“Dolphin? Why are you calling me that?” Kedua alis Anne tertekuk tajam.
“A special nickname for you from me. It'll bring us closer, maybe.” Axel menatap Anne sesekali lantaran dia yang sedang memotong tomat menjadi beberapa bagian lebih kecil.
“Aku tidak butuh! Jangan memanggilku dengan sebutan itu lagi. Aku memperingatkanmu, Axel! Aku memintamu melakukan beberapa hal bukan berarti kamu bisa melewati semua batas.” Wajah Anne terlihat sangat serius dengan kedua tangan yang terkepal di kedua sisi tubuhnya.
“Batas?” Salah satu alis Axel terangkat, suara tajam pisau yang menghantam talenan mengisi ruangan itu. Jarak dapur dan ruang tengah memang tidak terlalu luas, didukung keadaan yang hening membuat obrolan jarak jauh mereka tetap terdengar jelas.
“Aku hanya memanggilmu My Dolphin agar kita bisa semakin akrab dan tujuanmu segera tercapai. It's the same like sweetheart, sweetie pie, honey, babe or anything else. Itu hanya panggilan akrab.” Axel menyalakan kompor, meletakkan teflon di atasnya, memberi margarin di atasnya hingga meleleh lalu memecahkan 4 butir telur. “Apa kamu memiliki kenangan buruk dengan panggilan itu, Anne?”
Gigi Anne saling menekan. Bibirnya sesekali berkedut, sementara kepalan tangannya mulai berkeringat dingin. Nafas perempuan itu terdengar semakin cepat dan tak beraturan saat memori kelam memaksa masuk ke pikirannya. Axel belum menyadari hal itu lantaran dia yang mulai memasak menu makan tengah malam mereka. Untungnya, Anne bisa segera menenangkan dirinya.
“Apa masa laluku itu urusanmu?” ucapnya dengan nada ketus.
Axel tak menyahut, dia hanya tersenyum dengan fokus yang masih tertuju pada pan-nya.
“Kemarilah, makanannya hampir siap,” suruh Axel.
Axel meletakkan piring berisi nasi dan menu mereka tengah malam ini di depan Anne, lalu duduk di depan perempuan itu.
“Enjoy your meal,” ucapnya dengan seulas senyum sebelum Axel mulai menikmati makanannya.
Selama hampir sepuluh menit, tak ada suara lain yang terdengar, bahkan dentingan alat makan pun tak terdengar. Keduanya makan dengan hening dan tenang di malam yang kian larut.
Axel meletakkan gelas white wine yang baru saja dia minum, setelah menghabiskan porsi miliknya. “Anne, can I ask you something?” tanyanya dengan suara pelan dan dalam.
Anne menarik bola matanya ke atas, tak memberi sahutan apapun selain gerakan itu. Porsi perempuan itu belum habis dan apa yang terjadi sebelumnya membuat Anne malas berbicara.
“Untuk masalah tadi aku minta maaf, aku tidak ada maksud buruk.”
“Dimaafkan. Apa yang mau kamu tanyakan?” potong Anne sesaat setelah dia memutar manik madunya.
Axel melipat bibirnya sebelum menghembuskan nafas dan kembali menarik kedua sudut bibirnya. Namun, pria itu tak langsung berujar, melainkan bangkit dari kursinya yang membuat Anne terheran.
“Your dessert,” ujarnya, meletakkan piring kecil berisi puding yang telah dia janjikan tadi, juga sendok di sampingnya.
Anne menatap Axel dan piring puding itu berulang kali sebelum menarik piring itu lebih dekat, lalu memotong sedikit dari seluruh bagian puding.
“Terlalu manis atau cukup?” tanya Axel.
“Cukup. Thanks.”
Axel mengangguk kecil. Wajah pria itu terlihat senang melihat Anne yang menikmati puding buatannya. Melihat Anne yang tersenyum kecil dengan kelopak mata yang tertutup, juga gerakan kecil yang perempuan itu tunjukkan. Menggemaskan!
“Jadi?” Anne bertanya membuat Axel yang sibuk dengan pikirannya lantas tersadar.
“Hal yang ingin kamu tanyakan,” tambahnya saat Axel terlihat bingung dengan maksud ucapan sebelumnya.
“Ini soal … mengajarimu semua hal.”
Bibir Anne terkatup, pembahasan itu lagi? batinnya. Namun, tak lama dia mengangguk. “Katakan.”
Axel membenarkan posisi duduknya. “Aku tidak ingin hal itu hanya akan membuat kita canggung dan membuat semuanya semakin lama. Jadi, aku hanya ingin bertanya ….” Axel menatap Anne lebih serius dengan kelopak mata yang tajam seperti seekor serigala.
“Em?” Anne menunggu.
“Kamu yakin dengan permintaanmu?”
“Kamu meragukan keputusanku?” Anne turut melempar tanya.
Axel tertawa pelan. “Hanya memastikan.”
***
Unknown to Anne:
|I love your necklace, it suit your sexy neck
|That's a dolphin? May I know what dolphin mean to you, My Dolphin?
Sebuah pesan yang sering dia dapat dari nomor tak dikenal berhasil membuat Anne kembali merasa takut. Berulang kali Anne melihat ke sekelilingnya. Namun, saat ini dia berada di dalam kamar dan sangat tidak mungkin ada orang lain di kamarnya.
Unknown to Anne:
|Tidak perlu mencariku, kamu tidak akan menemukannya
Tangan Anne semakin bergetar mendapat pesan itu. Orang dibalik nomor asing yang entah bagaimana caranya, Anne tak pernah bisa melacak pemiliknya bahkan setelah dia membayar besar untuk itu. Dia selalu tahu apa yang Anne lakukan, seperti seorang penguntit.
Unknown to Anne:
|Ah, aku juga ingin memberitahumu jika aku
baru saja membuat tato namamu
Di saat Anne dirundung rasa takut dan waspada, pemilik nomor yang duduk di depan komputer juga layar besar hasil proyeksi dari komputer itu sendiri hanya tersenyum. Dia mengetahui semua hal tentang Anne. Mengawasi setiap gerakan perempuan itu, melihat wajah cantik yang menunjukkan perasaannya, semua itu terasa menyenangkan baginya. Penguntit? Pria dengan tudung hoodie itu akan menganggukkan kepala tanpa ragu dan mengakuinya.
***
“Aku akan menjemputmu nanti.” Axel membawa piring kotor itu ke dapur setelah Anne menyelesaikan sarapan paginya.
“Axel.”
Suara Anne sangat sering terdengar tegas dan tak ingin dibantah. Namun, tak jarang perempuan yang terlihat cantik dengan turtle neck merah maroon dan long skirt hitam itu berbicara dengan suara lembut. Suara lembut yang berhasil membuat langkah Axel tertahan.
“Kenapa menjemputku dan bagaimana dengan permintaanku?” lanjutnya bertanya.
“Jika sekarang, aku yakin waktu kerjamu akan terganggu untuk memikirkanku.” Axel tersenyum tengil dengan memunggungi Anne. Pria itu sedang mencuci piring.
“Pulang kerja akan menjadi waktu yang pas. Aku juga ingin mengajakmu jalan-jalan sore agar kita bisa semakin dekat,” tambahnya.
“Kamu pikir, kamu seistimewa itu hingga bisa mengganggu konsentrasiku?” sahut Anne.
Axel mencuci tangannya, menarik beberapa lembar tisu untuk mengeringkannya lalu berbalik menatap Anne yang selalu terlihat cantik dan semakin cantik. “Who knows?”
“Tck!” Anne berdecak.
“Beri aku alamat kantormu,” pinta Axel yang kini telah berada di dekat Anne.
Anne memutar bola matanya, dia baru menyadari jika Axel cukup tengil. Merogoh tas bahunya lalu mengambil dompet dan menarik sebuah kartu pengenal dari sana. Anne lantas bangkit dari kursinya, memindahkan jaket kulit dari punggung kursi ke tangan kirinya yang telah meneteng tas.
“Take care,” ucap Axel yang hanya mendapat anggukan dari perempuan itu.
***
“Tidak buruk ’kan?” tanya Genie setelah rapat usai.
“Terlalu cepat untuk membuat penilaian. Kita masih di depan pintu, ada banyak ruang yang harus kita lewati. Tapi aku yakin, jika mereka akan melakukan yang terbaik.” Dibalik kacamata bacanya, Anne membaca ulang berkas untuk projek mereka selanjutnya. Projek besar yang akan mendongkrak nama Auvé, fragrance brand yang dia bangun dan dia besarkan hingga saat ini.
“Mereka? Kamu tidak menangkap apa yang ingin aku bicarakan?” Genie berdecak pelan.
“Memangnya apa? Bukan tentang Auvé?” Anne melirik Genie sekilas sebelum kembali pada lembaran kertas itu.
“Tidak, sial! Apa otak cerdasmu hanya memikirkan Auvé? Tidak heran jika Jasmine memintamu segera menikah dan memberinya cucu.”
“Jika bukan Auvé apa?” Anne kembali bertanya dengan nada malas. Menikah? Apa itu? Sangat tidak cocok untuk Anne yang ingin menjadi perempuan bebas.
“Gigolo barumu, bagaimana? Tidak seburuk itu ’kan tinggal dengannya?”
Jari yang membalik setiap lembar kertas itu berhenti. Membenarkan letak kacamata baca, Anne pun berdehem saat tenggorokannya terasa kering. “Apa kamu kekurangan hal untuk dikerjakan? Aku punya banyak ide di otak, kamu bisa mulai menerjemahkannya jika kamu tidak memiliki pekerjaan.”
“Aku ada di pihak Jasmine sekarang, kamu memang gila kerja!” Genie pun meninggalkan ruangan Anne dan kembali dengan kesibukannya.
Anne hanya menggelengkan kepala, tak merasa marah saat dia disebut gila kerja. Dia memang gila kerja, untuk sebuah alasan.
***
Axel baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melingkar di pinggang. Membuka lemari, tak perlu pusing memikirkan baju yang akan dia pakai karena semuanya berwarna senada dan dengan model yang tak jauh berbeda. Baggy jeans, sleeveless top dan jaket kulit adalah tiga hal yang dia ambil.
Selain pakaian, Axel juga memastikan rambutnya tidak berantakan. Ah, tidak masalah terlihat berantakan, yang terpenting selalu terlihat stylish. Dia bukan pria yang senang dengan tampilan licin, penampilan jalanan adalah yang sesuai untuk dirinya.
Tak lupa memakai pelembab bibir untuk bibirnya yang cukup kering. Seringai tipis pun muncul di wajahnya sebelum berlalu pergi dengan kunci motor yang dia ambil dari nakas.
“Kamu cukup buat saya hamil dan kamu akan mendapat semua benefits yang tertulis di surat kontrak itu,” ucap Anne dengan suara tegasnya.Axel melihat kertas putih yang telah dibasahi tanda tangan Anne sebelum menatap perempuan yang berpenampilan layaknya orang dengan prinsip kuat dan sulit digoyahkan. Mereka memang baru pertama kali bertemu. Namun, Axel sangat berani bertaruh jika Anne memang seperti penilaiannya, apalagi perempuan itu memakai setelan kantor hitam yang masih terlihat kasual.“100 ribu dolar?” Axel menyebutkan jumlah uang yang menjadi bagian paling menarik meski Anne juga memberikan benefits lain di atas kertas itu.“Kurang? Berapa yang kamu mau?”Sejak kuliah hingga berusia 32 tahun Anne telah menggeluti dunia bisnis yang semakin menghasilkan setiap tahunnya, dia tidak takut jika harus membayar gigolo itu dengan bayaran yang lebih tinggi dari penawarannya, asal dia mendapatkan apa yang dia mau. Uang bukan batu besar yang menghalangi langkah Anne.“Untuk sekarang cukup,
Axel keluar dari kamar, melihat sekitar apartemen yang temaram. Namun, netra abu miliknya masih bisa menangkap keberadaan Anne di ruang tengah. Itu semua karena cahaya dari laptop yang tergeletak di atas meja. Melihat jam dinding, Axel lantas melangkah ke dapur untuk membuat sesuatu.“Matcha addict?” gumamnya saat melihat isi lemari yang menyimpan bahan makanan.Tangan yang dihiasi urat menambah kesan maskulin Axel kini menyimpan cangkir berisi matcha yang telah dilarutkan di sisi kanan dan cangkir lebih besar berisi susu di tangan kiri. Dengan keahlian yang dia miliki, Axel berhasil membuat dolphin mengapung menghiasi matcha tersebut.“Still awake?” tanyanya berbasa-basi sembari mengisi bagian kosong sofa, tak lupa untuk meletakkan cangkir biru yang berisi matcha latte ke atas meja.Anne yang sebenarnya sedang melamun terkejut dengan kedatangan Axel, namun perempuan dengan rambut yang diikat acak itu dengan cepat bersikap biasa saja. “I have work.” Anne lantas menarik laptop dari mej
Pintu yang awalnya tertutup rapat, bahkan terkunci kini terbuka menimbulkan derit yang memecah heningnya malam. Celah kecil pintu semakin lebar dengan ujung kaki seseorang yang memakai sandal rumahan mulai melewati batas kamar dengan area luar.Bola mata yang terhalang poni panjang itu berhasil menilik kamar yang hanya diterangi lampu tidur, sebelum berakhir pada seseorang yang terlelap di bawah selimut tebal. Lidah yang masih berada di tempatnya mendorong dinding pipi, lalu kelopak mata itu berkedip perlahan sebelum kaki panjangnya melangkah bersamaan dengan pintu yang kembali tertutup.Cahaya jingga yang menjadi penerang satu-satunya kamar itu padam, ulah dari tangan yang terbungkus sarung tangan berbahan latex. Kini kamar itu benar-benar gelap. Masih seperti sebelumnya, hanya hening yang ada. Ah, tidak, hembusan nafas halus dari pemilik kamar menjadi suara yang masih terdengar, juga gumaman yang terdengar senada dengan hembusan nafas itu.Sarung tangan latex yang dia pakai pun tert
Axel melepas weightlifting belt yang dia pakai setelah melepaskan barbel dari genggamannya, memakai jaket bertudung miliknya dan bergegas kembali ke apartemen Anne setelah membaca pesan dari perempuan itu.Pria itu melatih fisiknya masih di tower apartemen yang sama di mana dia tinggal saat ini, itu kenapa dia tidak membutuhkan banyak waktu untuk sampai di unit. Namun, sesampainya dia di apartemen, ruangan yang bisa mereka gunakan bersama terlihat sepi. Tidak terlihat kehadiran Anne di ruangan itu, bahkan lampu belum menyala meski malam hampir tiba.Saat mencoba berkeliling mencari keberadaan Anne, dia menemukan punggung sempit perempuan itu dibalik pintu yang terhubung dengan balkon. Tak langsung mendekati Anne, Axel memutar arah menuju kamarnya dan keluar dengan membawa selimut.“Lagi hujan, kenapa di luar?” tanya Axel setelah menyelimuti tubuh Anne dengan selimut.Anne yang sedari tadi melamun pun terkejut dengan selimut yang kini menempel pada tubuhnya juga dengan kedatangan Axel.
“Dolphin? Why are you calling me that?” Kedua alis Anne tertekuk tajam.“A special nickname for you from me. It'll bring us closer, maybe.” Axel menatap Anne sesekali lantaran dia yang sedang memotong tomat menjadi beberapa bagian lebih kecil.“Aku tidak butuh! Jangan memanggilku dengan sebutan itu lagi. Aku memperingatkanmu, Axel! Aku memintamu melakukan beberapa hal bukan berarti kamu bisa melewati semua batas.” Wajah Anne terlihat sangat serius dengan kedua tangan yang terkepal di kedua sisi tubuhnya.“Batas?” Salah satu alis Axel terangkat, suara tajam pisau yang menghantam talenan mengisi ruangan itu. Jarak dapur dan ruang tengah memang tidak terlalu luas, didukung keadaan yang hening membuat obrolan jarak jauh mereka tetap terdengar jelas.“Aku hanya memanggilmu My Dolphin agar kita bisa semakin akrab dan tujuanmu segera tercapai. It's the same like sweetheart, sweetie pie, honey, babe or anything else. Itu hanya panggilan akrab.” Axel menyalakan kompor, meletakkan teflon di ata
Axel melepas weightlifting belt yang dia pakai setelah melepaskan barbel dari genggamannya, memakai jaket bertudung miliknya dan bergegas kembali ke apartemen Anne setelah membaca pesan dari perempuan itu.Pria itu melatih fisiknya masih di tower apartemen yang sama di mana dia tinggal saat ini, itu kenapa dia tidak membutuhkan banyak waktu untuk sampai di unit. Namun, sesampainya dia di apartemen, ruangan yang bisa mereka gunakan bersama terlihat sepi. Tidak terlihat kehadiran Anne di ruangan itu, bahkan lampu belum menyala meski malam hampir tiba.Saat mencoba berkeliling mencari keberadaan Anne, dia menemukan punggung sempit perempuan itu dibalik pintu yang terhubung dengan balkon. Tak langsung mendekati Anne, Axel memutar arah menuju kamarnya dan keluar dengan membawa selimut.“Lagi hujan, kenapa di luar?” tanya Axel setelah menyelimuti tubuh Anne dengan selimut.Anne yang sedari tadi melamun pun terkejut dengan selimut yang kini menempel pada tubuhnya juga dengan kedatangan Axel.
Pintu yang awalnya tertutup rapat, bahkan terkunci kini terbuka menimbulkan derit yang memecah heningnya malam. Celah kecil pintu semakin lebar dengan ujung kaki seseorang yang memakai sandal rumahan mulai melewati batas kamar dengan area luar.Bola mata yang terhalang poni panjang itu berhasil menilik kamar yang hanya diterangi lampu tidur, sebelum berakhir pada seseorang yang terlelap di bawah selimut tebal. Lidah yang masih berada di tempatnya mendorong dinding pipi, lalu kelopak mata itu berkedip perlahan sebelum kaki panjangnya melangkah bersamaan dengan pintu yang kembali tertutup.Cahaya jingga yang menjadi penerang satu-satunya kamar itu padam, ulah dari tangan yang terbungkus sarung tangan berbahan latex. Kini kamar itu benar-benar gelap. Masih seperti sebelumnya, hanya hening yang ada. Ah, tidak, hembusan nafas halus dari pemilik kamar menjadi suara yang masih terdengar, juga gumaman yang terdengar senada dengan hembusan nafas itu.Sarung tangan latex yang dia pakai pun tert
Axel keluar dari kamar, melihat sekitar apartemen yang temaram. Namun, netra abu miliknya masih bisa menangkap keberadaan Anne di ruang tengah. Itu semua karena cahaya dari laptop yang tergeletak di atas meja. Melihat jam dinding, Axel lantas melangkah ke dapur untuk membuat sesuatu.“Matcha addict?” gumamnya saat melihat isi lemari yang menyimpan bahan makanan.Tangan yang dihiasi urat menambah kesan maskulin Axel kini menyimpan cangkir berisi matcha yang telah dilarutkan di sisi kanan dan cangkir lebih besar berisi susu di tangan kiri. Dengan keahlian yang dia miliki, Axel berhasil membuat dolphin mengapung menghiasi matcha tersebut.“Still awake?” tanyanya berbasa-basi sembari mengisi bagian kosong sofa, tak lupa untuk meletakkan cangkir biru yang berisi matcha latte ke atas meja.Anne yang sebenarnya sedang melamun terkejut dengan kedatangan Axel, namun perempuan dengan rambut yang diikat acak itu dengan cepat bersikap biasa saja. “I have work.” Anne lantas menarik laptop dari mej
“Kamu cukup buat saya hamil dan kamu akan mendapat semua benefits yang tertulis di surat kontrak itu,” ucap Anne dengan suara tegasnya.Axel melihat kertas putih yang telah dibasahi tanda tangan Anne sebelum menatap perempuan yang berpenampilan layaknya orang dengan prinsip kuat dan sulit digoyahkan. Mereka memang baru pertama kali bertemu. Namun, Axel sangat berani bertaruh jika Anne memang seperti penilaiannya, apalagi perempuan itu memakai setelan kantor hitam yang masih terlihat kasual.“100 ribu dolar?” Axel menyebutkan jumlah uang yang menjadi bagian paling menarik meski Anne juga memberikan benefits lain di atas kertas itu.“Kurang? Berapa yang kamu mau?”Sejak kuliah hingga berusia 32 tahun Anne telah menggeluti dunia bisnis yang semakin menghasilkan setiap tahunnya, dia tidak takut jika harus membayar gigolo itu dengan bayaran yang lebih tinggi dari penawarannya, asal dia mendapatkan apa yang dia mau. Uang bukan batu besar yang menghalangi langkah Anne.“Untuk sekarang cukup,