"Alen Towsar yang akan memimpinnya," ucap Opa yang membuat mereka semua terkejut mendengarnya.
Termasuk Alen. Ia tak menyangka jika sang kakek memberikan jabatan itu kepadanya.
Naya menoleh ke arah Alen yang terlihat biasa saja setelah mendengar kabar baik itu.
"Apa dia tidak suka mendapatkan semua itu?" tanya batin Naya menunduk saat Alen menoleh ke arahnya.
*****
Semua terdiam dan hening di ruang makan yang di hadiri seluruh keluarga towsar.
Alen terdiam seraya menopangkan kedua tangan di dada. Dia sudah mengira kalo ini semua akan terjadi pada keluarga towsar.
"Ini semua sudah menjadi keputusan opa! Kalo kalian tidak setuju, kalian bisa angkat kaki dari keluarga ini!" ucap opa dengan tegas.
Semua terdiam dan tak berani membantah. Mereka sadar diri dengan posisi di keluarga Towsar. Dan memang hanya Alen satu-satunya keturunan asli dari sang opa.
Alen memicing menatap seluruh keluarganya yang terlihat tak suka dengan dirinya.
"Aku tak akan membiarkan kalian semua memanfaatkan opa di saat umurnya yang sudah tua," gumam Alen tersenyum sinis melihat kekecewaan pada mereka.
Arga mengendorkan dasinya. Ia benar-benar tak habis pikir, jika opa memberikan semua aset untuk Alen bukan dirinya.
"Bagaimana bisa aku menjadi bawahan adik sepupuku sendiri?" gumam batinnya seraya menatap Naya yang duduk di samping Alen. Ia tak berhenti mengerjap saat memperhatikan mantan kekasihnya itu memang sangat cantik. Sangat berbeda saat bersamanya dulu.
Alen mengerling dan mendesah sebal saat tau Arga memandang Kanaya dengan penuh arti.
"Kenapa kamu memandang kekasihku seperti itu?" Pertanyaan Alen yang membuat semua menatap ke arah Arga."Apa kamu berniat untuk menggodanya?"
Naya seakan tak mampu menegak salivanya sendiri. Tangan kekar Alen memegang bahunya begitu kuat.
"Heh, mana mungkin aku menggoda calon adik iparku? Aku tak akan berani melakukannya!" kata Arga tersenyum tipis.
Alen mengernyitkan dahi. Ia seakan tak percaya dengan apa yang di katakan saudara sepupunya yang playboy itu.
"Sudah! Opa tak mau kalian berdebat di meja makan. Jangan kacaukan malam ini!" pinta Opa membuyarkan suasana tegang yang terjadi pada mereka.
Naya tertunduk, nafsu makannya seakan hilang melihat hubungan Arga dan Alen yang sedang tidak baik-baik saja.
"Ya Tuhan, apa semua akan baik-baik saja? Apa hubunganku dengan Arga di masa lalu akan berdampak buruk pada mas Alen?" batin Naya bertanya seraya melirik Alen yang sibuk menyingkirkan daging dari makanannya.
Tanpa pikir panjang, Naya mengambil makanan Alen dan menukar makanan miliknya.
"Maaf, Mas. Aku lupa kalo kamu tak menyukai daging," ucap Naya yang membuat orang di sekitarnya menatap ke arahnya termasuk Alen.
Alen tak menyangka jika Naya tau kalo dia tidak makan daging.
"Makanlah!" seru Naya mengembangkan senyum manisnya dan mulai memakan makanan milik Alen.
Arga mendesah sebal. Rasa cemburu mulai menghampiri dirinya saat melihat perhatian Naya pada saudaranya itu.
"Opa, Arga keluar dulu!" pamit Arga pergi begitu saja.
"Iya!" jawab opa datar tanpa memandang Arga yang akan pergi dari hadapannya.
"Alen, kamu benar-benar beruntung memiliki kekasih seperti Kanaya. Udah cantik, baik dan perhatian lagi. Kalo Tante jadi Kanaya, tante mana mau menukar makanan kamu dan memakannya," puji tante Ana mencoba untuk tersenyum.
"Iya, Alen sangat bersyukur mendapatkan Kanaya," kata Alen menyapu rambut Naya yang mengganggu makannya.
Naya menyunggingkan sedikit senyumnya. Ia kembali fokus ke makanan dan tak mau menatap wajah tampan yang dimiliki Alen.
"Dan aku berharap dia tidak seperti tante," ucap Alen memicing ke arah Tante Ana.
Senyum tante Ana seketika memudar. Ia mendesah dan seakan tak percaya dengan apa yang terlontar dari mulut keponakannya itu."Dasar anak tak tau diri! Berani-beraninya dia bersikap seperti itu sama aku. Awas saja! Aku akan balas semua ini," kata batin Tante Ana tersenyum.
"Ana, makanlah! Jangan kacaukan malam ini!" pinta opa.
*****
Di mobil, Naya terdiam saat kata-kata serampah keluar dari mulut Alen kepadanya.
"Kamu sudah mempermalukanku di depan tante rese itu. Seharusnya, kamu diam dan tak usah banyak bicara jika mereka bertanya," kata Alen terlihat begitu emosi.
"Maafkan aku, Mas. Aku janji, aku tak akan mengulanginya lagi!" jawab Naya tertunduk.
"Aku perlu bukti bukan janji!" ketus Alen.
"Iya," jawab Naya memilih untuk memejamkan matanya yang sangat lelah.
"Mereka semua licik. Diam-diam, mereka semua ingin menjatuhkan aku untuk menguasai semua harta milik opa. Jadi, aku minta kamu ...," kata Alen terhenti saat melihat Naya tertidur pulas.
Alen mengernyit. Ia tersenyum tipis saat mengetahui dirinya berbicara seorang diri.
"Bisa-bisanya kamu membiarkan diriku berbicara seorang diri. Apa kamu lupa kalo kamu telah berhutang padaku satu miliar," tutur Alen mendesah sebal.
Drt ... Drt ...
Getaran ponsel mengalihkan pandangannya. Alen mengerling melihat nama yang menghubungi dirinya.
"Gala?" tanya Alen mulai mengangkat telepon tersebut."Gala, bagaimana?"
Sesaat, sudut mata Alen mengerut. Ia menoleh ke arah Naya. Pandangannya yang semula penuh kemarahan, perlahan mulai memudar. Rasa kasihan mulai menghampiri dirinya.
Dan tak seharusnya ia bersikap kasar pada wanita yang seharusnya tak tau apa-apa tentang masalah hidupnya.
"Hutang ayahnya tidak seberapa. Melainkan hutang ibu tirinya yang di biarkan menumpuk agar pak Lukman bisa menikah dengannya. Secara tidak langsung, ibu tirinya menjualnya pada rentenir itu." Perkataan Gala yang masih terngiang dalam telinganya.
"Ibu tiri? Siapa ibu tirinya?" tanya Alen memicing. Tanpa pikir panjang, Alen menghubungi Gala kembali untuk mencari tau tentang ibu tiri Kanaya sebenarnya.
***
Keesokan harinya, Naya terbangun. Ia terbelalak kaget saat dirinya sudah berada di dalam kamar. Sesaat, kedua matanya mengerling saat melihat gaun merah yang ia kenakan tadi malam sudah tak melekat di tubuhnya.
"Ya Tuhan, bagaimana bisa baju tidur ini ...," kata Naya syok saat pikirannya tertuju pada Alen.
"Apa jangan-jangan dia yang menggantikan bajuku?" tanya Naya seakan tak percaya."Ti-dak, itu tidak mungkin terjadi. Dalam perjanjian, dia tidak akan menyentuhku selama aku belum resmi jadi istrinya. Aku harus tanya langsung!" gegas Naya keluar dari kamarnya.
Hentakan kaki Kanaya terdengar begitu jelas di telinga Alen. Alen menoleh ke arah Kanaya yang menghampirinya dengan wajah yang terlihat panik.
"Mas Alen, maaf kalo saya harus bertanya sama, Mas. Tapi, saya hanya ingin memastikan saja, apa mas Alen yang ...," kata Naya terhenti.
"Eh, Nona cantik sudah bangun? Oiya, sebelumnya saya minta maaf, ya, Non. Saya telah lancang menggantikan baju Enon tanpa minta ijin terlebih dulu sama Enon," jawab Surti yang membuat Naya mengernyit. Ia menoleh ke arah Alen yang masih sibuk membaca koran sambil meminum kopi yang tersaji.
"Jadi, Bibi yang menggantikan baju saya?" tanya Naya memastikan.
"Iya, maaf, ya, Non!" kata Surti seraya menaruh camilan untuk Alen.
Naya menghela nafas panjang. Ia mengernyit melirik Alen yang tak menatapnya sama sekali.
"Surti, apa kamu sudah menyiapkan apa yang saya perintahkan?" tanya Alen mengagetkan Surti.
"Oiya, Mas. Surti lupa!" ucap Surti menepuk jidatnya pelan."Kalo begitu, Surti tinggal dulu. Permisi!" kata Surti pergi meninggalkan mereka berdua.
Naya seakan tak mampu menegak salivanya sendiri. Ia tak bisa bayangkan jika pertanyaan untuk Alen terlontar dari mulutnya. Sudah pasti Alen akan menceramahinya tiada henti seperti tadi malam.
"Apa yang ingin kamu tanyakan?" tanya Alen menyilangkan kedua kakinya dan mulai menatap ke arah Naya.
"Ti-dak, tidak jadi, Mas. Kalo begitu saya ke atas dulu!" kata Naya tersenyum tipis dan mulai melangkah pergi.
Sejenak, langkah Naya terhenti saat Alen memanggil namanya.
"Kanaya!" panggil Alen.
"Iya, Mas," jawab Naya membalikkan badannya.
"Mandilah! Satu jam lagi, aku ingin mengajakmu pergi ke suatu tempat," kata Alen pergi begitu saja.
"Ke suatu tempat? Ke mana?" tanya Naya penasaran.
*****
Tok tok tok
Ketukan pintu terdengar begitu jelas. Laura mengernyit saat ketukan pintu semakin keras dan cepat.
"Siapa sih? Ganggu waktu santai aku aja," keluh Laura berjalan dengan malasnya.
Ceklek
Kedua mata Laura terbelalak kaget. Ia seakan tak mampu menegak salivanya sendiri saat melihat orang yang terlihat begitu perfect di depannya. Gagah, berkumis tebal di lengkapi dengan memakai kacamata hitam membuat aura orang itu kian terpancar.
"Hai, Laura. Apa mama kamu di rumah?" tanya Pak Lukman membuka kacamata hitamnya sembari tersenyum manis.
Laura terkejut, terperangah dan tak menyangka jika orang itu adalah pak Lukman, orang yang akan menikah dengan saudara tirinya.
"Laura ... Laura ...?"
Laura terkejut, terperangah dan tak menyangka jika orang itu adalah pak Lukman, orang yang akan menikah dengan saudara tirinya."Laura ... Laura ...?" Jentikan tangan pak Lukman membuyarkan lamunan Laura."I-ya pak Lukman," jawab Laura gugup. Kedua matanya tak berhenti mengerjap menatap betapa gagahnya om lukman itu. Meskipun seumuran dengan ayahnya, tapi tetap saja daya tariknya begitu memikat hati."Ternyata ia tak setua yang aku pikirkan!" gumam batin Laura menegak salivanya dengan paksa."Apa mama kamu di rumah?" ulang Pak Lukman kembali."Ada, silahkan pak Lukman duduk dulu!" kata Laura begitu santun."Laura akan panggil mama," kata Laura pergi meninggalkan pak Lukman dan ketiga orang yang mengikuti langkah pak Lukman.Laura berlari menghampiri mamanya yang sibuk merias diri. Lantunan musik yang keras membuat mama Dina tak mendengar teriakan dari putrinya.Ceklek"Ya ampun, mama!" teriak Laura mematikan musik.
Senyum Naya memudar saat suara itu bukan suara Alen. Ia mendongak dan terkejut saat orang yang memanggil dirinya adalah orang yang seumuran dengan almarhum ayahnya.Sesaat, sudut matanya mengerut. Ia bingung dengan sikap orang itu yang terus tersenyum manis ke arahnya."Siapa dia? Kenapa dia tersenyum kepadaku? Apa dia temannya Ayah?" tanya batin Naya menebak seraya melihat orang itu dengan tajam.Hentakan kakinya mulai mendekat menghampiri Kanaya."Selamat siang, Pak Lukman!"Kanaya terbelalak kaget. Ia menoleh ke belakang. Kedua mata indahnya mengerling dan seakan tak percaya dengan apa yang terlontar dari mulut salah satu orang yang mengejar dirinya."Pak Lukman? Jadi, orang ini adalah pak Lukman?" tanya batin Naya melirik ke arah pak Lukman kembali.Perlahan, ia mulai berdiri. Kedua kakinya merapat dan berjalan mundur saat pak Lukman melangkah mendekati dirinya. Kanaya menghela nafas seraya melipa
Mas Alen, tolong jangan lakukan itu!" kata Naya memohon. Kedua matanya berbinar dan seakan tak mampu menahan air mata yang berkumpul di kelopak mata.Naya pasrah. Air matanyapun menetes mengiringi di saat matanya terpejam.Alen menghela nafas panjang. Dengan cepat ia menjauhkan diri dari tubuh Kanaya. Lagi dan lagi, ia tak bisa menatap air mata seseorang. Hatinya seakan teriris-iris melihatnya.Naya mulai membuka kedua matanya. Jantungnya berdetak begitu cepat mengimbangi tegakan salivanya dengan paksa. Ia melirik ke arah lelaki yang saat ini sangat marah kepadanya. Naya terbangun dan duduk seraya ingin meminta maaf atas kesalahan yang telah ia perbuat."Mas ...," kata Naya.Alen menoleh dengan tatapan kesal."Seharusnya aku membiarkan kamu bersama tua bangka itu!" ucapan Alen membuat Naya terperangah.Naya menggelengkan kepalanya. Rasa ketidaksetujuan mulai menghampiri dirinya."Mas ...," ucap Naya terhenti
Sesaat, jari jemari tangan Naya terhenti. Ia melirik ke arah Alen yang meninggalkan dirinya tanpa menyapa sedikitpun terhadapnya."Kenapa dia marah? Bukankah ini keinginannya?" batin Naya bertanya.Naya menghela nafas panjang dan mencoba bersikap tenang."Kanaya," panggil bunda.Naya menoleh. Senyum manisnyapun tertoreh saat bunda memanggil dirinya."Iya, Bun!" jawab Naya, ia mulai duduk seraya memegang makanan."Maafkan Alen, ya!" lirih bunda memegang tangan Naya.Naya tersenyum. Perlahan, ia menggenggam erat tangan yang berselangkan dengan infus itu."Iya, Bun. Kanaya baik-baik saja!" jawab Naya tersenyum."Naya suapi, ya?" pinta Naya yang membuat senyum bunda mulai tertoreh kembali."Iya, Sayang!" jawab bunda sumringah. Inilah momen indah yang di tunggu-tunggu oleh bunda Elena. Memiliki calon menantu yang bisa merawatnya hingga ia menghembuskan nafas terakhir.Dari balik pintu, Alen ter
DegKedua bola mata Naya terbelalak kaget saat melihat keponakannya ibu Ana tersebut."Kamu di sini!""Mas alen," kata Naya menegak salivanya dengan paksa.Ia tak menyangka jika keponakannya ibu Ana adalah Alen, orang yang menjadi masalah dalam kehidupannya."Ya Tuhan, kenapa aku berlari di tempat yang sama!" gumam batin Naya melipat bibir mungilnya.Naya terdiam. Ia tak tau harus lari kemana lagi. Selalu berlari mengitari kehidupan keluarga orang yang telah menolongnya dan yang akan menghancurkan masa depannya. Inikah takdir yang harus aku jalani? gumam batin Naya menghela nafas panjang.Alen menatap Naya yang tak mampu mendongakkan kepala.Ibu Ana tak berhenti menatap mereka secara bergantian. Tubuhnya meremang melihat dua orang ia sayang sudah mengenal satu sama lain."Kalian sudah saling mengenal?" tanya Ibu Ana memastikan."Dia calon istriku, Tante!" jawab Alen mengejutkan ibu Ana.
"Pakaikan untukku!" perintah Alen menyodorkan cincin itu.Hari ini, Naya pasrah dengan apa yang terjadi pada dirinya. Bibir mungilnya bergetar. Jari jemari tangan yang putih mulus mulai mengambil cincin pernikahannya.Memang ini sudah jalan hidupku, menikah dengan orang yang tidak aku cinta! batin Naya berkata seraya memakaikan cincin untuk Alen.Alen tersenyum sinis. Perlahan, ia mulai mendongakkan dagu Naya agar mau menatap dirinya. Wajahnya yang cantik terlihat begitu muram dan sama sekali tak ada kebahagiaan terpancar di diri Naya.Lentik indah bulu mata Naya tak berhenti mengerjap. Tatapan tajam yang mengarah kepadanya, membuat ketakutan kini menghampiri dirinya."Kamu akan baik-baik saja, jika kamu tidak melanggar kesepakatan yang telah kita sepakati!" ucap Alen mengingatkan Naya akan isi dari perjanjian kontrak tersebut."Aku tidak akan merubahnya, meskipun kamu berlutut sekalipun padaku, Kanaya."Naya menghela nafas panjan
Tangan Arga terhenti. Kedua matanya berputar menatap Alen menghentikan tangannya."Aku tak akan biarkan, tangan kotormu ini menyentuh ataupun melukai tubuh istriku!" ucap Alen yang mengejutkan Arga. Begitupun juga Naya.Perlahan, Naya membuka matanya dan menyeringai saat Alen menolong dirinya untuk kesekian kalinya."Sayang, tunggu aku di kamar!" perintah Alen yang membuat Arga tersenyum sinis mendengarnya."Iya, Mas!" gegas Naya pergi meninggalkan mereka.Arga melepas tangannya dari genggaman tangan Alen. Ia seakan tak percaya dengan apa yang terlontar dari mulut sepupunya itu."Sebucin itukah kamu padanya? Sampai kamu berhalusinasi menjadikan dia sebagai istri kamu?" Arga menatap sinis."Apa aku terlihat bercanda? Apa bicaraku juga kurang jelas?" tanya Alen balik.Arga menghela nafas panjang. Perlahan, kedua tangannya memegang pundak sepupunya yang jauh lebih lebar dari dirinya."Alen-alen, apa ka
DegLamunan Alen buyar. Kedua matanya tak berhenti mengerjap. Pandangannya tertuju ke arah bibir mungil istrinya yang terus bergetar tiada henti."Haruskah aku mencium bibirnya?"Hela nafas berhembus dari diri Alen. Kedua matanya berputar melihat hujan yang semakin deras mengguyur kota itu.Genggaman tangannya ikut bergetar saat Naya memegang tangan kirinya begitu erat. Dengan penuh perhatian, Alen membenarkan jas hitam yang menyelimuti tubuh istrinya itu.Diego memasang handfree sembari berbicara dengan salah satu pengawal yang berjaga di rumah sakit."Akses jalan menuju ke rumah sakit lumpuh total, jadi Mas Alen dan istrinya tidak bisa datang ke sana. Segera kamu beritahu ibu presdir!" kata Diego seraya menutup telponnya.Ia tersenyum akan pekerjaannya terlaksana begitu cepat, tanpa menunggu dirinya untuk sampai rumah seperti apa yang diperintahkan oleh Alen.Hem, pasti mas Alen akan senang melihatku yang selalu cepat d
Aroma parfum Diego juga tercium jelas olehnya. Ia mendongak dan terkejut saat dirinya juga tak sadar akan tingkahnya yang dengan mudahnya bersandar di bahu bodyguard sang kakak.Oh my God! Apa yang aku lakukan? Bisa-bisanya aku bersandar di bahu Diego? batin Rania seakan tak mampu menegak salivanya sendiri. Lentik bulu matanya tak berhenti mengerjap. Dengan perlahan, ia mengangkat kepala dan mencoba menjauh dari pelukan Diego."Hush hush, Sayang. Kamu ingin cepat pulang, ya? Yuk! Kita ke mobil duluan. Tunggu papa dan mama di sana saja, ya!" ucap Rania mencoba menenangkan bayi yang ia gendong. Sebuah trik untuk menjauh dari Diego tanpa mengeluarkan kata-kata. Diego mengernyit. Jemari tangannya menggaruk kepalanya yang tak gatal seraya menatap wanita yang telah membuat perasaannya tak karuan."Rania, tunggu!" gegas Diego mengikuti langkah Rania.Alen melepas pelukannya. Ia menyeringai seraya membelai rambut indah istrinya yang terikat."Siapa yang mengikat rambutmu?" tanya Alen menyapu
"Aku sangat merindukan kakak. Aku akan memeluk tubuh kakak yang hangat itu sebagai pengobat rinduku selama dua tahun ini!" Naya terperangah dan tak percaya mengingat kembali sebuah pesan yang membuat dirinya cemburu buta dan mengharuskan pergi dari rumah.Ya Tuhan, apa iya dia Rania yang mengirim pesan pada suamiku itu? batin Naya bertanya. Bibirnya merapat, ia seakan tak mampu menegak salivanya sendiri saat pikiran itu terus menaungi dirinya."Kamu mengenal suami saya?" tanya Naya penasaran.Rania tersenyum senang. Mungkin waktu ini sangat tepat untuk meminta maaf pada Naya dengan apa yang ia perbuat. Sebuah pesan yang seharusnya tak ia lakukan di saat Alen sudah mempunyai istri.***Ana Towsar seakan tak percaya dengan keputusan putranya itu. Meninggalkan rumah mewah yang sudah ia tempati beberapa puluh tahun lamanya."Sebenarnya apa sih yang ada di otak kamu, Ga? Bagaimana mungkin kita tinggal di rumah seperti ini? Kamu kan tau, penyakit mama akan kambuh jika hidup kekurangan seper
Alen menoleh. Alisnya bertaut saat mendengar nama Rania terlontar dari percakapan pengendara lain.Rania, apa yang mereka maksud adalah Rania adikku? batin Alen bertanya.Tanpa pikir panjang. Alen mengambil ponsel miliknya yang berada di dalam saku celana. Dua bola matanya mengerling saat membuka pesan dari Rania."Kak, sampai mana? Kak Naya membutuhkan donor darah secepatnya." Pesan singkat yang membuat Alen seakan tak mampu menegak salivanya sendiri.Ya Tuhan, apa naya dalam bahaya? Alen buru-buru memasukkan ponselnya dan segera meluncurkan motor balapnya dengan cepat saat lampu merah berganti hijau.Di tengah perjalanan, Alen menghentikan laju kendaraannya lagi. Ia mendesah sebal saat beberapa orang membuat keributan di jalan menuju arah vila.Alen membuka helm. Sudut matanya mengerut melihat para petani yang terlihat begitu melas dan lelah.Apa yang mereka lakukan pada para petani itu? batin Alen mulai melangkah. Tanpa merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, ia melangkah men
Apa iya Naya yang di maksud Rania? Mana mungkin dia akan melahirkan. Usia kandungannya kan baru tujuh bulan dan .... kata batin Alen terhenti saat melihat naya terbaring kesakitan seraya memegang perut besarnya.Naya! kata Alen seakan tak mampu menegak salivanya sendiri."Kak, cepetan ke sini!" kata Rania membuyarkan lamunan Alen."Aku akan segera ke sana!" gegas Alen mematikan ponselnya seketika.Naya menoleh saat mendengar suara yang tak asing baginya. Suara khas yang selalu membekas dalam benaknya."Hah, syukurlah! Akhirnya Kak A ...," kata Rania terhenti."Maaf, apa boleh saya pinjam ponselnya?" Naya beralih posisi untuk berbaring ke kanan. Ia mencoba untuk tersenyum meski dirinya merasakan sakit akan kontraksi yang terus melanda."Oh, tentu saja. Silahkan!" Rania melangkah menghampiri dan menyodorkan ponsel miliknya. "Terimakasih!" jawab Naya dengan cepat mengetik nomor milik Alen. Namun, jemari tangannya terhenti saat ia lupa akan nomor milik suaminya.Senyum manisnya mengemban
Saking penasarannya, ia menyentuh air tersebut. Naya terperangah dan terkejut saat meyakini air itu adalah air ketuban."Ya Tuhan, apa aku akan melahirkan sekarang?" Naya duduk seraya memegang perutnya. Ia menoleh ke arah jalan yang sama sekali sepi dari kendaraan. Dahinya mengernyit, bibirnya merapat menahan rasa sakit yang semakin menjadi.Mas Alen, bagaimana ini? Aku tak mau terjadi sesuatu pada anak kita!" ucap batin naya mengatur nafasnya secara perlahan.Naya menoleh saat mendengar suara hentakan kaki mengarah padanya. Senyumnya mengembang dan dengan sekuat tenaga mencoba bangkit untuk meminta pertolongan. Sosok wanita berambut pendek berlari ke arahnya."Kakak, Kakak baik-baik saja?" tanya Rania memegang tangan Naya yang penuh dengan keringat."Tolong saya! Tolong bawa saya ke rumah sakit sekarang!" pinta Naya menahan sakit sembari memegang perutnya.Alis Rania bertaut melihat kaki Rania mengalir sebuah air ketuban.Apa kakak ipar mau melahirkan? Bukankah Kak Alen bilang kalo
Mau kemana dia? Kenapa dia pergi begitu saja?" tanya Naya memanyunkan bibirnya.Tubuhnya lemas dan kecewa akan sikap Alen yang mengacuhkan dirinya. Kedua matanya menatap makanan yang sudah ia tata dengan rapi. "Setidaknya ia memakannya sedikit saja sebelum pergi. Tak tau apa, betapa kerasnya aku menyiapkan semua ini! Pasti dia pergi untuk menemui Rania itu," gerutu Naya mendesah sebal.Beberapa menit kemudianCeklekNaya menoleh menatap ke arah pintu tersebut. Senyum manisnya tertoreh dan berharap Alen kembali untuk makan dengannya.Dia kembali! gegas Naya beranjak dari duduknya. Namun, harapannya sirna. Naya terkejut. Ia tersenyum tipis saat melihat orang yang menjadi tempat curhat saat ia ada masalah datang menghampiri dirinya."Naya, maaf! Ibu lancang masuk ke sini. Habisnya pintunya tak teekunci," kata Bu Angel berjalan menghampiri."Tak apa, Bu. Memang pintu itu terbuka lebar untuk menyambut kedatangan Bu Angel," tutur Naya tersenyum.Bu Angel menoleh menatap beraneka mgakanan
Ya Tuhan, siapa orang itu? Kenapa dia masuk dalam villa ini? Apa yang harus aku lakukan? Mas Alen, aku takut!"Mbak Naya, jika mbak tidak mau pulang. Jangan lupa kunci semua pintu ya, Mbak. Dan jangan keluar di waktu malam hari!" Perkataan Diego yang kembali melintas dalam benaknya. Bibir Naya merapat. Jemari tangannya menggenggam erat selimut yang menutupi tubuhnya. Keringat dingin mulai keluar mengimbangi rasa takut yang menguasai dirinya.Perlahan, tangannya turun memegang perut yang terasa menggetarkan tubuhnya.Sayang, maafkan mama, ya? Tak seharusnya mama membiarkanmu ikut cemas seperti ini! gumam batin Naya menghela nafas panjang.Apa orang ini adalah orang yang akan mencelakaiku? batin Naya bertanya. Jantungnya kian berdegup kencang saat hentakan kaki terdengar mengarah padanya. Mas Alen, bagaimana ini? Apa aku benar-benar berpisah sebelum aku bertemu denganmu? Mas Alen, aku ....DegSudut mata Naya mengernyit. Ada sedikit cahaya yang menembus di antara kegelapan yang berad
"Sekarang kamu tau kan, siapa orang yang membuat istri kakak ngambek?" tanya Alen."Jadi, ini semua karena aku?" tanya Rania seakan tak percaya jika dirinya adalah penyebab kaburnya kanaya."Ya Tuhan, Kak Alen! Aku minta maaf, ya?" "Sudahlah! Kamu tak perlu merasa bersalah. Kakak akan mengatasi kesalah pahaman yang terjadi ini," tutur Alen mematikan rokoknya."Tapi, Kak. Aku merasa bersalah banget membuat kakak ipar salah paham gegara pesanku itu." Bibir Rania memanyun. Raut wajahnya yang biasanya selalu ceria mendadak suram akan masalah yang terjadi.Alen menghela nafas panjang. Tangannya dengan lembut mengusap rambut pirang yang dimiliki Rania. "Percayalah! Kakak akan menyelesaikan ini semua dengan cepat. Kakak juga tak sabar memperkenalkan kamu dengan dia. Memperkenalkan adikku yang belum dia ketahui," ujar Alen mencoba menenangkan hati Rania.Drt ... Drt. ...Diego calling ...Tanpa banyak buang waktu, Alen mengangkat telepon dari bodyguard tersebut. Berharap apa yang ia rencanak
Alen mengeryit dan terbelalak kaget saat melihat chat dari Diego."Mas, Mbak Naya keluar dari rumah!"Pesan dari Diego yang membuat Alen terkejut setengah mati. Spontan, Alen menghubungi Diego. Jari jemari tangannya meraih jas yang ia letakkan di bahu kursi putarnya."Diego, kamu di mana?" tanya Alen begitu panik. Suaranya yang lantang membuat Rania terbangun dari tidurnya. Mata yang masih sayu menoleh menatap Alen yang terlihat begitu panik. "Apa yang terjadi, Kak?" tanya Rania menghampiri Alen."Rania, Kakak harus pulang sekarang. Istri kakak keluar dari rumah," gegas Alen pergi meninggalkan Rania seorang diri."Keluar dari rumah?" tanya Rania mengernyitkan keningnya. Jari jemari tangannya mulai menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal."Apa emang begitu ya, kalo hidup berumah tangga?"Di mobil, Naya terdiam seribu bahasa. Dua bola matanya tak berhenti menatap ke arah jendela mobil yang memperlihatkan pemandangan indah di sepanjang perjalanan.Bisa-bisanya mas Alen bermain di bel