Axel melepas weightlifting belt yang dia pakai setelah melepaskan barbel dari genggamannya, memakai jaket bertudung miliknya dan bergegas kembali ke apartemen Anne setelah membaca pesan dari perempuan itu.
Pria itu melatih fisiknya masih di tower apartemen yang sama di mana dia tinggal saat ini, itu kenapa dia tidak membutuhkan banyak waktu untuk sampai di unit. Namun, sesampainya dia di apartemen, ruangan yang bisa mereka gunakan bersama terlihat sepi. Tidak terlihat kehadiran Anne di ruangan itu, bahkan lampu belum menyala meski malam hampir tiba.
Saat mencoba berkeliling mencari keberadaan Anne, dia menemukan punggung sempit perempuan itu dibalik pintu yang terhubung dengan balkon. Tak langsung mendekati Anne, Axel memutar arah menuju kamarnya dan keluar dengan membawa selimut.
“Lagi hujan, kenapa di luar?” tanya Axel setelah menyelimuti tubuh Anne dengan selimut.
Anne yang sedari tadi melamun pun terkejut dengan selimut yang kini menempel pada tubuhnya juga dengan kedatangan Axel.
“Anne?” panggil Axel dengan tangan yang melambai di depan wajah Anne kala perempuan itu masih membisu.
Anne tersenyum kikuk lalu berdehem pelan dan membenarkan letak selimut. “I just want. Got a problem?"
Axel menilik wajah Anne dengan seksama dan entah kenapa hal itu membuat Anne merasa tak nyaman. Anne terkejut saat tangan hangat Axel menyentuh pipinya.
“Pipi kamu … merah,” ucap Axel sedikit merasa khawatir dengan perubahan warna kulit Anne. Saat ini tidak terlalu dingin sebenarnya.
“I'm fine,” balas Anne dengan menyingkirkan tangan Axel. Sentuhan itu sekilas membawa masa lalu buruk yang belum bisa Anne lupakan sepenuhnya. Anne belum terbiasa dengan kehadiran Axel.
Bibir keduanya tak lagi bersuara hingga hanya suara rintik hujan yang terdengar. Anne merapatkan selimutnya saat dingin semakin menusuk kulit. Axel pun masih di sana, berdiri dengan tangan terlipat di depan dada dan salah satu sisi tubuhnya bersandar pada pintu.
“Dari mana?” tanya Anne dengan suara pelan.
“Hm?” Axel mendengarnya meski samar. “Dari gim,” lanjutnya setelah menangkap pertanyaan Anne.
Anne mengangguk dan hening kembali datang. Perempuan dengan rambut yang disatukan dengan clip hair itu memang tak pandai membuat obrolan panjang dan hal itu sering membuatnya terkurung dalam suasana canggung. Payah memang.
Hening yang tercipta terasa menyiksa untuk Anne, jika sendiri memang tidak masalah. Namun, saat ini ada Axel dan Anne merasa pria itu menatap punggungnya dengan intens hingga Anne rasa punggungnya akan berlubang jika Axel tak kunjung berhenti.
“Aku harus mandi, jadi, aku masuk dulu,” pamit Axel yang mendapat deheman dari Anne.
Anne menggenggam selimut lebih erat, bibirnya terbuka dan tertutup berulang kali seakan ada kalimat yang ingin dia ucapkan. Namun, ragu masih menyergap dirinya.
“Aku ingin hubungan ini segera selesai!” ucapnya dengan suara tegas dan dalam satu tarikan nafas.
Langkah Axel yang belum jauh dari Anne terhenti dengan segera, sesaat setelah ucapan Anne selesai. Rungunya berdenging dan dia merasa tuli untuk sesaat. Sadar atau tidak, tangan pria itu mengepal dengan tegang di wajah yang tak bisa disembunyikan.
“Buat aku terbiasa dengan kehadiranmu, sentuhanmu hingga tujuanku tercapai. Ajari aku semua hal yang akan membuat tujuanku tercapai dengan segera dan kita kembali menjadi asing,” tambahnya dengan lugas.
Axel berbalik, menatap Anne yang telah berdiri menghadapnya.
“Semua hal?” tanyanya dengan senyum meremehkan.
“Kissing, then sex. Teach me everything until I achieve my goal,” jawab Anne dengan wajah sungguh-sungguh.
Axel sedikit menarik kedua sudut bibirnya, wajahnya kembali melunak dan kepalan di tangannya pun mengendur. Sandal rumah yang dia pakai bergerak mendekati Anne yang membeku bak patung. Namun, saat tangan Axel hendak menggapai dagu Anne, perempuan itu lebih dulu pergi saat dering ponsel terdengar.
Pria dengan rambut hitam legamnya itu tersenyum sinis melihat kepergiaan Anne setelah mengatakan hal yang mengejutkan. Melepas hoodie yang dia pakai, menyisakan singlet hitam yang sebenarnya sudah basah oleh keringat, Axel melangkah masuk. Dia tidak membuntuti Anne yang menuju ruang tengah, melainkan pergi ke dapur untuk mengambil minuman bersoda. Membuka penutupnya dan menghabiskannya hanya dalam hitungan detik.
“Anne,” gumamnya yang sebenarnya tidak mungkin Anne dengar mengingat jarak posisi mereka yang jauh. Namun, setelah menggumamkan nama Anne, perempuan itu menengok ke arah dapur seakan mendengar panggilannya.
“Aku tidak akan menikah, Jasmine,” ucap Anne untuk yang kesekian kalinya. Dia sendiri lelah dengan pertanyaan kapan menikah padahal Anne tidak menginginkan hal itu.
“Aku akan memberimu cucu seperti yang kamu inginkan selama ini, tapi aku tidak akan menikah!” Anne memijat pelipisnya yang terasa pusing mendengar rengekan Jasmine tentang cucu.
“Aku sudah mengaturnya termasuk semua resiko yang kamu takutkan.”
Anne menyandarkan kepalanya ke punggung sofa dengan kaki yang juga telah naik ke atas sofa. Kelopak matanya menyembunyikan netra madu dengan nafas terhembus perlahan.
“Kissing … sex and becoming stranger? Kamu yakin alurnya akan semudah itu? Kamu ingin terbiasa dengan kehadiran dan sentuhanku, kamu yakin bisa jauh dariku setelah semua itu kamu dapatkan?”
Anne kembali membuka matanya lalu melihat Axel yang mengisi single sofa. Perempuan itu ingin istirahat, tapi sepertinya harus tertunda. Obrolan mereka belum usai.
“Kehadiran dan sentuhanmu itu bukan sesuatu yang serius, selain untuk membuat tujuanku tercapai. Tidak perlu takut dengan alurnya karena semua akan sesuai. Lagipula aku tidak bermimpi menjalin hubungan serius denganmu atau pria lain.”
Axel melepas kaos singlet yang dia pakai, menunjukkan tubuh atasnya yang sempurna. Berotot tapi tidak berlebihan. Bukan tanpa alasan dia melepas kaos itu, Axel melepasnya karena merasa tak nyaman dengan keringat yang masih menempel. Jangan lupa jika dia baru saja selesai merawat postur tubuhnya.
Netra madu itu berhasil terperangkap di dalam netra abu Axel, dagu yang selalu terangkat seakan tak takut dengan semua hal kini terkurung oleh tangan pria itu. Anne tersentak saat sudut bibirnya merasakan tangan dingin Axel dan Axel terkekeh pelan saat menangkap reaksi itu. “But I'm not sure I can let you go after all of that,” ucapnya dalam hati.
"You’re nuts!” decak Anne setelah sentuhan itu tak lagi dia rasakan.
Axel mendengus mendengar decakan itu, lantas melangkah pergi dari ruang tengah untuk mandi.
***
“Pretty, pretty and pretty. Why do you look so pretty, Anne.”
Pria yang bersembunyi di ruangan tak terlalu luas tengah mengamati layar komputer yang menunjukkan wajah Anne yang terlelap. Bibirnya tak berhenti menarik garis senyum, bola matanya turut menatap intens komputer, tak ingin melewatkan wajah Anne sedetik pun.
“You should be mine, Anne. No! You've been mine since our eyes met.”
***
Anne terbangun secara tiba-tiba saat merasa sentuhan seseorang. Wajahnya terlihat sangat waspada dan sedikit terpancar tatapan takut.
“It's me,” ucap Axel yang segera menjauhkan tubuhnya dan membatalkan niatnya yang ingin menggendong Anne.
“Kamu tidur di sini dan aku berniat membawamu ke kamar lalu kamu bangun.” Axel mengedikkan bahunya.
Anne mengangguk lalu melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan jika sekarang sudah tengah malam. Dia mengusap wajahnya sadar jika dia tertidur lebih dari 6 jam di sofa ruang tengah setelah Axel pergi.
“Tidur lagi atau makan? Aku belum makan, kalau kamu mau aku bisa buat dua porsi sekaligus,” tawar Axel saat mendengar gemuruh dari perut Anne.
“Aku akan membuatnya sendiri,” ucapnya berusaha tetap menjaga image dingin tak tersentuhnya.
“You have me, right? Let me take care of you until our deal is done.” Axel pun meninggalkan Anne yang termangu.
“You don't have to! I mean, no need for this.” Anne menentang. Ah, sebenarnya dia hanya merasa tidak nyaman. Anne terbiasa mandiri hingga saat dia dilayani semuanya terasa berbeda dan asing.
“It's a must,” ucapnya dengan kaki yang terus melangkah.
“Apapun yang aku lakukan mulai dari detik ini adalah untuk membuatmu terbiasa dengan keberadaanku termasuk perhatianku, hingga akhirnya apa yang kamu inginkan tercapai,” lanjutnya menatap Anne dari dapur yang mengusung konsep open space.
Axel menarik garis senyum sebelum berbalik dan membuka kabinet atas di mana bahan makanan disimpan. Namun, tangan pria itu kembali turun tanpa mengambil apapun dan kembali menatap Anne yang masih termangu setelah kalimat terakhirnya.
“My bad,” gumamnya lalu berdehem. “Do you have any special requests? allergic?” tanyanya.
“Ini berlebihan, sungguh!” Anne masih belum bisa menerima sikap Axel.
“Therefore, make it a habit,” ucapnya dengan santai.
“Karena kamu tidak mengatakan apapun, aku akan mengatakannya.” Axel meletakkan bahan-bahan yang baru saja dia ambil. “I'll make tomatoes soup with scrambled egg and beef. Any problems?” Axel mengunci netra madu Anne untuk kesekian kalinya.
Anne menggeleng tipis. Perempuan itu seperti terhipnotis oleh tatapan Axel yang … menenangkan?
Axel tersenyum melihat reaksi itu. “Great. Aku juga membuat puding matcha untukmu tadi pagi, kamu bisa memakannya setelah menu utama. Kamu bisa menunggu di dapur bersamaku atau di ruang tengah seperti yang kamu lakukan sekarang, aku akan memanggilmu setelah semuanya siap. Any questions, My Dolphin?”
“Dolphin? Why are you calling me that?” Kedua alis Anne tertekuk tajam.“A special nickname for you from me. It'll bring us closer, maybe.” Axel menatap Anne sesekali lantaran dia yang sedang memotong tomat menjadi beberapa bagian lebih kecil.“Aku tidak butuh! Jangan memanggilku dengan sebutan itu lagi. Aku memperingatkanmu, Axel! Aku memintamu melakukan beberapa hal bukan berarti kamu bisa melewati semua batas.” Wajah Anne terlihat sangat serius dengan kedua tangan yang terkepal di kedua sisi tubuhnya.“Batas?” Salah satu alis Axel terangkat, suara tajam pisau yang menghantam talenan mengisi ruangan itu. Jarak dapur dan ruang tengah memang tidak terlalu luas, didukung keadaan yang hening membuat obrolan jarak jauh mereka tetap terdengar jelas.“Aku hanya memanggilmu My Dolphin agar kita bisa semakin akrab dan tujuanmu segera tercapai. It's the same like sweetheart, sweetie pie, honey, babe or anything else. Itu hanya panggilan akrab.” Axel menyalakan kompor, meletakkan teflon di ata
“Kamu cukup buat saya hamil dan kamu akan mendapat semua benefits yang tertulis di surat kontrak itu,” ucap Anne dengan suara tegasnya.Axel melihat kertas putih yang telah dibasahi tanda tangan Anne sebelum menatap perempuan yang berpenampilan layaknya orang dengan prinsip kuat dan sulit digoyahkan. Mereka memang baru pertama kali bertemu. Namun, Axel sangat berani bertaruh jika Anne memang seperti penilaiannya, apalagi perempuan itu memakai setelan kantor hitam yang masih terlihat kasual.“100 ribu dolar?” Axel menyebutkan jumlah uang yang menjadi bagian paling menarik meski Anne juga memberikan benefits lain di atas kertas itu.“Kurang? Berapa yang kamu mau?”Sejak kuliah hingga berusia 32 tahun Anne telah menggeluti dunia bisnis yang semakin menghasilkan setiap tahunnya, dia tidak takut jika harus membayar gigolo itu dengan bayaran yang lebih tinggi dari penawarannya, asal dia mendapatkan apa yang dia mau. Uang bukan batu besar yang menghalangi langkah Anne.“Untuk sekarang cukup,
Axel keluar dari kamar, melihat sekitar apartemen yang temaram. Namun, netra abu miliknya masih bisa menangkap keberadaan Anne di ruang tengah. Itu semua karena cahaya dari laptop yang tergeletak di atas meja. Melihat jam dinding, Axel lantas melangkah ke dapur untuk membuat sesuatu.“Matcha addict?” gumamnya saat melihat isi lemari yang menyimpan bahan makanan.Tangan yang dihiasi urat menambah kesan maskulin Axel kini menyimpan cangkir berisi matcha yang telah dilarutkan di sisi kanan dan cangkir lebih besar berisi susu di tangan kiri. Dengan keahlian yang dia miliki, Axel berhasil membuat dolphin mengapung menghiasi matcha tersebut.“Still awake?” tanyanya berbasa-basi sembari mengisi bagian kosong sofa, tak lupa untuk meletakkan cangkir biru yang berisi matcha latte ke atas meja.Anne yang sebenarnya sedang melamun terkejut dengan kedatangan Axel, namun perempuan dengan rambut yang diikat acak itu dengan cepat bersikap biasa saja. “I have work.” Anne lantas menarik laptop dari mej
Pintu yang awalnya tertutup rapat, bahkan terkunci kini terbuka menimbulkan derit yang memecah heningnya malam. Celah kecil pintu semakin lebar dengan ujung kaki seseorang yang memakai sandal rumahan mulai melewati batas kamar dengan area luar.Bola mata yang terhalang poni panjang itu berhasil menilik kamar yang hanya diterangi lampu tidur, sebelum berakhir pada seseorang yang terlelap di bawah selimut tebal. Lidah yang masih berada di tempatnya mendorong dinding pipi, lalu kelopak mata itu berkedip perlahan sebelum kaki panjangnya melangkah bersamaan dengan pintu yang kembali tertutup.Cahaya jingga yang menjadi penerang satu-satunya kamar itu padam, ulah dari tangan yang terbungkus sarung tangan berbahan latex. Kini kamar itu benar-benar gelap. Masih seperti sebelumnya, hanya hening yang ada. Ah, tidak, hembusan nafas halus dari pemilik kamar menjadi suara yang masih terdengar, juga gumaman yang terdengar senada dengan hembusan nafas itu.Sarung tangan latex yang dia pakai pun tert
“Dolphin? Why are you calling me that?” Kedua alis Anne tertekuk tajam.“A special nickname for you from me. It'll bring us closer, maybe.” Axel menatap Anne sesekali lantaran dia yang sedang memotong tomat menjadi beberapa bagian lebih kecil.“Aku tidak butuh! Jangan memanggilku dengan sebutan itu lagi. Aku memperingatkanmu, Axel! Aku memintamu melakukan beberapa hal bukan berarti kamu bisa melewati semua batas.” Wajah Anne terlihat sangat serius dengan kedua tangan yang terkepal di kedua sisi tubuhnya.“Batas?” Salah satu alis Axel terangkat, suara tajam pisau yang menghantam talenan mengisi ruangan itu. Jarak dapur dan ruang tengah memang tidak terlalu luas, didukung keadaan yang hening membuat obrolan jarak jauh mereka tetap terdengar jelas.“Aku hanya memanggilmu My Dolphin agar kita bisa semakin akrab dan tujuanmu segera tercapai. It's the same like sweetheart, sweetie pie, honey, babe or anything else. Itu hanya panggilan akrab.” Axel menyalakan kompor, meletakkan teflon di ata
Axel melepas weightlifting belt yang dia pakai setelah melepaskan barbel dari genggamannya, memakai jaket bertudung miliknya dan bergegas kembali ke apartemen Anne setelah membaca pesan dari perempuan itu.Pria itu melatih fisiknya masih di tower apartemen yang sama di mana dia tinggal saat ini, itu kenapa dia tidak membutuhkan banyak waktu untuk sampai di unit. Namun, sesampainya dia di apartemen, ruangan yang bisa mereka gunakan bersama terlihat sepi. Tidak terlihat kehadiran Anne di ruangan itu, bahkan lampu belum menyala meski malam hampir tiba.Saat mencoba berkeliling mencari keberadaan Anne, dia menemukan punggung sempit perempuan itu dibalik pintu yang terhubung dengan balkon. Tak langsung mendekati Anne, Axel memutar arah menuju kamarnya dan keluar dengan membawa selimut.“Lagi hujan, kenapa di luar?” tanya Axel setelah menyelimuti tubuh Anne dengan selimut.Anne yang sedari tadi melamun pun terkejut dengan selimut yang kini menempel pada tubuhnya juga dengan kedatangan Axel.
Pintu yang awalnya tertutup rapat, bahkan terkunci kini terbuka menimbulkan derit yang memecah heningnya malam. Celah kecil pintu semakin lebar dengan ujung kaki seseorang yang memakai sandal rumahan mulai melewati batas kamar dengan area luar.Bola mata yang terhalang poni panjang itu berhasil menilik kamar yang hanya diterangi lampu tidur, sebelum berakhir pada seseorang yang terlelap di bawah selimut tebal. Lidah yang masih berada di tempatnya mendorong dinding pipi, lalu kelopak mata itu berkedip perlahan sebelum kaki panjangnya melangkah bersamaan dengan pintu yang kembali tertutup.Cahaya jingga yang menjadi penerang satu-satunya kamar itu padam, ulah dari tangan yang terbungkus sarung tangan berbahan latex. Kini kamar itu benar-benar gelap. Masih seperti sebelumnya, hanya hening yang ada. Ah, tidak, hembusan nafas halus dari pemilik kamar menjadi suara yang masih terdengar, juga gumaman yang terdengar senada dengan hembusan nafas itu.Sarung tangan latex yang dia pakai pun tert
Axel keluar dari kamar, melihat sekitar apartemen yang temaram. Namun, netra abu miliknya masih bisa menangkap keberadaan Anne di ruang tengah. Itu semua karena cahaya dari laptop yang tergeletak di atas meja. Melihat jam dinding, Axel lantas melangkah ke dapur untuk membuat sesuatu.“Matcha addict?” gumamnya saat melihat isi lemari yang menyimpan bahan makanan.Tangan yang dihiasi urat menambah kesan maskulin Axel kini menyimpan cangkir berisi matcha yang telah dilarutkan di sisi kanan dan cangkir lebih besar berisi susu di tangan kiri. Dengan keahlian yang dia miliki, Axel berhasil membuat dolphin mengapung menghiasi matcha tersebut.“Still awake?” tanyanya berbasa-basi sembari mengisi bagian kosong sofa, tak lupa untuk meletakkan cangkir biru yang berisi matcha latte ke atas meja.Anne yang sebenarnya sedang melamun terkejut dengan kedatangan Axel, namun perempuan dengan rambut yang diikat acak itu dengan cepat bersikap biasa saja. “I have work.” Anne lantas menarik laptop dari mej
“Kamu cukup buat saya hamil dan kamu akan mendapat semua benefits yang tertulis di surat kontrak itu,” ucap Anne dengan suara tegasnya.Axel melihat kertas putih yang telah dibasahi tanda tangan Anne sebelum menatap perempuan yang berpenampilan layaknya orang dengan prinsip kuat dan sulit digoyahkan. Mereka memang baru pertama kali bertemu. Namun, Axel sangat berani bertaruh jika Anne memang seperti penilaiannya, apalagi perempuan itu memakai setelan kantor hitam yang masih terlihat kasual.“100 ribu dolar?” Axel menyebutkan jumlah uang yang menjadi bagian paling menarik meski Anne juga memberikan benefits lain di atas kertas itu.“Kurang? Berapa yang kamu mau?”Sejak kuliah hingga berusia 32 tahun Anne telah menggeluti dunia bisnis yang semakin menghasilkan setiap tahunnya, dia tidak takut jika harus membayar gigolo itu dengan bayaran yang lebih tinggi dari penawarannya, asal dia mendapatkan apa yang dia mau. Uang bukan batu besar yang menghalangi langkah Anne.“Untuk sekarang cukup,