"Eh lainnya kemana?"Agatha terheran-heran, mereka sudah sampai di Cozy Place seperti yang tadi dikatakan Pinka, namun baik Pinka maupun teman yang lain entah di mana keberadaannya. "Iya nih. Bentar deh aku telpon mereka coba!" Andaru bergegas merogoh saku, mereka berdiri tak jauh dari pintu masuk resto kenamaan itu. Agatha memperhatikan sekeliling, suasana resto ini memang asik. Nyaman dan tidak begitu bising. Kenapa dia baru tahu ada resto macam ini? Agatha terus memperhatikan sekelilingnya, ia berusaha mengabaikan perasaan tidak tenang yang sejak tadi menganggu hatinya. Apa karena dia pergi tanpa berpamitan pada Kelvin? Jadi Agatha tidak bisa tenang meskipun di tempat seasik ini? "Kalian pada di mana? Aku sama Agatha udah di lokasi nih!" Terdengar Andaru tengah mengobrol melalui sambungan telepon, Agatha hanya menoleh sekilas, ia kembali sibuk mencari cara untuk melenyapkan perasaan tak tenang ini dari hatinya."Loh gimana sih? Ini jadinya gimana?" Nampak suara itu berubah gus
"Om aku bis--.""Apa? Mau bilang apa?" Potong Kelvin kesal, mereka sudah duduk di mobil sekarang. "Om salah paham. Kejadiannya tuh ngga--.""Salah paham kamu bilang?" Kembali Kelvin memotong. "Saya sudah bilang sejak dulu sekali soal ini, Tha! Bahwa sebelum kita resmi pisah, kamu nggak boleh ada hubungan apapun sama lelaki manapun!""Tapi aku nggak pacaran sama dia, Om! Kita tadi cum--.""Cuma apa? Sejak kapan tiap jam kosong kamu kelayapan entah kemana begitu? Sama cowok itu tadi, iya?"Agatha mendesah panjang, Kelvin nampak sangat marah. Ekspresi wajah dan dari bagaimana Kelvin selalu memotong kalimatnya benar-benar menunjukkan kemarahannya. "Baru tadi, Om. Biasanya nggak pernah!" Suara Agatha bergetar, kenapa dia tidak bisa balas marah seperti biasa? "Nggak mungkin!" Tukas Kelvin ketus. Agatha menghela napas panjang, ia melirik Kelvin yang mukanya merah padam. Rencananya begitu mereka masuk mobil, Agatha ingin mengomel perihal cara Kelvin yang sudah mempermalukan dirinya tadi,
"ADUHH!!"Kelvin segera berlari begitu mendegar suara gaduh itu. Matanya membelalak ketika mendapati pisau itu tergeletak di lantai dan darah mengucur dari jari Agatha. "Tha, kamu kenapa?"Kelvin panik, ia segera meletakkan paperbag yang dia bawa ke atas meja, meraih tangan Agatha dan membawanya duduk di kursi. "Tunggu sebentar!" Kelvin segera meraih kotak P3K yang ada tak jauh dari meja makan, segera memberikan pertolongan pada jemari Agatha yang berdarah-darah itu. "Awww ... pelan-pelan, Om! Sakit!" Desis Agatha sambil mengernyit. "Ini tadi kamu ngapain?" Kelvin sesekali menatap wajah Agatha yang memucat, darah dari jemari Agatha luar biasa banyak. "Mau masak, Om. Itu motong sosis cuma karena keras masih beku, pisaunya kena jari." Jawab Agatha lirih. Kelvin menyeka darah yang keluar, berusaha menghentikan keluarnya darah. Setelah berhasil, ia nampak terkejut dan menatap Agatha dengan saksama. "Ke IGD aja ya? Perlu dijahit ini, lebar sama dalam banget luka kamu." Ajak Kelvin y
"Ya nggak bisa gitu dong, Ma!" Agatha mencebik, rupanya yang tadi menelepon adalah Handira. Kelvin tidak berani bertanya banyak. Terdengar jelas sejak tadi mereka berdua sudah berseteru. Ia sibuk membereskan instrumen yang tadi dia gunakan untuk menjahit luka Agatha, mengepel darah Agatha yang tercecer dan kini, urusan memasak sudah Kelvin yang ambil alih. "Mama curang ih!" Suara itu sudah menyimpan tangis tertahan, Kelvin menoleh, benar saja! Mata Agatha sudah kembali memerah. Apakah itu akibat perpaduan rasa sakit bekas jahitan yang mulai terasa dengan topik yang sedang Agatha bicarakan dengan mamanya, Kelvin sendiri tidak tahu pasti. "Mana bisa begitu, sih? Yang bener aja, Ma!" Kembali Agatha memprotes, Kelvin sebenarnya penasaran namun ia tidak bisa mengabaikan potongan ayam yang sudah ia rendam dalam minyak panas itu. "Ya terserah mama!"Kelvin kembali menoleh, Agatha sudah meletakan ponsel di atas meja. Jemarinya yang tak terbungkus kasa dia gunakan untuk menyeka air mata.
"Ya tapi nggak gitu juga, Om. Mama bohong dong berarti?"Agatha tidak setuju. Ini bukan soal mobil, ini soal perjanjian yang Handira sendiri sudah setuju sejak awal. Kalau begini, sama saja Agatha rugi berkali-kali dong? "Lha terus mau gimana?" Kelvin bersandar di kusen pintu kamar Agatha, ia nampak sabar mendengarkan curhatan Agatha. "Ya aku tetep mau mobil aku dong. Itu hak aku! Udah dibela-belain nurutin mama nikah juga!" Gerutu Agatha masih tidak terima.Kelvin tersenyum, ia masih menyimak dengan serius. "Kalo itu sih aku nggak mau ikut campur. Kan urusan kamu sama mama, Cil. Cuma kalo pengen kemana-mana, mulai aku aktif PPDS bawa aja mobilnya, Cil. Tapi nanti anter-jemput aku, ya?"Agatha menoleh, ia menatap Kelvin yang masih pada tempatnya. Lelaki itu tersenyum dengannya kedua alis dia angkat naik. Mau tak mau Agatha terkekeh, dia menimpuk Kelvin yang memasang wajah meyebalkan itu. "Kenapa jadi kamu yang manja sih, Om?" Protes Agatha yang tangannya masih menimpuk Kelvin deng
"Yah, ini seriusan kamarnya cuma satu, Om?"Agatha tertegun setelah tahu di bangunan villa itu hanya ada satu kamar saja. Kelvin menoleh, ia meletakkan tas dan segala macam barang bawaannya di atas meja. "Emang kenapa? Kayak kita nggak pernah tidur sekamar aja!" Jawab Kelvin enteng lalu melangkah menuju dapur. Villa ini memang hanya punya satu kamar, namun jangan ditanya fasilitas yang dia miliki, sangat lengkap plus privat pool yang ada di halaman belakang. Mendengar jawaban itu, Agatha mencebik, ia meletakkan tasnya di sofa lalu berkeliling melihat-lihat sudut demi sudut tempat yang akan dia gunakan untuk bermalam selama dua hari. "Ntar aku bisa tidur di sofa depan TV, jangan khawatir." Desis Kelvin ketika Agatha menyusulnya di dapur. "Setuju!" Sahut Agatha cepat, matanya tertuju pada kilau air kolam pribadi jatah mereka di halaman belakang. Buru-buru Agatha berlari membuka pintu kaca, melangkah keluar dan tersenyum lebar memandang kilau air yang seakan merayunya itu. "Cil, u
"Nah kan, Om ... Beneran ujan noh!"Di tengah-tengah momen makan malam mereka berdua, hujan turun rintik-rintik. Kelvin hanya menatap air kolam yang beriak efek rintik air hujan, ia lalu kembali serius membolak-balikan beef slice di pan. "Biarin lah hujan, toh kita nggak kehujanan. Apa salahnya?" Jawab Kelvin santai. Sesungguhnya, di balik sikap santai Kelvin ini, ia tengah menekan segala macam gejolak dalam hatinya. Ia tidak ingin Agatha tahu apa yang ada di pikiran Kelvin sekarang. Tapi bagaimana caranya? Dan apakah Agatha pun memiliki perasaan yang sama? Atau malah sebaliknya? Tapi kenapa kemarin .... "Ya kan setidaknya bener tebakan aku, Om!" Gerutu Agatha kesal. Kelvin menatap Agatha dengan tatapan nanar, ia lantas menghela napas panjang. "Cil, anak SD juga tahu kalo bakalan hujan, Cil! Mendung noh tadi!" Jawab Kelvin tanpa menoleh, ia mulai menyuapkan nasi dan daging kedalam mulut. "Ih ngeselin!" Gerutu Agatha dengan amat lirih, ia pun sama, kini tengah menikmati nasi pana
(WARNING : YANG MASIH PUASA SKIP DULU!) Agatha menggeliat, ia memekik kecil ketika merasakan rasa pedih menusuk pada organ vitalnya. Perlahan-lahan Agatha membuka mata, mendapati tubuhnya polos tanpa busana tergolek di atas tempat tidur sendirian. Melihat kamar yang sepi, Agatha kontan bangkit, menutupi dada dengan selimut dan celingak-celinguk mencari di mana Kelvin berada. Agatha hendak bangkit, namun ia mengurungkan niat ketika merasakan sakit itu begitu menusuk ketika ia hendak menggerakkan kaki. "Aduh!" Agatha mengernyit, ia lantas memilih untuk kembali merebahkan tubuhnya daripada turun dari tempat tidur. Samar-samar Agatha kembali mengingat apa saja yang sudah terjadi semalam. Di dalam kamar ini, di tengah-tengah hujan dan gemuruh petih di luar sana, Kelvin menyentuhnya dengan begitu lembut, jemarinya begitu lihai menyentuh titik demi titik sensitif Agatha, membuat Agatha terbakar dan hilang kendali olehnya. "Kenapa?" Pancing suara itu begitu sensual. Agatha mengigit bibi