini sepertinya cukup lihai bersembunyi. Kau benar-benar tak dapat info apapun Galv?”Pria dengan bekas luka memanjang dari atas alis sampai di bawah mata kanannya itu membungkuk. “Maaf, Bos. Kami belum berhasil melacaknya.”Adam mengurut dahinya. Frustrasi. “Apa kau sudah bisa membuat janji dengan pemilik rumah yang baru itu?”Lagi-lagi Galva membuat Adam kecewa dengan gelengan kepalanya. “Menurut kete
Mendapat kabar baik dari Galva, Adam pun segera memanggil Irene untuk mendiskusikan kalau-kalau gadis itu ingin ikut menemui mantan tunangannya.“Aku memang bilang pada Galva kalau aku akan membawamu, hanya karena aku pikir kau akan memaksa untuk ikut, Ir,” ungkap Adam. Lagi, tambahnya, “Sebenarnya akan lebih baik kalau kau menunggu semua selesai dan menemui orang itu dari balik jeruji besi. Apalagi kondisi kesehatanmu sedang tidak terlalu baik.”Irene berpikir keras, menimbang ini dan itu. Jelas ia sangat ingin menemui Jeremy. Yang paling ingin diketahuinya adalah apa pernah sekali saja, Jeremy mencintainya? Apa sejak awal ia memang sudah merencanakan itu.“Terus kalau aku sudah tahu jawabannya apa, memang aku mau maafin dia kalau semisal dia punya alasan baik di balik tindakan kriminalnya ini?” batin Irene meragu.Namun, ia sangat ingin mendengarnya. Ia berharap kalau dirinya bukanlah wanita bodoh mudah diperdaya, seperti apa yang pernah dikatakan mendiang orang tuanya. “Kau ini s