Mentari pagi mulai menyusup dari celah tirai yang tidak tertutup rapat, meliuk-liuk di antara tirai yang tertiup angin. Kehangatan yang semula mendekap Ken dalam kantuk perlahan terusik. Sebuah suara lirih membuatnya membuka mata. Di sana, siluet Naira tampak samar dalam bias cahaya, tubuhnya berpegangan erat pada dinding kamar. Setiap langkahnya adalah perjuangan, memapahnya perlahan penuh kehati-hatian.
"Haruskah kau berjalan seperti itu?" suara Ken serak, baru bangkit dari alam mimpi. Ia mengucek matanya yang masih lengket dan menguap lebar. Naira, bagai patung bisu, tak menggubris. Ia terus menyeret kakinya. Meja rias berukir, lemari pakaian yang menjulang, setiap permukaan kokoh menjadi tumpuan sementara dalam perjalanannya menuju kamar mandi. Desakan kandung kemih yang terus menyundul, memberikan siksaan kecil yang terasa begitu besar di tengah kakinya yang kesakitan. Harga diri Naira melarangnya untuk meminta bantuan. Ia takNaira merasa ruang geraknya terbatas ketika melihat sosok Ken duduk menghadapnya, mengatakan akan cuti sehari dari pekerjaannya dan memilih untuk tetap di rumah. Pesannya pada bi Mar seolah lenyap begitu saja bahkan mengusirnya saat bi Mar datang membawa sarapan untuk Naira. Bi Mar yang melihat Ken kembali segera menaruh piring makanan di meja dan memberi hormat sebelum keluar kamar. "Urusan kantormu sangat penting, kenapa harus beralasan cuti hanya untuk malas-malasan di sini?!" ucap Naira penasaran. "Hanya satu hari. Libur kemarin ternyata membuat saya masih cukup kelelahan, jadi saya berpikir untuk istirahat kembali," balas Ken meregangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri sambil sesekali melirik ujung kaki Naira yang terbalut plester. 'Cih! Alasan klasik macam apa itu?' maki Naira dalam hatinya. "Apakah seorang Ceo harus merelakan pekerjaan pentingnya demi seorang istri pura-puranya?" "Eits, tunggu! Kau jangan kegeeran, saya cuti bukan karenamu! Saya juga bukan pemalas! Beker
"Astaga, dasar mesum!" sembur Naira, suaranya tercekat antara marah dan malu. Ia buru-buru bangkit, tangannya dengan cepat menyapu pakaiannya seolah menghilangkan jejak sentuhan tak sengaja itu. "Hey, kau yang mesum! Bibirmu duluan yang menyerang bibirku!" sanggah Ken, ikut berdiri dengan raut wajah tak terima bercampur sedikit salah tingkah. "Itu karena kau tiba-tiba muncul seperti hantu di belakangku, ya!" balas Naira sengit. "Saya hanya membantumu agar tidak mencium lantai! Harusnya kau berterima kasih, bukan malah melontarkan tuduhan!" tepis Ken bersungut, rahangnya mengeras menahan kekesalan. "Saya bahkan tidak sudi kau ada di belakangku dan menyentuhku!" "Kau memang gadis tidak tahu diuntung! Menyesal sudah berbaik hati!" balas Ken, suaranya meninggi sebelum ia membuang muka dan melangkah lebar menuju ruang kerjanya. Ia meng
Hari itu mentari pagi mulai meninggi, sinarnya mulai menghangat menembus kulit kepala. Langit biru yang membentang luas tanpa cela, dan harapan baru bagi puluhan orang yang memimpikan kursi perusahaan tambang PT GOLDEN ENERGY bisa terwujud. Bekerja di sebuah perusahaan ternama multinasional memang menjadi incaran bagi setiap orang yang mengharapkan gaji tinggi. Karena dari sanalah, kehidupan yang lebih baik dan terjamin menjadi dambaan bagi setiap orang yang berhasil lolos seleksi. Di ruang tunggu, kursi-kursi berjejer rapi, diduduki para pelamar yang menanti giliran tes wawancara sesuai bidang keahlian masing-masing. Aura antusias bercampur gugup terasa kental. Beberapa kali seorang pria berkemeja memeriksa kerapian dasinya di pantulan jendela, sementara yang lain lirih merapalkan doa-doa, berusaha menenangkan debar jantung yang tak menentu. Di sudut ruangan, di ujung deretan kursi, tampak Naira. Ia duduk dengan kaki terlipat di bawah tubuhnya, mata terpejam, jemarinya bertaut. Nap
SLURRPPP ... Suara sedotan plastik beradu dengan dasar minuman kotak yang hampir kosong itu terdengar menyedihkan di telinga Naira. Setiap tarikan napas yang hampa terasa seperti kekosongan pada relung hatinya. Di tangannya, ponselnya terasa dingin, ia membaca ulang setiap bait pesan dari perekrut perusahaan Ken, bahwa ia dinyatakan gagal masuk ke sana. Bagai pukulan telak, sisa satu harapannya ini seolah kandas di tengah jalan. Dari arah kejauhan, tampak Irene berlari kecil mengitari taman, mendekat ke arah Naira yang terduduk sendirian. "Maaf, aku terlambat," Irene terengah, sambil mengeluarkan beberapa makanan ringan dan menyodorkannya ke depan Naira. "Bagaimana hasilnya?" Naira tak menjawab, hanya menyerahkan ponselnya ke tangan Irene. Mata Irene membulat saat membaca pesan itu, "Are you serious? Sehebat Naira William dalam bisnis, ditolak perusahaan Ken? Jangan-jangan mereka salah kirim! Ini tidak mungkin!" "Apa ini ulah suamimu itu?" tanya Irene penuh selidik. "Sudahla
Situasi bar memanas. Beberapa orang berdesakkan karena dorong-dorongan pengunjung yang terpancing berkelahi, akhirnya di bubarkan petugas keamanan bar dengan menyalakan sirine. Sontak semua orang saling membubarkan diri untuk menyelamatkan dirinya agar tak di tangkap, menyisakan Irene yang waspada di pojokkan. Matanya menoleh kesana kemari mencari sosok Naira, namun nihil, ia tak menemukannya. Pria yang membantunya menghadang dari tinjuan pria asing itu menghampiri Irene yang kebingungan. "Kau tak apa-apa, kan?" tanya pria itu, khawatir mengecek kondisi Irene yang terduduk di lantai pojokkan. "Hah? Ti-tidak apa-apa! Saya ... sedang mencari teman saya," jawab Irene gugup dan gelisah. Irene sedikit terpaku begitu melirik sekilas ujung bibir pria di depannya sedikit terluka dan pipinya membiru. "Tadi temanmu duduk di mana?" tanya pria itu membuyarkan tatapan nanar Irene yang memandangnya cukup lama. "Di situ!" se
Pantulan cahaya mentari pagi mulai menyusup melewati celah tirai yang tertiup angin, sorotnya mengalirkan kehangatan pagi yang malas. Kelopak mata Naira bergerak mulai terbuka dari tidurnya, ia mengerjap dan perlahan menurunkan kedua kakinya yang terasa lemas dan sedikit gemetar. Ia pun menyadari tubuhnya terasa ringan, dan saat kakinya hendak melangkah, seakan kaku sedikit nyeri di area pangkal pahanya. Ia pun penasaran begitu pantulan dirinya di jendela menampilkan siluet tubuh yang polos, tanpa sehelai pakaian. Dalam sekejap Tubuhnya membeku. Ia pun reflek menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya yang terbuka. Namun, hal itu membuatnya semakin terkejut begitu menoleh ke arah ranjang, sosok Ken sedang tertidur pulas tanpa pakaian luar. Seketika ia berteriak tak bersuara begitu mulai menyadarinya. "Apa yang terjadi?" gumamnya bertanya pada diri sendiri. Kedua bola matanya mulai mengarah ke sekeliling ruangan itu. "Tempat ini ...bukankah apartemen Ken?" Bola matanya membesr
Ken menghampiri apartemen Naira, mencoba memencet bel beberapa kali. Namun, sosok Naira tak juga terlihat batang hidungnya. Bolak-balik, Ken mengecek dan menunggu selama beberapa jam di pintu apartemen. Naira, masih tetap tak terlihat sosoknya untuk sekedar keluar membuang sampah ataupun membeli makanan di luar. Kesabaran Ken sudah tak terbendung. Ia mulai memberanikan diri, bertanya pada penjaga keamanan apartemen tentang keberadaan Naira di sekitar tempat itu. Apalagi lingkungan tersebut cukup sepi dan sibuk dengan aktifitas masing-masing, tak mudah bagi Ken menemui para penghuni yang tinggal di sebelah apartemen Naira. Kartu identitas Ken pun diserahkan sebagai jaminan, agar penjaga itu mau membantunya memutar cctv area koridor yang mengarah ke apartemen milik Naira. Namun, rekaman yang tersimpan hanya menampilkan sosok Naira terakhir masuk ke apartemennya sekitar dua minggu yang lalu, di mana ketika sebelum mendapat hukuman dari Ken.
"Um, maafkan saya bu, kami memang sudah menikah sekitar sebulan yang lalu, acara pernikahan dilakukan secara tertutup. Irene, sahabat Naira hadir mewakili keluarga." "Apa?!" Dahi ibu itu mengkerut, semakin dibuat bingung. "Kenapa mereka tidak memberitahuku?" "Maaf, mungkin mereka belum sempat. Saya mohon bantuan kali ini saja, Bu." Ken menyampaikannya dengan nada yang serius. Ibu itu menatap Ken dengan tanpa ekspresi. Namun, melihat keseriusannya, muncul sedikit pertimbangannya. "Baiklah," ucap Ibu itu, menghela napas dalam. "Sebenarnya, saya Ibunya Irene. Ia pergi sejak siang dan belum kembali, saya menduga ia bertemu Naira. Kau tanyakan langsung saja padanya." "Ta-tapi Bu, saya dan Irene belum begitu akrab. Jika Ibu berkenan, bisakah memberi tahu kemana biasanya mereka pergi." Ibunya Irene terdiam sejenak, seolah menyembunyikan sesuatu, tapi kemungkinan sedang berpikir tentang kebenaran ucapan pria di depannya. "Hm. Kalau begitu, tunjukkan foto pernikahanmu! Baru saya bi
"Um, maafkan saya bu, kami memang sudah menikah sekitar sebulan yang lalu, acara pernikahan dilakukan secara tertutup. Irene, sahabat Naira hadir mewakili keluarga." "Apa?!" Dahi ibu itu mengkerut, semakin dibuat bingung. "Kenapa mereka tidak memberitahuku?" "Maaf, mungkin mereka belum sempat. Saya mohon bantuan kali ini saja, Bu." Ken menyampaikannya dengan nada yang serius. Ibu itu menatap Ken dengan tanpa ekspresi. Namun, melihat keseriusannya, muncul sedikit pertimbangannya. "Baiklah," ucap Ibu itu, menghela napas dalam. "Sebenarnya, saya Ibunya Irene. Ia pergi sejak siang dan belum kembali, saya menduga ia bertemu Naira. Kau tanyakan langsung saja padanya." "Ta-tapi Bu, saya dan Irene belum begitu akrab. Jika Ibu berkenan, bisakah memberi tahu kemana biasanya mereka pergi." Ibunya Irene terdiam sejenak, seolah menyembunyikan sesuatu, tapi kemungkinan sedang berpikir tentang kebenaran ucapan pria di depannya. "Hm. Kalau begitu, tunjukkan foto pernikahanmu! Baru saya bi
Ken menghampiri apartemen Naira, mencoba memencet bel beberapa kali. Namun, sosok Naira tak juga terlihat batang hidungnya. Bolak-balik, Ken mengecek dan menunggu selama beberapa jam di pintu apartemen. Naira, masih tetap tak terlihat sosoknya untuk sekedar keluar membuang sampah ataupun membeli makanan di luar. Kesabaran Ken sudah tak terbendung. Ia mulai memberanikan diri, bertanya pada penjaga keamanan apartemen tentang keberadaan Naira di sekitar tempat itu. Apalagi lingkungan tersebut cukup sepi dan sibuk dengan aktifitas masing-masing, tak mudah bagi Ken menemui para penghuni yang tinggal di sebelah apartemen Naira. Kartu identitas Ken pun diserahkan sebagai jaminan, agar penjaga itu mau membantunya memutar cctv area koridor yang mengarah ke apartemen milik Naira. Namun, rekaman yang tersimpan hanya menampilkan sosok Naira terakhir masuk ke apartemennya sekitar dua minggu yang lalu, di mana ketika sebelum mendapat hukuman dari Ken.
Pantulan cahaya mentari pagi mulai menyusup melewati celah tirai yang tertiup angin, sorotnya mengalirkan kehangatan pagi yang malas. Kelopak mata Naira bergerak mulai terbuka dari tidurnya, ia mengerjap dan perlahan menurunkan kedua kakinya yang terasa lemas dan sedikit gemetar. Ia pun menyadari tubuhnya terasa ringan, dan saat kakinya hendak melangkah, seakan kaku sedikit nyeri di area pangkal pahanya. Ia pun penasaran begitu pantulan dirinya di jendela menampilkan siluet tubuh yang polos, tanpa sehelai pakaian. Dalam sekejap Tubuhnya membeku. Ia pun reflek menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya yang terbuka. Namun, hal itu membuatnya semakin terkejut begitu menoleh ke arah ranjang, sosok Ken sedang tertidur pulas tanpa pakaian luar. Seketika ia berteriak tak bersuara begitu mulai menyadarinya. "Apa yang terjadi?" gumamnya bertanya pada diri sendiri. Kedua bola matanya mulai mengarah ke sekeliling ruangan itu. "Tempat ini ...bukankah apartemen Ken?" Bola matanya membesr
Situasi bar memanas. Beberapa orang berdesakkan karena dorong-dorongan pengunjung yang terpancing berkelahi, akhirnya di bubarkan petugas keamanan bar dengan menyalakan sirine. Sontak semua orang saling membubarkan diri untuk menyelamatkan dirinya agar tak di tangkap, menyisakan Irene yang waspada di pojokkan. Matanya menoleh kesana kemari mencari sosok Naira, namun nihil, ia tak menemukannya. Pria yang membantunya menghadang dari tinjuan pria asing itu menghampiri Irene yang kebingungan. "Kau tak apa-apa, kan?" tanya pria itu, khawatir mengecek kondisi Irene yang terduduk di lantai pojokkan. "Hah? Ti-tidak apa-apa! Saya ... sedang mencari teman saya," jawab Irene gugup dan gelisah. Irene sedikit terpaku begitu melirik sekilas ujung bibir pria di depannya sedikit terluka dan pipinya membiru. "Tadi temanmu duduk di mana?" tanya pria itu membuyarkan tatapan nanar Irene yang memandangnya cukup lama. "Di situ!" se
SLURRPPP ... Suara sedotan plastik beradu dengan dasar minuman kotak yang hampir kosong itu terdengar menyedihkan di telinga Naira. Setiap tarikan napas yang hampa terasa seperti kekosongan pada relung hatinya. Di tangannya, ponselnya terasa dingin, ia membaca ulang setiap bait pesan dari perekrut perusahaan Ken, bahwa ia dinyatakan gagal masuk ke sana. Bagai pukulan telak, sisa satu harapannya ini seolah kandas di tengah jalan. Dari arah kejauhan, tampak Irene berlari kecil mengitari taman, mendekat ke arah Naira yang terduduk sendirian. "Maaf, aku terlambat," Irene terengah, sambil mengeluarkan beberapa makanan ringan dan menyodorkannya ke depan Naira. "Bagaimana hasilnya?" Naira tak menjawab, hanya menyerahkan ponselnya ke tangan Irene. Mata Irene membulat saat membaca pesan itu, "Are you serious? Sehebat Naira William dalam bisnis, ditolak perusahaan Ken? Jangan-jangan mereka salah kirim! Ini tidak mungkin!" "Apa ini ulah suamimu itu?" tanya Irene penuh selidik. "Sudahla
Hari itu mentari pagi mulai meninggi, sinarnya mulai menghangat menembus kulit kepala. Langit biru yang membentang luas tanpa cela, dan harapan baru bagi puluhan orang yang memimpikan kursi perusahaan tambang PT GOLDEN ENERGY bisa terwujud. Bekerja di sebuah perusahaan ternama multinasional memang menjadi incaran bagi setiap orang yang mengharapkan gaji tinggi. Karena dari sanalah, kehidupan yang lebih baik dan terjamin menjadi dambaan bagi setiap orang yang berhasil lolos seleksi. Di ruang tunggu, kursi-kursi berjejer rapi, diduduki para pelamar yang menanti giliran tes wawancara sesuai bidang keahlian masing-masing. Aura antusias bercampur gugup terasa kental. Beberapa kali seorang pria berkemeja memeriksa kerapian dasinya di pantulan jendela, sementara yang lain lirih merapalkan doa-doa, berusaha menenangkan debar jantung yang tak menentu. Di sudut ruangan, di ujung deretan kursi, tampak Naira. Ia duduk dengan kaki terlipat di bawah tubuhnya, mata terpejam, jemarinya bertaut. Nap
"Astaga, dasar mesum!" sembur Naira, suaranya tercekat antara marah dan malu. Ia buru-buru bangkit, tangannya dengan cepat menyapu pakaiannya seolah menghilangkan jejak sentuhan tak sengaja itu. "Hey, kau yang mesum! Bibirmu duluan yang menyerang bibirku!" sanggah Ken, ikut berdiri dengan raut wajah tak terima bercampur sedikit salah tingkah. "Itu karena kau tiba-tiba muncul seperti hantu di belakangku, ya!" balas Naira sengit. "Saya hanya membantumu agar tidak mencium lantai! Harusnya kau berterima kasih, bukan malah melontarkan tuduhan!" tepis Ken bersungut, rahangnya mengeras menahan kekesalan. "Saya bahkan tidak sudi kau ada di belakangku dan menyentuhku!" "Kau memang gadis tidak tahu diuntung! Menyesal sudah berbaik hati!" balas Ken, suaranya meninggi sebelum ia membuang muka dan melangkah lebar menuju ruang kerjanya. Ia meng
Naira merasa ruang geraknya terbatas ketika melihat sosok Ken duduk menghadapnya, mengatakan akan cuti sehari dari pekerjaannya dan memilih untuk tetap di rumah. Pesannya pada bi Mar seolah lenyap begitu saja bahkan mengusirnya saat bi Mar datang membawa sarapan untuk Naira. Bi Mar yang melihat Ken kembali segera menaruh piring makanan di meja dan memberi hormat sebelum keluar kamar. "Urusan kantormu sangat penting, kenapa harus beralasan cuti hanya untuk malas-malasan di sini?!" ucap Naira penasaran. "Hanya satu hari. Libur kemarin ternyata membuat saya masih cukup kelelahan, jadi saya berpikir untuk istirahat kembali," balas Ken meregangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri sambil sesekali melirik ujung kaki Naira yang terbalut plester. 'Cih! Alasan klasik macam apa itu?' maki Naira dalam hatinya. "Apakah seorang Ceo harus merelakan pekerjaan pentingnya demi seorang istri pura-puranya?" "Eits, tunggu! Kau jangan kegeeran, saya cuti bukan karenamu! Saya juga bukan pemalas! Beker
Mentari pagi mulai menyusup dari celah tirai yang tidak tertutup rapat, meliuk-liuk di antara tirai yang tertiup angin. Kehangatan yang semula mendekap Ken dalam kantuk perlahan terusik. Sebuah suara lirih membuatnya membuka mata. Di sana, siluet Naira tampak samar dalam bias cahaya, tubuhnya berpegangan erat pada dinding kamar. Setiap langkahnya adalah perjuangan, memapahnya perlahan penuh kehati-hatian. "Haruskah kau berjalan seperti itu?" suara Ken serak, baru bangkit dari alam mimpi. Ia mengucek matanya yang masih lengket dan menguap lebar. Naira, bagai patung bisu, tak menggubris. Ia terus menyeret kakinya. Meja rias berukir, lemari pakaian yang menjulang, setiap permukaan kokoh menjadi tumpuan sementara dalam perjalanannya menuju kamar mandi. Desakan kandung kemih yang terus menyundul, memberikan siksaan kecil yang terasa begitu besar di tengah kakinya yang kesakitan. Harga diri Naira melarangnya untuk meminta bantuan. Ia tak