Persetujuan Ken untuk memindahkan Naira ke apartemennya langsung memicu rentetan telepon bernada tinggi dari Jasmine dan Cath. Mereka tak habis pikir, bagaimana bisa Ken, yang selama ini keras kepala, tiba-tiba menuruti permintaan wanita itu. Terpisah ruang dan waktu, rencana mereka untuk mengawasi gerak-gerik Naira terasa semakin sulit. Kekhawatiran mereka disadari saat Naira menghilang, Ken beberapa kali menelepon orang rumah, bahkan para pelayan ditanyai untuk memastikan keberadaannya. Dan setelah itu, sudah tiga malam berturut-turut kamar Ken gelap gulita saat Cath terbangun tengah malam untuk minum. Biasanya, ia selalu melihat celah cahaya dari bawah pintu kamar kakaknya, tanda bahwa Ken masih terjaga dengan pekerjaannya. Ketidakhadiran Naira seolah menarik Ken dari rutinitasnya yang kaku.
Cath mencurigai jika Naira sudah melakukan hal licik lainnya yang membuat kakaknya tidak memiliki sikap yang tegas. Entah kejadian apa yang membuat Ken akhirnya manut denTenggorokan Naira tercekat, "Toloong ... Tolooong ..." teriak Naira panik memecah keheningan pagi dari arah dapur. Jantungnya berdebar kencang, rasa takut menjalari setiap inci tubuhnya. Ken yang sedang memakai kancing kemejanya, hendak bersiap pergi ke kantor, sontak keluar kamar menemui arah suara Naira yang minta tolong. Tampak asap mengepul di ruangan dapur dan api yang tertutup lap basah masih menjilat-jilat, ganas menyembur ke arah minyak di wajan. Aroma hangit menusuk bercampur bau gosong. Tanpa pikir panjang, Ken bergerak cepat. Dengan sigap, tangannya meraih kenop kompor dan memutarnya hingga mati. Kemudian ia menyambar lap bersih lain, di basahkannya di bawah keran air, lalu melemparkannya dengan tepat ke arah api yang merambat. Beberapa detik berlalu, perlahan api itu menyerah, padam menyisakan jejak jelaga dan bau asap yang menyengat. Ken menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya menoleh ke arah Naira. Gadis itu masih berdiri membatu di ambang pintu
"Mari kita langsung saja adakan rapat bersama, mengingat percakapan terakhir kita di telepon, dan beberapa surel yang dikirimkan asisten Anda, itu cukup membantu komunikasi kita selama ini berjalan cukup baik." Kendrick mulai melakukan percakapan dengan nada datar namun tegas, matanya menatap lurus ke arah pria di hadapannya "Wah ... sungguh Pak Ken seorang pria ambisius dari ayah veteran, hahaha ..." Pria itu menyambut perkataan Kendrick dengan tawa berderai, matanya menyipit jenaka di balik garis-garis halus di sudutnya. "Anda memang pria yang tak suka basa basi. Padahal, ini pertama kalinya kita bertemu secara resmi. Bagaimana kalau kita minum dulu, tuan? saya sudah lama tak minum setelah berada di negara yang melarang peredaran minuman keras. Ini membuat saya jadi rindu, hahaha," lanjutnya, sambil mengangkat gelas kecilnya. Sorot matanya penuh harap namun menyimpan sebuah makna tersembunyi. Ken ikut tergelak, seulas senyum tipis namun profesional menghiasi wajahnya begitu pria
"Hey, lihat siapa yang datang?!" "Waaahhh .... cantiknya ..." gumam pria muda menahan dagunya yang hampir terlepas begitu melihat sosok pendatang baru di kantor Ken. Semua mata tertuju pada sosok cantik idaman baru para pria di sana. "Halo, perkenalkan, nama saya Naira William. Saya di sini sebagai staff baru yang akan bergabung dengan tim di sini. Semoga kita bisa saling bekerja sama. Terima kasih," ucap Naira, tersenyum sopan memperkenalkan diri di hadapan beberapa staf bagian humas. Di ruangan itu terdapat tujuh pria dan enam wanita yang bekerja di mejanya masing-masing. Mereka memperhatikan penampilan Naira dari ujung kaki sampai kepala, dengan pakaiannya yang begitu modis, cukup membuat beberapa orang di sana takjub. Mereka juga tak menyangka jika di tim itu, ada sosok baru yang cukup menyegarkan mata ketika kantuk melanda. "Oke, silahkan duduk cantiiikkk ... kursi istimewa ini untukmu," ucap pria berdasi warna-warni menawarkan posisi meja yang kosong. Naira yang melihat a
Malam semakin larut, jam tangan Naira menunjukkan pukul sepuluh, setelah pekerjaannya selesai merevisi semua dokumen yang diberikan oleh Dominique, Naira bergegas pulang dengan langkah gontai menaiki sebuah taksi menuju apartemen Ken. "Kau darimana saja?" tanya Ken dengan nada suara dingin, begitu Naira tiba di apartemen. Ia menatap Naira yang terduduk di meja dapur, sedang meneguk air dingin. Rasa lelahnya bekerja di hari pertama membuatnya sedikit enggan berbicara. Namun, sosok di hadapannya tengah menatapnya serius seperti seorang ayah bertanya pada anak gadisnya. "Saya lelah bekerja, bisakah kau tak bertanya lagi 'saya darimana saja'?" pinta Naira, malas menjawab. Dengan Mata Naira yang layu, tak bertenaga, seperti lebih terasa dingin dari pertanyaan Ken. Dirinya bangkit menuju kamarnya, tanpa mengindahkan Ken yang masih duduk mematung menunggunya khawatir dari jam tujuh malam. 'Kenapa, dia?' batin Ken kebingungan, mengamati gelagat Naira yang berbeda. Tak semestinya Naira me
Hari itu, suasana kantor cukup tenang, sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tumpukan berkas di tiap meja para staf, cukup mencuri waktu mereka untuk tak terdengar desas desus suara orang bergosip. Karena bulan itu, perusahaan Ken akan mulai merencanakan pameran besar-besaran untuk membuat kampanye lingkungan. Jeff, staf yang duduk bersebelahan dengan meja Naira, mulai mengirimkan kode-kode mengetuk meja, untuk memancing Naira yang tampak serius menyelesaikan sisa berkas tempo hari. Sementara dari arah ruangan yang terhalang kaca transparan, mata tajam sedang memantau keduanya. Tiba-tiba telepon di mejanya berdering, dengan cepat segera mengangkatnya. "Halo, dengan Dominique, ada yang bisa saya bantu?" "Tolong, kamu panggil karyawan barumu untuk menghadap ke ruangan saya sekarang." Suara dari ujung telepon, dengan nada yang terdengar datar. Mata Dominique langsung membulat, begitu tahu suara yang sedang meneleponnya. "Ba-baik, Pak! Tapi ... apakah sesuatu ini mendesak? Mengingat
Tanpa permisi, Andrew tiba-tiba muncul dari balik pintu. di susul Keisya dari belakang tubuhnya. Namun, sebelum Keisya ikut masuk, Andrew segera keluar dan menarik tangan Keisya untuk menjauh dan meminta kembali ke meja kerjanya. Keisya yang kebingungan, mempertanyakan dalam kebisuan kenapa dirinya tak boleh masuk ke ruangan bosnya. "Um ... kau mau mengirimkan berkas ini, kan?" tanya Andrew, tersenyum merebut map di tangan Keisya yang mengkerutkan kening. Ia hanya mengangguk cepat, tanpa berpikir lagi. "Oke, biar saya saja. Kebetulan ...ada rahasia antara saya dan Pak Ken, yang tak cocok untuk kamu dengar." bisiknya mengerlingkan satu matanya ke arah Keisya. "Ta-tapi, Tuan! Tu-tunggu!" Sergah Keisya menghentikan langkah Andrew. "No, no, no! Kau tunggu saja di meja kerjamu. Nanti berkasmu kau ambil sendiri setelah urusanku selesai. ya?" pinta Andrew merayu kembali agar Keisya tak perlu mengikutinya masuk ke ruangan Ken. Akhirnya, Keisya pun pasrah dan membiarkan Andrew masuk. Se
"Ehm." Ken berdehem di balik pintu setelah kepergian Andrew yang dipaksa keluar dari ruang kerja Ken. Langkahnya perlahan mendekat, berdiri di samping Naira yang terduduk membuang wajah ke arah lain. Ada banyak kalimat yang ingin Ken jelaskan pada Naira, namun, suaranya tiba-tiba tercekat. "Maaf," katanya. Hanya satu kata yang lolos dari bibirnya. Suasana di ruangan itu sejenak hening. Tak berselang lama dalam keheningan, tiba-tiba suara ponsel Ken berdering memunculkan nama kontak di layar, "Mama", mata Ken membesar, Jasmine meneleponnya saat itu. Tanpa berpikir panjang, Ken pun mengangkatnya, "Halo? Iya, Mam." "Mama dan Cath sebentar lagi menuju ruanganmu. Apakah kau sedang di kantor?" tanya Jasmine di ujung sambungan telepon. "A-apa?! Mama di kantorku?" tanya Ken terkejut, raut wajahnya yang baru saja sedikit tenang, kembali panik begitu tahu mama dan adiknya sebentar lagi masuk ruangannya. Otaknya segera menyadari ke
"Itu apa, Kak?" tanya Cath terkejut mendengar suara dari arah ruang ganti Ken. Ken yang sadar kehadiran Naira di dalam sana, lebih terkejut lagi dan panik. 'Aduh, jangan sampai ketahuan!' batin Ken berharap. Cath dan Jasmine yang langsung penasaran, segera melangkah cepat ke arah suara seperti benda terjatuh itu. Namun dengan langkah lebar Ken, langsung menghadang keduanya di depan pintu ruang ganti. Napasnya sedikit tercekat "Tu-tunggu! Mama dan Cath sebaiknya langsung pulang saja." "Lho, kenapa? Mama ingin tahu, di dalam ada apa. Jangan-jangan ada orang aneh yang menyelusup ke ruang kantormu." ucap Jasmine dengan ekspresi khawatirnya. "Oh, bu-bukan apa-apa, Mam! Ta-tadi itu ...sepertinya suara sepatu Ken yang terjatuh dari lemari." Ken berusaha menjelaskan. "Kakak kenapa gugup?" Cath mulai curiga mengamati gelagat Ken yang hari ini ia temui banyak keanehan. "Jangan-jangan benar lagi kata Mama, ada
Siang itu, Ken baru saja pulang dari tempat kuliahnya. Ia berjalan melewati lorong rumahnya untuk menuju ruang kerja khusus papanya yang berada di paviliun. Ia ingin tunjukkan piagam penghargaan dari universitasnya karena sudah memenangkan kompetisi bisnis internasional. Hari yang cerah itu diiringi suasana hati Ken yang bahagia dengan pencapaian yang baru saja di terimanya. Senyum merekah terpatri sepanjang jalannya. Namun langkahnya terhenti ketika ia tidak sengaja menubruk salah satu pria seumuran papanya, menjatuhkan beberapa lembar kertas yang membuat mata Ken sejenak terpaku, kertas bertuliskan 'Surat Perjanjian Hak Milik Perusahaan' dengan di sebelahnya, kertas bertuliskan 'Surat Perjanjian Adopsi Sementara', ia pandang selama beberapa detik sebelum pria itu terburu-buru mengaisnya dan merapikannya. Wilson, papanya yang sedang duduk bersama satu pria berambut pirang, ikut terkejut mengetahui keberadaan Ken yang berdiri di pintu paviliun. Situasi sejenak hening dan terasa cangg
Ken mengerjapkan matanya, begitu suara ponsel berdering membangunkannya. Dalam pandangan samar, tangannya meraihnya di atas nakas. Ia mengucek matanya menatap sebuah panggilan masuk dari mamanya. Dengan suara yang masih parau, ia mengangkatnya, "halo, Mam, ada apa?" "Ken, apa kau sedang bersama Naira?" tanya Jasmine sedikit merendahkan suaranya. Ken melirik sekilas di sebelahnya, sosok Naira sudah tak ada. Terdengar suara air mengalir di kamar mandi. "Ah, dia, dia sedang di kamarnya, Mam," "Baguslah! Kau tahu tidak jika Laura kemarin ke apartemenmu?" Jasmine langsung ke inti pembicaraan. Sejenak Ken terdiam sedang mengingat kejadian kemarin. Apakah mamanya yang membuat Laura pergi dari penthousnya? Karena akhirnya menanyakan kembali padanya. "Aku tidak mengundangnya, Mam," jawab Ken dengan nada yang malas. "Aish! Kau ini bagaimana?! Diundang atau tidak, tapi dia itu pacarmu, Saya
Sandi pintu apartemen berbunyi beberapa kali. Namun tak juga terbuka. Ken dan Naira yang tampak melihat dari layar kamera pintu, hanya saling bertukar pandang. Dari layar kamera pintu, sosok asing berbalut gaun biru muda menyapa Naira untuk pertama kalinya. Kulit putih bersih dan kacamata hitam yang bertengger di rambutnya memberikan kesan anggun. Ia membawa satu koper hitam, dan kacamata hitam yang menyelip di atas rambutnya. Ponsel Ken sekali lagi berdering, Laura dalam video menghubunginya kembali. Ekspresi khawatir dan bingung tampak terlihat saat Ken menatap mata Naira. "Nai, ini tidak seperti yang kamu pikirkan," bisiknya, meraih jari tangan Naira. Dahi Naira berkerut dan melirik sebentar jemarinya yang terangkat, dan kembali memandang Ken di hadapannya. "Nai, kami sudah berpisah sejak beberapa hari sebelum kita bertemu untuk pertama kalinya. Kami juga sudah tak saling menghubungi. Dan, baru akhir-akhir ini dia mulai menghubungiku," tutur Ken menjelaskan. Kedua alisnya hampi
Ken, tanpa mempedulikan rontaan Naira, menyeretnya paksa memasuki penthaus. Ia membantingkan Naira ke atas ranjang. Dengan kasar, Ia melempar jas dan dasi ke sembarang tempat di lantai, lalu melangkah lebar ke arah Naira yang sedang ketakutan. Naira berusaha keras menghalangi Ken mendekapnya. "Tuan, lepaskan! Hey, lepaskan!" serunya dengan nada yang sedikit meninggi. Napasnya tercekat mendapat tekanan tubuh Ken yang menghimpitnya. Deru napas Ken dan hawa panas yang tercipta dari tubuh Ken menerpa wajah Naira. "Tuan, ada apa denganmu?! Kenapa kau bersikap kasar seperti ini?!" tanya Naira kebingungan dengan sikap Ken yang berubah drastis. Sejak di paksa masuk ke mobil sepulang dari pameran hingga tiba di apartemennya, benaknya dipenuhi tanda tanya besar. Dengan sekuat tenaga, ia melawan, menyikut perut Ken dengan keras hingga membuatnya refleks mengaduh dan melepaskan dekapannya. "Nai ...kenapa kau lakukan ini?" gumamnya, kesakitan sambil memegangi perutnya yang b
"Pak Kendrick, Anda pikir semudah itu membatalkan perjanjian kita?!" sembur Antony, urat lehernya menegang. Pengkhianatan Ken terasa seperti tikaman yang menghunus jantungnya. Mata Ken hanya berkedip sekali, tatapannya dingin tanpa riak sedikit pun, seolah amarah Antony hanyalah debu yang beterbangan. Ia mengembuskan napas perlahan, sebuah jeda sebelum kata-kata terakhirnya menghantam meja pertemuan. "Tuan Antony..." suaranya rendah namun sarat makna, "...Anda pikir saya sebodoh putri William yang Anda perdaya?" Sudut bibir Ken tertarik sinis. "Pengkhianatan dibayar lunas dengan pengkhianatan. Jadi, Anda..." Ia menggantung kalimatnya, menatap intens Antony yang wajahnya mulai memerah padam. Ken membungkuk sedikit, berbisik dengan penekanan di setiap katanya, "...sedang menuai karma Anda sendiri, Pak Antony." Sebuah tepukan singkat namun keras mendarat di bahu Antony, sebelum Ken berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan meja pertemuan itu dan menyisakan amarah
"Ya, tuhan ...maafkan saya, nona. Saya tidak sengaja. Maaf, maaf, sekali lagi." Jeff buru-buru menganggukan beberapa kali kepalanya, tanda permintaan maafnya atas kelalaiannya. Suara teriak dan kehebohan orang di depannya, menyadari sedikit makanan tercecer mengenai sepatunya. "Oh my god, Mama?! Lihat, sepatuku terkena tumpahan kotoran!" ucap Cath menggerutu, menghentakkan sepatunya beberapa kali untuk menyingkirkan sedikit tumpahan di sepatunya. "Ya ampun, Sayang ..." Jasmine sangat terkejut, menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Ia melirik tajam ke arah di hadapannya, sosok Naira dan orang tak dikenal melakukan kecerobohan terhadap putrinya. "Hey! Anda punya mata tidak? di tempat keramaian ini kenapa kau harus berjalan seperti itu?!" tegur Jasmine dengan nada yang tinggi. Jeff yang ketakutan, hanya memainkan jemari tangannya yang sedikit bekeringat. "Ma-maaf nyonya, ini murni kesalahan saya yang tidak berjalan benar," Sejenak suasana menjadi tegang, mengetahui siapa yang ber
"Kenapa kau masih saja tidak tahu diri?" tanya Ken dengan suara yang menekan. Aura wajahnya terasa mengintimidasi. Jantung Naira mencelos, dengan napasnya yang tercekat, mengetahui orang yang muncul dari dalam tenda bukanlah Jeff, melainkan Ken. "Kau?" gumam Naira, tampak panik memundurkan kakinya perlahan saat Ken melangkah pelan mendekatinya. Jeff yang tak jauh dari Naira, hanya terdiam membeku, tak sanggup menghadapi bosnya dengan tatapan yang menusuk. "Kau sedang ingin menemui siapa di sini?" tanya Ken sekali lagi, membuat tangan Naira meremas tas kecil yang terselempang di perutnya. Mata Naira mengerjap beberapa kali, berusaha tetap tenang meski tubuhnya seperti terasa mengecil. "Ma-maaf, tuan. Bukankah acara ini untuk siapa saja?!" jawab Naira sedikit gugup. "Benar sekali, nona. Tapi tidak untuk dirimu!" ucapnya sedikit berbisik dengan suara penuh penekanan. Naira menelan salivanya, tak kuat menahan tatapan Ken yang memburu. Ia pun m
Musik instrumental mengalun iringi suasana pameran lingkungan yang terbuka untuk umum. Beberapa stand bazar buku, stand proyeksi pengembangan teknologi, dan beberapa stand lainnya terpajang rapi di antara para pengunjung. Riuh rendah suara pengunjung menonton pagelaran budaya daerah dan aroma makanan khas pun turut meramaikan acara tersebut. Hari itu, cuaca ikut mendukung dengan langit yang membentang kebiruan, sinar mentari yang mulai merayap tinggi, membuat suasana pameran semakin ramai pengunjung. Tak ketinggalan, tampak beberapa anggota direksi dan kolega-kolega penting perusahaan pertambangan, ikut hadir meramaikan acara tersebut. Lalu lalang orang-orang dari para aktivis lingkungan, mahasiswa, hingga para jurnalis sibuk mewawancarai beberapa tamu undangan dari pegawai pemerintah, pengamat, dan orang penting lainnta. Tak ketinggalan sosok berpengaruh dalam acara itu pun, Kendrick sebagai CEO batu bara menjadi pusat perhatian bagi para staf pemerintah. "Wah ...sungguh
Dug! Dug! Dug! Suara pintu ruang kerja Ken di gedor begitu kencangnya. Keisya yang mendengar dari arah ruang kerjanya, terkejut melihat seorang karyawan bersikap tidak sopan. "Bu Naira?! Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanya Keisya dengan raut wajah sinis. "Maaf, Bu. Tolong biarkan saya masuk menemui pak Ken," "Apa maksudnya? Kau tidak semudah itu masuk sembarangan, kecuali atas perintah pak Kendrick langsung," sela Keisya mencegah Naira yang beberapa kali mengetuk pintu begitu keras. "Tadi saya baca di grup internal tim humas, bahwa pak Ken memberhentikan saya tanpa alasan." Suara Naira terdengar sedikit meninggi, sorot mata tajamnya terpancar. "Saya tak terima pak Ken memperlakukan semena-mena pada karyawannya yang baru seminggu bekerja." Naira terus bersikeras berbicara pada Keisya dengan suara yang lantang. Sementara di dalam ruangan, Ken duduk termenung di meja kerjanya, sambil mendengarkan suara Naira yang sedang berteriak memanggilnya. Ia menyilangkan kakinya, samb