Sesaat, jari jemari tangan Naya terhenti. Ia melirik ke arah Alen yang meninggalkan dirinya tanpa menyapa sedikitpun terhadapnya.
"Kenapa dia marah? Bukankah ini keinginannya?" batin Naya bertanya.
Naya menghela nafas panjang dan mencoba bersikap tenang.
"Kanaya," panggil bunda.
Naya menoleh. Senyum manisnyapun tertoreh saat bunda memanggil dirinya.
"Iya, Bun!" jawab Naya, ia mulai duduk seraya memegang makanan.
"Maafkan Alen, ya!" lirih bunda memegang tangan Naya.
Naya tersenyum. Perlahan, ia menggenggam erat tangan yang berselangkan dengan infus itu.
"Iya, Bun. Kanaya baik-baik saja!" jawab Naya tersenyum."Naya suapi, ya?" pinta Naya yang membuat senyum bunda mulai tertoreh kembali.
"Iya, Sayang!" jawab bunda sumringah. Inilah momen indah yang di tunggu-tunggu oleh bunda Elena. Memiliki calon menantu yang bisa merawatnya hingga ia menghembuskan nafas terakhir.
Dari balik pintu, Alen terdiam terpaku melihat pemandangan yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Dua bola matanya yang hitam tak berhenti menatap ke arah mereka yang terlihat begitu akrab.
Terlihat sangat jelas, raut wajah bunda yang biasanya pucat, perlahan mulai berbinar terimbangi dengan senyum manis yang menawan.
"Maafkan Alen, Bun. Dia hanya wanita kontrak belaka!" gumam Alen menutup kembali pintu itu secara perlahan.
Naya melirik ke arah tangan bunda yang memegang tangan kanannya begitu erat.
Sentuhan tangannya membuat Naya teringat akan belaian dari almarhum mama tercintanya.
"Kanaya, kamu yang kuat, ya? Dia memang kasar, tapi di balik sifatnya itu, dia memiliki perhatian yang luar biasa," tutur bunda menjelaskan tentang sifat Alen."Jadi, bunda mohon jangan tinggalkan putra bunda,Nay?"
Naya melipat bibirnya yang mungil. Lagi dan lagi ia harus membuat janji yang memaksa dirinya untuk tidak menolak.
"Ya Tuhan, kenapa ini harus terjadi padaku?" batin Naya bertanya.
"Nay ...," kata bunda membuyarkan lamunannya.
"Iya, Bun!"
"Kamu mau 'kan menuruti permintaan bunda?"
"Naya akan mencobanya!" kata Naya memaksa untuk tersenyum.
*****
Semua karyawan tertunduk dan tak berani menatap ke arah Bu Ana, pemilik usaha butik "ANNA BOUTIQUE" yang terkenal di Jakarta. Ia mulai membuka cabang di kota Bandung agar ia dekat dengan keluarga yang telah lama ia tinggalkan.
"Masa' dia tak pernah menghubungi kalian?" tanya Bu Ana geram.
Semua terdiam.
"Dea, coba kamu lacak gps Naya. Saya mau tau di mana dia sekarang? " perintah Bu Ana geram.
"Baik, Bu!" gegas Dea mencoba melacak gps milik teman kerjanya itu.
"Baru kali ini, dia tidak masuk tanpa ijin terlebih dahulu. Bukankah dia bilang hanya cuti dua hari?" tanya Bu Ana seorang diri.
Naya benar-benar tak menyangka jika ia harus masuk ke dalam kehidupan orang yang tidak ia kenal.
"Mas Alen itu sangat sayang sama bundanya, Mbak. Dia rela meninggalkan dunia balapnya demi menuruti keinginan bu Elena. Jadi, kalo mas Alen dan mbak Naya berantem, alangkah baiknya jika mbak deketin bunda. Surti yakin, mas Alen pasti tak berkutik lagi." Perkataan surti yang mulai terlintas dalam pikirannya.
"Menikah denganku? Apa ini juga keinginan dari bunda?" tanya batin Naya seraya memandang bunda yang sudah tertidur pulas.
"Kita pulang!"
Suara khas Alen mengagetkan Naya. Ia menoleh dan terkejut saat Alen tiba-tiba datang menghampiri.
Tatapannya yang dingin membuat Naya bingung untuk menyikapinya.
Alen mendesah dan pergi begitu saja.
"Ya Tuhan, berikanlah aku kemudahan dan kekuatan untuk menghadapi orang seperti dia," kata Naya mengambil rantang makanan dan berlari mengikuti Alen.
Di mobil, Naya melirik ke arah Alen yang sedari tadi terdiam tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya.
"Mas ...," kata Naya mengawali pembicaraan.
Masih terdiam dan acuh. Naya menghela nafas seraya menggigit bibirnya yang mungil.
"Kenapa kamu datang ke rumah sakit? Apa kamu sudah yakin dengan keputusanmu itu?" Pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Alen.
Naya memaksa untuk tersenyum. Lagi-lagi, ia harus menghadapi sifat Alen yang terbilang sangat menjengkelkan.
"Iya, ini sudah menjadi keputusanku!" jawab Naya yang membuat Alen menoleh ke arahnya.
"Mas Alen tenang saja, aku tidak akan kabur lagi sebelum kontrak itu berakhir."
"Bagus! Kalo kamu sadar diri."
"Tapi, jika sebelum kontrak itu berakhir aku mendapatkan uang, aku berharap mas Alen bisa melepaskan aku," ujar Naya berharap.
Alen berpaling dan kembali menatap ke arah depan.
"Darimana dia mendapatkan uang sebanyak itu? Hal yang sangat mustahil untuk dia," gumam batin Alen memicing.
"Ok! aku akan menunggu uang 1 Miliyar darimu," ucap Alen sinis."Dan, ingat! Aku tak suka kebohongan ataupun pengkhianatan. Jadi, kamu jangan coba-coba untuk melakukannya padaku!" ketus Alen.
"Iya!" jawab Naya datar.
Sejenak, Naya terbelalak kaget saat Alen berhenti di depan butik, tempat dimana dia bekerja.
ANNA BOUTIQUE.
"Bu Ana?" tanya Naya melihat atasannya yang sibuk dengan pekerjaan yang seharusnya menjadi tugasnya."Ya Tuhan, akhirnya aku bisa bertemu dengan Bu Ana," ucap Naya mencoba untuk membuka pintu mobil.
Ceklek
Naya terperangah saat Alen membuka pintu mobil itu terlebih dulu.
"Keluar!" perintah Alen datar.
Naya menegak salivanya dengan paksa. Ia mulai turun dari mobil seraya mendesah mengernyit saat sinar sang surya menyinari wajah cantiknya.
"Pilihlah baju untuk mengganti baju kamu itu!" kata Alen menatap ke arah baju yang Naya kenakan."Aku tak mau jika semua orang menghina wanitaku mengenakan baju kemarin," kata Alen yang membuat Naya menegak salivanya dengan paksa.
"Wanitaku? Kenapa dia berbicara seolah-olah aku ini adalah wanitanya," kata batin Naya terkejut saat jentikan tangan membuyarkan lamunannya.
"Masuklah ke ANNA BOUTIQUE, pilih baju yang sesuai dengan gayamu!" kata Alen melangkah pergi sambil mengangkat telepon yang masuk.
Dari kejauhan, semua karyawan sangat heboh melihat kedatangan Alen.
"Bukankah itu Alen Towsar, pembalap itu?" tunjuk Dea yang begitu mengidolakannya.
"Ya ampun, benar itu Alen Towsar. Aduh, keren banget pake jas seperti itu," sahut Kinan seraya memegang kedua pipinya yang chubby.
Bu Ana mengernyit melihat dua karyawannya begitu heboh menatap ke arah luar.
"Dea, Kinan, apa yang kalian lakukan?" tanya Bu Ana mengagetkan mereka.
"Tidak, Bu. Kami hanya ...," kata Kinan terhenti.
"Alasan saja kalian ini! Kerja!" ujar ibu Ana seraya menopangkan kedua tangan di dada.
"Baik Bu. Tapi, kayaknya akan ada pembalap terkenal yang akan datang ke sini, deh!" kata Kinan berbisik.
Bu Ana mengernyit dan menatap ke arah luar.
"Ibu pasti kesengsem melihat pembalap itu masuk ke butik kita ini. Orangnya sangat tampan dan idola semua kaum hawa. Termasuk saya," kata Dea percaya diri.
"Dan dengar-dengar dia sekarang jadi pengusaha juga lho!" sahut Kinan.
"Sudah ngomongnya?" tanya Ibu Ana yang membuat mereka terdiam seketika."Lanjutkan kerja kalian! Dan pastikan, semua baju untuk calon menantu saya berjejer rapi di tempat ini!" perintah Bu Ana.
"Baik, Bu!" jawab mereka serempak.
"Good!" Bu Ana pergi meninggalkan mereka.
Tepat di depan ruang kerjanya, langkah kaki Bu ana terhenti. Kedua matanya mengerling melihat Naya yang tiba-tiba memeluknya.
"Naya, ada apa? Kenapa kamu?" tanya Bu Ana penasaran.
Naya melepas pelukannya. Ia sangat bersyukur bisa bertemu dengan orang yang akan menolongnya dari pernikahan kontrak itu.
"Bu Ana, bukankah ibu pernah bilang, kalo ibu akan menolong saya jika design baju saya mencapai target?"
Ibu Ana mengangguk pelan. Perlahan, ia membelai rambut Naya yang terurai panjang. Wajah cantik yang di miliki Naya begitu mengingatkan pada putrinya yang sudah tiada.
"Kita bicara di dalam!" ajak Ibu Ana seraya merangkul Naya.
Untuk pertama kalinya, Alen memasuki ANNA BOUTIQUE. Kedua matanya berputar melihat baju yang designnya memang cukup berkualitas.
Sesaat, langkah kakinya terhenti melihat dua orang karyawan menghampiri dirinya. Ia mengernyit saat mereka selalu tersenyum manis ke arahnya.
"Ada yang bisa saya bantu, Kak?" tanya Kinan seraya memegang patung yang berdiri di samping Alen.
"Ya. Kebetulan saya sedang menunggu calon istri saya," kata Alen yang membuat mereka terkejut. Seketika senyum sumringah mereka memudar.
"Calon istri?" tanya mereka serempak.
"Iya. Apa dia sedang ganti baju?" tanya Alen yang membuat mereka semakin bingung.
Mereka menatap satu sama lain. Mereka bingung siapa orang yang di maksud oleh Alen.
"Maaf, tapi dari tadi belum ada orang yang masuk ke sini!"
Alen terbelalak kaget. Pikirannya mulai mengarah kalo Kanaya akan kabur dari dirinya.
******
"What? Satu Milyar?" tanya Bu Ana tercengang dengan jumlah hutang keluarga Kanaya.
"Iya, Bu. Hanya ibu satu-satunya harapan Naya. Tolong Naya, Bu! Naya mau bekerja seumur hidup tanpa di gaji, asal ibu mau menolong Naya," ucap Naya memohon.
"Naya, bukannya ibu tak mau bantu. Ibu baru saja membeli apartemen dan membeli tempat ini," kata ibu Ana yang membuat Naya tak bisa berharap lagi.
Ibu Ana merasa sangat kasian melihat Naya yang begitu banyak masalah. Ia tak menyangka di balik sifatnya yang ceria, memiliki masalah yang begitu berat.
"Naya, keponakan ibu 'kan nanti mau ke sini. Ibu akan coba bicara sama keponakan ibu. Siapa tau dia mau membantu kamu," ucap Ibu Ana melegakan hati Naya.
"Benarkah, Bu?"
"Iya. Kamu jangan sedih lagi, ya! Kamu akan terbebas dari masalah kamu itu," kata Ibu Ana membelai rambut indah yang dimiliki Naya.
Ceklek
"Nah, itu dia!" kata ibu Ana berdiri menghampiri keponakannya tersebut.
Naya mengusap air matanya dan mencoba untuk terlihat fresh di depan keponakannya ibu Ana tersebut.
"Semoga saja, hari ini aku terlepas dari masalah mengerikan ini!" gumam batin Naya membalikkan badannya.
Deg
Kedua bola mata Naya terbelalak kaget saat melihat keponakannya ibu Ana tersebut.
"Kamu di sini!" Suara khas yang dimiliki orang yang sudah dua kali menolongnya dari kejaran pak Lukman.
"Mas alen," kata Naya menegak salivanya dengan paksa.
DegKedua bola mata Naya terbelalak kaget saat melihat keponakannya ibu Ana tersebut."Kamu di sini!""Mas alen," kata Naya menegak salivanya dengan paksa.Ia tak menyangka jika keponakannya ibu Ana adalah Alen, orang yang menjadi masalah dalam kehidupannya."Ya Tuhan, kenapa aku berlari di tempat yang sama!" gumam batin Naya melipat bibir mungilnya.Naya terdiam. Ia tak tau harus lari kemana lagi. Selalu berlari mengitari kehidupan keluarga orang yang telah menolongnya dan yang akan menghancurkan masa depannya. Inikah takdir yang harus aku jalani? gumam batin Naya menghela nafas panjang.Alen menatap Naya yang tak mampu mendongakkan kepala.Ibu Ana tak berhenti menatap mereka secara bergantian. Tubuhnya meremang melihat dua orang ia sayang sudah mengenal satu sama lain."Kalian sudah saling mengenal?" tanya Ibu Ana memastikan."Dia calon istriku, Tante!" jawab Alen mengejutkan ibu Ana.
"Pakaikan untukku!" perintah Alen menyodorkan cincin itu.Hari ini, Naya pasrah dengan apa yang terjadi pada dirinya. Bibir mungilnya bergetar. Jari jemari tangan yang putih mulus mulai mengambil cincin pernikahannya.Memang ini sudah jalan hidupku, menikah dengan orang yang tidak aku cinta! batin Naya berkata seraya memakaikan cincin untuk Alen.Alen tersenyum sinis. Perlahan, ia mulai mendongakkan dagu Naya agar mau menatap dirinya. Wajahnya yang cantik terlihat begitu muram dan sama sekali tak ada kebahagiaan terpancar di diri Naya.Lentik indah bulu mata Naya tak berhenti mengerjap. Tatapan tajam yang mengarah kepadanya, membuat ketakutan kini menghampiri dirinya."Kamu akan baik-baik saja, jika kamu tidak melanggar kesepakatan yang telah kita sepakati!" ucap Alen mengingatkan Naya akan isi dari perjanjian kontrak tersebut."Aku tidak akan merubahnya, meskipun kamu berlutut sekalipun padaku, Kanaya."Naya menghela nafas panjan
Tangan Arga terhenti. Kedua matanya berputar menatap Alen menghentikan tangannya."Aku tak akan biarkan, tangan kotormu ini menyentuh ataupun melukai tubuh istriku!" ucap Alen yang mengejutkan Arga. Begitupun juga Naya.Perlahan, Naya membuka matanya dan menyeringai saat Alen menolong dirinya untuk kesekian kalinya."Sayang, tunggu aku di kamar!" perintah Alen yang membuat Arga tersenyum sinis mendengarnya."Iya, Mas!" gegas Naya pergi meninggalkan mereka.Arga melepas tangannya dari genggaman tangan Alen. Ia seakan tak percaya dengan apa yang terlontar dari mulut sepupunya itu."Sebucin itukah kamu padanya? Sampai kamu berhalusinasi menjadikan dia sebagai istri kamu?" Arga menatap sinis."Apa aku terlihat bercanda? Apa bicaraku juga kurang jelas?" tanya Alen balik.Arga menghela nafas panjang. Perlahan, kedua tangannya memegang pundak sepupunya yang jauh lebih lebar dari dirinya."Alen-alen, apa ka
DegLamunan Alen buyar. Kedua matanya tak berhenti mengerjap. Pandangannya tertuju ke arah bibir mungil istrinya yang terus bergetar tiada henti."Haruskah aku mencium bibirnya?"Hela nafas berhembus dari diri Alen. Kedua matanya berputar melihat hujan yang semakin deras mengguyur kota itu.Genggaman tangannya ikut bergetar saat Naya memegang tangan kirinya begitu erat. Dengan penuh perhatian, Alen membenarkan jas hitam yang menyelimuti tubuh istrinya itu.Diego memasang handfree sembari berbicara dengan salah satu pengawal yang berjaga di rumah sakit."Akses jalan menuju ke rumah sakit lumpuh total, jadi Mas Alen dan istrinya tidak bisa datang ke sana. Segera kamu beritahu ibu presdir!" kata Diego seraya menutup telponnya.Ia tersenyum akan pekerjaannya terlaksana begitu cepat, tanpa menunggu dirinya untuk sampai rumah seperti apa yang diperintahkan oleh Alen.Hem, pasti mas Alen akan senang melihatku yang selalu cepat d
"Tak seharusnya kamu menutupi apa yang sudah menjadi milikku!" Perkataan Alen membuat Naya terperangah mendengarnya. Ia tak menyangka jika Alen ingat akan apa yang menjadi haknya.Naya terdiam. Bibirnya melipat seraya berjalan mundur saat Alen berjalan menghampiri dirinya."Kamu tenang saja! Aku tak akan menyentuh tubuh yang tak menarik ini," tunjuk Alen memicing dengan tatapan penuh kebencian.Lentik indah bulu mata Naya tak berhenti mengerjap. Sesekali ia memperhatikan kesalahan yang ada pada tubuh idealnya."Kita akan tinggal di sini selama tiga hari. Kamu bisa melakukan apapun sesuka hatimu dan jangan pernah mengganggu waktu istirahatku! Mengerti!" ketus Alen."Mengerti, Mas!" jawab Naya seraya menganggukkan kepala."Bagus!" kata Alen melangkah pergi.Naya menghela nafas seraya menoleh ke arah Alen yang mulai merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.Sabar Naya sabar. Bagaimanapun juga, saat ini dia adalah suami kamu! kata
Sesaat, kedua matanya tertuju ke arah koper yang ia bawa."Satu koper? Apa ini tidak akan jadi masalah jika mas Alen tau?" tanya Naya menghela nafas dan mulai memasuki kamar yang seharusnya menjadi saksi bisu malam pertama buat dirinya.Langkah Naya terhenti. Dua bola mata indahnya tak berhenti mengerjap melihat betapa kekar dan sexinya tubuh Alen yang terlihat setengah badan. Dadanya yang bidang, rambut pirangnya yang basah, cara khasnya dalam minum minuman yang begitu perfect membuat Naya tak mampu menegak salivanya sendiri.Alen menoleh dan berjalan menghampiri sang istri yang terdiam seperti patung menatap dirinya. Jentikan tangan yang berbunyi membuat lamunan Naya buyar sudah."Apa yang kamu lihat?" tanya Alen yang mengejutkan Kanaya."Ti-dak, Mas. A-ku ...," kata Naya terhenti saat koper yang ia pegang beralih ke tangan suaminya."Aku mau ganti baju dan kamu tunggu di luar!" perintah Alen yang mendorong tubuh Naya hingga keluar d
"Haruskah aku memakai pakaian seperti ini?" tanyanya seorang diri. Ia menghela nafas panjang dan mengambil t-shirt berwarna putih yang sama dengan Alen."Hanya satu t-shirt dan satu hotpan? Bagaimana mungkin aku memakainya selama tiga hari?" tanya Naya melipat bibir mungilnya.BrakNaya mendongak dan menoleh ke arah suara yang mengejutkan dirinya. Kedua kakinya yang putih mulus tanpa noda itu, mulai melangkah menuju keluar. Dengan mengenakan kimono di badan seraya melilitkan handuk di kepalanya, membuat Naya terlihat begitu mungil dan menggemaskan.CeklekHembusan angin di pagi hari membuat wajah cantiknya menjadi dingin menyejukkan. Sudut matanya mengernyip menahan similir angin yang menerpa dirinya."Ya Tuhan!" gegas Naya berlari menghampiri sepedanya yang jatuh tanpa sebab yang jelas. Naya membenarkan posisi sepeda itu seperti semula.Rasa tak sabar ingin mengendarai sepeda tersebut mulai menghampiri di dirinya."Kamu baik-b
Naya mulai membuka kedua matanya. Perlahan, ia melihat kakinya yang sudah bersih dari lumuran darah."Ya Tuhan, apa mas Alen akan mempermasalahkan tentang kejadian ini?" tanya Naya berbicara seorang diri.***PlakTamparan keras mengenai pipi Roy. Pak Lukman marah saat mengetahui kalo Roy salah sasaran."Begitu saja tidak becus! Apa kamu tidak berpikir dulu sebelum bertindak? Untung saja kanaya baik-baik saja!" bentak pak Lukman.Kedua tangannya tak berhenti memegang pinggang dan mondar-mandir kesana kemari. Memperlihatkan betapa kecewa dirinya saat ini."Maaf, Pak! Saya tidak tau, kalo ada dua sepeda di villa itu!" ucap Roy menjelaskan sambil menundukkan kepala."Pergilah! Dan jangan berharap kamu mendapatkan imbalan yang saya janjikan padamu," ujar Pak Lukman mengingatkan Roy."Saya mengerti, Pak!" kata Roy pergi saat tangan Pak Lukman mengkodenya untuk keluar."Sial! Kenapa dari dulu aku tak pernah
Aroma parfum Diego juga tercium jelas olehnya. Ia mendongak dan terkejut saat dirinya juga tak sadar akan tingkahnya yang dengan mudahnya bersandar di bahu bodyguard sang kakak.Oh my God! Apa yang aku lakukan? Bisa-bisanya aku bersandar di bahu Diego? batin Rania seakan tak mampu menegak salivanya sendiri. Lentik bulu matanya tak berhenti mengerjap. Dengan perlahan, ia mengangkat kepala dan mencoba menjauh dari pelukan Diego."Hush hush, Sayang. Kamu ingin cepat pulang, ya? Yuk! Kita ke mobil duluan. Tunggu papa dan mama di sana saja, ya!" ucap Rania mencoba menenangkan bayi yang ia gendong. Sebuah trik untuk menjauh dari Diego tanpa mengeluarkan kata-kata. Diego mengernyit. Jemari tangannya menggaruk kepalanya yang tak gatal seraya menatap wanita yang telah membuat perasaannya tak karuan."Rania, tunggu!" gegas Diego mengikuti langkah Rania.Alen melepas pelukannya. Ia menyeringai seraya membelai rambut indah istrinya yang terikat."Siapa yang mengikat rambutmu?" tanya Alen menyapu
"Aku sangat merindukan kakak. Aku akan memeluk tubuh kakak yang hangat itu sebagai pengobat rinduku selama dua tahun ini!" Naya terperangah dan tak percaya mengingat kembali sebuah pesan yang membuat dirinya cemburu buta dan mengharuskan pergi dari rumah.Ya Tuhan, apa iya dia Rania yang mengirim pesan pada suamiku itu? batin Naya bertanya. Bibirnya merapat, ia seakan tak mampu menegak salivanya sendiri saat pikiran itu terus menaungi dirinya."Kamu mengenal suami saya?" tanya Naya penasaran.Rania tersenyum senang. Mungkin waktu ini sangat tepat untuk meminta maaf pada Naya dengan apa yang ia perbuat. Sebuah pesan yang seharusnya tak ia lakukan di saat Alen sudah mempunyai istri.***Ana Towsar seakan tak percaya dengan keputusan putranya itu. Meninggalkan rumah mewah yang sudah ia tempati beberapa puluh tahun lamanya."Sebenarnya apa sih yang ada di otak kamu, Ga? Bagaimana mungkin kita tinggal di rumah seperti ini? Kamu kan tau, penyakit mama akan kambuh jika hidup kekurangan seper
Alen menoleh. Alisnya bertaut saat mendengar nama Rania terlontar dari percakapan pengendara lain.Rania, apa yang mereka maksud adalah Rania adikku? batin Alen bertanya.Tanpa pikir panjang. Alen mengambil ponsel miliknya yang berada di dalam saku celana. Dua bola matanya mengerling saat membuka pesan dari Rania."Kak, sampai mana? Kak Naya membutuhkan donor darah secepatnya." Pesan singkat yang membuat Alen seakan tak mampu menegak salivanya sendiri.Ya Tuhan, apa naya dalam bahaya? Alen buru-buru memasukkan ponselnya dan segera meluncurkan motor balapnya dengan cepat saat lampu merah berganti hijau.Di tengah perjalanan, Alen menghentikan laju kendaraannya lagi. Ia mendesah sebal saat beberapa orang membuat keributan di jalan menuju arah vila.Alen membuka helm. Sudut matanya mengerut melihat para petani yang terlihat begitu melas dan lelah.Apa yang mereka lakukan pada para petani itu? batin Alen mulai melangkah. Tanpa merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, ia melangkah men
Apa iya Naya yang di maksud Rania? Mana mungkin dia akan melahirkan. Usia kandungannya kan baru tujuh bulan dan .... kata batin Alen terhenti saat melihat naya terbaring kesakitan seraya memegang perut besarnya.Naya! kata Alen seakan tak mampu menegak salivanya sendiri."Kak, cepetan ke sini!" kata Rania membuyarkan lamunan Alen."Aku akan segera ke sana!" gegas Alen mematikan ponselnya seketika.Naya menoleh saat mendengar suara yang tak asing baginya. Suara khas yang selalu membekas dalam benaknya."Hah, syukurlah! Akhirnya Kak A ...," kata Rania terhenti."Maaf, apa boleh saya pinjam ponselnya?" Naya beralih posisi untuk berbaring ke kanan. Ia mencoba untuk tersenyum meski dirinya merasakan sakit akan kontraksi yang terus melanda."Oh, tentu saja. Silahkan!" Rania melangkah menghampiri dan menyodorkan ponsel miliknya. "Terimakasih!" jawab Naya dengan cepat mengetik nomor milik Alen. Namun, jemari tangannya terhenti saat ia lupa akan nomor milik suaminya.Senyum manisnya mengemban
Saking penasarannya, ia menyentuh air tersebut. Naya terperangah dan terkejut saat meyakini air itu adalah air ketuban."Ya Tuhan, apa aku akan melahirkan sekarang?" Naya duduk seraya memegang perutnya. Ia menoleh ke arah jalan yang sama sekali sepi dari kendaraan. Dahinya mengernyit, bibirnya merapat menahan rasa sakit yang semakin menjadi.Mas Alen, bagaimana ini? Aku tak mau terjadi sesuatu pada anak kita!" ucap batin naya mengatur nafasnya secara perlahan.Naya menoleh saat mendengar suara hentakan kaki mengarah padanya. Senyumnya mengembang dan dengan sekuat tenaga mencoba bangkit untuk meminta pertolongan. Sosok wanita berambut pendek berlari ke arahnya."Kakak, Kakak baik-baik saja?" tanya Rania memegang tangan Naya yang penuh dengan keringat."Tolong saya! Tolong bawa saya ke rumah sakit sekarang!" pinta Naya menahan sakit sembari memegang perutnya.Alis Rania bertaut melihat kaki Rania mengalir sebuah air ketuban.Apa kakak ipar mau melahirkan? Bukankah Kak Alen bilang kalo
Mau kemana dia? Kenapa dia pergi begitu saja?" tanya Naya memanyunkan bibirnya.Tubuhnya lemas dan kecewa akan sikap Alen yang mengacuhkan dirinya. Kedua matanya menatap makanan yang sudah ia tata dengan rapi. "Setidaknya ia memakannya sedikit saja sebelum pergi. Tak tau apa, betapa kerasnya aku menyiapkan semua ini! Pasti dia pergi untuk menemui Rania itu," gerutu Naya mendesah sebal.Beberapa menit kemudianCeklekNaya menoleh menatap ke arah pintu tersebut. Senyum manisnya tertoreh dan berharap Alen kembali untuk makan dengannya.Dia kembali! gegas Naya beranjak dari duduknya. Namun, harapannya sirna. Naya terkejut. Ia tersenyum tipis saat melihat orang yang menjadi tempat curhat saat ia ada masalah datang menghampiri dirinya."Naya, maaf! Ibu lancang masuk ke sini. Habisnya pintunya tak teekunci," kata Bu Angel berjalan menghampiri."Tak apa, Bu. Memang pintu itu terbuka lebar untuk menyambut kedatangan Bu Angel," tutur Naya tersenyum.Bu Angel menoleh menatap beraneka mgakanan
Ya Tuhan, siapa orang itu? Kenapa dia masuk dalam villa ini? Apa yang harus aku lakukan? Mas Alen, aku takut!"Mbak Naya, jika mbak tidak mau pulang. Jangan lupa kunci semua pintu ya, Mbak. Dan jangan keluar di waktu malam hari!" Perkataan Diego yang kembali melintas dalam benaknya. Bibir Naya merapat. Jemari tangannya menggenggam erat selimut yang menutupi tubuhnya. Keringat dingin mulai keluar mengimbangi rasa takut yang menguasai dirinya.Perlahan, tangannya turun memegang perut yang terasa menggetarkan tubuhnya.Sayang, maafkan mama, ya? Tak seharusnya mama membiarkanmu ikut cemas seperti ini! gumam batin Naya menghela nafas panjang.Apa orang ini adalah orang yang akan mencelakaiku? batin Naya bertanya. Jantungnya kian berdegup kencang saat hentakan kaki terdengar mengarah padanya. Mas Alen, bagaimana ini? Apa aku benar-benar berpisah sebelum aku bertemu denganmu? Mas Alen, aku ....DegSudut mata Naya mengernyit. Ada sedikit cahaya yang menembus di antara kegelapan yang berad
"Sekarang kamu tau kan, siapa orang yang membuat istri kakak ngambek?" tanya Alen."Jadi, ini semua karena aku?" tanya Rania seakan tak percaya jika dirinya adalah penyebab kaburnya kanaya."Ya Tuhan, Kak Alen! Aku minta maaf, ya?" "Sudahlah! Kamu tak perlu merasa bersalah. Kakak akan mengatasi kesalah pahaman yang terjadi ini," tutur Alen mematikan rokoknya."Tapi, Kak. Aku merasa bersalah banget membuat kakak ipar salah paham gegara pesanku itu." Bibir Rania memanyun. Raut wajahnya yang biasanya selalu ceria mendadak suram akan masalah yang terjadi.Alen menghela nafas panjang. Tangannya dengan lembut mengusap rambut pirang yang dimiliki Rania. "Percayalah! Kakak akan menyelesaikan ini semua dengan cepat. Kakak juga tak sabar memperkenalkan kamu dengan dia. Memperkenalkan adikku yang belum dia ketahui," ujar Alen mencoba menenangkan hati Rania.Drt ... Drt. ...Diego calling ...Tanpa banyak buang waktu, Alen mengangkat telepon dari bodyguard tersebut. Berharap apa yang ia rencanak
Alen mengeryit dan terbelalak kaget saat melihat chat dari Diego."Mas, Mbak Naya keluar dari rumah!"Pesan dari Diego yang membuat Alen terkejut setengah mati. Spontan, Alen menghubungi Diego. Jari jemari tangannya meraih jas yang ia letakkan di bahu kursi putarnya."Diego, kamu di mana?" tanya Alen begitu panik. Suaranya yang lantang membuat Rania terbangun dari tidurnya. Mata yang masih sayu menoleh menatap Alen yang terlihat begitu panik. "Apa yang terjadi, Kak?" tanya Rania menghampiri Alen."Rania, Kakak harus pulang sekarang. Istri kakak keluar dari rumah," gegas Alen pergi meninggalkan Rania seorang diri."Keluar dari rumah?" tanya Rania mengernyitkan keningnya. Jari jemari tangannya mulai menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal."Apa emang begitu ya, kalo hidup berumah tangga?"Di mobil, Naya terdiam seribu bahasa. Dua bola matanya tak berhenti menatap ke arah jendela mobil yang memperlihatkan pemandangan indah di sepanjang perjalanan.Bisa-bisanya mas Alen bermain di bel