Sebuah bel pintu berbunyi menyadarkan Naira yang sempat tertidur di Apartemennya, tubuhnya sedikit penat setelah melakukan perjalanan cukup jauh yang ditempuhnya. Ia melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan ia mengecek pesan yang muncul di ponselnya.
[Aku sudah tiba], Tanpa ragu Naira melangkah membuka pintu, terlihat sosok Irene yang sudah berdiri membawa beberapa kantong berisi makanan dan tas berisi berkas. Naira segera mempersilahkan masuk dan duduk di ruang tamunya. "Bagaimana situasinya?" tanya Naira langsung pada intinya begitu Irene menjatuhkan tubuhnya di sofa karena sedikit pegal. "Sebentar Ibu presdir, biarkan tamu ini istirahat dulu! Kebiasaan sekali, baru saja tiba sudah ditodong pertanyaan serius!" Jawab Irene menggerutu sambil menaruh semua tentengannya di meja makan. Naira yang melihat IreneSore itu Naira bertemu lagi dengan suaminya setelah sekembalinya dari apartemen. Naira mengkerutkan dahinya begitu melihat Ken yang tak biasa pulang lebih cepat. "Kau dari mana saja?" tanya Ken dengan wajah dinginnya. "Apa saya perlu menjawabnya?" tanya Naira balik tanpa menjawab pertanyaan Ken. "Tentu! Kata bi Mar, kemarin kau akan kembali cepat setelah urusanmu selesai. ternyata kau menginap satu malam lagi di apartemenmu," jawab Ken menekan. "Apakah di rumah ini sudah mulai ada yang peduli?!" tanya Naira sedikit menekankan suaranya, "Bukankah semua orang di sini tak punya waktu bertanya yang tidak penting?" Satu alis Ken terangkat mendengar perkataan Naira yang sedikit menggelitik. "Saya hanya penasaran. Kau hilang satu hari satu malam dan pulang seperti tak merasa bersalah. Kau pergi ke suatu tempat dan langsung lupa pulang." "Maksudmu?" tanya Naira semakin tidak menger
Hari ini, Ken menagih konsekuensi atas pelanggaran yang dilakukan Naira tempo hari, mengajaknya pergi ke sebuah tempat perbelanjaan terbesar di kota itu. Pagi itu, matahari sudah mulai berangsur naik ke atas kepala. Ken yang tak ingin berlama-lama, segera masuk ke mobil duduk bersebelahan dengan Naira yang sudah lebih dulu duduk. Ken yang meliriknya sekilas hanya memasang wajah tanpa ekspresi dan memilih fokus dengan tabletnya. Selama perjalanan, keduanya saling membisu, saling terpaku dalam pikiran masing-masing dan hanya sesekali memandang ke arah luar kaca mobil, menikmati pemandangan jalan yang mulai padat. Sesampainya di tempat tujuan, sopirnya bergegas membukakan pintu mobil. Sebelum keluar, Ken meraih sesuatu dari balik jok, sebuah paperbag kecil. Dengan gerakan cepat, ia mengeluarkan kain bermotif bunga cerah dan sepasang kacamata hitam, lalu melemparkannya ke pangkuan Naira. "Pakai itu! Saya tak mau kau yang jadi pusat perhatian," u
Manager wanita itu berdehem, begitu dalam beberapa detik Ken terpaku menatap Naira yang mengenakan gaun terakhirnya. "Selera Tuan Ken memang luar biasa!" ucapnya sambil tersenyum membuat Ken tersadar dengan pujian wanita di sampingnya. Gaun berwarna biru donker model kerah V dengan panjang gaun selutut lebih, ditambah aksen tali pita di sebelah pinggangnya memberi kesan anggun dan elegan di tubuh Naira. "Oke! Cukup, ambil!" ucap Ken kemudian sambil memalingkan wajahnya yang merah merona. Naira menarik napas lega, akhirnya sesi memilih gaun bersama Ken selesai. Ia segera melepaskan gaun-gaun yang tadi dicobanya. Sambil membawa tumpukan belanjaan baru dan yang lama, Naira mengikuti Ken keluar dari butik mewah itu. Begitu Ken menghubungi sopirnya, sebuah mobil mewah sudah siap menunggu di depan gedung. Sopir pribadi Ken yang sigap, melihat Naira kesulitan dengan banyaknya barang bawaan, langsung membantu memasukkan belanjaan ke bagasi. Setelah s
Saat malam tiba, Ken terbangun mendengar suara Naira yang meringis kesakitan. "Aw! Aduh! Sakitttt ..." Ken mengucek matanya, melihat lamat-lamat sosok Naira yang sedang mengusap kakinya. Ken pun bangkit dan duduk di pinggir ranjang. "Kau kenapa?" tanya Ken penasaran. Naira terus meringis berusaha menekan betis kakinya, pelan-pelan melepaskan ujung kaki dari sepatu high heelsnya. Ken menyadarinya langsung mendekat dan melihat kulit bagian tumit belakang kaki Naira sedikit lengket menempel dengan sepatunya. "Sini! Saya bantu!" ucap Ken hati-hati menyentuh kakinya."Tidak mau! Saya takutttt ... Ini menyakitkan ..." rengek Naira tidak siap Ken membantunya."Percayalah. Kamu mau saya yang melepas dengan pelan-pelan, atau saya biarkan kamu yang melepas sendiri?""Tunggu ... Soalnya ini sakit sekali. Saya belum siap."Sementara dari luar pintu kamar Ken, Jasmine sedang berjongkok entah dari kapan, mendekatkan daun telinganya ke arah lubang pintu, mulutnya menganga dan bola mata membe
Mentari pagi mulai menyusup dari celah tirai yang tidak tertutup rapat, meliuk-liuk di antara tirai yang tertiup angin. Kehangatan yang semula mendekap Ken dalam kantuk perlahan terusik. Sebuah suara lirih membuatnya membuka mata. Di sana, siluet Naira tampak samar dalam bias cahaya, tubuhnya berpegangan erat pada dinding kamar. Setiap langkahnya adalah perjuangan, memapahnya perlahan penuh kehati-hatian. "Haruskah kau berjalan seperti itu?" suara Ken serak, baru bangkit dari alam mimpi. Ia mengucek matanya yang masih lengket dan menguap lebar. Naira, bagai patung bisu, tak menggubris. Ia terus menyeret kakinya. Meja rias berukir, lemari pakaian yang menjulang, setiap permukaan kokoh menjadi tumpuan sementara dalam perjalanannya menuju kamar mandi. Desakan kandung kemih yang terus menyundul, memberikan siksaan kecil yang terasa begitu besar di tengah kakinya yang kesakitan. Harga diri Naira melarangnya untuk meminta bantuan. Ia tak
Naira merasa ruang geraknya terbatas ketika melihat sosok Ken duduk menghadapnya, mengatakan akan cuti sehari dari pekerjaannya dan memilih untuk tetap di rumah. Pesannya pada bi Mar seolah lenyap begitu saja bahkan mengusirnya saat bi Mar datang membawa sarapan untuk Naira. Bi Mar yang melihat Ken kembali segera menaruh piring makanan di meja dan memberi hormat sebelum keluar kamar. "Urusan kantormu sangat penting, kenapa harus beralasan cuti hanya untuk malas-malasan di sini?!" ucap Naira penasaran. "Hanya satu hari. Libur kemarin ternyata membuat saya masih cukup kelelahan, jadi saya berpikir untuk istirahat kembali," balas Ken meregangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri sambil sesekali melirik ujung kaki Naira yang terbalut plester. 'Cih! Alasan klasik macam apa itu?' maki Naira dalam hatinya. "Apakah seorang Ceo harus merelakan pekerjaan pentingnya demi seorang istri pura-puranya?" "Eits, tunggu! Kau jangan kegeeran, saya cuti bukan karenamu! Saya juga bukan pemalas! Beker
"Astaga, dasar mesum!" sembur Naira, suaranya tercekat antara marah dan malu. Ia buru-buru bangkit, tangannya dengan cepat menyapu pakaiannya seolah menghilangkan jejak sentuhan tak sengaja itu. "Hey, kau yang mesum! Bibirmu duluan yang menyerang bibirku!" sanggah Ken, ikut berdiri dengan raut wajah tak terima bercampur sedikit salah tingkah. "Itu karena kau tiba-tiba muncul seperti hantu di belakangku, ya!" balas Naira sengit. "Saya hanya membantumu agar tidak mencium lantai! Harusnya kau berterima kasih, bukan malah melontarkan tuduhan!" tepis Ken bersungut, rahangnya mengeras menahan kekesalan. "Saya bahkan tidak sudi kau ada di belakangku dan menyentuhku!" "Kau memang gadis tidak tahu diuntung! Menyesal sudah berbaik hati!" balas Ken, suaranya meninggi sebelum ia membuang muka dan melangkah lebar menuju ruang kerjanya. Ia meng
Hari itu mentari pagi mulai meninggi, sinarnya mulai menghangat menembus kulit kepala. Langit biru yang membentang luas tanpa cela, dan harapan baru bagi puluhan orang yang memimpikan kursi perusahaan tambang PT GOLDEN ENERGY bisa terwujud. Bekerja di sebuah perusahaan ternama multinasional memang menjadi incaran bagi setiap orang yang mengharapkan gaji tinggi. Karena dari sanalah, kehidupan yang lebih baik dan terjamin menjadi dambaan bagi setiap orang yang berhasil lolos seleksi. Di ruang tunggu, kursi-kursi berjejer rapi, diduduki para pelamar yang menanti giliran tes wawancara sesuai bidang keahlian masing-masing. Aura antusias bercampur gugup terasa kental. Beberapa kali seorang pria berkemeja memeriksa kerapian dasinya di pantulan jendela, sementara yang lain lirih merapalkan doa-doa, berusaha menenangkan debar jantung yang tak menentu. Di sudut ruangan, di ujung deretan kursi, tampak Naira. Ia duduk dengan kaki terlipat di bawah tubuhnya, mata terpejam, jemarinya bertaut. Nap
Ken mengerjapkan matanya, begitu suara ponsel berdering membangunkannya. Dalam pandangan samar, tangannya meraihnya di atas nakas. Ia mengucek matanya menatap sebuah panggilan masuk dari mamanya. Dengan suara yang masih parau, ia mengangkatnya, "halo, Mam, ada apa?" "Ken, apa kau sedang bersama Naira?" tanya Jasmine sedikit merendahkan suaranya. Ken melirik sekilas di sebelahnya, sosok Naira sudah tak ada. Terdengar suara air mengalir di kamar mandi. "Ah, dia, dia sedang di kamarnya, Mam," "Baguslah! Kau tahu tidak jika Laura kemarin ke apartemenmu?" Jasmine langsung ke inti pembicaraan. Sejenak Ken terdiam sedang mengingat kejadian kemarin. Apakah mamanya yang membuat Laura pergi dari penthousnya? Karena akhirnya menanyakan kembali padanya. "Aku tidak mengundangnya, Mam," jawab Ken dengan nada yang malas. "Aish! Kau ini bagaimana?! Diundang atau tidak, tapi dia itu pacarmu, Saya
Sandi pintu apartemen berbunyi beberapa kali. Namun tak juga terbuka. Ken dan Naira yang tampak melihat dari layar kamera pintu, hanya saling bertukar pandang. Dari layar kamera pintu, sosok asing berbalut gaun biru muda menyapa Naira untuk pertama kalinya. Kulit putih bersih dan kacamata hitam yang bertengger di rambutnya memberikan kesan anggun. Ia membawa satu koper hitam, dan kacamata hitam yang menyelip di atas rambutnya. Ponsel Ken sekali lagi berdering, Laura dalam video menghubunginya kembali. Ekspresi khawatir dan bingung tampak terlihat saat Ken menatap mata Naira. "Nai, ini tidak seperti yang kamu pikirkan," bisiknya, meraih jari tangan Naira. Dahi Naira berkerut dan melirik sebentar jemarinya yang terangkat, dan kembali memandang Ken di hadapannya. "Nai, kami sudah berpisah sejak beberapa hari sebelum kita bertemu untuk pertama kalinya. Kami juga sudah tak saling menghubungi. Dan, baru akhir-akhir ini dia mulai menghubungiku," tutur Ken menjelaskan. Kedua alisnya hampi
Ken, tanpa mempedulikan rontaan Naira, menyeretnya paksa memasuki penthaus. Ia membantingkan Naira ke atas ranjang. Dengan kasar, Ia melempar jas dan dasi ke sembarang tempat di lantai, lalu melangkah lebar ke arah Naira yang sedang ketakutan. Naira berusaha keras menghalangi Ken mendekapnya. "Tuan, lepaskan! Hey, lepaskan!" serunya dengan nada yang sedikit meninggi. Napasnya tercekat mendapat tekanan tubuh Ken yang menghimpitnya. Deru napas Ken dan hawa panas yang tercipta dari tubuh Ken menerpa wajah Naira. "Tuan, ada apa denganmu?! Kenapa kau bersikap kasar seperti ini?!" tanya Naira kebingungan dengan sikap Ken yang berubah drastis. Sejak di paksa masuk ke mobil sepulang dari pameran hingga tiba di apartemennya, benaknya dipenuhi tanda tanya besar. Dengan sekuat tenaga, ia melawan, menyikut perut Ken dengan keras hingga membuatnya refleks mengaduh dan melepaskan dekapannya. "Nai ...kenapa kau lakukan ini?" gumamnya, kesakitan sambil memegangi perutnya yang b
"Pak Kendrick, Anda pikir semudah itu membatalkan perjanjian kita?!" sembur Antony, urat lehernya menegang. Pengkhianatan Ken terasa seperti tikaman yang menghunus jantungnya. Mata Ken hanya berkedip sekali, tatapannya dingin tanpa riak sedikit pun, seolah amarah Antony hanyalah debu yang beterbangan. Ia mengembuskan napas perlahan, sebuah jeda sebelum kata-kata terakhirnya menghantam meja pertemuan. "Tuan Antony..." suaranya rendah namun sarat makna, "...Anda pikir saya sebodoh putri William yang Anda perdaya?" Sudut bibir Ken tertarik sinis. "Pengkhianatan dibayar lunas dengan pengkhianatan. Jadi, Anda..." Ia menggantung kalimatnya, menatap intens Antony yang wajahnya mulai memerah padam. Ken membungkuk sedikit, berbisik dengan penekanan di setiap katanya, "...sedang menuai karma Anda sendiri, Pak Antony." Sebuah tepukan singkat namun keras mendarat di bahu Antony, sebelum Ken berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan meja pertemuan itu dan menyisakan amarah
"Ya, tuhan ...maafkan saya, nona. Saya tidak sengaja. Maaf, maaf, sekali lagi." Jeff buru-buru menganggukan beberapa kali kepalanya, tanda permintaan maafnya atas kelalaiannya. Suara teriak dan kehebohan orang di depannya, menyadari sedikit makanan tercecer mengenai sepatunya. "Oh my god, Mama?! Lihat, sepatuku terkena tumpahan kotoran!" ucap Cath menggerutu, menghentakkan sepatunya beberapa kali untuk menyingkirkan sedikit tumpahan di sepatunya. "Ya ampun, Sayang ..." Jasmine sangat terkejut, menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Ia melirik tajam ke arah di hadapannya, sosok Naira dan orang tak dikenal melakukan kecerobohan terhadap putrinya. "Hey! Anda punya mata tidak? di tempat keramaian ini kenapa kau harus berjalan seperti itu?!" tegur Jasmine dengan nada yang tinggi. Jeff yang ketakutan, hanya memainkan jemari tangannya yang sedikit bekeringat. "Ma-maaf nyonya, ini murni kesalahan saya yang tidak berjalan benar," Sejenak suasana menjadi tegang, mengetahui siapa yang ber
"Kenapa kau masih saja tidak tahu diri?" tanya Ken dengan suara yang menekan. Aura wajahnya terasa mengintimidasi. Jantung Naira mencelos, dengan napasnya yang tercekat, mengetahui orang yang muncul dari dalam tenda bukanlah Jeff, melainkan Ken. "Kau?" gumam Naira, tampak panik memundurkan kakinya perlahan saat Ken melangkah pelan mendekatinya. Jeff yang tak jauh dari Naira, hanya terdiam membeku, tak sanggup menghadapi bosnya dengan tatapan yang menusuk. "Kau sedang ingin menemui siapa di sini?" tanya Ken sekali lagi, membuat tangan Naira meremas tas kecil yang terselempang di perutnya. Mata Naira mengerjap beberapa kali, berusaha tetap tenang meski tubuhnya seperti terasa mengecil. "Ma-maaf, tuan. Bukankah acara ini untuk siapa saja?!" jawab Naira sedikit gugup. "Benar sekali, nona. Tapi tidak untuk dirimu!" ucapnya sedikit berbisik dengan suara penuh penekanan. Naira menelan salivanya, tak kuat menahan tatapan Ken yang memburu. Ia pun m
Musik instrumental mengalun iringi suasana pameran lingkungan yang terbuka untuk umum. Beberapa stand bazar buku, stand proyeksi pengembangan teknologi, dan beberapa stand lainnya terpajang rapi di antara para pengunjung. Riuh rendah suara pengunjung menonton pagelaran budaya daerah dan aroma makanan khas pun turut meramaikan acara tersebut. Hari itu, cuaca ikut mendukung dengan langit yang membentang kebiruan, sinar mentari yang mulai merayap tinggi, membuat suasana pameran semakin ramai pengunjung. Tak ketinggalan, tampak beberapa anggota direksi dan kolega-kolega penting perusahaan pertambangan, ikut hadir meramaikan acara tersebut. Lalu lalang orang-orang dari para aktivis lingkungan, mahasiswa, hingga para jurnalis sibuk mewawancarai beberapa tamu undangan dari pegawai pemerintah, pengamat, dan orang penting lainnta. Tak ketinggalan sosok berpengaruh dalam acara itu pun, Kendrick sebagai CEO batu bara menjadi pusat perhatian bagi para staf pemerintah. "Wah ...sungguh
Dug! Dug! Dug! Suara pintu ruang kerja Ken di gedor begitu kencangnya. Keisya yang mendengar dari arah ruang kerjanya, terkejut melihat seorang karyawan bersikap tidak sopan. "Bu Naira?! Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanya Keisya dengan raut wajah sinis. "Maaf, Bu. Tolong biarkan saya masuk menemui pak Ken," "Apa maksudnya? Kau tidak semudah itu masuk sembarangan, kecuali atas perintah pak Kendrick langsung," sela Keisya mencegah Naira yang beberapa kali mengetuk pintu begitu keras. "Tadi saya baca di grup internal tim humas, bahwa pak Ken memberhentikan saya tanpa alasan." Suara Naira terdengar sedikit meninggi, sorot mata tajamnya terpancar. "Saya tak terima pak Ken memperlakukan semena-mena pada karyawannya yang baru seminggu bekerja." Naira terus bersikeras berbicara pada Keisya dengan suara yang lantang. Sementara di dalam ruangan, Ken duduk termenung di meja kerjanya, sambil mendengarkan suara Naira yang sedang berteriak memanggilnya. Ia menyilangkan kakinya, samb
Naira hanya membuka sedikit pintu kamarnya, pura-pura mencari pakaian, padahal telinganya sepenuhnya menangkap percakapan di luar. Ia ingin tahu apa yang dibicarakan Ken dan ayahnya. Ketika suara itu samar-samar bergerak menuju balkon, Naira melangkah hati-hati, tanpa menimbulkan bunyi sekecil apa pun. Ia melirik ke sekitar, memastikan William tidak melihatnya mencuri dengar. "Ya. Jika kau bisa memenuhi syarat saya, kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan!" Ucapan William terdengar begitu jelas hingga membuat jantung Naira mencelos. "Syarat apa yang Papa maksud?" bisiknya lirih, dahinya berkerut dalam, matanya kosong, mencoba mencerna. Ken berdiri membelakangi Naira, namun dari sudut pandang itu terlihat jelas rahangnya yang mengeras. Tangannya mencengkeram pagar balkon dengan erat. Ia membisu, pandangannya tertuju ke kejauhan. Sementara itu, tatapan William tertancap tajam pada wajah Ken yang menegang. Napas Ken yang sedari tadi tertahan akhirnya keluar dengan berat. Ia mena