Axel melepas weightlifting belt yang dia pakai setelah melepaskan barbel dari genggamannya, memakai jaket bertudung miliknya dan bergegas kembali ke apartemen Anne setelah membaca pesan dari perempuan itu.
Pria itu melatih fisiknya masih di tower apartemen yang sama di mana dia tinggal saat ini, itu kenapa dia tidak membutuhkan banyak waktu untuk sampai di unit. Namun, sesampainya dia di apartemen, ruangan yang bisa mereka gunakan bersama terlihat sepi. Tidak terlihat kehadiran Anne di ruangan itu, bahkan lampu belum menyala meski malam hampir tiba.
Saat mencoba berkeliling mencari keberadaan Anne, dia menemukan punggung sempit perempuan itu dibalik pintu yang terhubung dengan balkon. Tak langsung mendekati Anne, Axel memutar arah menuju kamarnya dan keluar dengan membawa selimut.
“Lagi hujan, kenapa di luar?” tanya Axel setelah menyelimuti tubuh Anne dengan selimut.
Anne yang sedari tadi melamun pun terkejut dengan selimut yang kini menempel pada tubuhnya juga dengan kedatangan Axel.
“Anne?” panggil Axel dengan tangan yang melambai di depan wajah Anne kala perempuan itu masih membisu.
Anne tersenyum kikuk lalu berdehem pelan dan membenarkan letak selimut. “I just want. Got a problem?"
Axel menilik wajah Anne dengan seksama dan entah kenapa hal itu membuat Anne merasa tak nyaman. Anne terkejut saat tangan hangat Axel menyentuh pipinya.
“Pipi kamu … merah,” ucap Axel sedikit merasa khawatir dengan perubahan warna kulit Anne. Saat ini tidak terlalu dingin sebenarnya.
“I'm fine,” balas Anne dengan menyingkirkan tangan Axel. Sentuhan itu sekilas membawa masa lalu buruk yang belum bisa Anne lupakan sepenuhnya. Anne belum terbiasa dengan kehadiran Axel.
Bibir keduanya tak lagi bersuara hingga hanya suara rintik hujan yang terdengar. Anne merapatkan selimutnya saat dingin semakin menusuk kulit. Axel pun masih di sana, berdiri dengan tangan terlipat di depan dada dan salah satu sisi tubuhnya bersandar pada pintu.
“Dari mana?” tanya Anne dengan suara pelan.
“Hm?” Axel mendengarnya meski samar. “Dari gim,” lanjutnya setelah menangkap pertanyaan Anne.
Anne mengangguk dan hening kembali datang. Perempuan dengan rambut yang disatukan dengan clip hair itu memang tak pandai membuat obrolan panjang dan hal itu sering membuatnya terkurung dalam suasana canggung. Payah memang.
Hening yang tercipta terasa menyiksa untuk Anne, jika sendiri memang tidak masalah. Namun, saat ini ada Axel dan Anne merasa pria itu menatap punggungnya dengan intens hingga Anne rasa punggungnya akan berlubang jika Axel tak kunjung berhenti.
“Aku harus mandi, jadi, aku masuk dulu,” pamit Axel yang mendapat deheman dari Anne.
Anne menggenggam selimut lebih erat, bibirnya terbuka dan tertutup berulang kali seakan ada kalimat yang ingin dia ucapkan. Namun, ragu masih menyergap dirinya.
“Aku ingin hubungan ini segera selesai!” ucapnya dengan suara tegas dan dalam satu tarikan nafas.
Langkah Axel yang belum jauh dari Anne terhenti dengan segera, sesaat setelah ucapan Anne selesai. Rungunya berdenging dan dia merasa tuli untuk sesaat. Sadar atau tidak, tangan pria itu mengepal dengan tegang di wajah yang tak bisa disembunyikan.
“Buat aku terbiasa dengan kehadiranmu, sentuhanmu hingga tujuanku tercapai. Ajari aku semua hal yang akan membuat tujuanku tercapai dengan segera dan kita kembali menjadi asing,” tambahnya dengan lugas.
Axel berbalik, menatap Anne yang telah berdiri menghadapnya.
“Semua hal?” tanyanya dengan senyum meremehkan.
“Kissing, then sex. Teach me everything until I achieve my goal,” jawab Anne dengan wajah sungguh-sungguh.
Axel sedikit menarik kedua sudut bibirnya, wajahnya kembali melunak dan kepalan di tangannya pun mengendur. Sandal rumah yang dia pakai bergerak mendekati Anne yang membeku bak patung. Namun, saat tangan Axel hendak menggapai dagu Anne, perempuan itu lebih dulu pergi saat dering ponsel terdengar.
Pria dengan rambut hitam legamnya itu tersenyum sinis melihat kepergiaan Anne setelah mengatakan hal yang mengejutkan. Melepas hoodie yang dia pakai, menyisakan singlet hitam yang sebenarnya sudah basah oleh keringat, Axel melangkah masuk. Dia tidak membuntuti Anne yang menuju ruang tengah, melainkan pergi ke dapur untuk mengambil minuman bersoda. Membuka penutupnya dan menghabiskannya hanya dalam hitungan detik.
“Anne,” gumamnya yang sebenarnya tidak mungkin Anne dengar mengingat jarak posisi mereka yang jauh. Namun, setelah menggumamkan nama Anne, perempuan itu menengok ke arah dapur seakan mendengar panggilannya.
“Aku tidak akan menikah, Jasmine,” ucap Anne untuk yang kesekian kalinya. Dia sendiri lelah dengan pertanyaan kapan menikah padahal Anne tidak menginginkan hal itu.
“Aku akan memberimu cucu seperti yang kamu inginkan selama ini, tapi aku tidak akan menikah!” Anne memijat pelipisnya yang terasa pusing mendengar rengekan Jasmine tentang cucu.
“Aku sudah mengaturnya termasuk semua resiko yang kamu takutkan.”
Anne menyandarkan kepalanya ke punggung sofa dengan kaki yang juga telah naik ke atas sofa. Kelopak matanya menyembunyikan netra madu dengan nafas terhembus perlahan.
“Kissing … sex and becoming stranger? Kamu yakin alurnya akan semudah itu? Kamu ingin terbiasa dengan kehadiran dan sentuhanku, kamu yakin bisa jauh dariku setelah semua itu kamu dapatkan?”
Anne kembali membuka matanya lalu melihat Axel yang mengisi single sofa. Perempuan itu ingin istirahat, tapi sepertinya harus tertunda. Obrolan mereka belum usai.
“Kehadiran dan sentuhanmu itu bukan sesuatu yang serius, selain untuk membuat tujuanku tercapai. Tidak perlu takut dengan alurnya karena semua akan sesuai. Lagipula aku tidak bermimpi menjalin hubungan serius denganmu atau pria lain.”
Axel melepas kaos singlet yang dia pakai, menunjukkan tubuh atasnya yang sempurna. Berotot tapi tidak berlebihan. Bukan tanpa alasan dia melepas kaos itu, Axel melepasnya karena merasa tak nyaman dengan keringat yang masih menempel. Jangan lupa jika dia baru saja selesai merawat postur tubuhnya.
Netra madu itu berhasil terperangkap di dalam netra abu Axel, dagu yang selalu terangkat seakan tak takut dengan semua hal kini terkurung oleh tangan pria itu. Anne tersentak saat sudut bibirnya merasakan tangan dingin Axel dan Axel terkekeh pelan saat menangkap reaksi itu. “But I'm not sure I can let you go after all of that,” ucapnya dalam hati.
"You’re nuts!” decak Anne setelah sentuhan itu tak lagi dia rasakan.
Axel mendengus mendengar decakan itu, lantas melangkah pergi dari ruang tengah untuk mandi.
***
“Pretty, pretty and pretty. Why do you look so pretty, Anne.”
Pria yang bersembunyi di ruangan tak terlalu luas tengah mengamati layar komputer yang menunjukkan wajah Anne yang terlelap. Bibirnya tak berhenti menarik garis senyum, bola matanya turut menatap intens komputer, tak ingin melewatkan wajah Anne sedetik pun.
“You should be mine, Anne. No! You've been mine since our eyes met.”
***
Anne terbangun secara tiba-tiba saat merasa sentuhan seseorang. Wajahnya terlihat sangat waspada dan sedikit terpancar tatapan takut.
“It's me,” ucap Axel yang segera menjauhkan tubuhnya dan membatalkan niatnya yang ingin menggendong Anne.
“Kamu tidur di sini dan aku berniat membawamu ke kamar lalu kamu bangun.” Axel mengedikkan bahunya.
Anne mengangguk lalu melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan jika sekarang sudah tengah malam. Dia mengusap wajahnya sadar jika dia tertidur lebih dari 6 jam di sofa ruang tengah setelah Axel pergi.
“Tidur lagi atau makan? Aku belum makan, kalau kamu mau aku bisa buat dua porsi sekaligus,” tawar Axel saat mendengar gemuruh dari perut Anne.
“Aku akan membuatnya sendiri,” ucapnya berusaha tetap menjaga image dingin tak tersentuhnya.
“You have me, right? Let me take care of you until our deal is done.” Axel pun meninggalkan Anne yang termangu.
“You don't have to! I mean, no need for this.” Anne menentang. Ah, sebenarnya dia hanya merasa tidak nyaman. Anne terbiasa mandiri hingga saat dia dilayani semuanya terasa berbeda dan asing.
“It's a must,” ucapnya dengan kaki yang terus melangkah.
“Apapun yang aku lakukan mulai dari detik ini adalah untuk membuatmu terbiasa dengan keberadaanku termasuk perhatianku, hingga akhirnya apa yang kamu inginkan tercapai,” lanjutnya menatap Anne dari dapur yang mengusung konsep open space.
Axel menarik garis senyum sebelum berbalik dan membuka kabinet atas di mana bahan makanan disimpan. Namun, tangan pria itu kembali turun tanpa mengambil apapun dan kembali menatap Anne yang masih termangu setelah kalimat terakhirnya.
“My bad,” gumamnya lalu berdehem. “Do you have any special requests? allergic?” tanyanya.
“Ini berlebihan, sungguh!” Anne masih belum bisa menerima sikap Axel.
“Therefore, make it a habit,” ucapnya dengan santai.
“Karena kamu tidak mengatakan apapun, aku akan mengatakannya.” Axel meletakkan bahan-bahan yang baru saja dia ambil. “I'll make tomatoes soup with scrambled egg and beef. Any problems?” Axel mengunci netra madu Anne untuk kesekian kalinya.
Anne menggeleng tipis. Perempuan itu seperti terhipnotis oleh tatapan Axel yang … menenangkan?
Axel tersenyum melihat reaksi itu. “Great. Aku juga membuat puding matcha untukmu tadi pagi, kamu bisa memakannya setelah menu utama. Kamu bisa menunggu di dapur bersamaku atau di ruang tengah seperti yang kamu lakukan sekarang, aku akan memanggilmu setelah semuanya siap. Any questions, My Dolphin?”
“Dolphin? Why are you calling me that?” Kedua alis Anne tertekuk tajam.“A special nickname for you from me. It'll bring us closer, maybe.” Axel menatap Anne sesekali lantaran dia yang sedang memotong tomat menjadi beberapa bagian lebih kecil.“Aku tidak butuh! Jangan memanggilku dengan sebutan itu lagi. Aku memperingatkanmu, Axel! Aku memintamu melakukan beberapa hal bukan berarti kamu bisa melewati semua batas.” Wajah Anne terlihat sangat serius dengan kedua tangan yang terkepal di kedua sisi tubuhnya.“Batas?” Salah satu alis Axel terangkat, suara tajam pisau yang menghantam talenan mengisi ruangan itu. Jarak dapur dan ruang tengah memang tidak terlalu luas, didukung keadaan yang hening membuat obrolan jarak jauh mereka tetap terdengar jelas.“Aku hanya memanggilmu My Dolphin agar kita bisa semakin akrab dan tujuanmu segera tercapai. It's the same like sweetheart, sweetie pie, honey, babe or anything else. Itu hanya panggilan akrab.” Axel menyalakan kompor, meletakkan teflon di ata
“What the hell!” Anne mengumpat lirih saat motor vespa berhenti mendadak di depannya.“Apa aku mengejutkanmu?” tanya Axel setelah melepas helm, rambutnya yang sedikit berantakan pun disugar dalam satu gerakan.Anne menatap tak percaya pada Axel juga kendaraan yang pria itu bawa, perempuan itu bahkan berkedip beberapa kali untuk memastikan apa yang dia lihat.Axel dengan motor vespa, itu seperti lelucon bagi Anne. Apa Axel lupa pakaian apa yang dia pakai saat berangkat tadi? Anne memakai long skirt, motor bukan kendaraan yang tepat saat ini.“Axel?” panggilnya dengan nada tak percaya.“Why?” sahutnya dengan nada tengil yang menyebalkan bagi Anne.“See what I'm wearing and … vespa? You’re kidding?”Axel menatap penampilan Anne dari ujung kepala hingga ujung kaki. Perempuan itu masih cantik meski rambut yang pagi tadi tergerai kini telah dicepol. “I’m dead serious. Pakaianmu? Itu bukan masalah, kamu masih bisa duduk menyamping.”Anne menggeleng, masih dengan ketidak percayaannya. “Lebih
Salmon yang awalnya utuh perlahan berkurang. Setiap potongan kecil yang Anne lakukan membawa kenikmatan bagi indra perasanya.Roasted potatoes juga brokoli yang mendampingi pun perlahan berkurang. Semuanya mulai berkurang dari piring. Namun, tidak dengan tegang yang Anne rasakan. Tak ada obrolan yang tercipta, hanya hening yang memeluk keduanya juga detik jam yang samar.Axel yang telah menghabiskan makan malamnya beberapa menit yang lalu, kini tengah menikmati rosé wine sembari menunggu Anne selesai. Pria itu juga menjatuhkan manik abunya pada Anne yang terus tertunduk. Mengamatinya dalam diam.Setelah tegukan terakhir, Axel meletakkan gelasnya, mengambil botol wine lalu mengisi gelas itu lagi. Suara wine yang dituangkan membuat hening sedikit terpecah. “Kamu tidak ingin berkomentar tentang masakanku?” tanyanya.Anne menggeleng. Tangan dan mulutnya masih bekerjasama untuk menghabiskan hidangan makan malam.“Menurutku rasanya sedikit terlalu manis.” Axel kembali berujar dengan tangan
Anne menghela nafas, dagunya tersimpan di antara lutut setelah bercerita panjang lebar. Perempuan itu memutuskan menghubungi Genie saat kedua matanya tak ingin terlelap. Dia butuh petuah untuk hubungan yang dia mulai. Hubungan kontrak yang Anne pikir mudah, nyatanya terasa sangat rumit. Genie yang berada di dalam layar laptop memusatkan perhatiannya pada Anne. “Semua tergantung dirimu. Kalau kamu memang belum siap, it’s fine. Katakan padanya dan aku yakin dia akan menghargaimu. Lagipula dia tidak memaksamu untuk buru-buru dan kamu yang memegang kendali hubungan itu ‘kan?” Genie benar, Axel memang tak ingin buru-buru. Namun, Anne yang ingin hubungan itu cepat selesai dan faktanya perempuan itu juga yang belum siap. “Based on your story, I think he’s a great person,” ujar Genie. “Kamu juga udah cari tahu latar belakangnya ‘kan?” lanjutnya bertanya. *** Anne menikmati teh hijau miliknya di kitchen bar, sembari menonton aksi memasak Axel di sisi seberang. Mereka memang berada
Axel menyalakan layar ponsel yang telah tergeletak sejak dia duduk di ruang tengah. Pukul 12.06, tengah malam telah terlewat. Namun, Anne tak kunjung pulang, bahkan satupun pesan ataupun telepon yang Axel lakukan tak mendapat balasan.Pria itu segera bangkit dari duduknya saat hentakan heels tertangkap rungunya setelah suara pintu yang dibuka terdengar. Bayangan seseorang mulai terlihat. Tanpa sadar, hela nafas lega terdengar di antara hening.“You late,” ucapnya saat Anne telah tertangkap netranya. Perempuan yang dia tunggu sejak matahari hampir terbenam hingga bulan telah tertutup awan dan kini hujan telah membasahi jalanan juga atap bangunan.Anne berhenti, wajah perempuan itu terlihat sangat lelah dengan kelopak mata yang turun. “Ada banyak hal yang harus aku kerjakan,” ujarnya dengan nada datar.Axel mengernyit. Pria itu masih ingat dengan obrolan ringan mereka tadi pagi, mengira jika Anne mulai membuka ruang untuknya. Namun, Axel lupa dengan kalimat terakhir yang Anne ucapkan. P
“Don’t you ever get bored?” Anne menghampiri Axel setelah menyelesaikan sesi pilatesnya. Keringat masih membasahi pelipis dan lehernya.Walaupun pilates terlihat mudah, sebenarnya tidak semudah itu juga. Apapun itu, Anne tetap menyukainya. Perempuan itu kini tengah menyeka keringatnya dengan handuk yang tersimpan di tas yang berada di samping Axel.Biasanya Anne datang ke studio pilates seorang diri. Namun, hari ini dia datang dengan Axel yang memaksa ikut walaupun pria itu hanya duduk dan menonton di sudut ruangan.“Setelah aku pikir-pikir, akan lebih baik kalau aku mengantar-jemputmu. Selain aku ngerasa tenang, kamu juga bisa lebih cepat beristirahat di mobil,” ucap Axel setelah mereka menyelesaikan sarapan dan Anne yang hendak pergi.Anne awalnya menolak dengan alasan dia biasa sendiri. Namun, Axel sangat pandai membujuknya sehingga ia menyetujui. Lagipula Anne tidak dirugikan apapun.Axel yang telah memperhatikan Anne sejak perempuan itu memulai sesinya kini berdiri. “Never.” jawa
Axel mengetuk-ngetuk kemudi dengan ujung jarinya, sudut matanya sesekali melirik Anne yang duduk tenang di sampingnya dengan bibir menggumamkan lirik dari lagu yang kini memenuhi mobil. Ini adalah hari pertama Axel menjemput Anne dan dia dikejutkan dengan playlist musik perempuan itu.“Push me down, hold me down, spit in my mouth while you turn me out,” gumam Anne, suaranya terdengar lembut, hampir terdengar seperti bisikan. Perempuan itu terlihat menghayati setiap lirik yang dia gumamkan. Kedua bola matanya bahkan bersembunyi di balik kelopak mata.Sedangkan Axel, pria itu mencengkram kemudi lebih erat saat gumaman itu menusuk setiap inci gendang telinganya. Telinga pria itu merona merah, dengan bibir bagian dalam yang tertahan di antara gigi. Setiap lirik yang keluar dari bibir Anne seakan mencekik leher Axel secara perlahan. Itu terlalu frontal.“Your music vibe –” Axel menoleh ke arah Anne saat lampu merah menghentikan gerak mobil mereka.Anne membuka kelopak matanya. “Something’s
Anne menatap Axel dengan sinis setelah mendengar ide yang keluar dari mulut pria itu. “Kamu tidur di kamar ini … bersamaku? Big no! Obat itu lebih baik daripada ide gilamu.” “What’s on your mind, Anne?” Axel menggeleng dengan tawa kecil yang mengudara. “Aku hanya ingin membantumu lepas dari obat itu, juga mimpi burukmu. Aku hanya menemanimu tidur, tidur pada umumnya,” sambung Axel, suaranya terdengar ringan karena pria itu memang tidak memiliki maksud lain.“You can say that to an innocent girl outside,” ucap Anne dengan nada sinis. Perempuan itu lantas membaringkan tubuhnya, menarik selimut hingga setinggi leher. “Leave as soon as you’re done,” suruhnya dingin, lalu menutup seluruh wajahnya dan memunggungi Axel.Axel terdiam, pria itu belum menyerah. “Anne, dengarkan aku,” pintanya.Anne mengatupkan bibirnya. Namun, rungunya selalu menangkap setiap ocehan Axel.“Aku tidak sedang mencari kesempatan.” Axel menghela nafas, kedua bola matanya tertuju pada punggung Anne yang tertutu
Anne menatap Axel dengan sinis setelah mendengar ide yang keluar dari mulut pria itu. “Kamu tidur di kamar ini … bersamaku? Big no! Obat itu lebih baik daripada ide gilamu.” “What’s on your mind, Anne?” Axel menggeleng dengan tawa kecil yang mengudara. “Aku hanya ingin membantumu lepas dari obat itu, juga mimpi burukmu. Aku hanya menemanimu tidur, tidur pada umumnya,” sambung Axel, suaranya terdengar ringan karena pria itu memang tidak memiliki maksud lain.“You can say that to an innocent girl outside,” ucap Anne dengan nada sinis. Perempuan itu lantas membaringkan tubuhnya, menarik selimut hingga setinggi leher. “Leave as soon as you’re done,” suruhnya dingin, lalu menutup seluruh wajahnya dan memunggungi Axel.Axel terdiam, pria itu belum menyerah. “Anne, dengarkan aku,” pintanya.Anne mengatupkan bibirnya. Namun, rungunya selalu menangkap setiap ocehan Axel.“Aku tidak sedang mencari kesempatan.” Axel menghela nafas, kedua bola matanya tertuju pada punggung Anne yang tertutu
Axel mengetuk-ngetuk kemudi dengan ujung jarinya, sudut matanya sesekali melirik Anne yang duduk tenang di sampingnya dengan bibir menggumamkan lirik dari lagu yang kini memenuhi mobil. Ini adalah hari pertama Axel menjemput Anne dan dia dikejutkan dengan playlist musik perempuan itu.“Push me down, hold me down, spit in my mouth while you turn me out,” gumam Anne, suaranya terdengar lembut, hampir terdengar seperti bisikan. Perempuan itu terlihat menghayati setiap lirik yang dia gumamkan. Kedua bola matanya bahkan bersembunyi di balik kelopak mata.Sedangkan Axel, pria itu mencengkram kemudi lebih erat saat gumaman itu menusuk setiap inci gendang telinganya. Telinga pria itu merona merah, dengan bibir bagian dalam yang tertahan di antara gigi. Setiap lirik yang keluar dari bibir Anne seakan mencekik leher Axel secara perlahan. Itu terlalu frontal.“Your music vibe –” Axel menoleh ke arah Anne saat lampu merah menghentikan gerak mobil mereka.Anne membuka kelopak matanya. “Something’s
“Don’t you ever get bored?” Anne menghampiri Axel setelah menyelesaikan sesi pilatesnya. Keringat masih membasahi pelipis dan lehernya.Walaupun pilates terlihat mudah, sebenarnya tidak semudah itu juga. Apapun itu, Anne tetap menyukainya. Perempuan itu kini tengah menyeka keringatnya dengan handuk yang tersimpan di tas yang berada di samping Axel.Biasanya Anne datang ke studio pilates seorang diri. Namun, hari ini dia datang dengan Axel yang memaksa ikut walaupun pria itu hanya duduk dan menonton di sudut ruangan.“Setelah aku pikir-pikir, akan lebih baik kalau aku mengantar-jemputmu. Selain aku ngerasa tenang, kamu juga bisa lebih cepat beristirahat di mobil,” ucap Axel setelah mereka menyelesaikan sarapan dan Anne yang hendak pergi.Anne awalnya menolak dengan alasan dia biasa sendiri. Namun, Axel sangat pandai membujuknya sehingga ia menyetujui. Lagipula Anne tidak dirugikan apapun.Axel yang telah memperhatikan Anne sejak perempuan itu memulai sesinya kini berdiri. “Never.” jawa
Axel menyalakan layar ponsel yang telah tergeletak sejak dia duduk di ruang tengah. Pukul 12.06, tengah malam telah terlewat. Namun, Anne tak kunjung pulang, bahkan satupun pesan ataupun telepon yang Axel lakukan tak mendapat balasan.Pria itu segera bangkit dari duduknya saat hentakan heels tertangkap rungunya setelah suara pintu yang dibuka terdengar. Bayangan seseorang mulai terlihat. Tanpa sadar, hela nafas lega terdengar di antara hening.“You late,” ucapnya saat Anne telah tertangkap netranya. Perempuan yang dia tunggu sejak matahari hampir terbenam hingga bulan telah tertutup awan dan kini hujan telah membasahi jalanan juga atap bangunan.Anne berhenti, wajah perempuan itu terlihat sangat lelah dengan kelopak mata yang turun. “Ada banyak hal yang harus aku kerjakan,” ujarnya dengan nada datar.Axel mengernyit. Pria itu masih ingat dengan obrolan ringan mereka tadi pagi, mengira jika Anne mulai membuka ruang untuknya. Namun, Axel lupa dengan kalimat terakhir yang Anne ucapkan. P
Anne menghela nafas, dagunya tersimpan di antara lutut setelah bercerita panjang lebar. Perempuan itu memutuskan menghubungi Genie saat kedua matanya tak ingin terlelap. Dia butuh petuah untuk hubungan yang dia mulai. Hubungan kontrak yang Anne pikir mudah, nyatanya terasa sangat rumit. Genie yang berada di dalam layar laptop memusatkan perhatiannya pada Anne. “Semua tergantung dirimu. Kalau kamu memang belum siap, it’s fine. Katakan padanya dan aku yakin dia akan menghargaimu. Lagipula dia tidak memaksamu untuk buru-buru dan kamu yang memegang kendali hubungan itu ‘kan?” Genie benar, Axel memang tak ingin buru-buru. Namun, Anne yang ingin hubungan itu cepat selesai dan faktanya perempuan itu juga yang belum siap. “Based on your story, I think he’s a great person,” ujar Genie. “Kamu juga udah cari tahu latar belakangnya ‘kan?” lanjutnya bertanya. *** Anne menikmati teh hijau miliknya di kitchen bar, sembari menonton aksi memasak Axel di sisi seberang. Mereka memang berada
Salmon yang awalnya utuh perlahan berkurang. Setiap potongan kecil yang Anne lakukan membawa kenikmatan bagi indra perasanya.Roasted potatoes juga brokoli yang mendampingi pun perlahan berkurang. Semuanya mulai berkurang dari piring. Namun, tidak dengan tegang yang Anne rasakan. Tak ada obrolan yang tercipta, hanya hening yang memeluk keduanya juga detik jam yang samar.Axel yang telah menghabiskan makan malamnya beberapa menit yang lalu, kini tengah menikmati rosé wine sembari menunggu Anne selesai. Pria itu juga menjatuhkan manik abunya pada Anne yang terus tertunduk. Mengamatinya dalam diam.Setelah tegukan terakhir, Axel meletakkan gelasnya, mengambil botol wine lalu mengisi gelas itu lagi. Suara wine yang dituangkan membuat hening sedikit terpecah. “Kamu tidak ingin berkomentar tentang masakanku?” tanyanya.Anne menggeleng. Tangan dan mulutnya masih bekerjasama untuk menghabiskan hidangan makan malam.“Menurutku rasanya sedikit terlalu manis.” Axel kembali berujar dengan tangan
“What the hell!” Anne mengumpat lirih saat motor vespa berhenti mendadak di depannya.“Apa aku mengejutkanmu?” tanya Axel setelah melepas helm, rambutnya yang sedikit berantakan pun disugar dalam satu gerakan.Anne menatap tak percaya pada Axel juga kendaraan yang pria itu bawa, perempuan itu bahkan berkedip beberapa kali untuk memastikan apa yang dia lihat.Axel dengan motor vespa, itu seperti lelucon bagi Anne. Apa Axel lupa pakaian apa yang dia pakai saat berangkat tadi? Anne memakai long skirt, motor bukan kendaraan yang tepat saat ini.“Axel?” panggilnya dengan nada tak percaya.“Why?” sahutnya dengan nada tengil yang menyebalkan bagi Anne.“See what I'm wearing and … vespa? You’re kidding?”Axel menatap penampilan Anne dari ujung kepala hingga ujung kaki. Perempuan itu masih cantik meski rambut yang pagi tadi tergerai kini telah dicepol. “I’m dead serious. Pakaianmu? Itu bukan masalah, kamu masih bisa duduk menyamping.”Anne menggeleng, masih dengan ketidak percayaannya. “Lebih
“Dolphin? Why are you calling me that?” Kedua alis Anne tertekuk tajam.“A special nickname for you from me. It'll bring us closer, maybe.” Axel menatap Anne sesekali lantaran dia yang sedang memotong tomat menjadi beberapa bagian lebih kecil.“Aku tidak butuh! Jangan memanggilku dengan sebutan itu lagi. Aku memperingatkanmu, Axel! Aku memintamu melakukan beberapa hal bukan berarti kamu bisa melewati semua batas.” Wajah Anne terlihat sangat serius dengan kedua tangan yang terkepal di kedua sisi tubuhnya.“Batas?” Salah satu alis Axel terangkat, suara tajam pisau yang menghantam talenan mengisi ruangan itu. Jarak dapur dan ruang tengah memang tidak terlalu luas, didukung keadaan yang hening membuat obrolan jarak jauh mereka tetap terdengar jelas.“Aku hanya memanggilmu My Dolphin agar kita bisa semakin akrab dan tujuanmu segera tercapai. It's the same like sweetheart, sweetie pie, honey, babe or anything else. Itu hanya panggilan akrab.” Axel menyalakan kompor, meletakkan teflon di ata
Axel melepas weightlifting belt yang dia pakai setelah melepaskan barbel dari genggamannya, memakai jaket bertudung miliknya dan bergegas kembali ke apartemen Anne setelah membaca pesan dari perempuan itu.Pria itu melatih fisiknya masih di tower apartemen yang sama di mana dia tinggal saat ini, itu kenapa dia tidak membutuhkan banyak waktu untuk sampai di unit. Namun, sesampainya dia di apartemen, ruangan yang bisa mereka gunakan bersama terlihat sepi. Tidak terlihat kehadiran Anne di ruangan itu, bahkan lampu belum menyala meski malam hampir tiba.Saat mencoba berkeliling mencari keberadaan Anne, dia menemukan punggung sempit perempuan itu dibalik pintu yang terhubung dengan balkon. Tak langsung mendekati Anne, Axel memutar arah menuju kamarnya dan keluar dengan membawa selimut.“Lagi hujan, kenapa di luar?” tanya Axel setelah menyelimuti tubuh Anne dengan selimut.Anne yang sedari tadi melamun pun terkejut dengan selimut yang kini menempel pada tubuhnya juga dengan kedatangan Axel.