Axel keluar dari kamar, melihat sekitar apartemen yang temaram. Namun, netra abu miliknya masih bisa menangkap keberadaan Anne di ruang tengah. Itu semua karena cahaya dari laptop yang tergeletak di atas meja. Melihat jam dinding, Axel lantas melangkah ke dapur untuk membuat sesuatu.
“Matcha addict?” gumamnya saat melihat isi lemari yang menyimpan bahan makanan.
Tangan yang dihiasi urat menambah kesan maskulin Axel kini menyimpan cangkir berisi matcha yang telah dilarutkan di sisi kanan dan cangkir lebih besar berisi susu di tangan kiri. Dengan keahlian yang dia miliki, Axel berhasil membuat dolphin mengapung menghiasi matcha tersebut.
“Still awake?” tanyanya berbasa-basi sembari mengisi bagian kosong sofa, tak lupa untuk meletakkan cangkir biru yang berisi matcha latte ke atas meja.
Anne yang sebenarnya sedang melamun terkejut dengan kedatangan Axel, namun perempuan dengan rambut yang diikat acak itu dengan cepat bersikap biasa saja. “I have work.” Anne lantas menarik laptop dari meja dan memangkunya.
“I see, but not now, Anne.” Axel menarik laptop itu dan mengembalikannya ke atas meja, mengambil matcha latte yang dia buat tadi dan memaksa Anne untuk menerimanya. “Take a shot, this one's for you.”
“Matcha addict, right?” tambahnya.
“Aku sedang tidak ingin,” tolak Anne meletakkan kembali cangkir itu ke atas meja.
Axel termangu sejenak lalu berujar, “I understand, no worries.”
Suara keyboard yang ditekan memenuhi ruang tengah yang juga ruang santai sebuah apartemen dengan dua kamar di lantai atas. Axel yang duduk di single sofa memperhatikan Anne dengan tatapan intens, entah bagaimana ceritanya, dimulai dari malam ini mereka akan tinggal bersama hingga waktu yang tidak bisa ditentukan.
“What’s so special about dolphins?”
Anne mengangkat kepalanya, tak lupa ekspresi bingung yang menghiasi wajahnya.
“Your necklace,” ucap Axel.
Anne lantas memegang kalung dengan liontin lumba-lumba yang telah lama menghiasi lehernya. Sedangkan, Axel menunggu jawaban dari perempuan itu.
“Freedom … maybe?” jawabnya tidak yakin.
“Kebebasan dalam?”
“Dalam segala hal, termasuk masa lalu.” Anne menjawab dengan cepat, dengan suara yang menyempit di akhir lalu perempuan itu kembali fokus dengan pekerjaannya.
“Masa lalu? Apa masa lalumu tidak baik?”
Ujung jari yang menari di atas papan ketik itu berhenti, bibir yang hanya dilapisi pelembab bibir pun terkatup membuat jeda setelah pertanyaan Axel.
“Mind your own business, Axel. Know your limits.” Anne meninggalkan ruang tengah membawa laptop beserta beberapa berkas yang turut menghiasi meja.
***
Anne merasa putus asa untuk mencari pria lain yang bisa membantunya, sulit mencari pria bersih yang sesuai dengan kriterianya.
Malam seperti biasanya, Anne memantapkan langkah untuk kembali mendatangi club tempat dia bertemu dengan Axel beberapa hari yang lalu. Awalnya, Anne mengunjungi cafe yang sama di mana dia bertemu Axel secara tidak sengaja. Namun, Axel tidak ada di sana dan karyawan lain mengatakan jika Axel sudah tidak bekerja di tempat itu lagi.
“Mojito, please,” ucapnya setelah menduduki kursi kosong yang mengelilingi meja bartender.
Fox eyes yang membuat Anne terlihat lebih menawan kini menatap ke sekitar area club, mencari seorang pria yang berhasil membuatnya merasa putus asa. Anne tahu dia itu cantik dan menarik, tak sedikit pria yang menatapnya dengan tatapan memuja. Namun, Anne pemilih dan dia sangat strict, sulit untuk bisa dekat dengannya, terutama untuk seorang pria.
“Sedang mencari seseorang, Nona?” tanya Bartender saat menyerahkan mojito yang Anne pesan.
“Mungkin aku bisa membantumu jika kamu memiliki fotonya. Sulit mencari seseorang di tengah banyaknya orang,” tambahnya.
Anne berpikir untuk beberapa saat, sebelum mengeluarkan ponsel dari shoulder bag yang menghiasi pundak.
“Axel?” sebut Bartender itu.
Anne menurunkan ponselnya. “Ya, kamu tahu? Dia masih bekerja di sini ‘kan?”
Anne melihat ke arah yang pria itu tunjuk, sebuah panggung yang dapat dilihat dari berbagai sisi dan berada di tengah kerumunan. Bukan letak panggung itu yang membuat bola mata coklat madu itu membeliak. Namun, karena keberadaan salah seorang pria yang dia cari tengah menari di atas panggung persegi itu dalam keadaan shirtless. Tarian yang sangat erotis hingga membuat rungu Anne tuli untuk beberapa saat.
“Dia sangat menarik bukan?” goda bartender itu.
Anne berkedip untuk menyadarkan dirinya, juga menghembuskan nafas perlahan untuk menenangkan jantungnya yang berdetak lebih cepat. Menarik gelas mojito lalu meminumnya untuk membasahi tenggorokan yang terasa kering.
“Berapa lama dia bekerja di sini dan … menari seperti itu?” Tenggorokan Anne masih tercekat mengingat tarian yang terasa asing baginya, apalagi dia sempat beradu pandang dengan netra abu Axel.
“Satu tahun mungkin, aku tidak menghitungnya.”
“Kamu bisa menemuinya di backstage setelah pertunjukan. Jangan terlambat atau kamu harus menunggu besok,” tambahnya.
“Apa sesibuk itu?”
“Ya, dia salah satu kunci club ini bisa ramai pengunjung.”
Saat netra abunya menangkap keberadaan Anne saat itu pula bibir Axel menarik senyum seringai. Melanjutkan tariannya hingga akhir, Axel meninggalkan panggung membawa kemeja putih yang telah tergeletak di atas lantai.
“Kai, as always,” ucapnya kini dengan kemeja yang telah dia pakai. Namun, tanpa dikancingkan.
Kai, bartender yang berbincang dengan Anne tadi mengangguk. Saat Kai membuat pesanan Axel, saat itu tubuh Anne membeku.
“Dia mencarimu tadi,” ucapnya menunjuk Anne yang masih diam dengan dagunya.
Axel hanya tersenyum dan dengan lirikan mata meminta Kai memberi ruang pada mereka. Menggenggam leher gelas, Axel menggoyangkan gelas itu beberapa kali sebelum meminumnya.
“Pretty, but where's the party vibe? Just a reminder, this is a club.”
Anne berdehem sebelum berbalik lalu bersitatap dengan Axel yang telah mengangkat alisnya dan tak lama terdengar siulan kecil. Anne memilih mengacuhkannya dan membenarkan letak blazer yang dia pakai di atas long dress.
“Langsung saja, aku ingin membahas do's and don'ts sebelum kita tinggal bersama.”
Axel memainkan lidahnya di dalam rongga mulut, sikap Anne yang langsung to the point terlihat sangat menarik untuknya.
“Jadi, kamu menemuiku lagi karena berubah pikiran?”
“Whatever you say.”
Axel membenarkan posisi duduknya, mengetuk meja bar dengan jari telunjuk tanpa mengucapkan satu patah katapun dan itu membuat Anne mendesis tak suka.
“Tell me,” pinta Axel.
“Pertama, jangan mengusik privasi ku dan jangan pernah memberi perhatian lebih dari yang seharusnya,” ucapnya dengan nada serius.
“Kamu takut jatuh cinta denganku? Yah, aku cukup tahu dengan pesona yang aku miliki. Kamu mengakui hal itu secara tidak langsung, Anne.” Axel tertawa sarkas.
"Keep dreaming, Axel.”
“Dreams do come true, hang in there.”
Anne memutar bola mata. “Yang kedua, tentang seks. Aku tidak ingin ada perlakuan dan ucapan kasar saat kita melakukannya, aku tidak peduli dengan fantasi seks mu karena yang perlu kamu pedulikan adalah kenyamananku! Dan selama aku belum hamil, aku tidak ingin kamu melakukan seks dengan orang lain, dengan atau tanpa pengaman!”
“Alright. Aku tidak masalah dengan yang kedua, yang pertama juga sebenarnya tidak masalah. Hanya saja, aku mungkin tidak bisa tidak memperhatikanmu karena hingga waktu yang tidak bisa kita tentukan hanya kamu perempuan yang ada di hidupku. Juga, aku bukan pria yang cuek. Jadi, cukup jaga hatimu untuk tidak jatuh cinta padaku.”
“Ah, bagaimana dengan anak kita nanti?” tanya Axel setelah keduanya sama-sama bungkam.
“Akan jadi milikku, kamu tidak akan terikat tanggung jawab apapun setelahnya. Kamu bisa pergi membawa semua keuntungan yang kamu dapatkan dan anggap aku tidak pernah ada.”
“You’re totally crazy!”
***
“Morning, I make matcha toast and matcha latte for your breakfast,” sapa Axel saat Anne masuk ke area dapur.
“Aku tidak menyuruhmu melakukan hal ini.”
“Memang, ini hanya inisiatifku.”
Dengan kepala yang sedikit menunduk Anne menatap Axel dari lirikan mata. Pria itu menarik garis senyum dan Anne baru menyadari jika Axel kembali tidak memakai baju untuk menutup tubuh atasnya.
“Tidak perlu melakukannya lagi,” pintanya.
“Jangan berharap. Makanlah.”
“Milikmu?”
“Aku sudah.”
Anne memajukan bibir bawahnya beberapa detik sebelum mengangguk dan mulai menikmati sarapan paginya. Perempuan dengan rambut diikat menjadi satu mencoba untuk tetap biasa saja dan tenang saat dia merasa Axel terus memperhatikannya. Jujur saja, Anne masih belum terbiasa dengan keberadaan pria lain di ruangan yang sama dengannya. Apalagi dengan Axel yang shirtless.
“Where’s your shirt?” tanyanya saat rasa tak nyaman itu semakin menjadi.
Axel menatap tubuhnya, dia memang tidak terbiasa memakai atasan saat di rumah dan laki-laki itu juga berpikir tubuhnya sangat bagus, tidak ada lemak berlebih yang merusak keindahan tubuhnya. Itu kenapa Axel sangat percaya diri meski shirtless.
“Remember to wear your clothes, it's disturbing,” tambah Anne.
Axel kembali menarik salah satu sudut bibirnya saat menangkap maksud Anne.
“My body, my choice.”
“But, this is my home!”
“Easy, just fit it. You didn't say I must wear clothes at home, right?”
“Terserah. Jadi, kapan kita akan memulainya? Aku ingin ini cepat selesai.”
“Kamu yakin, kamu siap? Kita bisa memulainya dengan perlahan, tidak perlu buru-buru.”
“Jika bisa lebih cepat, kenapa tidak?”
Dengan bibir yang masih terkatup, Axel memainkan lidahnya ke semua sisi pipi dalamnya dengan netra abu yang menilai ekspresi Anne. Wajah yang terlihat seperti tak memakai makeup dengan lipstik nude, Anne terlihat seperti perempuan yang sulit digapai. Perempuan dengan pendirian dan tekad yang sulit digoyahkan. Bahkan setiap kalimat yang keluar dari bibirnya terdengar sangat tegas.
Derit kaki kursi yang bergesekan dengan lantai tak membuat suasana tenang yang telah tercipta selama beberapa menit itu terganggu. Axel berjalan mendekati Anne yang masih diam dengan bola mata yang menyiratkan kebingungan.
Saat tangan berurat Axel menyentuh kulit pipi Anne, saat itu tubuh Anne tersentak kaget. Axel mengacuhkannya, mengusap pipi itu dengan gerakan ringan. Bola mata abu dan coklat madu pun saling beradu pandang, sebelum si abu memilih menatap bibir milik coklat madu.
Belum, bibir pink pucat itu belum menyapa bibir berpoles lipstik nude milik Anne saat tangan yang lebih kecil dari tangannya menahan pundak Axel. Axel tersenyum tipis, melirik tangan Anne lalu menurunkannya dan menggenggamnya lembut.
“Is this ready? We're still get to know each other, Anne. Give it time.”
Pintu yang awalnya tertutup rapat, bahkan terkunci kini terbuka menimbulkan derit yang memecah heningnya malam. Celah kecil pintu semakin lebar dengan ujung kaki seseorang yang memakai sandal rumahan mulai melewati batas kamar dengan area luar.Bola mata yang terhalang poni panjang itu berhasil menilik kamar yang hanya diterangi lampu tidur, sebelum berakhir pada seseorang yang terlelap di bawah selimut tebal. Lidah yang masih berada di tempatnya mendorong dinding pipi, lalu kelopak mata itu berkedip perlahan sebelum kaki panjangnya melangkah bersamaan dengan pintu yang kembali tertutup.Cahaya jingga yang menjadi penerang satu-satunya kamar itu padam, ulah dari tangan yang terbungkus sarung tangan berbahan latex. Kini kamar itu benar-benar gelap. Masih seperti sebelumnya, hanya hening yang ada. Ah, tidak, hembusan nafas halus dari pemilik kamar menjadi suara yang masih terdengar, juga gumaman yang terdengar senada dengan hembusan nafas itu.Sarung tangan latex yang dia pakai pun tert
Axel melepas weightlifting belt yang dia pakai setelah melepaskan barbel dari genggamannya, memakai jaket bertudung miliknya dan bergegas kembali ke apartemen Anne setelah membaca pesan dari perempuan itu.Pria itu melatih fisiknya masih di tower apartemen yang sama di mana dia tinggal saat ini, itu kenapa dia tidak membutuhkan banyak waktu untuk sampai di unit. Namun, sesampainya dia di apartemen, ruangan yang bisa mereka gunakan bersama terlihat sepi. Tidak terlihat kehadiran Anne di ruangan itu, bahkan lampu belum menyala meski malam hampir tiba.Saat mencoba berkeliling mencari keberadaan Anne, dia menemukan punggung sempit perempuan itu dibalik pintu yang terhubung dengan balkon. Tak langsung mendekati Anne, Axel memutar arah menuju kamarnya dan keluar dengan membawa selimut.“Lagi hujan, kenapa di luar?” tanya Axel setelah menyelimuti tubuh Anne dengan selimut.Anne yang sedari tadi melamun pun terkejut dengan selimut yang kini menempel pada tubuhnya juga dengan kedatangan Axel.
“Dolphin? Why are you calling me that?” Kedua alis Anne tertekuk tajam.“A special nickname for you from me. It'll bring us closer, maybe.” Axel menatap Anne sesekali lantaran dia yang sedang memotong tomat menjadi beberapa bagian lebih kecil.“Aku tidak butuh! Jangan memanggilku dengan sebutan itu lagi. Aku memperingatkanmu, Axel! Aku memintamu melakukan beberapa hal bukan berarti kamu bisa melewati semua batas.” Wajah Anne terlihat sangat serius dengan kedua tangan yang terkepal di kedua sisi tubuhnya.“Batas?” Salah satu alis Axel terangkat, suara tajam pisau yang menghantam talenan mengisi ruangan itu. Jarak dapur dan ruang tengah memang tidak terlalu luas, didukung keadaan yang hening membuat obrolan jarak jauh mereka tetap terdengar jelas.“Aku hanya memanggilmu My Dolphin agar kita bisa semakin akrab dan tujuanmu segera tercapai. It's the same like sweetheart, sweetie pie, honey, babe or anything else. Itu hanya panggilan akrab.” Axel menyalakan kompor, meletakkan teflon di ata
“What the hell!” Anne mengumpat lirih saat motor vespa berhenti mendadak di depannya.“Apa aku mengejutkanmu?” tanya Axel setelah melepas helm, rambutnya yang sedikit berantakan pun disugar dalam satu gerakan.Anne menatap tak percaya pada Axel juga kendaraan yang pria itu bawa, perempuan itu bahkan berkedip beberapa kali untuk memastikan apa yang dia lihat.Axel dengan motor vespa, itu seperti lelucon bagi Anne. Apa Axel lupa pakaian apa yang dia pakai saat berangkat tadi? Anne memakai long skirt, motor bukan kendaraan yang tepat saat ini.“Axel?” panggilnya dengan nada tak percaya.“Why?” sahutnya dengan nada tengil yang menyebalkan bagi Anne.“See what I'm wearing and … vespa? You’re kidding?”Axel menatap penampilan Anne dari ujung kepala hingga ujung kaki. Perempuan itu masih cantik meski rambut yang pagi tadi tergerai kini telah dicepol. “I’m dead serious. Pakaianmu? Itu bukan masalah, kamu masih bisa duduk menyamping.”Anne menggeleng, masih dengan ketidak percayaannya. “Lebih
Salmon yang awalnya utuh perlahan berkurang. Setiap potongan kecil yang Anne lakukan membawa kenikmatan bagi indra perasanya.Roasted potatoes juga brokoli yang mendampingi pun perlahan berkurang. Semuanya mulai berkurang dari piring. Namun, tidak dengan tegang yang Anne rasakan. Tak ada obrolan yang tercipta, hanya hening yang memeluk keduanya juga detik jam yang samar.Axel yang telah menghabiskan makan malamnya beberapa menit yang lalu, kini tengah menikmati rosé wine sembari menunggu Anne selesai. Pria itu juga menjatuhkan manik abunya pada Anne yang terus tertunduk. Mengamatinya dalam diam.Setelah tegukan terakhir, Axel meletakkan gelasnya, mengambil botol wine lalu mengisi gelas itu lagi. Suara wine yang dituangkan membuat hening sedikit terpecah. “Kamu tidak ingin berkomentar tentang masakanku?” tanyanya.Anne menggeleng. Tangan dan mulutnya masih bekerjasama untuk menghabiskan hidangan makan malam.“Menurutku rasanya sedikit terlalu manis.” Axel kembali berujar dengan tangan
Anne menghela nafas, dagunya tersimpan di antara lutut setelah bercerita panjang lebar. Perempuan itu memutuskan menghubungi Genie saat kedua matanya tak ingin terlelap. Dia butuh petuah untuk hubungan yang dia mulai. Hubungan kontrak yang Anne pikir mudah, nyatanya terasa sangat rumit. Genie yang berada di dalam layar laptop memusatkan perhatiannya pada Anne. “Semua tergantung dirimu. Kalau kamu memang belum siap, it’s fine. Katakan padanya dan aku yakin dia akan menghargaimu. Lagipula dia tidak memaksamu untuk buru-buru dan kamu yang memegang kendali hubungan itu ‘kan?” Genie benar, Axel memang tak ingin buru-buru. Namun, Anne yang ingin hubungan itu cepat selesai dan faktanya perempuan itu juga yang belum siap. “Based on your story, I think he’s a great person,” ujar Genie. “Kamu juga udah cari tahu latar belakangnya ‘kan?” lanjutnya bertanya. *** Anne menikmati teh hijau miliknya di kitchen bar, sembari menonton aksi memasak Axel di sisi seberang. Mereka memang berada
Axel menyalakan layar ponsel yang telah tergeletak sejak dia duduk di ruang tengah. Pukul 12.06, tengah malam telah terlewat. Namun, Anne tak kunjung pulang, bahkan satupun pesan ataupun telepon yang Axel lakukan tak mendapat balasan.Pria itu segera bangkit dari duduknya saat hentakan heels tertangkap rungunya setelah suara pintu yang dibuka terdengar. Bayangan seseorang mulai terlihat. Tanpa sadar, hela nafas lega terdengar di antara hening.“You late,” ucapnya saat Anne telah tertangkap netranya. Perempuan yang dia tunggu sejak matahari hampir terbenam hingga bulan telah tertutup awan dan kini hujan telah membasahi jalanan juga atap bangunan.Anne berhenti, wajah perempuan itu terlihat sangat lelah dengan kelopak mata yang turun. “Ada banyak hal yang harus aku kerjakan,” ujarnya dengan nada datar.Axel mengernyit. Pria itu masih ingat dengan obrolan ringan mereka tadi pagi, mengira jika Anne mulai membuka ruang untuknya. Namun, Axel lupa dengan kalimat terakhir yang Anne ucapkan. P
“Don’t you ever get bored?” Anne menghampiri Axel setelah menyelesaikan sesi pilatesnya. Keringat masih membasahi pelipis dan lehernya.Walaupun pilates terlihat mudah, sebenarnya tidak semudah itu juga. Apapun itu, Anne tetap menyukainya. Perempuan itu kini tengah menyeka keringatnya dengan handuk yang tersimpan di tas yang berada di samping Axel.Biasanya Anne datang ke studio pilates seorang diri. Namun, hari ini dia datang dengan Axel yang memaksa ikut walaupun pria itu hanya duduk dan menonton di sudut ruangan.“Setelah aku pikir-pikir, akan lebih baik kalau aku mengantar-jemputmu. Selain aku ngerasa tenang, kamu juga bisa lebih cepat beristirahat di mobil,” ucap Axel setelah mereka menyelesaikan sarapan dan Anne yang hendak pergi.Anne awalnya menolak dengan alasan dia biasa sendiri. Namun, Axel sangat pandai membujuknya sehingga ia menyetujui. Lagipula Anne tidak dirugikan apapun.Axel yang telah memperhatikan Anne sejak perempuan itu memulai sesinya kini berdiri. “Never.” jawa
Anne menatap Axel dengan sinis setelah mendengar ide yang keluar dari mulut pria itu. “Kamu tidur di kamar ini … bersamaku? Big no! Obat itu lebih baik daripada ide gilamu.” “What’s on your mind, Anne?” Axel menggeleng dengan tawa kecil yang mengudara. “Aku hanya ingin membantumu lepas dari obat itu, juga mimpi burukmu. Aku hanya menemanimu tidur, tidur pada umumnya,” sambung Axel, suaranya terdengar ringan karena pria itu memang tidak memiliki maksud lain.“You can say that to an innocent girl outside,” ucap Anne dengan nada sinis. Perempuan itu lantas membaringkan tubuhnya, menarik selimut hingga setinggi leher. “Leave as soon as you’re done,” suruhnya dingin, lalu menutup seluruh wajahnya dan memunggungi Axel.Axel terdiam, pria itu belum menyerah. “Anne, dengarkan aku,” pintanya.Anne mengatupkan bibirnya. Namun, rungunya selalu menangkap setiap ocehan Axel.“Aku tidak sedang mencari kesempatan.” Axel menghela nafas, kedua bola matanya tertuju pada punggung Anne yang tertutu
Axel mengetuk-ngetuk kemudi dengan ujung jarinya, sudut matanya sesekali melirik Anne yang duduk tenang di sampingnya dengan bibir menggumamkan lirik dari lagu yang kini memenuhi mobil. Ini adalah hari pertama Axel menjemput Anne dan dia dikejutkan dengan playlist musik perempuan itu.“Push me down, hold me down, spit in my mouth while you turn me out,” gumam Anne, suaranya terdengar lembut, hampir terdengar seperti bisikan. Perempuan itu terlihat menghayati setiap lirik yang dia gumamkan. Kedua bola matanya bahkan bersembunyi di balik kelopak mata.Sedangkan Axel, pria itu mencengkram kemudi lebih erat saat gumaman itu menusuk setiap inci gendang telinganya. Telinga pria itu merona merah, dengan bibir bagian dalam yang tertahan di antara gigi. Setiap lirik yang keluar dari bibir Anne seakan mencekik leher Axel secara perlahan. Itu terlalu frontal.“Your music vibe –” Axel menoleh ke arah Anne saat lampu merah menghentikan gerak mobil mereka.Anne membuka kelopak matanya. “Something’s
“Don’t you ever get bored?” Anne menghampiri Axel setelah menyelesaikan sesi pilatesnya. Keringat masih membasahi pelipis dan lehernya.Walaupun pilates terlihat mudah, sebenarnya tidak semudah itu juga. Apapun itu, Anne tetap menyukainya. Perempuan itu kini tengah menyeka keringatnya dengan handuk yang tersimpan di tas yang berada di samping Axel.Biasanya Anne datang ke studio pilates seorang diri. Namun, hari ini dia datang dengan Axel yang memaksa ikut walaupun pria itu hanya duduk dan menonton di sudut ruangan.“Setelah aku pikir-pikir, akan lebih baik kalau aku mengantar-jemputmu. Selain aku ngerasa tenang, kamu juga bisa lebih cepat beristirahat di mobil,” ucap Axel setelah mereka menyelesaikan sarapan dan Anne yang hendak pergi.Anne awalnya menolak dengan alasan dia biasa sendiri. Namun, Axel sangat pandai membujuknya sehingga ia menyetujui. Lagipula Anne tidak dirugikan apapun.Axel yang telah memperhatikan Anne sejak perempuan itu memulai sesinya kini berdiri. “Never.” jawa
Axel menyalakan layar ponsel yang telah tergeletak sejak dia duduk di ruang tengah. Pukul 12.06, tengah malam telah terlewat. Namun, Anne tak kunjung pulang, bahkan satupun pesan ataupun telepon yang Axel lakukan tak mendapat balasan.Pria itu segera bangkit dari duduknya saat hentakan heels tertangkap rungunya setelah suara pintu yang dibuka terdengar. Bayangan seseorang mulai terlihat. Tanpa sadar, hela nafas lega terdengar di antara hening.“You late,” ucapnya saat Anne telah tertangkap netranya. Perempuan yang dia tunggu sejak matahari hampir terbenam hingga bulan telah tertutup awan dan kini hujan telah membasahi jalanan juga atap bangunan.Anne berhenti, wajah perempuan itu terlihat sangat lelah dengan kelopak mata yang turun. “Ada banyak hal yang harus aku kerjakan,” ujarnya dengan nada datar.Axel mengernyit. Pria itu masih ingat dengan obrolan ringan mereka tadi pagi, mengira jika Anne mulai membuka ruang untuknya. Namun, Axel lupa dengan kalimat terakhir yang Anne ucapkan. P
Anne menghela nafas, dagunya tersimpan di antara lutut setelah bercerita panjang lebar. Perempuan itu memutuskan menghubungi Genie saat kedua matanya tak ingin terlelap. Dia butuh petuah untuk hubungan yang dia mulai. Hubungan kontrak yang Anne pikir mudah, nyatanya terasa sangat rumit. Genie yang berada di dalam layar laptop memusatkan perhatiannya pada Anne. “Semua tergantung dirimu. Kalau kamu memang belum siap, it’s fine. Katakan padanya dan aku yakin dia akan menghargaimu. Lagipula dia tidak memaksamu untuk buru-buru dan kamu yang memegang kendali hubungan itu ‘kan?” Genie benar, Axel memang tak ingin buru-buru. Namun, Anne yang ingin hubungan itu cepat selesai dan faktanya perempuan itu juga yang belum siap. “Based on your story, I think he’s a great person,” ujar Genie. “Kamu juga udah cari tahu latar belakangnya ‘kan?” lanjutnya bertanya. *** Anne menikmati teh hijau miliknya di kitchen bar, sembari menonton aksi memasak Axel di sisi seberang. Mereka memang berada
Salmon yang awalnya utuh perlahan berkurang. Setiap potongan kecil yang Anne lakukan membawa kenikmatan bagi indra perasanya.Roasted potatoes juga brokoli yang mendampingi pun perlahan berkurang. Semuanya mulai berkurang dari piring. Namun, tidak dengan tegang yang Anne rasakan. Tak ada obrolan yang tercipta, hanya hening yang memeluk keduanya juga detik jam yang samar.Axel yang telah menghabiskan makan malamnya beberapa menit yang lalu, kini tengah menikmati rosé wine sembari menunggu Anne selesai. Pria itu juga menjatuhkan manik abunya pada Anne yang terus tertunduk. Mengamatinya dalam diam.Setelah tegukan terakhir, Axel meletakkan gelasnya, mengambil botol wine lalu mengisi gelas itu lagi. Suara wine yang dituangkan membuat hening sedikit terpecah. “Kamu tidak ingin berkomentar tentang masakanku?” tanyanya.Anne menggeleng. Tangan dan mulutnya masih bekerjasama untuk menghabiskan hidangan makan malam.“Menurutku rasanya sedikit terlalu manis.” Axel kembali berujar dengan tangan
“What the hell!” Anne mengumpat lirih saat motor vespa berhenti mendadak di depannya.“Apa aku mengejutkanmu?” tanya Axel setelah melepas helm, rambutnya yang sedikit berantakan pun disugar dalam satu gerakan.Anne menatap tak percaya pada Axel juga kendaraan yang pria itu bawa, perempuan itu bahkan berkedip beberapa kali untuk memastikan apa yang dia lihat.Axel dengan motor vespa, itu seperti lelucon bagi Anne. Apa Axel lupa pakaian apa yang dia pakai saat berangkat tadi? Anne memakai long skirt, motor bukan kendaraan yang tepat saat ini.“Axel?” panggilnya dengan nada tak percaya.“Why?” sahutnya dengan nada tengil yang menyebalkan bagi Anne.“See what I'm wearing and … vespa? You’re kidding?”Axel menatap penampilan Anne dari ujung kepala hingga ujung kaki. Perempuan itu masih cantik meski rambut yang pagi tadi tergerai kini telah dicepol. “I’m dead serious. Pakaianmu? Itu bukan masalah, kamu masih bisa duduk menyamping.”Anne menggeleng, masih dengan ketidak percayaannya. “Lebih
“Dolphin? Why are you calling me that?” Kedua alis Anne tertekuk tajam.“A special nickname for you from me. It'll bring us closer, maybe.” Axel menatap Anne sesekali lantaran dia yang sedang memotong tomat menjadi beberapa bagian lebih kecil.“Aku tidak butuh! Jangan memanggilku dengan sebutan itu lagi. Aku memperingatkanmu, Axel! Aku memintamu melakukan beberapa hal bukan berarti kamu bisa melewati semua batas.” Wajah Anne terlihat sangat serius dengan kedua tangan yang terkepal di kedua sisi tubuhnya.“Batas?” Salah satu alis Axel terangkat, suara tajam pisau yang menghantam talenan mengisi ruangan itu. Jarak dapur dan ruang tengah memang tidak terlalu luas, didukung keadaan yang hening membuat obrolan jarak jauh mereka tetap terdengar jelas.“Aku hanya memanggilmu My Dolphin agar kita bisa semakin akrab dan tujuanmu segera tercapai. It's the same like sweetheart, sweetie pie, honey, babe or anything else. Itu hanya panggilan akrab.” Axel menyalakan kompor, meletakkan teflon di ata
Axel melepas weightlifting belt yang dia pakai setelah melepaskan barbel dari genggamannya, memakai jaket bertudung miliknya dan bergegas kembali ke apartemen Anne setelah membaca pesan dari perempuan itu.Pria itu melatih fisiknya masih di tower apartemen yang sama di mana dia tinggal saat ini, itu kenapa dia tidak membutuhkan banyak waktu untuk sampai di unit. Namun, sesampainya dia di apartemen, ruangan yang bisa mereka gunakan bersama terlihat sepi. Tidak terlihat kehadiran Anne di ruangan itu, bahkan lampu belum menyala meski malam hampir tiba.Saat mencoba berkeliling mencari keberadaan Anne, dia menemukan punggung sempit perempuan itu dibalik pintu yang terhubung dengan balkon. Tak langsung mendekati Anne, Axel memutar arah menuju kamarnya dan keluar dengan membawa selimut.“Lagi hujan, kenapa di luar?” tanya Axel setelah menyelimuti tubuh Anne dengan selimut.Anne yang sedari tadi melamun pun terkejut dengan selimut yang kini menempel pada tubuhnya juga dengan kedatangan Axel.