"Kalo saya bilang saya dirugikan, memang kenapa?" Tantang Kelvin mulai habis kesabaran.Mata gadis itu membelalak, ia bahkan melangkah mendekati Kelvin sehingga jarak mereka menjadi lebih dekat. "Loh, emang aku ngapain sampai bikin rugi om?" Tidak terlihat sorot takut di mata itu. Agatha memang tidak bisa diremehkan begitu saja! "Iya lah saya dirugikan! Kamu pikir dengan kita yang cuma nikah pura-pura begini terus kamu bisa bebas gitu nongkrong sama cowok-cowok?" Mata Agatha makin membulat, "Loh masalahnya apa? Kita udah bahas kemarin, nggak--.""Memang kita sudah bahas bahwa status ini tidak akan mengikat kita seperti pernikahan umumnya, tapi itu tidak berarti lantas kamu bisa bebas temenan bahkan pacaran sama lelaki sebelum kontrak kesepakatan kita berakhir."Agatha tersenyum sinis, beberapa detik kemudian ia tertawa terbahak-bahak yang terdengar seperti nada mengejek di telinga Kelvin. Kelvin sendiri menghela napas panjang, ia berusaha untuk tetap sabar dan tidak kelewat batas m
"Enak, kan?" Kelvin tersenyum, ia menatap Agatha yang nampak tengah menyiapkan potongan cheesecake ke dalam mulut. Bisa Kelvin lihat wajah itu terkejut sesaat, namun setelahnya Agatha kembali menyiapkan potongan cheesecake ke dalam mulut. "Habiskan saja, nanti saya order kan lagi kalau kamu suka sama cheesecakenya." Desis Kelvin mencoba memancing Agatha buka suara. "Nelpon mama tadi?" Akhirnya Agatha bersuara, ekspresi wajahnya masih begitu datar, masih ada sorot tak suka di mata itu. "Ya ... Habisnya mau gimana lagi? Demi kamu biar nggak ngambek lagi." Jawab Kelvin jujur apa adanya. Kembali Agatha nampak terkejut, ia yang hendak menyuapkan cheesecake kontan terdiam, membiarkan sendok menggantung di depan mulut yang sudah dia tutup kembali. Agatha lantas menurunkan tangan dan meletakkan kembali sendok di piring. Balas menatap Kelvin dengan tatapan serius. "Memang kenapa kalo aku ngambek?" Tanya Agatha ketus. Kelvin menghela napas panjang, laki-laki adalah tempat salah, ditambah
"Ntar balik sendiri nih, Om?" Tanya Agatha ketika mobil Kelvin sudah berhenti di dekat gedung fakultas. "Kenapa balik sendiri? Saya jemputlah!" Jawab Kelvin cepat. Alis Agatha berkerut, ia menatap Kelvin dengan wajah penasaran. Pagi ini Kelvin mengantar Agatha dengan kaos oblong dan celana kolor pendek. Ia pikir awalnya Kelvin masuk siang, jadi kalau nanti lelaki ini bisa menjemputnya, itu berarti ... "Memang Om libur hari ini?" Tanya Agatha memastikan. "Masuk malem. Jadi bisalah ntar jemput kamu. Dah sana turun! Kuliah yang bener, biar besok jadi dokter yang bener juga!" Nasehat Kelvin yang malah dibalas cibiran oleh Agatha. Agatha hendak melangkah turun, ketika teriakan Kelvin menghentikan kakinya yang hampir menyentuh tanah. "Eh ... Eh! Tunggu dulu! Kebiasaan banget ini anak!"Agatha menoleh, menatap kesal ke arah Kelvin yang ia tahu betul hanya mencuci muka dan gosok gigi sebelum pergi tadi. "Apaan lagi sih, Om?" Tanya Agatha hampir emosi. Masih sepagi ini dan Kelvin sudah
"Tuh udah dichat bocil kesayangan kamu!"Kelvin yang baru beres mandi tertegun, ia buru-buru meraih ponsel yang ada di atas meja. Pesan dari Agatha belum dibuka, membuat Kelvin segera membuka pesan itu dan membacanya. Benar saja Agatha sudah mengirim pesan untuk minta dijemput. Kelvin buru-buru mengeringkan rambutnya yang basah, ia meraih kunci mobil lalu menjatuhkan kecupan di puncak kepala Namira. "Kalo gitu aku balik dulu, met istirahat, ya?" Bisiknya lirih lalu melangkah menuju pintu. Namira mencebik, air mukanya keruh sekali. Ada rasa tidak terima dalam hati ketika Kelvin bergegas pergi begitu mendapati pesan yang istrinya kirimkan."Oh iya, aku udah transfer ke rekening kamu. Cek, ya?" Ujar Kelvin sebelum menghilang dari balik pintu. Namira yang semula cemberut kontan tersenyum lebar. Namira meraih ponsel di atas kasur lalu membuka aplikasi m-mbaking miliknya. Benar saja, sejumlah uang Kelvin transfer ke rekening Namira! Kini wajah cemberut itu sudah tidak terlihat lagi. Na
"Enak?" Kelvin menatap Agatha yang nampak asyik mengunyah mie yang terhidang di meja. Entah ide dari mana, mereka sekarang ini duduk berdua di balkon. Menikmati angin semilir dengan masing-masing satu mangkuk mie kuah lengkap dengan sayuran dan udang. "Enak. Gimana ceritanya sejago ini masak malah jadi dokter, Om? Kenapa nggak jadi chef macam chef Arnold apa chef Juna?" Cecar Agatha yang masih penasaran, bagaimana bisa laki-laki songong model Kelvin begini bisa masak dengan begitu enak? Kelvin meletakkan sumpit di atas mangkuk, ia tersenyum dengan mata menatap lurus ke depan, menerawang kenangan-kenangan saat di mana ia lantas memutuskan untuk belajar memasak. "Justru karena pengen jadi dokter ini yang bikin saya bisa jago masak kayak gini, Cil!" Kelvin tersenyum getir, ia kembali meraih sumpit dan mengaduk mie di mangkok. "Hah? Begitu? Coba cerita! Aku penasaran, Om! Kalo karena biar ngirit, aku nggak percaya. Sekelas mama Dewi sama papa Ahmad nggak mungkin pelit, kan?"Kelvin t
"Ntar ikut, ya?" Ajak Pinka ketika mata kuliah dokter Bahri selesai. Agatha menoleh, ia menatap Pinka dengan alis berkerut. "Kemana?" "Nanti mo ke Cozy Place. Sumpah enak banget tempatnya buat belajar. Pada mau bahas materinya dokter Idris nih."Mata Agatha berbinar, kepalanya mengangguk cepat. Namun sedetik kemudian ia teringat sesuatu, membuat sorot binar mata yang tadinya cerah langsung meredup. "Tapi bentar dulu, aku izin Om aku dulu, ya?"Jawaban Agatha kontan membuat Pinka membelalak, ia menatap Agatha dengan tatapan aneh. "Emang om kamu strict banget, ya? Kita cuma mau nongki sambil bahas materi blok, bukan mau dugem, Tha!" Pinka tidak mengerti, segalak itukah om dari Agatha ini. "Iya aku tahu, cuma tetep harus izin dia dulu. Ntar deh ya, aku tel--.""Gaes, kelas bu Eliana kosong, ya. Diganti minggu depan double jam nanti." Suara Gina memotont kalimat Agatha, semua orang yang ada di kelas langsung menatap sosok berhijab dan berkaca mata itu. "Eh serius? Bisa langsung bal
"Eh lainnya kemana?"Agatha terheran-heran, mereka sudah sampai di Cozy Place seperti yang tadi dikatakan Pinka, namun baik Pinka maupun teman yang lain entah di mana keberadaannya. "Iya nih. Bentar deh aku telpon mereka coba!" Andaru bergegas merogoh saku, mereka berdiri tak jauh dari pintu masuk resto kenamaan itu. Agatha memperhatikan sekeliling, suasana resto ini memang asik. Nyaman dan tidak begitu bising. Kenapa dia baru tahu ada resto macam ini? Agatha terus memperhatikan sekelilingnya, ia berusaha mengabaikan perasaan tidak tenang yang sejak tadi menganggu hatinya. Apa karena dia pergi tanpa berpamitan pada Kelvin? Jadi Agatha tidak bisa tenang meskipun di tempat seasik ini? "Kalian pada di mana? Aku sama Agatha udah di lokasi nih!" Terdengar Andaru tengah mengobrol melalui sambungan telepon, Agatha hanya menoleh sekilas, ia kembali sibuk mencari cara untuk melenyapkan perasaan tak tenang ini dari hatinya."Loh gimana sih? Ini jadinya gimana?" Nampak suara itu berubah gus
"Om aku bis--.""Apa? Mau bilang apa?" Potong Kelvin kesal, mereka sudah duduk di mobil sekarang. "Om salah paham. Kejadiannya tuh ngga--.""Salah paham kamu bilang?" Kembali Kelvin memotong. "Saya sudah bilang sejak dulu sekali soal ini, Tha! Bahwa sebelum kita resmi pisah, kamu nggak boleh ada hubungan apapun sama lelaki manapun!""Tapi aku nggak pacaran sama dia, Om! Kita tadi cum--.""Cuma apa? Sejak kapan tiap jam kosong kamu kelayapan entah kemana begitu? Sama cowok itu tadi, iya?"Agatha mendesah panjang, Kelvin nampak sangat marah. Ekspresi wajah dan dari bagaimana Kelvin selalu memotong kalimatnya benar-benar menunjukkan kemarahannya. "Baru tadi, Om. Biasanya nggak pernah!" Suara Agatha bergetar, kenapa dia tidak bisa balas marah seperti biasa? "Nggak mungkin!" Tukas Kelvin ketus. Agatha menghela napas panjang, ia melirik Kelvin yang mukanya merah padam. Rencananya begitu mereka masuk mobil, Agatha ingin mengomel perihal cara Kelvin yang sudah mempermalukan dirinya tadi,
Lima tahun kemudian .... "Ziel, ayolah Sayang, kita harus berangkat sekarang!" Namira berteriak, ia memulas lisptick dengan terburu lalu meraih tas dan kunci mobil yang tergeletak di atas meja. Dengan tergesa-gesa ia melangkah keluar kamar, hendak berbelok ke kamar Ziel ketika bocah itu sudah lebih dulu muncul dengan seragam biru-putih dan dasi kupu-kupu. "Siap hari pertama sekolah?" Tanya Namira dengan bersemangat. "Siap dong, Ma! Berangkat sekarang, kan?" Senyum Ziel merekah, senyum yang merupakan warisan dari Dimas ada di wajah itu. Namira mengangguk pelan, ia meraih tangan Ziel dan melangkah bersama keluar dari rumah. Nampak wajah mereka berbinar cerah. Hari ini hari pertama Nazriel Dewangga Putra bersekolah. Tentu bocah lima tahun itu sangat excited sekali, terlebih sang mama sampai menukar shift jaga hanya demi mengantar dan menunggui Ziel di hari pertamanya sekolah. "Nanti pulangnya makan steak ya, Ma?" Ocehnya sambil naik ke atas mobil. "Boleh, yang deket tempat kerja p
Namira melangkah keluar kamar, ia hendak ke kamar mandi ketika lamat-lamat bayangan tubuh itu mencuri atensinya. Langkah Namira terhenti, ia menoleh dan mendapati di teras rumah, Dimas, lelaki yang kini berstatus suaminya itu, tengah menjemur cucian di sana. Alis Namira berkerut, bukankah Dimas baru pulang jaga? Namira pikir dia tengah membersihkan diri dan makan di meja makan, rupanya ... Namira melangkah mendekat, ia baru saja hendak memanggil Dimas ketika suaminya itu lantas menoleh lebih dulu. "Loh, kamu bangun? Ziel bobok?" Tanya Dimas sambil tetap melanjutkan pekerjaannya. "Mau pipis tadi. Aku pikir kamu mandi apa makan gitu. Kenapa malah jadi nyuci?" Tanya Namira lalu membungkuk dan hendak membantu sang suami menjemuri pakaian-pakaian bayi itu. "Et!" Dimas mencekal tangan Namira. "Tadi mau pipis, kan? Sana pipis dulu! Nggak bagus nahan pipis."Namira tersenyum, ia urung membantu suaminya dan segera melangkah masuk kedalam rumah setelah mencubit gemas perut Dimas. Ia berge
"Kenapa ini?"Handira meletakkan pulpen di meja, ia segera menjawab panggilan yang Dimas layangkan padanya. "Kenapa, Dim? Ada masalah?"Handira hendak kembali serius dengan jurnal yang tengah dia baca ketika kemudian Dimas bersuara dengan nada yang cukup serius. "Saya berubah pikiran, Dok."DEG!Jantung Handira seperti hendak meloncat dari tempatnya. Ketakutan itu mendadak menyergap hati Handira dengan begitu kuat. Ada apa ini? Kenapa Dimas tiba-tiba berubah pikiran? "Berubah pikiran yang bagaimana?" Tanya Handira dengan nada panik. Jangan bilang kalau .... "Saya berubah pikiran, Dok. Saya mau izin sama Dokter bahwa saya mengundurkan diri dari misi ini. Kalaupun nanti menantu Dokter dan Namira berpisah, itu bukan karena saya membantu Dokter, tetapi karena saya benar ingin serius dengannya dan menarik dia dari belengu yang dibuat oleh menantu Dokter sendiri."Hening! Handira mengerjapkan matanya, ia tidak salah dengar, kan? Apa yang tadi Dimas katakan? Dia bilang bahwa .... "Ka-k
Handira tertegun, ia meletakkan ponsel di atas meja. Matanya memerah. Ingin dia meledakkan tantis saat ini juga. Namun tidak di tempat ini. Info yang masuk ke dalam ponsel dan emailnya adalah valid! Semua data dan infromasi yang dia terima juga bukan dari orang sembarangan. Handira harus segera bergerak, sebelum semuanya hancur berantakan! "Ya ampun, Gusti!" Handira mendesis perlahan. Segala macam rasa sedih, marah dan kecewa menyeruak dalam hatinya. Belum lagi perasaan bersalah itu ... Semua bergumul menjadi satu dan menghajar Handira dengan begitu luar biasa. Tidak! Ini bukan tentang penyakit mematikan yang dia derita! Tetapi ini tentang Agatha. Putri semata wayang yang begitu dia cintai. Bayangan senyum manis dan gelak tawa wajah itu terbayang di dalam pikiran Handira, hanya beberapa detik karena kemudian bayangan itu digantikan oleh bayangan wajah berurai air mata dengan tangis yang menyayat hati Handira. Handira menarik selembar tisu, ia menyeka air mata yang tak kuasa ia b
"Welcome home, Adel!"Kelvin membuka pintu kamar mereka lebar-lebar, mempersilahkan Agatha yang tengah menggedong Adel masuk terlebih dahulu ke dalam. Koper yang dibawa Handira sudah berpindah ke dalam ruang laundry, kini ia menyusul Agatha dan cucunya masuk ke dalam kamar. "Bobo sini, ya?" Dengan perlahan Agatha menurunkan Adel dari gendongan, membaringkan bayi menggemaskan itu ke dalam boknya. Sebuah bok yang Kelvin beli dan rakit sendiri beberapa minggu yang lalu. Saksi bahwa Kelvin sangat antusias sekali menyiapkan segala macam keperluan untuk menyambut gadis kecilnya yang cantik dan menggemaskan. "Lepas aja itu bedongnya, gerah siang-siang begini dibedong." Handira menatap Adel dari sisi kiri, nampak rona bahagia itu abadi di wajahnya. "Iya-iya, Ma. Ini Thata lepas." Agatha segera menuruti perintah mamanya, dengan lembut dan perlahan bedong itu dia lepas. Handira tersenyum, ia menarik kain bedong itu dan membawanya dipundak. Matanya belum mau lepas menatap wajah cantik dan
"Aduh-aduh si Gemoy!"Ruang inap Agatha jadi riuh. Sore hari, Dewi dan Ahmad benar-benar datang. Bahkan papa mertuanya itu masih sangat rapi karena pulang mengisi simposium langsung terbang demi melihat cucunya. "Adel, Ma. Namanya Adel!" Desis Kelvin merevisi, Kelvin sendiri sudah dengan setelan scrub, ia izin sebentar pada chief residennya untuk menemui Ahmad dan Dewi yang baru datang. "Biarin ih! Panggilan kesayangan kok." Balas Dewi tak mengindahkan. Kelvin mencebik, ia malah jadi macam kambing congek. Tidak ada yang peduli padanya. Semua perhatian tertuju pada Adel! Dia bintangnya sekarang. "Gimana, Tha? Ada keluhan?" Ahmad duduk di kursi yang ada di sebelah bed Agatha, Agatha sendiri duduk di tepi ranjang, tengah memperhatikan bagaimana para nenek itu sedang heboh menggendong cucunya. "Biasalah, Pa. Bekas jahitannya ini." Jawab Agatha sambil tersenyum getir, meskipun tidak sesakit kontraksi atau pas melahirkan, namun tetap saja rasa perih itu sangat menganggu dan membuatnya
"Kenapa?"Agatha menatap heran Kelvin yang duduk sambil terus tersenyum ke arahnya. Ia tengah menyusui Adel saat ini, membuat Agatha malah berpikiran yang tidak-tidak pada suaminya itu. "Mas, kenapa sih?" Kembali Agatha bertanya, setelah pertanyaannya tadi diabaikan oleh Kelvin. Ia masih duduk dengan senyum lebar di sisi Agatha. Kelvin tidak langsung menjawab, ia malah meraih tangan Agatha, meremas tangan itu dengan lembut lalu menciuminya berkali-kali. Setelah puas Kelvin kembali mengangkat wajahnya, kini ia menatap Agatha dengan mata memerah. "Kamu kenapa?" Sekali lagi Agatha bertanya, ia benar-benar heran, kenapa dengan suaminya ini? "Aku bahagia banget hari ini, Yang. Sumpah ini hari paling membahagiakan dalam seumur hidup aku!" Ucapnya kemudian dengan air mata menitik. Agatha tertegun sejenak, ia menatap Kelvin dengan saksama. Bulir-bulir air mata itu terlihat menetes dari pelupuk mata Kelvin, Agatha belum sempat bersuara, Kelvin kemudian lebih dulu menyambung kalimatnya. "
"I-ini ....." Agatha tercekat ketika bayi berselimut biru itu diletakkan Handira di dadanya. Air matanya menitik. Tangis Agatha pecah. Semua lelah dan rasa sakitnya mendadak sirna tak berbekas. Dengan tangan bergetar, Agatha perlahan-lahan menyentuh tangan kecil yang sudah memakai gelang identitas itu. Sangat lembut dan rapuh! Agatha meraung, ini benar anaknya? Yang selama ini hidup dan tumbuh dalam rahimnya? Agatha terisak, matanya terpejam sambil memeluk makhluk kecil dan lemah yang berada di atas dadanya. Ia terkejut ketika ada isak tangis lain dan kecupan yang bertubi-tubi mendarat di dahi dan pipinya. "Makasih banyak, Sayang!" Bisik Kelvin di sela-sela tangisnya. Agatha tidak merespon, ia tengah sibuk mengekspresikan perasaannya lewat isak tangisnya sendiri. Jadi begini rasanya menjadi seorang ibu? Sebahagia ini? Agatha mengelus lembut kepala kecil itu sampai kemudian Handira mendekat dan ikut mengelus tubuh kecil itu perlahan-lahan. "Yuk buka dulu bajunya, Tha. Si cantik
"Udah lima, Dok!"Kelvin menghela napas panjang. Mereka sudah sampai VK saat ini, Agatha sudah berbaring di atas bed dengan wajah pucat pasi. "Yaudah ditunggu dulu. Aman kok, nggak ada penyulit, hasil tes lab terakhir bagus semua. Yuk bisa yuk pervaginam." Dokter Nico yang seharusnya masih tidur di kamar bersama istrinya pun sudah stand by meskipun dengan wajah setengah mengantuk. "Mohon bantuannya ya, Dok!" Mohon Handira yang sama pucatnya dengan Agatha. "Oo, jangan khawatir, Dok. Sudah jadi tugas saya itu." Dokter Nico tersenyum, mengangguk pelan lalu menoleh ke arah Kelvin. "Vin saya ke ruang jaga dulu. Nanti langsung telpon aja ya ke saya, atau lewat perawat jaga juga boleh deh."Kelvin hanya mengangguk patuh. Ia sama sekali tidak menyingkir barang sedikitpun dari sisi Agatha. Begitu dokter Nico melangkah keluar, Kelvin menjatuhkan kecupan di puncak kepala istrinya cukup lama. Tangan Kelvin masih menggenggam dan meremas-remas lembut tangan Agatha sejak tadi. "Semangat, ya? A