Buk
Naya terjatuh tepat di pelukan seseorang. Sosok lelaki yang mengenakan jas hitam terlihat begitu samar dalam penglihatannya.
"Tolong aku!" lirih Naya terkulai lemas tak sadarkan diri.
Alen mengernyit. Kedua matanya tak berhenti mengerjap melihat paras cantik dan polos yang di miliki oleh Kanaya. Wajahnya yang putih bersih, hidungnya yang mancung, bibir merah mungilnya membuat Alen teringat sosok wanita yang ia kenal.
"Wanita ini?" tanya batin Alen menyapu rambut Naya yang sedikit menutupi wajahnya.
Sesaat, pandangan Alen beralih ke arah Roy dan kawan-kawan. Alen menghela nafas panjang melihat mereka berulah lagi di hadapannya.
***
Di rumah, Alen menyandarkan kepala tepat di bahu kursi putarnya. Kedua matanya terpejam seraya mengingat kembali perkataan yang keluar dari mulut Roy.
"Maaf, Mas Alen. Tolong serahkan wanita itu pada kami!" kata Roy dengan hati-hati.
Alen tersenyum sinis. Untuk pertama kalinya, ia mendengar Roy minta tolong kepadanya."Berapa banyak hutangnya?" tanya Alen dengan tegas.
"Maaf, Mas. Kata pak Lukman wanita ini ...!"
"Aku akan melunasi hutangnya. Berapapun itu!" ketus Alen yang membuat mereka saling menatap satu sama lain.
Kedua mata Alen mulai terbuka saat Surti, sang asisten rumah tangganya memanggil dirinya.
"Maaf, Mas. Ini tas milik nona cantik," ujar Surti menyerahkan tas yang ia ambil dari mobil.
"Taruh saja di sana!" perintah Alen menunjuk ke arah meja yang berada di samping televisi.
"Baik, Mas!" Surti meletakkan tas milik Kanaya sesuai dengan perintah majikannya tersebut.
Alen beranjak dari tempatnya dan pergi menuju ke arah tempat di mana Naya berada.
Surti mengernyit. Untuk pertama kalinya, Surti melihat sang majikan membawa seorang wanita ke rumah megah bak istana itu.
"Apa nona cantik itu pacarnya mas Alen?" tanya Surti berpikir seraya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal."Tapi, menurut berita di tv bukankah mas Alen tak tertarik dengan wanita?" tanya Surti seorang diri.
Ceklek
Alen membuka pintu kamar dan menutupnya kembali. Kedua kakinya melangkah menghampiri Naya yang masih terbaring lemas tak sadarkan diri. Ia tak menyangka, wanita yang ia tolong adalah korban dari tindakan mantan ayah tirinya.
"Bisa-bisanya dia berbuat sejauh itu! Apa dia belum puas dengan apa yang ia perbuat pada bunda?" tanya batin Alen menggerutu tiada henti. Ia sangat kesal mengingat masa lalu pahit saat ia masih satu rumah dengan pak Lukman.
"Siapapun kamu, aku sudah memilih dirimu untuk menjadi pasanganku!" kata Alen.
****
Keesokan harinya, Naya mulai membuka kedua matanya secara perlahan. Ia mengernyip saat sinar matahari menyilaukan kedua matanya. Perlahan, ia mulai terbangun dan terkejut saat dirinya berada di kamar yang sangat asing baginya.
"Di mana aku? Apa mereka berhasil menangkapku?" tanya Naya memegang kepalanya yang masih pusing. Sejenak, ia mulai mengingat kejadian sebelum ia jatuh pingsan tak sadarkan diri.
"Tolong aku!" Kata-katanya yang teringat jelas di benaknya.
"Ya Tuhan, siapa orang yang menolongku? Wajahnya sama sekali tak jelas. Apa orang itu pak Lukman?" tanya Naya menebak. Bibirnya melipat dan terkejut saat gagang pintu kamar tersebut bergerak.
Ceklek
Pintu kamar mulai terbuka. Naya tak berhenti mengerjap saat melihat kedatangan orang yang sangat di gemari oleh adik tirinya berjalan menghampiri dirinya.
"Bukankah? Dia?" tanya batin Naya seakan tak mampu menegak salivanya sendiri. Ketampanannya, gayanya yang berkelas membuat Naya tak mampu berpaling. Seperti apa yang di bilang Laura, Alen memang sangat tampan, cool san begitu perfect.
"Apa dia orang yang menolongku?" tebak Naya tersenyum tipis. Ia tak menyangka, jika orang yang menolong dirinya dari pak Lukman adalah seorang pembalap terkenal itu.
"Siapa nama kamu?" tanya Alen melempar berkas tepat di depan Kanaya.
Senyum Kanaya memudar begitu saja. Ia tak habis pikir jika orang yang sempat menjadi pahlawan untuknya mempunyai sifat yang begitu kasar dan begitu angkuh. Tak seperti apa yang ia dengar dari mulut adik tirinya.
"Apa kamu tak punya nama?" ulang Alen memicing menatap wajah polos Naya.
"Sa-ya Grizela Kanaya Inzen. Tapi, semua orang memanggil sa ...," kata Naya terhenti saat Alen mengkodenya untuk diam.
"Bacalah kontrak perjanjian itu dan segera tanda tangani!" perintah Alen yang membuat Naya terkejut setengah mati. Ia tak menyangka, semua kata-kata yang terlontar dari mulut Alen tak ada kelembutan sama sekali.
Naya melirik Alen yang terus menatap dirinya dengan penuh kebencian. Bibirnya melipat dan mulai mengambil beberapa berkas yang bercecer di atas tempat tidurnya. Kedua matanya mengerling menatap kontrak perjanjian yang tertuju padanya.
"Kontrak perjanjian?" tanya Naya bingung mendongak melihat Alen yang tersenyum sinis ke arahnya.
"Di dunia ini tak ada yang gratis. Kemarin, Kamu sudah membuat saya mengeluarkan uang yang sangat fantastis. Dan sekarang, saya ingin minta pertanggungjawaban dari kamu!" tutur Alen membuat Naya semakin bingung.
"Pertanggungjawaban? Pertanggungjawaban apa?" tanya Naya mengernyit seraya berpikir.
"Apa kamu tidak merasa ada masalah sebelum bertemu dengan saya?" Pertanyaan Alen yang membuat Naya teringat akan masalah hutang ayahnya.
Tanpa banyak buang waktu, Naya membuka isi dari surat perjanjian yang kini berada di atas tangannya.
Naya terbelalak kaget dengan isi surat perjanjian tersebut. Ia tercengang dan tak percaya jika ia harus mempertanggungjawabkan itu semua di dalam surat perjanjian yang akan membuat masa depannya benar-benar hancur.
"Menikah kontrak?" tanya Naya memastikan.
"Iya! Hanya itu yang saya inginkan dari kamu. Menikah sampai lima tahun!" tutur Alen memperjelas ucapannya.
"Lima tahun?" Naya menegak salivanya dengan paksa. Kedua matanya mengerling menatap Alen yang mulai berjalan menghampiri dirinya.
"Heh, kamu pikir selama lima tahun kamu bisa melunasi hutang kamu padaku?" tanya Alen yang membuat Naya tak mampu membantahnya."Itu tidak akan mungkin. Meskipun seumur hidupmu bekerja untuk melunasinya, kamu tidak akan mungkin sanggup melunasinya," tutur Alen seraya membungkukkan tubuhnya.
Senyum sinis yang tertoreh membuat Naya terdiam seribu bahasa. Ia tak habis pikir akan terperangkap di lubang yang sama. Pilihan yang sudah pasti akan menghancurkan masa depannya.
"Persiapkan dirimu! Nanti malam saya akan memperkenalkan kamu dengan keluarga saya!" kata Alen pergi begitu saja.
Naya menghela nafas panjang. Senyum manisnya tertoreh mengimbangi air mata yang menetes membasahi pipinya.
"Haruskah hidupku selalu terbayang-bayang dari hutangnya ayah?" tanya Naya seraya melempar surat perjanjian yang ada di tangannya.
Naya merebahkan tubuhnya kembali dan membenamkan wajahnya di dalam selimut. Isakan tangisnya pecah dengan apa yang telah terjadi padanya.
"Mama Dina, aku tak akan pernah memaafkanmu!" gumamnya sesegukan.
*****
Buk
Pukulan keras mengenai wajah para bodyguard pak Lukman. Untuk pertama kalinya, pak Lukman gagal menjalankan aksinya.
"Bagaimana bisa kalian menyerahkan wanita itu pada orang lain. Kalian tau! Saya sudah mengincarnya semenjak dia masih duduk di bangku SMA!" ketus Pak Lukman yang tak terima dengan apa yang terjadi.
"Maafkan kami, Pak!" jawab mereka serempak.
Sesaat, pak Lukman mengernyit heran. Ia sangat penasaran dengan orang yang membayar semua hutang Kanaya secara cash.
"Siapa orang yang membayar semua hutang Kanaya?" tanya pak Lukman menatap mereka yang saling menatap satu sama lain.
"Kenapa diam!" bentak pak Lukman dengan amarah yang memuncak."Siapa dia?"
"Kenapa diam!" bentak pak Lukman dengan amarah yang memuncak."Siapa dia?""Dia adalah mas Alen, Pak!" Jawaban yang membuat pak Lukman terkejut setengah mati. Ia seakan tak percaya jika mantan anak tirinya membayar semua hutang Kanaya yang jumlahnya sangat fantastis."Alen yang membayar semuanya?" tanya Pak Lukman memastikan."Iya, Pak! Saya rasa mas Alen memiliki hubungan khusus dengan nona inzen!" tutur Roy seraya menahan sakit di tubuhnya.Pak Lukman mengernyit. Ia kembali duduk seraya berpikir sejenak mencerna perkataan yang terlontar dari mulut bodyguardnya itu."Hubungan khusus? Sejak kapan dia tertarik pada wanita?" tanya batin pak Lukman memicing menatap ke arah anak buahnya yang tertunduk.****Jari jemari tangan Kanaya tak berhenti bergerak. Kedua bola matanya tak berhenti menatap wajah cantiknya yang terpantul di kaca rias. Tak ada senyum kebahagiaan yang tersirat dari wajahnya. Hanya sebuah penyesalan mendalam y
"Ini yang terakhir kalinya aku melihatmu menangis!" ketus Alen tanpa menoleh ke arah Naya sedikitpun.Naya menghela nafas. Jari jemari tangannya mulai mengambil sapu tangan yang berada di tangan Alen.*****Meriah dan megah itulah suasana yang terjadi di keluarga besar Towsar. Acara ulang tahun pemilik perusahaan properti terbesar di kota Bandung.Dhaniel Towsar, pengusaha terkaya yang tak lain adalah kakeknya Alen towsar, ayah dari sang bunda. Kekayaanya yang melimpah dan tak akan habis tujuh turunan, membuat semua kerabat dekatnya ingin menguasai hartanya.Semua mata tertuju ke arah opa yang berdiri di depan pintu masuk rumahnya. Setelan jas hitam membuat auranya terlihat begitu wibawa."Arga, ini sudah jam 8 malam. Coba kamu bujuk opa supaya mau melangsungkan acaranya," bisik Ana, mama Arga yang merupakan kakak angkat dari Elena towsar.Arga menoleh dan bergegas menghampiri."Opa? Ini sudah jam 8 lewa
"Alen Towsar yang akan memimpinnya," ucap Opa yang membuat mereka semua terkejut mendengarnya.Termasuk Alen. Ia tak menyangka jika sang kakek memberikan jabatan itu kepadanya.Naya menoleh ke arah Alen yang terlihat biasa saja setelah mendengar kabar baik itu."Apa dia tidak suka mendapatkan semua itu?" tanya batin Naya menunduk saat Alen menoleh ke arahnya.*****Semua terdiam dan hening di ruang makan yang di hadiri seluruh keluarga towsar.Alen terdiam seraya menopangkan kedua tangan di dada. Dia sudah mengira kalo ini semua akan terjadi pada keluarga towsar."Ini semua sudah menjadi keputusan opa! Kalo kalian tidak setuju, kalian bisa angkat kaki dari keluarga ini!" ucap opa dengan tegas.Semua terdiam dan tak berani membantah. Mereka sadar diri dengan posisi di keluarga Towsar. Dan memang hanya Alen satu-satunya keturunan asli dari sang opa.Alen memicing menatap seluruh keluarganya yang terlihat tak suka dengan di
Laura terkejut, terperangah dan tak menyangka jika orang itu adalah pak Lukman, orang yang akan menikah dengan saudara tirinya."Laura ... Laura ...?" Jentikan tangan pak Lukman membuyarkan lamunan Laura."I-ya pak Lukman," jawab Laura gugup. Kedua matanya tak berhenti mengerjap menatap betapa gagahnya om lukman itu. Meskipun seumuran dengan ayahnya, tapi tetap saja daya tariknya begitu memikat hati."Ternyata ia tak setua yang aku pikirkan!" gumam batin Laura menegak salivanya dengan paksa."Apa mama kamu di rumah?" ulang Pak Lukman kembali."Ada, silahkan pak Lukman duduk dulu!" kata Laura begitu santun."Laura akan panggil mama," kata Laura pergi meninggalkan pak Lukman dan ketiga orang yang mengikuti langkah pak Lukman.Laura berlari menghampiri mamanya yang sibuk merias diri. Lantunan musik yang keras membuat mama Dina tak mendengar teriakan dari putrinya.Ceklek"Ya ampun, mama!" teriak Laura mematikan musik.
Senyum Naya memudar saat suara itu bukan suara Alen. Ia mendongak dan terkejut saat orang yang memanggil dirinya adalah orang yang seumuran dengan almarhum ayahnya.Sesaat, sudut matanya mengerut. Ia bingung dengan sikap orang itu yang terus tersenyum manis ke arahnya."Siapa dia? Kenapa dia tersenyum kepadaku? Apa dia temannya Ayah?" tanya batin Naya menebak seraya melihat orang itu dengan tajam.Hentakan kakinya mulai mendekat menghampiri Kanaya."Selamat siang, Pak Lukman!"Kanaya terbelalak kaget. Ia menoleh ke belakang. Kedua mata indahnya mengerling dan seakan tak percaya dengan apa yang terlontar dari mulut salah satu orang yang mengejar dirinya."Pak Lukman? Jadi, orang ini adalah pak Lukman?" tanya batin Naya melirik ke arah pak Lukman kembali.Perlahan, ia mulai berdiri. Kedua kakinya merapat dan berjalan mundur saat pak Lukman melangkah mendekati dirinya. Kanaya menghela nafas seraya melipa
Mas Alen, tolong jangan lakukan itu!" kata Naya memohon. Kedua matanya berbinar dan seakan tak mampu menahan air mata yang berkumpul di kelopak mata.Naya pasrah. Air matanyapun menetes mengiringi di saat matanya terpejam.Alen menghela nafas panjang. Dengan cepat ia menjauhkan diri dari tubuh Kanaya. Lagi dan lagi, ia tak bisa menatap air mata seseorang. Hatinya seakan teriris-iris melihatnya.Naya mulai membuka kedua matanya. Jantungnya berdetak begitu cepat mengimbangi tegakan salivanya dengan paksa. Ia melirik ke arah lelaki yang saat ini sangat marah kepadanya. Naya terbangun dan duduk seraya ingin meminta maaf atas kesalahan yang telah ia perbuat."Mas ...," kata Naya.Alen menoleh dengan tatapan kesal."Seharusnya aku membiarkan kamu bersama tua bangka itu!" ucapan Alen membuat Naya terperangah.Naya menggelengkan kepalanya. Rasa ketidaksetujuan mulai menghampiri dirinya."Mas ...," ucap Naya terhenti
Sesaat, jari jemari tangan Naya terhenti. Ia melirik ke arah Alen yang meninggalkan dirinya tanpa menyapa sedikitpun terhadapnya."Kenapa dia marah? Bukankah ini keinginannya?" batin Naya bertanya.Naya menghela nafas panjang dan mencoba bersikap tenang."Kanaya," panggil bunda.Naya menoleh. Senyum manisnyapun tertoreh saat bunda memanggil dirinya."Iya, Bun!" jawab Naya, ia mulai duduk seraya memegang makanan."Maafkan Alen, ya!" lirih bunda memegang tangan Naya.Naya tersenyum. Perlahan, ia menggenggam erat tangan yang berselangkan dengan infus itu."Iya, Bun. Kanaya baik-baik saja!" jawab Naya tersenyum."Naya suapi, ya?" pinta Naya yang membuat senyum bunda mulai tertoreh kembali."Iya, Sayang!" jawab bunda sumringah. Inilah momen indah yang di tunggu-tunggu oleh bunda Elena. Memiliki calon menantu yang bisa merawatnya hingga ia menghembuskan nafas terakhir.Dari balik pintu, Alen ter
DegKedua bola mata Naya terbelalak kaget saat melihat keponakannya ibu Ana tersebut."Kamu di sini!""Mas alen," kata Naya menegak salivanya dengan paksa.Ia tak menyangka jika keponakannya ibu Ana adalah Alen, orang yang menjadi masalah dalam kehidupannya."Ya Tuhan, kenapa aku berlari di tempat yang sama!" gumam batin Naya melipat bibir mungilnya.Naya terdiam. Ia tak tau harus lari kemana lagi. Selalu berlari mengitari kehidupan keluarga orang yang telah menolongnya dan yang akan menghancurkan masa depannya. Inikah takdir yang harus aku jalani? gumam batin Naya menghela nafas panjang.Alen menatap Naya yang tak mampu mendongakkan kepala.Ibu Ana tak berhenti menatap mereka secara bergantian. Tubuhnya meremang melihat dua orang ia sayang sudah mengenal satu sama lain."Kalian sudah saling mengenal?" tanya Ibu Ana memastikan."Dia calon istriku, Tante!" jawab Alen mengejutkan ibu Ana.
Aroma parfum Diego juga tercium jelas olehnya. Ia mendongak dan terkejut saat dirinya juga tak sadar akan tingkahnya yang dengan mudahnya bersandar di bahu bodyguard sang kakak.Oh my God! Apa yang aku lakukan? Bisa-bisanya aku bersandar di bahu Diego? batin Rania seakan tak mampu menegak salivanya sendiri. Lentik bulu matanya tak berhenti mengerjap. Dengan perlahan, ia mengangkat kepala dan mencoba menjauh dari pelukan Diego."Hush hush, Sayang. Kamu ingin cepat pulang, ya? Yuk! Kita ke mobil duluan. Tunggu papa dan mama di sana saja, ya!" ucap Rania mencoba menenangkan bayi yang ia gendong. Sebuah trik untuk menjauh dari Diego tanpa mengeluarkan kata-kata. Diego mengernyit. Jemari tangannya menggaruk kepalanya yang tak gatal seraya menatap wanita yang telah membuat perasaannya tak karuan."Rania, tunggu!" gegas Diego mengikuti langkah Rania.Alen melepas pelukannya. Ia menyeringai seraya membelai rambut indah istrinya yang terikat."Siapa yang mengikat rambutmu?" tanya Alen menyapu
"Aku sangat merindukan kakak. Aku akan memeluk tubuh kakak yang hangat itu sebagai pengobat rinduku selama dua tahun ini!" Naya terperangah dan tak percaya mengingat kembali sebuah pesan yang membuat dirinya cemburu buta dan mengharuskan pergi dari rumah.Ya Tuhan, apa iya dia Rania yang mengirim pesan pada suamiku itu? batin Naya bertanya. Bibirnya merapat, ia seakan tak mampu menegak salivanya sendiri saat pikiran itu terus menaungi dirinya."Kamu mengenal suami saya?" tanya Naya penasaran.Rania tersenyum senang. Mungkin waktu ini sangat tepat untuk meminta maaf pada Naya dengan apa yang ia perbuat. Sebuah pesan yang seharusnya tak ia lakukan di saat Alen sudah mempunyai istri.***Ana Towsar seakan tak percaya dengan keputusan putranya itu. Meninggalkan rumah mewah yang sudah ia tempati beberapa puluh tahun lamanya."Sebenarnya apa sih yang ada di otak kamu, Ga? Bagaimana mungkin kita tinggal di rumah seperti ini? Kamu kan tau, penyakit mama akan kambuh jika hidup kekurangan seper
Alen menoleh. Alisnya bertaut saat mendengar nama Rania terlontar dari percakapan pengendara lain.Rania, apa yang mereka maksud adalah Rania adikku? batin Alen bertanya.Tanpa pikir panjang. Alen mengambil ponsel miliknya yang berada di dalam saku celana. Dua bola matanya mengerling saat membuka pesan dari Rania."Kak, sampai mana? Kak Naya membutuhkan donor darah secepatnya." Pesan singkat yang membuat Alen seakan tak mampu menegak salivanya sendiri.Ya Tuhan, apa naya dalam bahaya? Alen buru-buru memasukkan ponselnya dan segera meluncurkan motor balapnya dengan cepat saat lampu merah berganti hijau.Di tengah perjalanan, Alen menghentikan laju kendaraannya lagi. Ia mendesah sebal saat beberapa orang membuat keributan di jalan menuju arah vila.Alen membuka helm. Sudut matanya mengerut melihat para petani yang terlihat begitu melas dan lelah.Apa yang mereka lakukan pada para petani itu? batin Alen mulai melangkah. Tanpa merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, ia melangkah men
Apa iya Naya yang di maksud Rania? Mana mungkin dia akan melahirkan. Usia kandungannya kan baru tujuh bulan dan .... kata batin Alen terhenti saat melihat naya terbaring kesakitan seraya memegang perut besarnya.Naya! kata Alen seakan tak mampu menegak salivanya sendiri."Kak, cepetan ke sini!" kata Rania membuyarkan lamunan Alen."Aku akan segera ke sana!" gegas Alen mematikan ponselnya seketika.Naya menoleh saat mendengar suara yang tak asing baginya. Suara khas yang selalu membekas dalam benaknya."Hah, syukurlah! Akhirnya Kak A ...," kata Rania terhenti."Maaf, apa boleh saya pinjam ponselnya?" Naya beralih posisi untuk berbaring ke kanan. Ia mencoba untuk tersenyum meski dirinya merasakan sakit akan kontraksi yang terus melanda."Oh, tentu saja. Silahkan!" Rania melangkah menghampiri dan menyodorkan ponsel miliknya. "Terimakasih!" jawab Naya dengan cepat mengetik nomor milik Alen. Namun, jemari tangannya terhenti saat ia lupa akan nomor milik suaminya.Senyum manisnya mengemban
Saking penasarannya, ia menyentuh air tersebut. Naya terperangah dan terkejut saat meyakini air itu adalah air ketuban."Ya Tuhan, apa aku akan melahirkan sekarang?" Naya duduk seraya memegang perutnya. Ia menoleh ke arah jalan yang sama sekali sepi dari kendaraan. Dahinya mengernyit, bibirnya merapat menahan rasa sakit yang semakin menjadi.Mas Alen, bagaimana ini? Aku tak mau terjadi sesuatu pada anak kita!" ucap batin naya mengatur nafasnya secara perlahan.Naya menoleh saat mendengar suara hentakan kaki mengarah padanya. Senyumnya mengembang dan dengan sekuat tenaga mencoba bangkit untuk meminta pertolongan. Sosok wanita berambut pendek berlari ke arahnya."Kakak, Kakak baik-baik saja?" tanya Rania memegang tangan Naya yang penuh dengan keringat."Tolong saya! Tolong bawa saya ke rumah sakit sekarang!" pinta Naya menahan sakit sembari memegang perutnya.Alis Rania bertaut melihat kaki Rania mengalir sebuah air ketuban.Apa kakak ipar mau melahirkan? Bukankah Kak Alen bilang kalo
Mau kemana dia? Kenapa dia pergi begitu saja?" tanya Naya memanyunkan bibirnya.Tubuhnya lemas dan kecewa akan sikap Alen yang mengacuhkan dirinya. Kedua matanya menatap makanan yang sudah ia tata dengan rapi. "Setidaknya ia memakannya sedikit saja sebelum pergi. Tak tau apa, betapa kerasnya aku menyiapkan semua ini! Pasti dia pergi untuk menemui Rania itu," gerutu Naya mendesah sebal.Beberapa menit kemudianCeklekNaya menoleh menatap ke arah pintu tersebut. Senyum manisnya tertoreh dan berharap Alen kembali untuk makan dengannya.Dia kembali! gegas Naya beranjak dari duduknya. Namun, harapannya sirna. Naya terkejut. Ia tersenyum tipis saat melihat orang yang menjadi tempat curhat saat ia ada masalah datang menghampiri dirinya."Naya, maaf! Ibu lancang masuk ke sini. Habisnya pintunya tak teekunci," kata Bu Angel berjalan menghampiri."Tak apa, Bu. Memang pintu itu terbuka lebar untuk menyambut kedatangan Bu Angel," tutur Naya tersenyum.Bu Angel menoleh menatap beraneka mgakanan
Ya Tuhan, siapa orang itu? Kenapa dia masuk dalam villa ini? Apa yang harus aku lakukan? Mas Alen, aku takut!"Mbak Naya, jika mbak tidak mau pulang. Jangan lupa kunci semua pintu ya, Mbak. Dan jangan keluar di waktu malam hari!" Perkataan Diego yang kembali melintas dalam benaknya. Bibir Naya merapat. Jemari tangannya menggenggam erat selimut yang menutupi tubuhnya. Keringat dingin mulai keluar mengimbangi rasa takut yang menguasai dirinya.Perlahan, tangannya turun memegang perut yang terasa menggetarkan tubuhnya.Sayang, maafkan mama, ya? Tak seharusnya mama membiarkanmu ikut cemas seperti ini! gumam batin Naya menghela nafas panjang.Apa orang ini adalah orang yang akan mencelakaiku? batin Naya bertanya. Jantungnya kian berdegup kencang saat hentakan kaki terdengar mengarah padanya. Mas Alen, bagaimana ini? Apa aku benar-benar berpisah sebelum aku bertemu denganmu? Mas Alen, aku ....DegSudut mata Naya mengernyit. Ada sedikit cahaya yang menembus di antara kegelapan yang berad
"Sekarang kamu tau kan, siapa orang yang membuat istri kakak ngambek?" tanya Alen."Jadi, ini semua karena aku?" tanya Rania seakan tak percaya jika dirinya adalah penyebab kaburnya kanaya."Ya Tuhan, Kak Alen! Aku minta maaf, ya?" "Sudahlah! Kamu tak perlu merasa bersalah. Kakak akan mengatasi kesalah pahaman yang terjadi ini," tutur Alen mematikan rokoknya."Tapi, Kak. Aku merasa bersalah banget membuat kakak ipar salah paham gegara pesanku itu." Bibir Rania memanyun. Raut wajahnya yang biasanya selalu ceria mendadak suram akan masalah yang terjadi.Alen menghela nafas panjang. Tangannya dengan lembut mengusap rambut pirang yang dimiliki Rania. "Percayalah! Kakak akan menyelesaikan ini semua dengan cepat. Kakak juga tak sabar memperkenalkan kamu dengan dia. Memperkenalkan adikku yang belum dia ketahui," ujar Alen mencoba menenangkan hati Rania.Drt ... Drt. ...Diego calling ...Tanpa banyak buang waktu, Alen mengangkat telepon dari bodyguard tersebut. Berharap apa yang ia rencanak
Alen mengeryit dan terbelalak kaget saat melihat chat dari Diego."Mas, Mbak Naya keluar dari rumah!"Pesan dari Diego yang membuat Alen terkejut setengah mati. Spontan, Alen menghubungi Diego. Jari jemari tangannya meraih jas yang ia letakkan di bahu kursi putarnya."Diego, kamu di mana?" tanya Alen begitu panik. Suaranya yang lantang membuat Rania terbangun dari tidurnya. Mata yang masih sayu menoleh menatap Alen yang terlihat begitu panik. "Apa yang terjadi, Kak?" tanya Rania menghampiri Alen."Rania, Kakak harus pulang sekarang. Istri kakak keluar dari rumah," gegas Alen pergi meninggalkan Rania seorang diri."Keluar dari rumah?" tanya Rania mengernyitkan keningnya. Jari jemari tangannya mulai menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal."Apa emang begitu ya, kalo hidup berumah tangga?"Di mobil, Naya terdiam seribu bahasa. Dua bola matanya tak berhenti menatap ke arah jendela mobil yang memperlihatkan pemandangan indah di sepanjang perjalanan.Bisa-bisanya mas Alen bermain di bel