"Cil ... Bocil?"Berkali-kali Kelvin memanggil Agatha dengan lirih, namun bocil itu sama sekali tidak merespon. Kembali Kelvin menggeser tubuhnya, kini bahkan mereka sudah tidak lagi memiliki jarak lagi.Jantung Kelvin berdegup kencang. Bukan hanya karena mendadak hasrat itu muncul, tetapi Kelvin lebih ke 'takut'. Tangan Kelvin menyentuh lengan Agatha, di saat yang sama, keluar suara dari mulut Agatha yang mampu membuat Kelvin melonjak dengan jantung bedebar. "Papa ... Jangan pergi, Pa!" Racau suara itu lirih. "Nggak! Nggak boleh! Papa nggak boleh pergi, nggak boleh!"Seketika suara Agatha meninggi, dengan sigap Kelvin menarik tubuh itu dan merengkuhnya ke dalam dekapan. "Nggak mau, Pa! Jangan pergi, tolong jangan pergi!" Tubuh yang semula tenang, mulai berontak, suara Agatha kembali lirih, berbaur dengan isak tangis yang mulai keluar dari mulut. "Cil ... Udah Cil, udah!" Kelvin berbisik, ia mendekap erat Agatha dan mengelus kepala Agatha dengan begitu lembut. Entah mimpi apa Agath
Agatha menggerakkan jemari, matanya masih terasa begitu berat. Walaupun begitu ia reflek memaksa matanya terbuka ketika merasakan ada yang aneh dengan benda yang teraba tangannya. Agatha membelalak, ia terkejut luar biasa mendapati ia tertidur dalam pelukan Kelvin! "Astaga!" Agatha reflek melepaskan diri dari tubuh Kelvin. Ia lantas duduk dengan muka syok luar biasa. Agatha langsung meraba seluruh tubuh. Bagian-bagian sensitif tubuhnya dan mengecek pakaiannya. Semua aman! Itu artinya ... Agatha menoleh, nampak Kelvin masih terlelap pulas di sana. "Om ... Bangun Om!" Panggil Agatha sambil mengguncang tubuh itu, ia melirik ke arah jam dinding dan melotot melihat di angka berapa jarum jam tertuju. "Ih! Om cepetan bangun! Kita kesiangan!" Makin cepat Agatha mengguncang tubuh itu dan berhasil! Kelvin mulai bergerak, mengucek mata dengan tangan lalu beringsut duduk. Ia menguap sejenak. Nampak menggeleng-gelengkan kepala cepat lalu menatap Agatha yang duduk tak jauh darinya. "Apaan sih
"Kalian baik-baik, ya. Mama udah lega banget ke sini, lihat kalian sehat, baik-baik aja berdua." Handira tersenyum, mengelus pipi Agatha dengan lembut. Mereka sudah ada di bandara sekarang. Mengantarkan Dewi dan Handira yang hendak kembali pulang ke Jakarta. Agatha dan Kelvin kompak nyengir lebar. Seperti dikomando, kepala mereka pun kompak mengangguk. "Kalo ada kendala soal unit, bisa lapor ke manajemen langsung, Vin. Kemarin udah mama kasih nomor yang berkepentingan, kan?" Handira kini menatap Kelvin, yang langsung dibalas anggukan kepala. "Sudah, Ma. Kebetulan juga udah kenal sama staff manajemen yang di bawah, apalagi pas bolak-balik ambilin paket punya Agatha." Secara tidak langsung, Kelvin ingin mengadu bahwa istrinya ini sekali belanja online sudah macam reseller produk yang mau dijual lagi. "Baguslah kalau begitu. Intinya mama titip Agatha ya, Vin. Sabar-sabar kalau dia ini sering ngeselin.""Ah mama!" Agatha mencebik, ia langsung mengerucutkan bibir tanda tak suka. "Iya-
"Cil! Ayolah buruan, Cil!" Kelvin berteriak dari sofa depan TV, ia terus melirik jam tangan sambil menunggu Agatha bersiap-siap ke kampus. Sesuai perjanjian, selama mobil Agatha belum ready, Kelvin lah yang bertugas mengantar, jemput atau sekalian antar jemput Agatha kuliah. Semua disesuaikan dengan jadwal jaga Kelvin tentunya, dan yang lebih menyebalkan bagi Kelvin adalah menunggu bocil itu selesai bersiap-siap ketika hendak pergi kuliah di pagi hari seperti ini. "Cil!" Kembali Kelvin memanggil Agatha, entah apa-apa lagi yang dia lakukan di dalam sana. "Aduh bawel amat sih, Om? Sabar kenapa sih?" Agatha akhirnya keluar. Dia sudah siap dengan celana bahan dan kemeja rapi, pakaian khas para anak-anak fakultas kedokteran. Kelvin bangkit, ia menghela napas panjang sambil berkacak pinggang. "Ini jam berapa, Cil? Saya masih kudu anter kamu ke kampus, kalo telat sampai rumah sakit lama-lama bisa kena SP saya." Kelvin gemas setengah mati, kenapa juga harus dia yang mengantar Agatha tiap
"Eh aku nebeng siapa ini?" Agatha tertegun, mobil Yanuar sudah penuh, Pinka tentu saja sudah boncengan dengan Agil. "Tunggu, masih ada satu personil lagi. Nanti kamu sama dia, ya?" Ujar Pinka dengan senyum lebar. Firasat Agatha jadi tidak enak. Lelaki bernama Andaru yang ciri-cirinya disebutkan Pinka tadi belum nampak. Itu artinya ... Agatha mendesah panjang. Mendadak mood-nya untuk ikut nongkrong jadi lenyap. Bukan apa-apa, bagaimanapun status Agatha adalah istri orang. Bagaimana kalau nanti ... "Nah itu dia! Kamu sama Andaru ya, Tha!"Sudah Agatha duga! Mendadak Agatha ragu, haruskah dia ikut? Atau mendadak ada alasan supaya bisa order ojek dan kembali pulang? Tapi nggak ada salahnya juga kalau dipikir. Daripada dia hanya berdiam diri di apartment, lebih baik ikut teman-temannya, bukan? "Nih helm, kebetulan tadi bawa karena pulang ntar mau jemput adek sekalian."Agatha tersenyum kikuk, ia memakai helm yang Andaru sodorkan dan segera naik ke atas boncengan. Ketika motor sudah me
"Serius nggak mau aku antar nih, Tha?"Agatha menghela napas panjang, ia menoleh dan mendapati Andaru mengejarnya sampai keluar. Ia hanya tersenyum lantas menggelengkan kepala perlahan. "Ngga-nggak perlu, Ru. Seriusan. Ini aku ada urusan soalnya. Makasih banyak tawarannya, ya!" Tolak Agatha yang tidak mau mencari-cari masalah baru. Dari nada Kelvin tadi, bisa dipastikan lelaki itu tidak macam-macam dengan ancamannya. Jadi lebih baik Agatha tidak mencari masalah dan segera sampai di rumah."Beneran? Yaudah kalo gitu. Tapi lain kali aku harap kamu nggak nolak aku anterin pulang, ya?" Gumamnya yang berhasil membuat Agatha sejenak tertegun. Agatha hendak menjawab, namun beruntung sekali ojol yang dia pesan sudah datang. Berhenti tepat di hadapan Agatha dan Andaru. "Dengan Kak Agatha, ya?" Tanya lelaki paruh baya itu sambil memperhatikan layar ponsel. "Ah iya, Kak. Saya sendiri!" Agatha tersenyum lalu menoleh ke arah Andaru yang masih berdiri di tempatnya. "Aku duluan ya, Ru. Ma--.""
"Kalo saya bilang saya dirugikan, memang kenapa?" Tantang Kelvin mulai habis kesabaran.Mata gadis itu membelalak, ia bahkan melangkah mendekati Kelvin sehingga jarak mereka menjadi lebih dekat. "Loh, emang aku ngapain sampai bikin rugi om?" Tidak terlihat sorot takut di mata itu. Agatha memang tidak bisa diremehkan begitu saja! "Iya lah saya dirugikan! Kamu pikir dengan kita yang cuma nikah pura-pura begini terus kamu bisa bebas gitu nongkrong sama cowok-cowok?" Mata Agatha makin membulat, "Loh masalahnya apa? Kita udah bahas kemarin, nggak--.""Memang kita sudah bahas bahwa status ini tidak akan mengikat kita seperti pernikahan umumnya, tapi itu tidak berarti lantas kamu bisa bebas temenan bahkan pacaran sama lelaki sebelum kontrak kesepakatan kita berakhir."Agatha tersenyum sinis, beberapa detik kemudian ia tertawa terbahak-bahak yang terdengar seperti nada mengejek di telinga Kelvin. Kelvin sendiri menghela napas panjang, ia berusaha untuk tetap sabar dan tidak kelewat batas m
"Enak, kan?" Kelvin tersenyum, ia menatap Agatha yang nampak tengah menyiapkan potongan cheesecake ke dalam mulut. Bisa Kelvin lihat wajah itu terkejut sesaat, namun setelahnya Agatha kembali menyiapkan potongan cheesecake ke dalam mulut. "Habiskan saja, nanti saya order kan lagi kalau kamu suka sama cheesecakenya." Desis Kelvin mencoba memancing Agatha buka suara. "Nelpon mama tadi?" Akhirnya Agatha bersuara, ekspresi wajahnya masih begitu datar, masih ada sorot tak suka di mata itu. "Ya ... Habisnya mau gimana lagi? Demi kamu biar nggak ngambek lagi." Jawab Kelvin jujur apa adanya. Kembali Agatha nampak terkejut, ia yang hendak menyuapkan cheesecake kontan terdiam, membiarkan sendok menggantung di depan mulut yang sudah dia tutup kembali. Agatha lantas menurunkan tangan dan meletakkan kembali sendok di piring. Balas menatap Kelvin dengan tatapan serius. "Memang kenapa kalo aku ngambek?" Tanya Agatha ketus. Kelvin menghela napas panjang, laki-laki adalah tempat salah, ditambah
Lima tahun kemudian .... "Ziel, ayolah Sayang, kita harus berangkat sekarang!" Namira berteriak, ia memulas lisptick dengan terburu lalu meraih tas dan kunci mobil yang tergeletak di atas meja. Dengan tergesa-gesa ia melangkah keluar kamar, hendak berbelok ke kamar Ziel ketika bocah itu sudah lebih dulu muncul dengan seragam biru-putih dan dasi kupu-kupu. "Siap hari pertama sekolah?" Tanya Namira dengan bersemangat. "Siap dong, Ma! Berangkat sekarang, kan?" Senyum Ziel merekah, senyum yang merupakan warisan dari Dimas ada di wajah itu. Namira mengangguk pelan, ia meraih tangan Ziel dan melangkah bersama keluar dari rumah. Nampak wajah mereka berbinar cerah. Hari ini hari pertama Nazriel Dewangga Putra bersekolah. Tentu bocah lima tahun itu sangat excited sekali, terlebih sang mama sampai menukar shift jaga hanya demi mengantar dan menunggui Ziel di hari pertamanya sekolah. "Nanti pulangnya makan steak ya, Ma?" Ocehnya sambil naik ke atas mobil. "Boleh, yang deket tempat kerja p
Namira melangkah keluar kamar, ia hendak ke kamar mandi ketika lamat-lamat bayangan tubuh itu mencuri atensinya. Langkah Namira terhenti, ia menoleh dan mendapati di teras rumah, Dimas, lelaki yang kini berstatus suaminya itu, tengah menjemur cucian di sana. Alis Namira berkerut, bukankah Dimas baru pulang jaga? Namira pikir dia tengah membersihkan diri dan makan di meja makan, rupanya ... Namira melangkah mendekat, ia baru saja hendak memanggil Dimas ketika suaminya itu lantas menoleh lebih dulu. "Loh, kamu bangun? Ziel bobok?" Tanya Dimas sambil tetap melanjutkan pekerjaannya. "Mau pipis tadi. Aku pikir kamu mandi apa makan gitu. Kenapa malah jadi nyuci?" Tanya Namira lalu membungkuk dan hendak membantu sang suami menjemuri pakaian-pakaian bayi itu. "Et!" Dimas mencekal tangan Namira. "Tadi mau pipis, kan? Sana pipis dulu! Nggak bagus nahan pipis."Namira tersenyum, ia urung membantu suaminya dan segera melangkah masuk kedalam rumah setelah mencubit gemas perut Dimas. Ia berge
"Kenapa ini?"Handira meletakkan pulpen di meja, ia segera menjawab panggilan yang Dimas layangkan padanya. "Kenapa, Dim? Ada masalah?"Handira hendak kembali serius dengan jurnal yang tengah dia baca ketika kemudian Dimas bersuara dengan nada yang cukup serius. "Saya berubah pikiran, Dok."DEG!Jantung Handira seperti hendak meloncat dari tempatnya. Ketakutan itu mendadak menyergap hati Handira dengan begitu kuat. Ada apa ini? Kenapa Dimas tiba-tiba berubah pikiran? "Berubah pikiran yang bagaimana?" Tanya Handira dengan nada panik. Jangan bilang kalau .... "Saya berubah pikiran, Dok. Saya mau izin sama Dokter bahwa saya mengundurkan diri dari misi ini. Kalaupun nanti menantu Dokter dan Namira berpisah, itu bukan karena saya membantu Dokter, tetapi karena saya benar ingin serius dengannya dan menarik dia dari belengu yang dibuat oleh menantu Dokter sendiri."Hening! Handira mengerjapkan matanya, ia tidak salah dengar, kan? Apa yang tadi Dimas katakan? Dia bilang bahwa .... "Ka-k
Handira tertegun, ia meletakkan ponsel di atas meja. Matanya memerah. Ingin dia meledakkan tantis saat ini juga. Namun tidak di tempat ini. Info yang masuk ke dalam ponsel dan emailnya adalah valid! Semua data dan infromasi yang dia terima juga bukan dari orang sembarangan. Handira harus segera bergerak, sebelum semuanya hancur berantakan! "Ya ampun, Gusti!" Handira mendesis perlahan. Segala macam rasa sedih, marah dan kecewa menyeruak dalam hatinya. Belum lagi perasaan bersalah itu ... Semua bergumul menjadi satu dan menghajar Handira dengan begitu luar biasa. Tidak! Ini bukan tentang penyakit mematikan yang dia derita! Tetapi ini tentang Agatha. Putri semata wayang yang begitu dia cintai. Bayangan senyum manis dan gelak tawa wajah itu terbayang di dalam pikiran Handira, hanya beberapa detik karena kemudian bayangan itu digantikan oleh bayangan wajah berurai air mata dengan tangis yang menyayat hati Handira. Handira menarik selembar tisu, ia menyeka air mata yang tak kuasa ia b
"Welcome home, Adel!"Kelvin membuka pintu kamar mereka lebar-lebar, mempersilahkan Agatha yang tengah menggedong Adel masuk terlebih dahulu ke dalam. Koper yang dibawa Handira sudah berpindah ke dalam ruang laundry, kini ia menyusul Agatha dan cucunya masuk ke dalam kamar. "Bobo sini, ya?" Dengan perlahan Agatha menurunkan Adel dari gendongan, membaringkan bayi menggemaskan itu ke dalam boknya. Sebuah bok yang Kelvin beli dan rakit sendiri beberapa minggu yang lalu. Saksi bahwa Kelvin sangat antusias sekali menyiapkan segala macam keperluan untuk menyambut gadis kecilnya yang cantik dan menggemaskan. "Lepas aja itu bedongnya, gerah siang-siang begini dibedong." Handira menatap Adel dari sisi kiri, nampak rona bahagia itu abadi di wajahnya. "Iya-iya, Ma. Ini Thata lepas." Agatha segera menuruti perintah mamanya, dengan lembut dan perlahan bedong itu dia lepas. Handira tersenyum, ia menarik kain bedong itu dan membawanya dipundak. Matanya belum mau lepas menatap wajah cantik dan
"Aduh-aduh si Gemoy!"Ruang inap Agatha jadi riuh. Sore hari, Dewi dan Ahmad benar-benar datang. Bahkan papa mertuanya itu masih sangat rapi karena pulang mengisi simposium langsung terbang demi melihat cucunya. "Adel, Ma. Namanya Adel!" Desis Kelvin merevisi, Kelvin sendiri sudah dengan setelan scrub, ia izin sebentar pada chief residennya untuk menemui Ahmad dan Dewi yang baru datang. "Biarin ih! Panggilan kesayangan kok." Balas Dewi tak mengindahkan. Kelvin mencebik, ia malah jadi macam kambing congek. Tidak ada yang peduli padanya. Semua perhatian tertuju pada Adel! Dia bintangnya sekarang. "Gimana, Tha? Ada keluhan?" Ahmad duduk di kursi yang ada di sebelah bed Agatha, Agatha sendiri duduk di tepi ranjang, tengah memperhatikan bagaimana para nenek itu sedang heboh menggendong cucunya. "Biasalah, Pa. Bekas jahitannya ini." Jawab Agatha sambil tersenyum getir, meskipun tidak sesakit kontraksi atau pas melahirkan, namun tetap saja rasa perih itu sangat menganggu dan membuatnya
"Kenapa?"Agatha menatap heran Kelvin yang duduk sambil terus tersenyum ke arahnya. Ia tengah menyusui Adel saat ini, membuat Agatha malah berpikiran yang tidak-tidak pada suaminya itu. "Mas, kenapa sih?" Kembali Agatha bertanya, setelah pertanyaannya tadi diabaikan oleh Kelvin. Ia masih duduk dengan senyum lebar di sisi Agatha. Kelvin tidak langsung menjawab, ia malah meraih tangan Agatha, meremas tangan itu dengan lembut lalu menciuminya berkali-kali. Setelah puas Kelvin kembali mengangkat wajahnya, kini ia menatap Agatha dengan mata memerah. "Kamu kenapa?" Sekali lagi Agatha bertanya, ia benar-benar heran, kenapa dengan suaminya ini? "Aku bahagia banget hari ini, Yang. Sumpah ini hari paling membahagiakan dalam seumur hidup aku!" Ucapnya kemudian dengan air mata menitik. Agatha tertegun sejenak, ia menatap Kelvin dengan saksama. Bulir-bulir air mata itu terlihat menetes dari pelupuk mata Kelvin, Agatha belum sempat bersuara, Kelvin kemudian lebih dulu menyambung kalimatnya. "
"I-ini ....." Agatha tercekat ketika bayi berselimut biru itu diletakkan Handira di dadanya. Air matanya menitik. Tangis Agatha pecah. Semua lelah dan rasa sakitnya mendadak sirna tak berbekas. Dengan tangan bergetar, Agatha perlahan-lahan menyentuh tangan kecil yang sudah memakai gelang identitas itu. Sangat lembut dan rapuh! Agatha meraung, ini benar anaknya? Yang selama ini hidup dan tumbuh dalam rahimnya? Agatha terisak, matanya terpejam sambil memeluk makhluk kecil dan lemah yang berada di atas dadanya. Ia terkejut ketika ada isak tangis lain dan kecupan yang bertubi-tubi mendarat di dahi dan pipinya. "Makasih banyak, Sayang!" Bisik Kelvin di sela-sela tangisnya. Agatha tidak merespon, ia tengah sibuk mengekspresikan perasaannya lewat isak tangisnya sendiri. Jadi begini rasanya menjadi seorang ibu? Sebahagia ini? Agatha mengelus lembut kepala kecil itu sampai kemudian Handira mendekat dan ikut mengelus tubuh kecil itu perlahan-lahan. "Yuk buka dulu bajunya, Tha. Si cantik
"Udah lima, Dok!"Kelvin menghela napas panjang. Mereka sudah sampai VK saat ini, Agatha sudah berbaring di atas bed dengan wajah pucat pasi. "Yaudah ditunggu dulu. Aman kok, nggak ada penyulit, hasil tes lab terakhir bagus semua. Yuk bisa yuk pervaginam." Dokter Nico yang seharusnya masih tidur di kamar bersama istrinya pun sudah stand by meskipun dengan wajah setengah mengantuk. "Mohon bantuannya ya, Dok!" Mohon Handira yang sama pucatnya dengan Agatha. "Oo, jangan khawatir, Dok. Sudah jadi tugas saya itu." Dokter Nico tersenyum, mengangguk pelan lalu menoleh ke arah Kelvin. "Vin saya ke ruang jaga dulu. Nanti langsung telpon aja ya ke saya, atau lewat perawat jaga juga boleh deh."Kelvin hanya mengangguk patuh. Ia sama sekali tidak menyingkir barang sedikitpun dari sisi Agatha. Begitu dokter Nico melangkah keluar, Kelvin menjatuhkan kecupan di puncak kepala istrinya cukup lama. Tangan Kelvin masih menggenggam dan meremas-remas lembut tangan Agatha sejak tadi. "Semangat, ya? A