"Kamu beneran nggak mau ikut, Ra?" Namira hanya menggeleng sambil menyunggingkan seulas senyum. Ada hal penting yang hendak ia tunggu dan lihat daripada film terbaru yang akan ditonton teman-temannya itu."Serius? Nggak suntuk dari kemaren jaga mulu?" Anin nampak tidak percaya, ia menatap Namira dengan saksama."Serius lah! Ntar kalo aku suntuk juga bakalan neror kalian kusuruh nemenin nonton!" balas Namira sambil tertawa kecil.Nampak teman-temannya saling pandang, mereka lalu menghela napas bersamaan."Okelah, kita mo cabut sekarang nih. Kamu hati-hati balik kostnya!"Kembali Namira hanya tersenyum, ia melambaikan tangan ketika teman-temannya menyeberang menuju halte yang ada di depan rumah sakit. Namira segera merogoh ponsel, ia harus memesan ojek online agar bisa segera sampai di kost.Piikiran Namira berkecamuk. Jujur ia sudah tidak sabar menunggu Kelvin muncul di depan muka Namira. Apa yang hendak lelaki itu katakan? Alasan kenapa dia tidak memberi Namira kabar sampai setengah
"Aahhh!"Kelvin benar-benar sudah terbakar. Ia merasakan benda itu mengeras! Ditatapnya Namira yang nampak payah karena serangannya barusan. Matanya berubah sayu dengan rona wajah memerah. "Bilang kalo kamu sayang aku, Ra!" Kelvin berbisik, sengaja tepat di telinga Namira. Ia ingin membakar gadis itu habis-habisan! Bukannya menjawab, tubuh Namira nampak bergetar, kulitnya meremang membuat Kelvin tersenyum dan kembali meraup bibir itu dengan buas. Tangannya tidak hanya menjelajah dada, kini tangan Kelvin sudah jauh melesat ke bawah, menyentuh bagian yang seharusnya tidak Kelvin sentuh untuk saat ini. Kelvin dengan tiba-tiba melepaskan pagutan. Sorot mata Kelvin nampak berkabut, dengan kasar Kelvin melepas benda yang membungkus tubuh gadisnya, membuatnya jatuh ke lantai dan memperlihatkan Kelvin pemandangan indah itu di depan mata. Namira seperti tersadar. Ia buru-buru menutupi dadanya dengan kedua tangan. Namun bukan Kelvin namanya kalau dia menyerah atau berhenti. Kembali Kelvin m
"Ra, lapsus mu ditunggu dokter Ida di ruangan beliau, ya! Suruh cepet anterin."Namira mengangguk cepat, ia segera bangkit dari kursi dan melangkah keluar ruangan. Di tangannya ada laporan yang diminta dokter Ida dan jangan lupa, di tangan itu pula melingkar gelang emas pemberian Kelvin. Gelang yang kelak akan Kelvin tukar dengan cincin sebagai bukti keseriusan Kelvin pada hubungan mereka. Lamat-lamat, momen di mana Kelvin melingkarkan gelang itu kembali terbayang dalam pikiran Namira. Kelvin tidak hanya melingkar gelang itu, tetapi membawanya jauh menembus dunia orang dewasa yang sesungguhnya. Yaa ... Namira masih ingat jelas kejadian itu. Bagaimana sakit dan nikmat itu berpadu menjadi satu. Momen di mana ia bisa melihat Kelvin polos bermandikan peluh tepat di atas tubuhnya. Senikmat itu bercinta ternyata. Sebuah aktivitas yang kini rutin mereka lakukan di sela-sela kepenatan sehari-hari. Meskipun sudah seintim itu, mereka tetap sepakat menyembunyikan kisah asmara mereka dari reka
"Yang, please tenang dulu, aku bisa jelasin!"Kelvin tidak peduli dengan pipinya yang terasa begitu panas efek tamparan Namira. Ia segera meraih tangan Namira, mencengkeram kuat tangan itu dan mencoba menenangkan Namira yang berusaha untuk menyerangnya. "Tenang kamu bilang?" Suara itu melirih, namun terdengar ketus dan penuh amarah. "Gimana aku bisa tenang kalo kenyataannya kayak gini? Pernah mikir gimana rasanya ada diposisi aku sekarang? Per--.""Dengerin dulu penjelasanku! Itu nggak seperti yang kamu pikir, Ra! Tolong tenang dan biarkan aku jelasin semuanya dari awal!" Kelvin sedikit meninggikan suaranya, bisa dia lihat Namira tertegun. Menatapnya dengan air mata berlinang. Tak perlu waktu lama, tangis Kelvin pecah. Ia terisak lalu berusaha meraih Namira dalam dekapannya. Namira tidak menolak, namun juga tidak menyambut pelukan itu. Ia hanya berdiri mematung sambil menahan isaknya agar tidak pecah. "Aku pengen cerita ini sama kamu, tapi aku bener-bener takut kalo kamu nanti nin
"Nggak boleh nolak?" Agatha membelalak, rasanya ingin ia tampol bestie-nya itu satu persatu.Membayangkan apa yang tengah dibahas oleh para sahabatnya membuat Agatha merinding. Bayangan-bayangan lekuk sensual dan adegan dewasa itu berkelebat dalam otaknya. Apakah nanti dia harus melakukan hal itu? Bersama om-om jutek macam Kelvin? "Iya pokoknya elu nggak boleh nolak! Mau dosa? Masuk neraka mau, lu?"Agatha mendecih. Kenapa jadi neraka dibawa-bawa?Kalau begini saja, mereka sok-sokan teringat neraka. Coba kalau mereka sedang kumpul sama-sama, segala macam anak baru sampai guru magang pun tak luput jadi bahan ghibah. "Bodo amat! Pokoknya gue nggak mau!" Ujar Agatha kekeuh. Menikah dengan Kelvin saja sudah cukup mengerikan baginya, ia masih harus menambahkan hal yang lebih mengerikan lagi setelah ini? No! No! No! Agatha tak sudi! "Jangan gitu lah, ntar suami lu jajan di luar kapok!" Ledek Gladys yang makin membuat Agatha membelalak. "Eh malah bisa buat alasan gue ajuin gugat cerai do
"Aku pamit ya?" Kelvin menatap Namira yang nampak berkaca-kaca, wajahnya sayu selain efek percintaan yang baru selesai mereka lakukan, juga karena berat melepas Kelvin pergi. Bukan apa-apa, wanita mana yang ikhlas melepas kekasihnya pergi menikah dengan wanita lain? Kelvin pamit pergi bukan karena pindah tugas, atau sekedar mudik, ia pamit untuk menikah dengan wanita lain! "Lancar buat nikahan kamu besok, Bang!" Desis Namira menahan tangis. Tak peduli Kelvin sudah tidur berkali-kali dengannya, yang dinikahi Kelvin bukan Namira. Yan setidaknya untuk saat ini. Bukankah Kelvin berjanji akan menikahi Namira kelak ketika lulus spesialis dan tentu saja setelah menceraikan istrinya? Kelvin terkekeh, "Aku nggak tau harus mengamini atau tidak, Yang. Gimana perasaan aku hari ini aja aku juga nggak tau gimana jelasinnya."Kelvin menatap Namira dalam-dalam, matanya ikut memerah. "Makasih banget udah mau ngertiin posisi aku ya, Yang. Makasih juga udah mau nungguin aku sampai masa itu kelar na
"Loh, apa-apaan ini, Ma?"Kelvin setengah berteriak, ia menatap lemas setelan jas berwarna baby pink yang hendak diserahkan kepadanya. Kelvin baru saja beres potong rambut sesuai perintah Kanjeng Ratu, dan sekarang dia harus fitting jas yang akan dikenakan saat resepsi besok. Dan jas itu .... "Apa-apaan gimana?" Dewi mulai terlihat murka kembali, ia menatap Kelvin dengan tatapan garang. "Ini!" Ujar Kelvin sambil menunjuk setelan jas itu. "Ini seriusan warnanya kayak begini?" Kelvin balas menatap sang mama, kenapa harus warna ini? "Loh gimana sih, Vin? Kata Agatha kamu udah oke sama warna ini? Temanya besok soft pink-white katanya. Kamu pakai ini, Agatha pakai dress putih."Astaga! Kelvin menipuk jidatnya dengan gemas. Ia segera merogoh saku celana. Lalu melangkah keluar dari butik. "Heh, mau kemana?" Teriak Dewi dengan kesabaran yang hampir habis. "Bentar, mau nelpon si bocil dulu!" Balas Kelvin tanpa menghentikan langkah. Ia sudah menyimpan nomor Agatha dari jauh-jauh hari, na
"Baru nelpon. Sibuk banget ya seharian?"Kelvin mendesah panjang, ia sudah berbaring di kamar setelah membersihkan diri. Rasanya badan Kelvin seperti digebuki orang-orang satu kampung. Bukan hanya badannya yang lelah, pikiran Kelvin juga dibuat lelah oleh segala macam kelakuan Agatha yang makin lama makin terlihat sangat menyebalkan. Jas warna pink ... Beskap lengkap dengan blankon ... Yang Kelvin heran, kenapa untuk akad tidak pakai jas saja? Kebaya dipadukan dengan setelan jas juga cocok. Kenapa dia harus pakai jarik juga? Salah memang Kelvin menyerahkan semua urusan pernikahan pada bocil satu itu! Jadinya dia yang dikerjai sekarang. "Iya Sayang. Maafin aku, ya? Kamu udah di kost? Udah ngantuk, ya?" Tanya Kelvin dengan penuh rasa bersalah. "Kalo cuma ngantuk, udah dari tadi. Tapi aku nungguin telepon dari kamu, Bang. Kupikir kamu tadi nggak bakalan nelpon." Desis suara itu lirih. Kelvin mengusap wajah dengan gusar. Matanya memanas. Kenapa dia harus tidak berdaya seperti ini? Ken
Lima tahun kemudian .... "Ziel, ayolah Sayang, kita harus berangkat sekarang!" Namira berteriak, ia memulas lisptick dengan terburu lalu meraih tas dan kunci mobil yang tergeletak di atas meja. Dengan tergesa-gesa ia melangkah keluar kamar, hendak berbelok ke kamar Ziel ketika bocah itu sudah lebih dulu muncul dengan seragam biru-putih dan dasi kupu-kupu. "Siap hari pertama sekolah?" Tanya Namira dengan bersemangat. "Siap dong, Ma! Berangkat sekarang, kan?" Senyum Ziel merekah, senyum yang merupakan warisan dari Dimas ada di wajah itu. Namira mengangguk pelan, ia meraih tangan Ziel dan melangkah bersama keluar dari rumah. Nampak wajah mereka berbinar cerah. Hari ini hari pertama Nazriel Dewangga Putra bersekolah. Tentu bocah lima tahun itu sangat excited sekali, terlebih sang mama sampai menukar shift jaga hanya demi mengantar dan menunggui Ziel di hari pertamanya sekolah. "Nanti pulangnya makan steak ya, Ma?" Ocehnya sambil naik ke atas mobil. "Boleh, yang deket tempat kerja p
Namira melangkah keluar kamar, ia hendak ke kamar mandi ketika lamat-lamat bayangan tubuh itu mencuri atensinya. Langkah Namira terhenti, ia menoleh dan mendapati di teras rumah, Dimas, lelaki yang kini berstatus suaminya itu, tengah menjemur cucian di sana. Alis Namira berkerut, bukankah Dimas baru pulang jaga? Namira pikir dia tengah membersihkan diri dan makan di meja makan, rupanya ... Namira melangkah mendekat, ia baru saja hendak memanggil Dimas ketika suaminya itu lantas menoleh lebih dulu. "Loh, kamu bangun? Ziel bobok?" Tanya Dimas sambil tetap melanjutkan pekerjaannya. "Mau pipis tadi. Aku pikir kamu mandi apa makan gitu. Kenapa malah jadi nyuci?" Tanya Namira lalu membungkuk dan hendak membantu sang suami menjemuri pakaian-pakaian bayi itu. "Et!" Dimas mencekal tangan Namira. "Tadi mau pipis, kan? Sana pipis dulu! Nggak bagus nahan pipis."Namira tersenyum, ia urung membantu suaminya dan segera melangkah masuk kedalam rumah setelah mencubit gemas perut Dimas. Ia berge
"Kenapa ini?"Handira meletakkan pulpen di meja, ia segera menjawab panggilan yang Dimas layangkan padanya. "Kenapa, Dim? Ada masalah?"Handira hendak kembali serius dengan jurnal yang tengah dia baca ketika kemudian Dimas bersuara dengan nada yang cukup serius. "Saya berubah pikiran, Dok."DEG!Jantung Handira seperti hendak meloncat dari tempatnya. Ketakutan itu mendadak menyergap hati Handira dengan begitu kuat. Ada apa ini? Kenapa Dimas tiba-tiba berubah pikiran? "Berubah pikiran yang bagaimana?" Tanya Handira dengan nada panik. Jangan bilang kalau .... "Saya berubah pikiran, Dok. Saya mau izin sama Dokter bahwa saya mengundurkan diri dari misi ini. Kalaupun nanti menantu Dokter dan Namira berpisah, itu bukan karena saya membantu Dokter, tetapi karena saya benar ingin serius dengannya dan menarik dia dari belengu yang dibuat oleh menantu Dokter sendiri."Hening! Handira mengerjapkan matanya, ia tidak salah dengar, kan? Apa yang tadi Dimas katakan? Dia bilang bahwa .... "Ka-k
Handira tertegun, ia meletakkan ponsel di atas meja. Matanya memerah. Ingin dia meledakkan tantis saat ini juga. Namun tidak di tempat ini. Info yang masuk ke dalam ponsel dan emailnya adalah valid! Semua data dan infromasi yang dia terima juga bukan dari orang sembarangan. Handira harus segera bergerak, sebelum semuanya hancur berantakan! "Ya ampun, Gusti!" Handira mendesis perlahan. Segala macam rasa sedih, marah dan kecewa menyeruak dalam hatinya. Belum lagi perasaan bersalah itu ... Semua bergumul menjadi satu dan menghajar Handira dengan begitu luar biasa. Tidak! Ini bukan tentang penyakit mematikan yang dia derita! Tetapi ini tentang Agatha. Putri semata wayang yang begitu dia cintai. Bayangan senyum manis dan gelak tawa wajah itu terbayang di dalam pikiran Handira, hanya beberapa detik karena kemudian bayangan itu digantikan oleh bayangan wajah berurai air mata dengan tangis yang menyayat hati Handira. Handira menarik selembar tisu, ia menyeka air mata yang tak kuasa ia b
"Welcome home, Adel!"Kelvin membuka pintu kamar mereka lebar-lebar, mempersilahkan Agatha yang tengah menggedong Adel masuk terlebih dahulu ke dalam. Koper yang dibawa Handira sudah berpindah ke dalam ruang laundry, kini ia menyusul Agatha dan cucunya masuk ke dalam kamar. "Bobo sini, ya?" Dengan perlahan Agatha menurunkan Adel dari gendongan, membaringkan bayi menggemaskan itu ke dalam boknya. Sebuah bok yang Kelvin beli dan rakit sendiri beberapa minggu yang lalu. Saksi bahwa Kelvin sangat antusias sekali menyiapkan segala macam keperluan untuk menyambut gadis kecilnya yang cantik dan menggemaskan. "Lepas aja itu bedongnya, gerah siang-siang begini dibedong." Handira menatap Adel dari sisi kiri, nampak rona bahagia itu abadi di wajahnya. "Iya-iya, Ma. Ini Thata lepas." Agatha segera menuruti perintah mamanya, dengan lembut dan perlahan bedong itu dia lepas. Handira tersenyum, ia menarik kain bedong itu dan membawanya dipundak. Matanya belum mau lepas menatap wajah cantik dan
"Aduh-aduh si Gemoy!"Ruang inap Agatha jadi riuh. Sore hari, Dewi dan Ahmad benar-benar datang. Bahkan papa mertuanya itu masih sangat rapi karena pulang mengisi simposium langsung terbang demi melihat cucunya. "Adel, Ma. Namanya Adel!" Desis Kelvin merevisi, Kelvin sendiri sudah dengan setelan scrub, ia izin sebentar pada chief residennya untuk menemui Ahmad dan Dewi yang baru datang. "Biarin ih! Panggilan kesayangan kok." Balas Dewi tak mengindahkan. Kelvin mencebik, ia malah jadi macam kambing congek. Tidak ada yang peduli padanya. Semua perhatian tertuju pada Adel! Dia bintangnya sekarang. "Gimana, Tha? Ada keluhan?" Ahmad duduk di kursi yang ada di sebelah bed Agatha, Agatha sendiri duduk di tepi ranjang, tengah memperhatikan bagaimana para nenek itu sedang heboh menggendong cucunya. "Biasalah, Pa. Bekas jahitannya ini." Jawab Agatha sambil tersenyum getir, meskipun tidak sesakit kontraksi atau pas melahirkan, namun tetap saja rasa perih itu sangat menganggu dan membuatnya
"Kenapa?"Agatha menatap heran Kelvin yang duduk sambil terus tersenyum ke arahnya. Ia tengah menyusui Adel saat ini, membuat Agatha malah berpikiran yang tidak-tidak pada suaminya itu. "Mas, kenapa sih?" Kembali Agatha bertanya, setelah pertanyaannya tadi diabaikan oleh Kelvin. Ia masih duduk dengan senyum lebar di sisi Agatha. Kelvin tidak langsung menjawab, ia malah meraih tangan Agatha, meremas tangan itu dengan lembut lalu menciuminya berkali-kali. Setelah puas Kelvin kembali mengangkat wajahnya, kini ia menatap Agatha dengan mata memerah. "Kamu kenapa?" Sekali lagi Agatha bertanya, ia benar-benar heran, kenapa dengan suaminya ini? "Aku bahagia banget hari ini, Yang. Sumpah ini hari paling membahagiakan dalam seumur hidup aku!" Ucapnya kemudian dengan air mata menitik. Agatha tertegun sejenak, ia menatap Kelvin dengan saksama. Bulir-bulir air mata itu terlihat menetes dari pelupuk mata Kelvin, Agatha belum sempat bersuara, Kelvin kemudian lebih dulu menyambung kalimatnya. "
"I-ini ....." Agatha tercekat ketika bayi berselimut biru itu diletakkan Handira di dadanya. Air matanya menitik. Tangis Agatha pecah. Semua lelah dan rasa sakitnya mendadak sirna tak berbekas. Dengan tangan bergetar, Agatha perlahan-lahan menyentuh tangan kecil yang sudah memakai gelang identitas itu. Sangat lembut dan rapuh! Agatha meraung, ini benar anaknya? Yang selama ini hidup dan tumbuh dalam rahimnya? Agatha terisak, matanya terpejam sambil memeluk makhluk kecil dan lemah yang berada di atas dadanya. Ia terkejut ketika ada isak tangis lain dan kecupan yang bertubi-tubi mendarat di dahi dan pipinya. "Makasih banyak, Sayang!" Bisik Kelvin di sela-sela tangisnya. Agatha tidak merespon, ia tengah sibuk mengekspresikan perasaannya lewat isak tangisnya sendiri. Jadi begini rasanya menjadi seorang ibu? Sebahagia ini? Agatha mengelus lembut kepala kecil itu sampai kemudian Handira mendekat dan ikut mengelus tubuh kecil itu perlahan-lahan. "Yuk buka dulu bajunya, Tha. Si cantik
"Udah lima, Dok!"Kelvin menghela napas panjang. Mereka sudah sampai VK saat ini, Agatha sudah berbaring di atas bed dengan wajah pucat pasi. "Yaudah ditunggu dulu. Aman kok, nggak ada penyulit, hasil tes lab terakhir bagus semua. Yuk bisa yuk pervaginam." Dokter Nico yang seharusnya masih tidur di kamar bersama istrinya pun sudah stand by meskipun dengan wajah setengah mengantuk. "Mohon bantuannya ya, Dok!" Mohon Handira yang sama pucatnya dengan Agatha. "Oo, jangan khawatir, Dok. Sudah jadi tugas saya itu." Dokter Nico tersenyum, mengangguk pelan lalu menoleh ke arah Kelvin. "Vin saya ke ruang jaga dulu. Nanti langsung telpon aja ya ke saya, atau lewat perawat jaga juga boleh deh."Kelvin hanya mengangguk patuh. Ia sama sekali tidak menyingkir barang sedikitpun dari sisi Agatha. Begitu dokter Nico melangkah keluar, Kelvin menjatuhkan kecupan di puncak kepala istrinya cukup lama. Tangan Kelvin masih menggenggam dan meremas-remas lembut tangan Agatha sejak tadi. "Semangat, ya? A