“Dolphin? Why are you calling me that?” Kedua alis Anne tertekuk tajam.
“A special nickname for you from me. It'll bring us closer, maybe.” Axel menatap Anne sesekali lantaran dia yang sedang memotong tomat menjadi beberapa bagian lebih kecil.
“Aku tidak butuh! Jangan memanggilku dengan sebutan itu lagi. Aku memperingatkanmu, Axel! Aku memintamu melakukan beberapa hal bukan berarti kamu bisa melewati semua batas.” Wajah Anne terlihat sangat serius dengan kedua tangan yang terkepal di kedua sisi tubuhnya.
“Batas?” Salah satu alis Axel terangkat, suara tajam pisau yang menghantam talenan mengisi ruangan itu. Jarak dapur dan ruang tengah memang tidak terlalu luas, didukung keadaan yang hening membuat obrolan jarak jauh mereka tetap terdengar jelas.
“Aku hanya memanggilmu My Dolphin agar kita bisa semakin akrab dan tujuanmu segera tercapai. It's the same like sweetheart, sweetie pie, honey, babe or anything else. Itu hanya panggilan akrab.” Axel menyalakan kompor, meletakkan teflon di atasnya, memberi margarin di atasnya hingga meleleh lalu memecahkan 4 butir telur. “Apa kamu memiliki kenangan buruk dengan panggilan itu, Anne?”
Gigi Anne saling menekan. Bibirnya sesekali berkedut, sementara kepalan tangannya mulai berkeringat dingin. Nafas perempuan itu terdengar semakin cepat dan tak beraturan saat memori kelam memaksa masuk ke pikirannya. Axel belum menyadari hal itu lantaran dia yang mulai memasak menu makan tengah malam mereka. Untungnya, Anne bisa segera menenangkan dirinya.
“Apa masa laluku itu urusanmu?” ucapnya dengan nada ketus.
Axel tak menyahut, dia hanya tersenyum dengan fokus yang masih tertuju pada pan-nya.
“Kemarilah, makanannya hampir siap,” suruh Axel.
Axel meletakkan piring berisi nasi dan menu mereka tengah malam ini di depan Anne, lalu duduk di depan perempuan itu.
“Enjoy your meal,” ucapnya dengan seulas senyum sebelum Axel mulai menikmati makanannya.
Selama hampir sepuluh menit, tak ada suara lain yang terdengar, bahkan dentingan alat makan pun tak terdengar. Keduanya makan dengan hening dan tenang di malam yang kian larut.
Axel meletakkan gelas white wine yang baru saja dia minum, setelah menghabiskan porsi miliknya. “Anne, can I ask you something?” tanyanya dengan suara pelan dan dalam.
Anne menarik bola matanya ke atas, tak memberi sahutan apapun selain gerakan itu. Porsi perempuan itu belum habis dan apa yang terjadi sebelumnya membuat Anne malas berbicara.
“Untuk masalah tadi aku minta maaf, aku tidak ada maksud buruk.”
“Dimaafkan. Apa yang mau kamu tanyakan?” potong Anne sesaat setelah dia memutar manik madunya.
Axel melipat bibirnya sebelum menghembuskan nafas dan kembali menarik kedua sudut bibirnya. Namun, pria itu tak langsung berujar, melainkan bangkit dari kursinya yang membuat Anne terheran.
“Your dessert,” ujarnya, meletakkan piring kecil berisi puding yang telah dia janjikan tadi, juga sendok di sampingnya.
Anne menatap Axel dan piring puding itu berulang kali sebelum menarik piring itu lebih dekat, lalu memotong sedikit dari seluruh bagian puding.
“Terlalu manis atau cukup?” tanya Axel.
“Cukup. Thanks.”
Axel mengangguk kecil. Wajah pria itu terlihat senang melihat Anne yang menikmati puding buatannya. Melihat Anne yang tersenyum kecil dengan kelopak mata yang tertutup, juga gerakan kecil yang perempuan itu tunjukkan. Menggemaskan!
“Jadi?” Anne bertanya membuat Axel yang sibuk dengan pikirannya lantas tersadar.
“Hal yang ingin kamu tanyakan,” tambahnya saat Axel terlihat bingung dengan maksud ucapan sebelumnya.
“Ini soal … mengajarimu semua hal.”
Bibir Anne terkatup, pembahasan itu lagi? batinnya. Namun, tak lama dia mengangguk. “Katakan.”
Axel membenarkan posisi duduknya. “Aku tidak ingin hal itu hanya akan membuat kita canggung dan membuat semuanya semakin lama. Jadi, aku hanya ingin bertanya ….” Axel menatap Anne lebih serius dengan kelopak mata yang tajam seperti seekor serigala.
“Em?” Anne menunggu.
“Kamu yakin dengan permintaanmu?”
“Kamu meragukan keputusanku?” Anne turut melempar tanya.
Axel tertawa pelan. “Hanya memastikan.”
***
Unknown to Anne:
|I love your necklace, it suit your sexy neck
|That's a dolphin? May I know what dolphin mean to you, My Dolphin?
Sebuah pesan yang sering dia dapat dari nomor tak dikenal berhasil membuat Anne kembali merasa takut. Berulang kali Anne melihat ke sekelilingnya. Namun, saat ini dia berada di dalam kamar dan sangat tidak mungkin ada orang lain di kamarnya.
Unknown to Anne:
|Tidak perlu mencariku, kamu tidak akan menemukannya
Tangan Anne semakin bergetar mendapat pesan itu. Orang dibalik nomor asing yang entah bagaimana caranya, Anne tak pernah bisa melacak pemiliknya bahkan setelah dia membayar besar untuk itu. Dia selalu tahu apa yang Anne lakukan, seperti seorang penguntit.
Unknown to Anne:
|Ah, aku juga ingin memberitahumu jika aku
baru saja membuat tato namamu
Di saat Anne dirundung rasa takut dan waspada, pemilik nomor yang duduk di depan komputer juga layar besar hasil proyeksi dari komputer itu sendiri hanya tersenyum. Dia mengetahui semua hal tentang Anne. Mengawasi setiap gerakan perempuan itu, melihat wajah cantik yang menunjukkan perasaannya, semua itu terasa menyenangkan baginya. Penguntit? Pria dengan tudung hoodie itu akan menganggukkan kepala tanpa ragu dan mengakuinya.
***
“Aku akan menjemputmu nanti.” Axel membawa piring kotor itu ke dapur setelah Anne menyelesaikan sarapan paginya.
“Axel.”
Suara Anne sangat sering terdengar tegas dan tak ingin dibantah. Namun, tak jarang perempuan yang terlihat cantik dengan turtle neck merah maroon dan long skirt hitam itu berbicara dengan suara lembut. Suara lembut yang berhasil membuat langkah Axel tertahan.
“Kenapa menjemputku dan bagaimana dengan permintaanku?” lanjutnya bertanya.
“Jika sekarang, aku yakin waktu kerjamu akan terganggu untuk memikirkanku.” Axel tersenyum tengil dengan memunggungi Anne. Pria itu sedang mencuci piring.
“Pulang kerja akan menjadi waktu yang pas. Aku juga ingin mengajakmu jalan-jalan sore agar kita bisa semakin dekat,” tambahnya.
“Kamu pikir, kamu seistimewa itu hingga bisa mengganggu konsentrasiku?” sahut Anne.
Axel mencuci tangannya, menarik beberapa lembar tisu untuk mengeringkannya lalu berbalik menatap Anne yang selalu terlihat cantik dan semakin cantik. “Who knows?”
“Tck!” Anne berdecak.
“Beri aku alamat kantormu,” pinta Axel yang kini telah berada di dekat Anne.
Anne memutar bola matanya, dia baru menyadari jika Axel cukup tengil. Merogoh tas bahunya lalu mengambil dompet dan menarik sebuah kartu pengenal dari sana. Anne lantas bangkit dari kursinya, memindahkan jaket kulit dari punggung kursi ke tangan kirinya yang telah meneteng tas.
“Take care,” ucap Axel yang hanya mendapat anggukan dari perempuan itu.
***
“Tidak buruk ’kan?” tanya Genie setelah rapat usai.
“Terlalu cepat untuk membuat penilaian. Kita masih di depan pintu, ada banyak ruang yang harus kita lewati. Tapi aku yakin, jika mereka akan melakukan yang terbaik.” Dibalik kacamata bacanya, Anne membaca ulang berkas untuk projek mereka selanjutnya. Projek besar yang akan mendongkrak nama Auvé, fragrance brand yang dia bangun dan dia besarkan hingga saat ini.
“Mereka? Kamu tidak menangkap apa yang ingin aku bicarakan?” Genie berdecak pelan.
“Memangnya apa? Bukan tentang Auvé?” Anne melirik Genie sekilas sebelum kembali pada lembaran kertas itu.
“Tidak, sial! Apa otak cerdasmu hanya memikirkan Auvé? Tidak heran jika Jasmine memintamu segera menikah dan memberinya cucu.”
“Jika bukan Auvé apa?” Anne kembali bertanya dengan nada malas. Menikah? Apa itu? Sangat tidak cocok untuk Anne yang ingin menjadi perempuan bebas.
“Gigolo barumu, bagaimana? Tidak seburuk itu ’kan tinggal dengannya?”
Jari yang membalik setiap lembar kertas itu berhenti. Membenarkan letak kacamata baca, Anne pun berdehem saat tenggorokannya terasa kering. “Apa kamu kekurangan hal untuk dikerjakan? Aku punya banyak ide di otak, kamu bisa mulai menerjemahkannya jika kamu tidak memiliki pekerjaan.”
“Aku ada di pihak Jasmine sekarang, kamu memang gila kerja!” Genie pun meninggalkan ruangan Anne dan kembali dengan kesibukannya.
Anne hanya menggelengkan kepala, tak merasa marah saat dia disebut gila kerja. Dia memang gila kerja, untuk sebuah alasan.
***
Axel baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melingkar di pinggang. Membuka lemari, tak perlu pusing memikirkan baju yang akan dia pakai karena semuanya berwarna senada dan dengan model yang tak jauh berbeda. Baggy jeans, sleeveless top dan jaket kulit adalah tiga hal yang dia ambil.
Selain pakaian, Axel juga memastikan rambutnya tidak berantakan. Ah, tidak masalah terlihat berantakan, yang terpenting selalu terlihat stylish. Dia bukan pria yang senang dengan tampilan licin, penampilan jalanan adalah yang sesuai untuk dirinya.
Tak lupa memakai pelembab bibir untuk bibirnya yang cukup kering. Seringai tipis pun muncul di wajahnya sebelum berlalu pergi dengan kunci motor yang dia ambil dari nakas.
“What the hell!” Anne mengumpat lirih saat motor vespa berhenti mendadak di depannya.“Apa aku mengejutkanmu?” tanya Axel setelah melepas helm, rambutnya yang sedikit berantakan pun disugar dalam satu gerakan.Anne menatap tak percaya pada Axel juga kendaraan yang pria itu bawa, perempuan itu bahkan berkedip beberapa kali untuk memastikan apa yang dia lihat.Axel dengan motor vespa, itu seperti lelucon bagi Anne. Apa Axel lupa pakaian apa yang dia pakai saat berangkat tadi? Anne memakai long skirt, motor bukan kendaraan yang tepat saat ini.“Axel?” panggilnya dengan nada tak percaya.“Why?” sahutnya dengan nada tengil yang menyebalkan bagi Anne.“See what I'm wearing and … vespa? You’re kidding?”Axel menatap penampilan Anne dari ujung kepala hingga ujung kaki. Perempuan itu masih cantik meski rambut yang pagi tadi tergerai kini telah dicepol. “I’m dead serious. Pakaianmu? Itu bukan masalah, kamu masih bisa duduk menyamping.”Anne menggeleng, masih dengan ketidak percayaannya. “Lebih
Salmon yang awalnya utuh perlahan berkurang. Setiap potongan kecil yang Anne lakukan membawa kenikmatan bagi indra perasanya.Roasted potatoes juga brokoli yang mendampingi pun perlahan berkurang. Semuanya mulai berkurang dari piring. Namun, tidak dengan tegang yang Anne rasakan. Tak ada obrolan yang tercipta, hanya hening yang memeluk keduanya juga detik jam yang samar.Axel yang telah menghabiskan makan malamnya beberapa menit yang lalu, kini tengah menikmati rosé wine sembari menunggu Anne selesai. Pria itu juga menjatuhkan manik abunya pada Anne yang terus tertunduk. Mengamatinya dalam diam.Setelah tegukan terakhir, Axel meletakkan gelasnya, mengambil botol wine lalu mengisi gelas itu lagi. Suara wine yang dituangkan membuat hening sedikit terpecah. “Kamu tidak ingin berkomentar tentang masakanku?” tanyanya.Anne menggeleng. Tangan dan mulutnya masih bekerjasama untuk menghabiskan hidangan makan malam.“Menurutku rasanya sedikit terlalu manis.” Axel kembali berujar dengan tangan
Anne menghela nafas, dagunya tersimpan di antara lutut setelah bercerita panjang lebar. Perempuan itu memutuskan menghubungi Genie saat kedua matanya tak ingin terlelap. Dia butuh petuah untuk hubungan yang dia mulai. Hubungan kontrak yang Anne pikir mudah, nyatanya terasa sangat rumit. Genie yang berada di dalam layar laptop memusatkan perhatiannya pada Anne. “Semua tergantung dirimu. Kalau kamu memang belum siap, it’s fine. Katakan padanya dan aku yakin dia akan menghargaimu. Lagipula dia tidak memaksamu untuk buru-buru dan kamu yang memegang kendali hubungan itu ‘kan?” Genie benar, Axel memang tak ingin buru-buru. Namun, Anne yang ingin hubungan itu cepat selesai dan faktanya perempuan itu juga yang belum siap. “Based on your story, I think he’s a great person,” ujar Genie. “Kamu juga udah cari tahu latar belakangnya ‘kan?” lanjutnya bertanya. *** Anne menikmati teh hijau miliknya di kitchen bar, sembari menonton aksi memasak Axel di sisi seberang. Mereka memang berada
Axel menyalakan layar ponsel yang telah tergeletak sejak dia duduk di ruang tengah. Pukul 12.06, tengah malam telah terlewat. Namun, Anne tak kunjung pulang, bahkan satupun pesan ataupun telepon yang Axel lakukan tak mendapat balasan.Pria itu segera bangkit dari duduknya saat hentakan heels tertangkap rungunya setelah suara pintu yang dibuka terdengar. Bayangan seseorang mulai terlihat. Tanpa sadar, hela nafas lega terdengar di antara hening.“You late,” ucapnya saat Anne telah tertangkap netranya. Perempuan yang dia tunggu sejak matahari hampir terbenam hingga bulan telah tertutup awan dan kini hujan telah membasahi jalanan juga atap bangunan.Anne berhenti, wajah perempuan itu terlihat sangat lelah dengan kelopak mata yang turun. “Ada banyak hal yang harus aku kerjakan,” ujarnya dengan nada datar.Axel mengernyit. Pria itu masih ingat dengan obrolan ringan mereka tadi pagi, mengira jika Anne mulai membuka ruang untuknya. Namun, Axel lupa dengan kalimat terakhir yang Anne ucapkan. P
“Don’t you ever get bored?” Anne menghampiri Axel setelah menyelesaikan sesi pilatesnya. Keringat masih membasahi pelipis dan lehernya.Walaupun pilates terlihat mudah, sebenarnya tidak semudah itu juga. Apapun itu, Anne tetap menyukainya. Perempuan itu kini tengah menyeka keringatnya dengan handuk yang tersimpan di tas yang berada di samping Axel.Biasanya Anne datang ke studio pilates seorang diri. Namun, hari ini dia datang dengan Axel yang memaksa ikut walaupun pria itu hanya duduk dan menonton di sudut ruangan.“Setelah aku pikir-pikir, akan lebih baik kalau aku mengantar-jemputmu. Selain aku ngerasa tenang, kamu juga bisa lebih cepat beristirahat di mobil,” ucap Axel setelah mereka menyelesaikan sarapan dan Anne yang hendak pergi.Anne awalnya menolak dengan alasan dia biasa sendiri. Namun, Axel sangat pandai membujuknya sehingga ia menyetujui. Lagipula Anne tidak dirugikan apapun.Axel yang telah memperhatikan Anne sejak perempuan itu memulai sesinya kini berdiri. “Never.” jawa
Axel mengetuk-ngetuk kemudi dengan ujung jarinya, sudut matanya sesekali melirik Anne yang duduk tenang di sampingnya dengan bibir menggumamkan lirik dari lagu yang kini memenuhi mobil. Ini adalah hari pertama Axel menjemput Anne dan dia dikejutkan dengan playlist musik perempuan itu.“Push me down, hold me down, spit in my mouth while you turn me out,” gumam Anne, suaranya terdengar lembut, hampir terdengar seperti bisikan. Perempuan itu terlihat menghayati setiap lirik yang dia gumamkan. Kedua bola matanya bahkan bersembunyi di balik kelopak mata.Sedangkan Axel, pria itu mencengkram kemudi lebih erat saat gumaman itu menusuk setiap inci gendang telinganya. Telinga pria itu merona merah, dengan bibir bagian dalam yang tertahan di antara gigi. Setiap lirik yang keluar dari bibir Anne seakan mencekik leher Axel secara perlahan. Itu terlalu frontal.“Your music vibe –” Axel menoleh ke arah Anne saat lampu merah menghentikan gerak mobil mereka.Anne membuka kelopak matanya. “Something’s
Anne menatap Axel dengan sinis setelah mendengar ide yang keluar dari mulut pria itu. “Kamu tidur di kamar ini … bersamaku? Big no! Obat itu lebih baik daripada ide gilamu.” “What’s on your mind, Anne?” Axel menggeleng dengan tawa kecil yang mengudara. “Aku hanya ingin membantumu lepas dari obat itu, juga mimpi burukmu. Aku hanya menemanimu tidur, tidur pada umumnya,” sambung Axel, suaranya terdengar ringan karena pria itu memang tidak memiliki maksud lain.“You can say that to an innocent girl outside,” ucap Anne dengan nada sinis. Perempuan itu lantas membaringkan tubuhnya, menarik selimut hingga setinggi leher. “Leave as soon as you’re done,” suruhnya dingin, lalu menutup seluruh wajahnya dan memunggungi Axel.Axel terdiam, pria itu belum menyerah. “Anne, dengarkan aku,” pintanya.Anne mengatupkan bibirnya. Namun, rungunya selalu menangkap setiap ocehan Axel.“Aku tidak sedang mencari kesempatan.” Axel menghela nafas, kedua bola matanya tertuju pada punggung Anne yang tertutu
“Kamu cukup buat saya hamil dan kamu akan mendapat semua benefits yang tertulis di surat kontrak itu,” ucap Anne dengan suara tegasnya.Axel melihat kertas putih yang telah dibasahi tanda tangan Anne sebelum menatap perempuan yang berpenampilan layaknya orang dengan prinsip kuat dan sulit digoyahkan. Mereka memang baru pertama kali bertemu. Namun, Axel sangat berani bertaruh jika Anne memang seperti penilaiannya, apalagi perempuan itu memakai setelan kantor hitam yang masih terlihat kasual.“100 ribu dolar?” Axel menyebutkan jumlah uang yang menjadi bagian paling menarik meski Anne juga memberikan benefits lain di atas kertas itu.“Kurang? Berapa yang kamu mau?”Sejak kuliah hingga berusia 32 tahun Anne telah menggeluti dunia bisnis yang semakin menghasilkan setiap tahunnya, dia tidak takut jika harus membayar gigolo itu dengan bayaran yang lebih tinggi dari penawarannya, asal dia mendapatkan apa yang dia mau. Uang bukan batu besar yang menghalangi langkah Anne.“Untuk sekarang cukup,
Anne menatap Axel dengan sinis setelah mendengar ide yang keluar dari mulut pria itu. “Kamu tidur di kamar ini … bersamaku? Big no! Obat itu lebih baik daripada ide gilamu.” “What’s on your mind, Anne?” Axel menggeleng dengan tawa kecil yang mengudara. “Aku hanya ingin membantumu lepas dari obat itu, juga mimpi burukmu. Aku hanya menemanimu tidur, tidur pada umumnya,” sambung Axel, suaranya terdengar ringan karena pria itu memang tidak memiliki maksud lain.“You can say that to an innocent girl outside,” ucap Anne dengan nada sinis. Perempuan itu lantas membaringkan tubuhnya, menarik selimut hingga setinggi leher. “Leave as soon as you’re done,” suruhnya dingin, lalu menutup seluruh wajahnya dan memunggungi Axel.Axel terdiam, pria itu belum menyerah. “Anne, dengarkan aku,” pintanya.Anne mengatupkan bibirnya. Namun, rungunya selalu menangkap setiap ocehan Axel.“Aku tidak sedang mencari kesempatan.” Axel menghela nafas, kedua bola matanya tertuju pada punggung Anne yang tertutu
Axel mengetuk-ngetuk kemudi dengan ujung jarinya, sudut matanya sesekali melirik Anne yang duduk tenang di sampingnya dengan bibir menggumamkan lirik dari lagu yang kini memenuhi mobil. Ini adalah hari pertama Axel menjemput Anne dan dia dikejutkan dengan playlist musik perempuan itu.“Push me down, hold me down, spit in my mouth while you turn me out,” gumam Anne, suaranya terdengar lembut, hampir terdengar seperti bisikan. Perempuan itu terlihat menghayati setiap lirik yang dia gumamkan. Kedua bola matanya bahkan bersembunyi di balik kelopak mata.Sedangkan Axel, pria itu mencengkram kemudi lebih erat saat gumaman itu menusuk setiap inci gendang telinganya. Telinga pria itu merona merah, dengan bibir bagian dalam yang tertahan di antara gigi. Setiap lirik yang keluar dari bibir Anne seakan mencekik leher Axel secara perlahan. Itu terlalu frontal.“Your music vibe –” Axel menoleh ke arah Anne saat lampu merah menghentikan gerak mobil mereka.Anne membuka kelopak matanya. “Something’s
“Don’t you ever get bored?” Anne menghampiri Axel setelah menyelesaikan sesi pilatesnya. Keringat masih membasahi pelipis dan lehernya.Walaupun pilates terlihat mudah, sebenarnya tidak semudah itu juga. Apapun itu, Anne tetap menyukainya. Perempuan itu kini tengah menyeka keringatnya dengan handuk yang tersimpan di tas yang berada di samping Axel.Biasanya Anne datang ke studio pilates seorang diri. Namun, hari ini dia datang dengan Axel yang memaksa ikut walaupun pria itu hanya duduk dan menonton di sudut ruangan.“Setelah aku pikir-pikir, akan lebih baik kalau aku mengantar-jemputmu. Selain aku ngerasa tenang, kamu juga bisa lebih cepat beristirahat di mobil,” ucap Axel setelah mereka menyelesaikan sarapan dan Anne yang hendak pergi.Anne awalnya menolak dengan alasan dia biasa sendiri. Namun, Axel sangat pandai membujuknya sehingga ia menyetujui. Lagipula Anne tidak dirugikan apapun.Axel yang telah memperhatikan Anne sejak perempuan itu memulai sesinya kini berdiri. “Never.” jawa
Axel menyalakan layar ponsel yang telah tergeletak sejak dia duduk di ruang tengah. Pukul 12.06, tengah malam telah terlewat. Namun, Anne tak kunjung pulang, bahkan satupun pesan ataupun telepon yang Axel lakukan tak mendapat balasan.Pria itu segera bangkit dari duduknya saat hentakan heels tertangkap rungunya setelah suara pintu yang dibuka terdengar. Bayangan seseorang mulai terlihat. Tanpa sadar, hela nafas lega terdengar di antara hening.“You late,” ucapnya saat Anne telah tertangkap netranya. Perempuan yang dia tunggu sejak matahari hampir terbenam hingga bulan telah tertutup awan dan kini hujan telah membasahi jalanan juga atap bangunan.Anne berhenti, wajah perempuan itu terlihat sangat lelah dengan kelopak mata yang turun. “Ada banyak hal yang harus aku kerjakan,” ujarnya dengan nada datar.Axel mengernyit. Pria itu masih ingat dengan obrolan ringan mereka tadi pagi, mengira jika Anne mulai membuka ruang untuknya. Namun, Axel lupa dengan kalimat terakhir yang Anne ucapkan. P
Anne menghela nafas, dagunya tersimpan di antara lutut setelah bercerita panjang lebar. Perempuan itu memutuskan menghubungi Genie saat kedua matanya tak ingin terlelap. Dia butuh petuah untuk hubungan yang dia mulai. Hubungan kontrak yang Anne pikir mudah, nyatanya terasa sangat rumit. Genie yang berada di dalam layar laptop memusatkan perhatiannya pada Anne. “Semua tergantung dirimu. Kalau kamu memang belum siap, it’s fine. Katakan padanya dan aku yakin dia akan menghargaimu. Lagipula dia tidak memaksamu untuk buru-buru dan kamu yang memegang kendali hubungan itu ‘kan?” Genie benar, Axel memang tak ingin buru-buru. Namun, Anne yang ingin hubungan itu cepat selesai dan faktanya perempuan itu juga yang belum siap. “Based on your story, I think he’s a great person,” ujar Genie. “Kamu juga udah cari tahu latar belakangnya ‘kan?” lanjutnya bertanya. *** Anne menikmati teh hijau miliknya di kitchen bar, sembari menonton aksi memasak Axel di sisi seberang. Mereka memang berada
Salmon yang awalnya utuh perlahan berkurang. Setiap potongan kecil yang Anne lakukan membawa kenikmatan bagi indra perasanya.Roasted potatoes juga brokoli yang mendampingi pun perlahan berkurang. Semuanya mulai berkurang dari piring. Namun, tidak dengan tegang yang Anne rasakan. Tak ada obrolan yang tercipta, hanya hening yang memeluk keduanya juga detik jam yang samar.Axel yang telah menghabiskan makan malamnya beberapa menit yang lalu, kini tengah menikmati rosé wine sembari menunggu Anne selesai. Pria itu juga menjatuhkan manik abunya pada Anne yang terus tertunduk. Mengamatinya dalam diam.Setelah tegukan terakhir, Axel meletakkan gelasnya, mengambil botol wine lalu mengisi gelas itu lagi. Suara wine yang dituangkan membuat hening sedikit terpecah. “Kamu tidak ingin berkomentar tentang masakanku?” tanyanya.Anne menggeleng. Tangan dan mulutnya masih bekerjasama untuk menghabiskan hidangan makan malam.“Menurutku rasanya sedikit terlalu manis.” Axel kembali berujar dengan tangan
“What the hell!” Anne mengumpat lirih saat motor vespa berhenti mendadak di depannya.“Apa aku mengejutkanmu?” tanya Axel setelah melepas helm, rambutnya yang sedikit berantakan pun disugar dalam satu gerakan.Anne menatap tak percaya pada Axel juga kendaraan yang pria itu bawa, perempuan itu bahkan berkedip beberapa kali untuk memastikan apa yang dia lihat.Axel dengan motor vespa, itu seperti lelucon bagi Anne. Apa Axel lupa pakaian apa yang dia pakai saat berangkat tadi? Anne memakai long skirt, motor bukan kendaraan yang tepat saat ini.“Axel?” panggilnya dengan nada tak percaya.“Why?” sahutnya dengan nada tengil yang menyebalkan bagi Anne.“See what I'm wearing and … vespa? You’re kidding?”Axel menatap penampilan Anne dari ujung kepala hingga ujung kaki. Perempuan itu masih cantik meski rambut yang pagi tadi tergerai kini telah dicepol. “I’m dead serious. Pakaianmu? Itu bukan masalah, kamu masih bisa duduk menyamping.”Anne menggeleng, masih dengan ketidak percayaannya. “Lebih
“Dolphin? Why are you calling me that?” Kedua alis Anne tertekuk tajam.“A special nickname for you from me. It'll bring us closer, maybe.” Axel menatap Anne sesekali lantaran dia yang sedang memotong tomat menjadi beberapa bagian lebih kecil.“Aku tidak butuh! Jangan memanggilku dengan sebutan itu lagi. Aku memperingatkanmu, Axel! Aku memintamu melakukan beberapa hal bukan berarti kamu bisa melewati semua batas.” Wajah Anne terlihat sangat serius dengan kedua tangan yang terkepal di kedua sisi tubuhnya.“Batas?” Salah satu alis Axel terangkat, suara tajam pisau yang menghantam talenan mengisi ruangan itu. Jarak dapur dan ruang tengah memang tidak terlalu luas, didukung keadaan yang hening membuat obrolan jarak jauh mereka tetap terdengar jelas.“Aku hanya memanggilmu My Dolphin agar kita bisa semakin akrab dan tujuanmu segera tercapai. It's the same like sweetheart, sweetie pie, honey, babe or anything else. Itu hanya panggilan akrab.” Axel menyalakan kompor, meletakkan teflon di ata
Axel melepas weightlifting belt yang dia pakai setelah melepaskan barbel dari genggamannya, memakai jaket bertudung miliknya dan bergegas kembali ke apartemen Anne setelah membaca pesan dari perempuan itu.Pria itu melatih fisiknya masih di tower apartemen yang sama di mana dia tinggal saat ini, itu kenapa dia tidak membutuhkan banyak waktu untuk sampai di unit. Namun, sesampainya dia di apartemen, ruangan yang bisa mereka gunakan bersama terlihat sepi. Tidak terlihat kehadiran Anne di ruangan itu, bahkan lampu belum menyala meski malam hampir tiba.Saat mencoba berkeliling mencari keberadaan Anne, dia menemukan punggung sempit perempuan itu dibalik pintu yang terhubung dengan balkon. Tak langsung mendekati Anne, Axel memutar arah menuju kamarnya dan keluar dengan membawa selimut.“Lagi hujan, kenapa di luar?” tanya Axel setelah menyelimuti tubuh Anne dengan selimut.Anne yang sedari tadi melamun pun terkejut dengan selimut yang kini menempel pada tubuhnya juga dengan kedatangan Axel.