Manager wanita itu berdehem, begitu dalam beberapa detik Ken terpaku menatap Naira yang mengenakan gaun terakhirnya. "Selera Tuan Ken memang luar biasa!" ucapnya sambil tersenyum membuat Ken tersadar dengan pujian wanita di sampingnya. Gaun berwarna biru donker model kerah V dengan panjang gaun selutut lebih, ditambah aksen tali pita di sebelah pinggangnya memberi kesan anggun dan elegan di tubuh Naira.
"Oke! Cukup, ambil!" ucap Ken kemudian sambil memalingkan wajahnya yang merah merona. Naira menarik napas lega, akhirnya sesi memilih gaun bersama Ken selesai. Ia segera melepaskan gaun-gaun yang tadi dicobanya. Sambil membawa tumpukan belanjaan baru dan yang lama, Naira mengikuti Ken keluar dari butik mewah itu. Begitu Ken menghubungi sopirnya, sebuah mobil mewah sudah siap menunggu di depan gedung. Sopir pribadi Ken yang sigap, melihat Naira kesulitan dengan banyaknya barang bawaan, langsung membantu memasukkan belanjaan ke bagasi. Setelah sSaat malam tiba, Ken terbangun mendengar suara Naira yang meringis kesakitan. "Aw! Aduh! Sakitttt ..." Ken mengucek matanya, melihat lamat-lamat sosok Naira yang sedang mengusap kakinya. Ken pun bangkit dan duduk di pinggir ranjang. "Kau kenapa?" tanya Ken penasaran. Naira terus meringis berusaha menekan betis kakinya, pelan-pelan melepaskan ujung kaki dari sepatu high heelsnya. Ken menyadarinya langsung mendekat dan melihat kulit bagian tumit belakang kaki Naira sedikit lengket menempel dengan sepatunya. "Sini! Saya bantu!" ucap Ken hati-hati menyentuh kakinya."Tidak mau! Saya takutttt ... Ini menyakitkan ..." rengek Naira tidak siap Ken membantunya."Percayalah. Kamu mau saya yang melepas dengan pelan-pelan, atau saya biarkan kamu yang melepas sendiri?""Tunggu ... Soalnya ini sakit sekali. Saya belum siap."Sementara dari luar pintu kamar Ken, Jasmine sedang berjongkok entah dari kapan, mendekatkan daun telinganya ke arah lubang pintu, mulutnya menganga dan bola mata membe
Mentari pagi mulai menyusup dari celah tirai yang tidak tertutup rapat, meliuk-liuk di antara tirai yang tertiup angin. Kehangatan yang semula mendekap Ken dalam kantuk perlahan terusik. Sebuah suara lirih membuatnya membuka mata. Di sana, siluet Naira tampak samar dalam bias cahaya, tubuhnya berpegangan erat pada dinding kamar. Setiap langkahnya adalah perjuangan, memapahnya perlahan penuh kehati-hatian. "Haruskah kau berjalan seperti itu?" suara Ken serak, baru bangkit dari alam mimpi. Ia mengucek matanya yang masih lengket dan menguap lebar. Naira, bagai patung bisu, tak menggubris. Ia terus menyeret kakinya. Meja rias berukir, lemari pakaian yang menjulang, setiap permukaan kokoh menjadi tumpuan sementara dalam perjalanannya menuju kamar mandi. Desakan kandung kemih yang terus menyundul, memberikan siksaan kecil yang terasa begitu besar di tengah kakinya yang kesakitan. Harga diri Naira melarangnya untuk meminta bantuan. Ia tak
Naira merasa ruang geraknya terbatas ketika melihat sosok Ken duduk menghadapnya, mengatakan akan cuti sehari dari pekerjaannya dan memilih untuk tetap di rumah. Pesannya pada bi Mar seolah lenyap begitu saja bahkan mengusirnya saat bi Mar datang membawa sarapan untuk Naira. Bi Mar yang melihat Ken kembali segera menaruh piring makanan di meja dan memberi hormat sebelum keluar kamar. "Urusan kantormu sangat penting, kenapa harus beralasan cuti hanya untuk malas-malasan di sini?!" ucap Naira penasaran. "Hanya satu hari. Libur kemarin ternyata membuat saya masih cukup kelelahan, jadi saya berpikir untuk istirahat kembali," balas Ken meregangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri sambil sesekali melirik ujung kaki Naira yang terbalut plester. 'Cih! Alasan klasik macam apa itu?' maki Naira dalam hatinya. "Apakah seorang Ceo harus merelakan pekerjaan pentingnya demi seorang istri pura-puranya?"
"Astaga, dasar mesum!" sembur Naira, suaranya tercekat antara marah dan malu. Ia buru-buru bangkit, tangannya dengan cepat menyapu pakaiannya seolah menghilangkan jejak sentuhan tak sengaja itu. "Hey, kau yang mesum! Bibirmu duluan yang menyerang bibirku!" sanggah Ken, ikut berdiri dengan raut wajah tak terima bercampur sedikit salah tingkah. "Itu karena kau tiba-tiba muncul seperti hantu di belakangku, ya!" balas Naira sengit. "Saya hanya membantumu agar tidak mencium lantai! Harusnya kau berterima kasih, bukan malah melontarkan tuduhan!" tepis Ken bersungut, rahangnya mengeras menahan kekesalan. "Saya bahkan tidak sudi kau ada di belakangku dan menyentuhku!" "Kau memang gadis tidak tahu diuntung! Menyesal sudah berbaik hati!" balas Ken, suaranya meninggi sebelum ia membuang muka dan melangkah lebar menuju ruang kerjanya. Ia meng
Hari itu mentari pagi mulai meninggi, sinarnya mulai menghangat menembus kulit kepala. Langit biru yang membentang luas tanpa cela, dan harapan baru bagi puluhan orang yang memimpikan kursi perusahaan tambang PT GOLDEN ENERGY bisa terwujud. Bekerja di sebuah perusahaan ternama multinasional memang menjadi incaran bagi setiap orang yang mengharapkan gaji tinggi. Karena dari sanalah, kehidupan yang lebih baik dan terjamin menjadi dambaan bagi setiap orang yang berhasil lolos seleksi. Di ruang tunggu, kursi-kursi berjejer rapi, diduduki para pelamar yang menanti giliran tes wawancara sesuai bidang keahlian masing-masing. Aura antusias bercampur gugup terasa kental. Beberapa kali seorang pria berkemeja memeriksa kerapian dasinya di pantulan jendela, sementara yang lain lirih merapalkan doa-doa, berusaha menenangkan debar jantung yang tak menentu. Di sudut ruangan, di ujung deretan kursi, tampak Naira. Ia duduk dengan kaki terlipat di bawah tubuhnya, mata terpejam, jemarinya bertaut. Nap
SLURRPPP ... Suara sedotan plastik beradu dengan dasar minuman kotak yang hampir kosong itu terdengar menyedihkan di telinga Naira. Setiap tarikan napas yang hampa terasa seperti kekosongan pada relung hatinya. Di tangannya, ponselnyanya terasa dingin, ia membaca ulang setiap bait pesan dari perekrut perusahaan Ken, bahwa ia dinyatakan gagal masuk ke sana. Bagai pukulan telak, sisa satu harapannya ini seolah kandas di tengah jalan. Dari arah kejauhan, tampak Irene berlari kecil mengitari taman, mendekat ke arah Naira yang terduduk sendirian. "Maaf, aku terlambat," Irene terengah, sambil mengeluarkan beberapa makanan ringan dan menyodorkannya ke depan Naira. "Bagaimana hasilnya?" Naira tak menjawab, hanya menyerahkan ponselnya ke tangan Irene. Mata Irene membulat saat membaca pesan itu, "Are you serious? Sehebat Naira William dalam bisnis, ditolak perusahaan Ken? Jangan-jangan mereka salah kirim! Ini tidak mungkin!" "Apa ini ulah suamimu itu?" tanya Irene penuh selidik. "Sud
Situasi bar memanas. Beberapa orang berdesakkan karena dorong-dorongan pengunjung yang terpancing berkelahi, akhirnya di bubarkan petugas keamanan bar dengan menyalakan sirine. Sontak semua orang saling membubarkan diri untuk menyelamatkan dirinya agar tak di tangkap, menyisakan Irene yang waspada di pojokkan. Matanya menoleh kesana kemari mencari sosok Naira, namun nihil, ia tak menemukannya. Pria yang membantunya menghadang dari tinjuan pria asing itu menghampiri Irene yang kebingungan. "Kau tak apa-apa, kan?" tanya pria itu, khawatir mengecek kondisi Irene yang terduduk di lantai pojokkan. "Hah? Ti-tidak apa-apa! Saya ... sedang mencari teman saya," jawab Irene gugup dan gelisah. Irene sedikit terpaku begitu melirik sekilas ujung bibir pria di depannya sedikit terluka dan pipinya membiru. "Tadi temanmu duduk di mana?" tanya pria itu membuyarkan tatapan nanar Irene yang memandangnya cukup lama. "Di situ!" se
Cekrek! Cekrek! Cekrek! Tangkapan kamera beberapa kali memotret seorang pria muda bertubuh tegap. Pria itu memperlihatkan dada bidangnya. Seorang gadis pura-pura tertidur sambil memegang ponsel. Ia bersandar mesra di bahu pria yang tertidur pulas. Di ranjang itu, bau minuman beralkohol sangat menyengat. Gadis bernama Naira, alias 'Cleopatra', ini mencoba melakukan hal gila. Ia melepas pakaian luarnya dan kemeja pria itu. Pelan-pelan, ia kendurkan sabuk celananya, berusaha menciptakan adegan intim yang tampak alami. Hal itu ia lakukan karena sesuatu yang mendesaknya, membuatnya nekat masuk ke kamar hotel milik pria asing tersebut. "Semoga Anda tidak marah, tuan," bisik Naira lembut, sambil tersenyum cekikikan. Ia mengambil dompet pria itu dari balik celananya, dan mengambil kartu identitasnya. "Kendrick Wilson, umur tiga puluh tahun. Hm, CEO PT Golden Energy." Naira mengeja kartu nama di tangannya. "Wow, rupanya benar kata Antony, pria asing ini bukan sembarang orang. Aku beru
Situasi bar memanas. Beberapa orang berdesakkan karena dorong-dorongan pengunjung yang terpancing berkelahi, akhirnya di bubarkan petugas keamanan bar dengan menyalakan sirine. Sontak semua orang saling membubarkan diri untuk menyelamatkan dirinya agar tak di tangkap, menyisakan Irene yang waspada di pojokkan. Matanya menoleh kesana kemari mencari sosok Naira, namun nihil, ia tak menemukannya. Pria yang membantunya menghadang dari tinjuan pria asing itu menghampiri Irene yang kebingungan. "Kau tak apa-apa, kan?" tanya pria itu, khawatir mengecek kondisi Irene yang terduduk di lantai pojokkan. "Hah? Ti-tidak apa-apa! Saya ... sedang mencari teman saya," jawab Irene gugup dan gelisah. Irene sedikit terpaku begitu melirik sekilas ujung bibir pria di depannya sedikit terluka dan pipinya membiru. "Tadi temanmu duduk di mana?" tanya pria itu membuyarkan tatapan nanar Irene yang memandangnya cukup lama. "Di situ!" se
SLURRPPP ... Suara sedotan plastik beradu dengan dasar minuman kotak yang hampir kosong itu terdengar menyedihkan di telinga Naira. Setiap tarikan napas yang hampa terasa seperti kekosongan pada relung hatinya. Di tangannya, ponselnyanya terasa dingin, ia membaca ulang setiap bait pesan dari perekrut perusahaan Ken, bahwa ia dinyatakan gagal masuk ke sana. Bagai pukulan telak, sisa satu harapannya ini seolah kandas di tengah jalan. Dari arah kejauhan, tampak Irene berlari kecil mengitari taman, mendekat ke arah Naira yang terduduk sendirian. "Maaf, aku terlambat," Irene terengah, sambil mengeluarkan beberapa makanan ringan dan menyodorkannya ke depan Naira. "Bagaimana hasilnya?" Naira tak menjawab, hanya menyerahkan ponselnya ke tangan Irene. Mata Irene membulat saat membaca pesan itu, "Are you serious? Sehebat Naira William dalam bisnis, ditolak perusahaan Ken? Jangan-jangan mereka salah kirim! Ini tidak mungkin!" "Apa ini ulah suamimu itu?" tanya Irene penuh selidik. "Sud
Hari itu mentari pagi mulai meninggi, sinarnya mulai menghangat menembus kulit kepala. Langit biru yang membentang luas tanpa cela, dan harapan baru bagi puluhan orang yang memimpikan kursi perusahaan tambang PT GOLDEN ENERGY bisa terwujud. Bekerja di sebuah perusahaan ternama multinasional memang menjadi incaran bagi setiap orang yang mengharapkan gaji tinggi. Karena dari sanalah, kehidupan yang lebih baik dan terjamin menjadi dambaan bagi setiap orang yang berhasil lolos seleksi. Di ruang tunggu, kursi-kursi berjejer rapi, diduduki para pelamar yang menanti giliran tes wawancara sesuai bidang keahlian masing-masing. Aura antusias bercampur gugup terasa kental. Beberapa kali seorang pria berkemeja memeriksa kerapian dasinya di pantulan jendela, sementara yang lain lirih merapalkan doa-doa, berusaha menenangkan debar jantung yang tak menentu. Di sudut ruangan, di ujung deretan kursi, tampak Naira. Ia duduk dengan kaki terlipat di bawah tubuhnya, mata terpejam, jemarinya bertaut. Nap
"Astaga, dasar mesum!" sembur Naira, suaranya tercekat antara marah dan malu. Ia buru-buru bangkit, tangannya dengan cepat menyapu pakaiannya seolah menghilangkan jejak sentuhan tak sengaja itu. "Hey, kau yang mesum! Bibirmu duluan yang menyerang bibirku!" sanggah Ken, ikut berdiri dengan raut wajah tak terima bercampur sedikit salah tingkah. "Itu karena kau tiba-tiba muncul seperti hantu di belakangku, ya!" balas Naira sengit. "Saya hanya membantumu agar tidak mencium lantai! Harusnya kau berterima kasih, bukan malah melontarkan tuduhan!" tepis Ken bersungut, rahangnya mengeras menahan kekesalan. "Saya bahkan tidak sudi kau ada di belakangku dan menyentuhku!" "Kau memang gadis tidak tahu diuntung! Menyesal sudah berbaik hati!" balas Ken, suaranya meninggi sebelum ia membuang muka dan melangkah lebar menuju ruang kerjanya. Ia meng
Naira merasa ruang geraknya terbatas ketika melihat sosok Ken duduk menghadapnya, mengatakan akan cuti sehari dari pekerjaannya dan memilih untuk tetap di rumah. Pesannya pada bi Mar seolah lenyap begitu saja bahkan mengusirnya saat bi Mar datang membawa sarapan untuk Naira. Bi Mar yang melihat Ken kembali segera menaruh piring makanan di meja dan memberi hormat sebelum keluar kamar. "Urusan kantormu sangat penting, kenapa harus beralasan cuti hanya untuk malas-malasan di sini?!" ucap Naira penasaran. "Hanya satu hari. Libur kemarin ternyata membuat saya masih cukup kelelahan, jadi saya berpikir untuk istirahat kembali," balas Ken meregangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri sambil sesekali melirik ujung kaki Naira yang terbalut plester. 'Cih! Alasan klasik macam apa itu?' maki Naira dalam hatinya. "Apakah seorang Ceo harus merelakan pekerjaan pentingnya demi seorang istri pura-puranya?"
Mentari pagi mulai menyusup dari celah tirai yang tidak tertutup rapat, meliuk-liuk di antara tirai yang tertiup angin. Kehangatan yang semula mendekap Ken dalam kantuk perlahan terusik. Sebuah suara lirih membuatnya membuka mata. Di sana, siluet Naira tampak samar dalam bias cahaya, tubuhnya berpegangan erat pada dinding kamar. Setiap langkahnya adalah perjuangan, memapahnya perlahan penuh kehati-hatian. "Haruskah kau berjalan seperti itu?" suara Ken serak, baru bangkit dari alam mimpi. Ia mengucek matanya yang masih lengket dan menguap lebar. Naira, bagai patung bisu, tak menggubris. Ia terus menyeret kakinya. Meja rias berukir, lemari pakaian yang menjulang, setiap permukaan kokoh menjadi tumpuan sementara dalam perjalanannya menuju kamar mandi. Desakan kandung kemih yang terus menyundul, memberikan siksaan kecil yang terasa begitu besar di tengah kakinya yang kesakitan. Harga diri Naira melarangnya untuk meminta bantuan. Ia tak
Saat malam tiba, Ken terbangun mendengar suara Naira yang meringis kesakitan. "Aw! Aduh! Sakitttt ..." Ken mengucek matanya, melihat lamat-lamat sosok Naira yang sedang mengusap kakinya. Ken pun bangkit dan duduk di pinggir ranjang. "Kau kenapa?" tanya Ken penasaran. Naira terus meringis berusaha menekan betis kakinya, pelan-pelan melepaskan ujung kaki dari sepatu high heelsnya. Ken menyadarinya langsung mendekat dan melihat kulit bagian tumit belakang kaki Naira sedikit lengket menempel dengan sepatunya. "Sini! Saya bantu!" ucap Ken hati-hati menyentuh kakinya."Tidak mau! Saya takutttt ... Ini menyakitkan ..." rengek Naira tidak siap Ken membantunya."Percayalah. Kamu mau saya yang melepas dengan pelan-pelan, atau saya biarkan kamu yang melepas sendiri?""Tunggu ... Soalnya ini sakit sekali. Saya belum siap."Sementara dari luar pintu kamar Ken, Jasmine sedang berjongkok entah dari kapan, mendekatkan daun telinganya ke arah lubang pintu, mulutnya menganga dan bola mata membe
Manager wanita itu berdehem, begitu dalam beberapa detik Ken terpaku menatap Naira yang mengenakan gaun terakhirnya. "Selera Tuan Ken memang luar biasa!" ucapnya sambil tersenyum membuat Ken tersadar dengan pujian wanita di sampingnya. Gaun berwarna biru donker model kerah V dengan panjang gaun selutut lebih, ditambah aksen tali pita di sebelah pinggangnya memberi kesan anggun dan elegan di tubuh Naira. "Oke! Cukup, ambil!" ucap Ken kemudian sambil memalingkan wajahnya yang merah merona. Naira menarik napas lega, akhirnya sesi memilih gaun bersama Ken selesai. Ia segera melepaskan gaun-gaun yang tadi dicobanya. Sambil membawa tumpukan belanjaan baru dan yang lama, Naira mengikuti Ken keluar dari butik mewah itu. Begitu Ken menghubungi sopirnya, sebuah mobil mewah sudah siap menunggu di depan gedung. Sopir pribadi Ken yang sigap, melihat Naira kesulitan dengan banyaknya barang bawaan, langsung membantu memasukkan belanjaan ke bagasi. Setelah s
Hari ini, Ken menagih konsekuensi atas pelanggaran yang dilakukan Naira tempo hari, mengajaknya pergi ke sebuah tempat perbelanjaan terbesar di kota itu. Pagi itu, matahari sudah mulai berangsur naik ke atas kepala. Ken yang tak ingin berlama-lama, segera masuk ke mobil duduk bersebelahan dengan Naira yang sudah lebih dulu duduk. Ken yang meliriknya sekilas hanya memasang wajah tanpa ekspresi dan memilih fokus dengan tabletnya. Selama perjalanan, keduanya saling membisu, saling terpaku dalam pikiran masing-masing dan hanya sesekali memandang ke arah luar kaca mobil, menikmati pemandangan jalan yang mulai padat. Sesampainya di tempat tujuan, sopirnya bergegas membukakan pintu mobil. Sebelum keluar, Ken meraih sesuatu dari balik jok, sebuah paperbag kecil. Dengan gerakan cepat, ia mengeluarkan kain bermotif bunga cerah dan sepasang kacamata hitam, lalu melemparkannya ke pangkuan Naira. "Pakai itu! Saya tak mau kau yang jadi pusat perhatian," u