Axel keluar dari kamar, melihat sekitar apartemen yang temaram. Namun, netra abu miliknya masih bisa menangkap keberadaan Anne di ruang tengah. Itu semua karena cahaya dari laptop yang tergeletak di atas meja. Melihat jam dinding, Axel lantas melangkah ke dapur untuk membuat sesuatu.
“Matcha addict?” gumamnya saat melihat isi lemari yang menyimpan bahan makanan.
Tangan yang dihiasi urat menambah kesan maskulin Axel kini menyimpan cangkir berisi matcha yang telah dilarutkan di sisi kanan dan cangkir lebih besar berisi susu di tangan kiri. Dengan keahlian yang dia miliki, Axel berhasil membuat dolphin mengapung menghiasi matcha tersebut.
“Still awake?” tanyanya berbasa-basi sembari mengisi bagian kosong sofa, tak lupa untuk meletakkan cangkir biru yang berisi matcha latte ke atas meja.
Anne yang sebenarnya sedang melamun terkejut dengan kedatangan Axel, namun perempuan dengan rambut yang diikat acak itu dengan cepat bersikap biasa saja. “I have work.” Anne lantas menarik laptop dari meja dan memangkunya.
“I see, but not now, Anne.” Axel menarik laptop itu dan mengembalikannya ke atas meja, mengambil matcha latte yang dia buat tadi dan memaksa Anne untuk menerimanya. “Take a shot, this one's for you.”
“Matcha addict, right?” tambahnya.
“Aku sedang tidak ingin,” tolak Anne meletakkan kembali cangkir itu ke atas meja.
Axel termangu sejenak lalu berujar, “I understand, no worries.”
Suara keyboard yang ditekan memenuhi ruang tengah yang juga ruang santai sebuah apartemen dengan dua kamar di lantai atas. Axel yang duduk di single sofa memperhatikan Anne dengan tatapan intens, entah bagaimana ceritanya, dimulai dari malam ini mereka akan tinggal bersama hingga waktu yang tidak bisa ditentukan.
“What’s so special about dolphins?”
Anne mengangkat kepalanya, tak lupa ekspresi bingung yang menghiasi wajahnya.
“Your necklace,” ucap Axel.
Anne lantas memegang kalung dengan liontin lumba-lumba yang telah lama menghiasi lehernya. Sedangkan, Axel menunggu jawaban dari perempuan itu.
“Freedom … maybe?” jawabnya tidak yakin.
“Kebebasan dalam?”
“Dalam segala hal, termasuk masa lalu.” Anne menjawab dengan cepat, dengan suara yang menyempit di akhir lalu perempuan itu kembali fokus dengan pekerjaannya.
“Masa lalu? Apa masa lalumu tidak baik?”
Ujung jari yang menari di atas papan ketik itu berhenti, bibir yang hanya dilapisi pelembab bibir pun terkatup membuat jeda setelah pertanyaan Axel.
“Mind your own business, Axel. Know your limits.” Anne meninggalkan ruang tengah membawa laptop beserta beberapa berkas yang turut menghiasi meja.
***
Anne merasa putus asa untuk mencari pria lain yang bisa membantunya, sulit mencari pria bersih yang sesuai dengan kriterianya.
Malam seperti biasanya, Anne memantapkan langkah untuk kembali mendatangi club tempat dia bertemu dengan Axel beberapa hari yang lalu. Awalnya, Anne mengunjungi cafe yang sama di mana dia bertemu Axel secara tidak sengaja. Namun, Axel tidak ada di sana dan karyawan lain mengatakan jika Axel sudah tidak bekerja di tempat itu lagi.
“Mojito, please,” ucapnya setelah menduduki kursi kosong yang mengelilingi meja bartender.
Fox eyes yang membuat Anne terlihat lebih menawan kini menatap ke sekitar area club, mencari seorang pria yang berhasil membuatnya merasa putus asa. Anne tahu dia itu cantik dan menarik, tak sedikit pria yang menatapnya dengan tatapan memuja. Namun, Anne pemilih dan dia sangat strict, sulit untuk bisa dekat dengannya, terutama untuk seorang pria.
“Sedang mencari seseorang, Nona?” tanya Bartender saat menyerahkan mojito yang Anne pesan.
“Mungkin aku bisa membantumu jika kamu memiliki fotonya. Sulit mencari seseorang di tengah banyaknya orang,” tambahnya.
Anne berpikir untuk beberapa saat, sebelum mengeluarkan ponsel dari shoulder bag yang menghiasi pundak.
“Axel?” sebut Bartender itu.
Anne menurunkan ponselnya. “Ya, kamu tahu? Dia masih bekerja di sini ‘kan?”
Anne melihat ke arah yang pria itu tunjuk, sebuah panggung yang dapat dilihat dari berbagai sisi dan berada di tengah kerumunan. Bukan letak panggung itu yang membuat bola mata coklat madu itu membeliak. Namun, karena keberadaan salah seorang pria yang dia cari tengah menari di atas panggung persegi itu dalam keadaan shirtless. Tarian yang sangat erotis hingga membuat rungu Anne tuli untuk beberapa saat.
“Dia sangat menarik bukan?” goda bartender itu.
Anne berkedip untuk menyadarkan dirinya, juga menghembuskan nafas perlahan untuk menenangkan jantungnya yang berdetak lebih cepat. Menarik gelas mojito lalu meminumnya untuk membasahi tenggorokan yang terasa kering.
“Berapa lama dia bekerja di sini dan … menari seperti itu?” Tenggorokan Anne masih tercekat mengingat tarian yang terasa asing baginya, apalagi dia sempat beradu pandang dengan netra abu Axel.
“Satu tahun mungkin, aku tidak menghitungnya.”
“Kamu bisa menemuinya di backstage setelah pertunjukan. Jangan terlambat atau kamu harus menunggu besok,” tambahnya.
“Apa sesibuk itu?”
“Ya, dia salah satu kunci club ini bisa ramai pengunjung.”
Saat netra abunya menangkap keberadaan Anne saat itu pula bibir Axel menarik senyum seringai. Melanjutkan tariannya hingga akhir, Axel meninggalkan panggung membawa kemeja putih yang telah tergeletak di atas lantai.
“Kai, as always,” ucapnya kini dengan kemeja yang telah dia pakai. Namun, tanpa dikancingkan.
Kai, bartender yang berbincang dengan Anne tadi mengangguk. Saat Kai membuat pesanan Axel, saat itu tubuh Anne membeku.
“Dia mencarimu tadi,” ucapnya menunjuk Anne yang masih diam dengan dagunya.
Axel hanya tersenyum dan dengan lirikan mata meminta Kai memberi ruang pada mereka. Menggenggam leher gelas, Axel menggoyangkan gelas itu beberapa kali sebelum meminumnya.
“Pretty, but where's the party vibe? Just a reminder, this is a club.”
Anne berdehem sebelum berbalik lalu bersitatap dengan Axel yang telah mengangkat alisnya dan tak lama terdengar siulan kecil. Anne memilih mengacuhkannya dan membenarkan letak blazer yang dia pakai di atas long dress.
“Langsung saja, aku ingin membahas do's and don'ts sebelum kita tinggal bersama.”
Axel memainkan lidahnya di dalam rongga mulut, sikap Anne yang langsung to the point terlihat sangat menarik untuknya.
“Jadi, kamu menemuiku lagi karena berubah pikiran?”
“Whatever you say.”
Axel membenarkan posisi duduknya, mengetuk meja bar dengan jari telunjuk tanpa mengucapkan satu patah katapun dan itu membuat Anne mendesis tak suka.
“Tell me,” pinta Axel.
“Pertama, jangan mengusik privasi ku dan jangan pernah memberi perhatian lebih dari yang seharusnya,” ucapnya dengan nada serius.
“Kamu takut jatuh cinta denganku? Yah, aku cukup tahu dengan pesona yang aku miliki. Kamu mengakui hal itu secara tidak langsung, Anne.” Axel tertawa sarkas.
"Keep dreaming, Axel.”
“Dreams do come true, hang in there.”
Anne memutar bola mata. “Yang kedua, tentang seks. Aku tidak ingin ada perlakuan dan ucapan kasar saat kita melakukannya, aku tidak peduli dengan fantasi seks mu karena yang perlu kamu pedulikan adalah kenyamananku! Dan selama aku belum hamil, aku tidak ingin kamu melakukan seks dengan orang lain, dengan atau tanpa pengaman!”
“Alright. Aku tidak masalah dengan yang kedua, yang pertama juga sebenarnya tidak masalah. Hanya saja, aku mungkin tidak bisa tidak memperhatikanmu karena hingga waktu yang tidak bisa kita tentukan hanya kamu perempuan yang ada di hidupku. Juga, aku bukan pria yang cuek. Jadi, cukup jaga hatimu untuk tidak jatuh cinta padaku.”
“Ah, bagaimana dengan anak kita nanti?” tanya Axel setelah keduanya sama-sama bungkam.
“Akan jadi milikku, kamu tidak akan terikat tanggung jawab apapun setelahnya. Kamu bisa pergi membawa semua keuntungan yang kamu dapatkan dan anggap aku tidak pernah ada.”
“You’re totally crazy!”
***
“Morning, I make matcha toast and matcha latte for your breakfast,” sapa Axel saat Anne masuk ke area dapur.
“Aku tidak menyuruhmu melakukan hal ini.”
“Memang, ini hanya inisiatifku.”
Dengan kepala yang sedikit menunduk Anne menatap Axel dari lirikan mata. Pria itu menarik garis senyum dan Anne baru menyadari jika Axel kembali tidak memakai baju untuk menutup tubuh atasnya.
“Tidak perlu melakukannya lagi,” pintanya.
“Jangan berharap. Makanlah.”
“Milikmu?”
“Aku sudah.”
Anne memajukan bibir bawahnya beberapa detik sebelum mengangguk dan mulai menikmati sarapan paginya. Perempuan dengan rambut diikat menjadi satu mencoba untuk tetap biasa saja dan tenang saat dia merasa Axel terus memperhatikannya. Jujur saja, Anne masih belum terbiasa dengan keberadaan pria lain di ruangan yang sama dengannya. Apalagi dengan Axel yang shirtless.
“Where’s your shirt?” tanyanya saat rasa tak nyaman itu semakin menjadi.
Axel menatap tubuhnya, dia memang tidak terbiasa memakai atasan saat di rumah dan laki-laki itu juga berpikir tubuhnya sangat bagus, tidak ada lemak berlebih yang merusak keindahan tubuhnya. Itu kenapa Axel sangat percaya diri meski shirtless.
“Remember to wear your clothes, it's disturbing,” tambah Anne.
Axel kembali menarik salah satu sudut bibirnya saat menangkap maksud Anne.
“My body, my choice.”
“But, this is my home!”
“Easy, just fit it. You didn't say I must wear clothes at home, right?”
“Terserah. Jadi, kapan kita akan memulainya? Aku ingin ini cepat selesai.”
“Kamu yakin, kamu siap? Kita bisa memulainya dengan perlahan, tidak perlu buru-buru.”
“Jika bisa lebih cepat, kenapa tidak?”
Dengan bibir yang masih terkatup, Axel memainkan lidahnya ke semua sisi pipi dalamnya dengan netra abu yang menilai ekspresi Anne. Wajah yang terlihat seperti tak memakai makeup dengan lipstik nude, Anne terlihat seperti perempuan yang sulit digapai. Perempuan dengan pendirian dan tekad yang sulit digoyahkan. Bahkan setiap kalimat yang keluar dari bibirnya terdengar sangat tegas.
Derit kaki kursi yang bergesekan dengan lantai tak membuat suasana tenang yang telah tercipta selama beberapa menit itu terganggu. Axel berjalan mendekati Anne yang masih diam dengan bola mata yang menyiratkan kebingungan.
Saat tangan berurat Axel menyentuh kulit pipi Anne, saat itu tubuh Anne tersentak kaget. Axel mengacuhkannya, mengusap pipi itu dengan gerakan ringan. Bola mata abu dan coklat madu pun saling beradu pandang, sebelum si abu memilih menatap bibir milik coklat madu.
Belum, bibir pink pucat itu belum menyapa bibir berpoles lipstik nude milik Anne saat tangan yang lebih kecil dari tangannya menahan pundak Axel. Axel tersenyum tipis, melirik tangan Anne lalu menurunkannya dan menggenggamnya lembut.
“Is this ready? We're still get to know each other, Anne. Give it time.”
Pintu yang awalnya tertutup rapat, bahkan terkunci kini terbuka menimbulkan derit yang memecah heningnya malam. Celah kecil pintu semakin lebar dengan ujung kaki seseorang yang memakai sandal rumahan mulai melewati batas kamar dengan area luar.Bola mata yang terhalang poni panjang itu berhasil menilik kamar yang hanya diterangi lampu tidur, sebelum berakhir pada seseorang yang terlelap di bawah selimut tebal. Lidah yang masih berada di tempatnya mendorong dinding pipi, lalu kelopak mata itu berkedip perlahan sebelum kaki panjangnya melangkah bersamaan dengan pintu yang kembali tertutup.Cahaya jingga yang menjadi penerang satu-satunya kamar itu padam, ulah dari tangan yang terbungkus sarung tangan berbahan latex. Kini kamar itu benar-benar gelap. Masih seperti sebelumnya, hanya hening yang ada. Ah, tidak, hembusan nafas halus dari pemilik kamar menjadi suara yang masih terdengar, juga gumaman yang terdengar senada dengan hembusan nafas itu.Sarung tangan latex yang dia pakai pun tert
Axel melepas weightlifting belt yang dia pakai setelah melepaskan barbel dari genggamannya, memakai jaket bertudung miliknya dan bergegas kembali ke apartemen Anne setelah membaca pesan dari perempuan itu.Pria itu melatih fisiknya masih di tower apartemen yang sama di mana dia tinggal saat ini, itu kenapa dia tidak membutuhkan banyak waktu untuk sampai di unit. Namun, sesampainya dia di apartemen, ruangan yang bisa mereka gunakan bersama terlihat sepi. Tidak terlihat kehadiran Anne di ruangan itu, bahkan lampu belum menyala meski malam hampir tiba.Saat mencoba berkeliling mencari keberadaan Anne, dia menemukan punggung sempit perempuan itu dibalik pintu yang terhubung dengan balkon. Tak langsung mendekati Anne, Axel memutar arah menuju kamarnya dan keluar dengan membawa selimut.“Lagi hujan, kenapa di luar?” tanya Axel setelah menyelimuti tubuh Anne dengan selimut.Anne yang sedari tadi melamun pun terkejut dengan selimut yang kini menempel pada tubuhnya juga dengan kedatangan Axel.
“Dolphin? Why are you calling me that?” Kedua alis Anne tertekuk tajam.“A special nickname for you from me. It'll bring us closer, maybe.” Axel menatap Anne sesekali lantaran dia yang sedang memotong tomat menjadi beberapa bagian lebih kecil.“Aku tidak butuh! Jangan memanggilku dengan sebutan itu lagi. Aku memperingatkanmu, Axel! Aku memintamu melakukan beberapa hal bukan berarti kamu bisa melewati semua batas.” Wajah Anne terlihat sangat serius dengan kedua tangan yang terkepal di kedua sisi tubuhnya.“Batas?” Salah satu alis Axel terangkat, suara tajam pisau yang menghantam talenan mengisi ruangan itu. Jarak dapur dan ruang tengah memang tidak terlalu luas, didukung keadaan yang hening membuat obrolan jarak jauh mereka tetap terdengar jelas.“Aku hanya memanggilmu My Dolphin agar kita bisa semakin akrab dan tujuanmu segera tercapai. It's the same like sweetheart, sweetie pie, honey, babe or anything else. Itu hanya panggilan akrab.” Axel menyalakan kompor, meletakkan teflon di ata
“Kamu cukup buat saya hamil dan kamu akan mendapat semua benefits yang tertulis di surat kontrak itu,” ucap Anne dengan suara tegasnya.Axel melihat kertas putih yang telah dibasahi tanda tangan Anne sebelum menatap perempuan yang berpenampilan layaknya orang dengan prinsip kuat dan sulit digoyahkan. Mereka memang baru pertama kali bertemu. Namun, Axel sangat berani bertaruh jika Anne memang seperti penilaiannya, apalagi perempuan itu memakai setelan kantor hitam yang masih terlihat kasual.“100 ribu dolar?” Axel menyebutkan jumlah uang yang menjadi bagian paling menarik meski Anne juga memberikan benefits lain di atas kertas itu.“Kurang? Berapa yang kamu mau?”Sejak kuliah hingga berusia 32 tahun Anne telah menggeluti dunia bisnis yang semakin menghasilkan setiap tahunnya, dia tidak takut jika harus membayar gigolo itu dengan bayaran yang lebih tinggi dari penawarannya, asal dia mendapatkan apa yang dia mau. Uang bukan batu besar yang menghalangi langkah Anne.“Untuk sekarang cukup,
“Dolphin? Why are you calling me that?” Kedua alis Anne tertekuk tajam.“A special nickname for you from me. It'll bring us closer, maybe.” Axel menatap Anne sesekali lantaran dia yang sedang memotong tomat menjadi beberapa bagian lebih kecil.“Aku tidak butuh! Jangan memanggilku dengan sebutan itu lagi. Aku memperingatkanmu, Axel! Aku memintamu melakukan beberapa hal bukan berarti kamu bisa melewati semua batas.” Wajah Anne terlihat sangat serius dengan kedua tangan yang terkepal di kedua sisi tubuhnya.“Batas?” Salah satu alis Axel terangkat, suara tajam pisau yang menghantam talenan mengisi ruangan itu. Jarak dapur dan ruang tengah memang tidak terlalu luas, didukung keadaan yang hening membuat obrolan jarak jauh mereka tetap terdengar jelas.“Aku hanya memanggilmu My Dolphin agar kita bisa semakin akrab dan tujuanmu segera tercapai. It's the same like sweetheart, sweetie pie, honey, babe or anything else. Itu hanya panggilan akrab.” Axel menyalakan kompor, meletakkan teflon di ata
Axel melepas weightlifting belt yang dia pakai setelah melepaskan barbel dari genggamannya, memakai jaket bertudung miliknya dan bergegas kembali ke apartemen Anne setelah membaca pesan dari perempuan itu.Pria itu melatih fisiknya masih di tower apartemen yang sama di mana dia tinggal saat ini, itu kenapa dia tidak membutuhkan banyak waktu untuk sampai di unit. Namun, sesampainya dia di apartemen, ruangan yang bisa mereka gunakan bersama terlihat sepi. Tidak terlihat kehadiran Anne di ruangan itu, bahkan lampu belum menyala meski malam hampir tiba.Saat mencoba berkeliling mencari keberadaan Anne, dia menemukan punggung sempit perempuan itu dibalik pintu yang terhubung dengan balkon. Tak langsung mendekati Anne, Axel memutar arah menuju kamarnya dan keluar dengan membawa selimut.“Lagi hujan, kenapa di luar?” tanya Axel setelah menyelimuti tubuh Anne dengan selimut.Anne yang sedari tadi melamun pun terkejut dengan selimut yang kini menempel pada tubuhnya juga dengan kedatangan Axel.
Pintu yang awalnya tertutup rapat, bahkan terkunci kini terbuka menimbulkan derit yang memecah heningnya malam. Celah kecil pintu semakin lebar dengan ujung kaki seseorang yang memakai sandal rumahan mulai melewati batas kamar dengan area luar.Bola mata yang terhalang poni panjang itu berhasil menilik kamar yang hanya diterangi lampu tidur, sebelum berakhir pada seseorang yang terlelap di bawah selimut tebal. Lidah yang masih berada di tempatnya mendorong dinding pipi, lalu kelopak mata itu berkedip perlahan sebelum kaki panjangnya melangkah bersamaan dengan pintu yang kembali tertutup.Cahaya jingga yang menjadi penerang satu-satunya kamar itu padam, ulah dari tangan yang terbungkus sarung tangan berbahan latex. Kini kamar itu benar-benar gelap. Masih seperti sebelumnya, hanya hening yang ada. Ah, tidak, hembusan nafas halus dari pemilik kamar menjadi suara yang masih terdengar, juga gumaman yang terdengar senada dengan hembusan nafas itu.Sarung tangan latex yang dia pakai pun tert
Axel keluar dari kamar, melihat sekitar apartemen yang temaram. Namun, netra abu miliknya masih bisa menangkap keberadaan Anne di ruang tengah. Itu semua karena cahaya dari laptop yang tergeletak di atas meja. Melihat jam dinding, Axel lantas melangkah ke dapur untuk membuat sesuatu.“Matcha addict?” gumamnya saat melihat isi lemari yang menyimpan bahan makanan.Tangan yang dihiasi urat menambah kesan maskulin Axel kini menyimpan cangkir berisi matcha yang telah dilarutkan di sisi kanan dan cangkir lebih besar berisi susu di tangan kiri. Dengan keahlian yang dia miliki, Axel berhasil membuat dolphin mengapung menghiasi matcha tersebut.“Still awake?” tanyanya berbasa-basi sembari mengisi bagian kosong sofa, tak lupa untuk meletakkan cangkir biru yang berisi matcha latte ke atas meja.Anne yang sebenarnya sedang melamun terkejut dengan kedatangan Axel, namun perempuan dengan rambut yang diikat acak itu dengan cepat bersikap biasa saja. “I have work.” Anne lantas menarik laptop dari mej
“Kamu cukup buat saya hamil dan kamu akan mendapat semua benefits yang tertulis di surat kontrak itu,” ucap Anne dengan suara tegasnya.Axel melihat kertas putih yang telah dibasahi tanda tangan Anne sebelum menatap perempuan yang berpenampilan layaknya orang dengan prinsip kuat dan sulit digoyahkan. Mereka memang baru pertama kali bertemu. Namun, Axel sangat berani bertaruh jika Anne memang seperti penilaiannya, apalagi perempuan itu memakai setelan kantor hitam yang masih terlihat kasual.“100 ribu dolar?” Axel menyebutkan jumlah uang yang menjadi bagian paling menarik meski Anne juga memberikan benefits lain di atas kertas itu.“Kurang? Berapa yang kamu mau?”Sejak kuliah hingga berusia 32 tahun Anne telah menggeluti dunia bisnis yang semakin menghasilkan setiap tahunnya, dia tidak takut jika harus membayar gigolo itu dengan bayaran yang lebih tinggi dari penawarannya, asal dia mendapatkan apa yang dia mau. Uang bukan batu besar yang menghalangi langkah Anne.“Untuk sekarang cukup,