Deg
Lamunan Alen buyar. Kedua matanya tak berhenti mengerjap. Pandangannya tertuju ke arah bibir mungil istrinya yang terus bergetar tiada henti.
"Haruskah aku mencium bibirnya?"
Hela nafas berhembus dari diri Alen. Kedua matanya berputar melihat hujan yang semakin deras mengguyur kota itu.
Genggaman tangannya ikut bergetar saat Naya memegang tangan kirinya begitu erat. Dengan penuh perhatian, Alen membenarkan jas hitam yang menyelimuti tubuh istrinya itu.
Diego memasang handfree sembari berbicara dengan salah satu pengawal yang berjaga di rumah sakit.
"Akses jalan menuju ke rumah sakit lumpuh total, jadi Mas Alen dan istrinya tidak bisa datang ke sana. Segera kamu beritahu ibu presdir!" kata Diego seraya menutup telponnya.
Ia tersenyum akan pekerjaannya terlaksana begitu cepat, tanpa menunggu dirinya untuk sampai rumah seperti apa yang diperintahkan oleh Alen.
Hem, pasti mas Alen akan senang melihatku yang selalu cepat d
"Tak seharusnya kamu menutupi apa yang sudah menjadi milikku!" Perkataan Alen membuat Naya terperangah mendengarnya. Ia tak menyangka jika Alen ingat akan apa yang menjadi haknya.Naya terdiam. Bibirnya melipat seraya berjalan mundur saat Alen berjalan menghampiri dirinya."Kamu tenang saja! Aku tak akan menyentuh tubuh yang tak menarik ini," tunjuk Alen memicing dengan tatapan penuh kebencian.Lentik indah bulu mata Naya tak berhenti mengerjap. Sesekali ia memperhatikan kesalahan yang ada pada tubuh idealnya."Kita akan tinggal di sini selama tiga hari. Kamu bisa melakukan apapun sesuka hatimu dan jangan pernah mengganggu waktu istirahatku! Mengerti!" ketus Alen."Mengerti, Mas!" jawab Naya seraya menganggukkan kepala."Bagus!" kata Alen melangkah pergi.Naya menghela nafas seraya menoleh ke arah Alen yang mulai merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.Sabar Naya sabar. Bagaimanapun juga, saat ini dia adalah suami kamu! kata
Sesaat, kedua matanya tertuju ke arah koper yang ia bawa."Satu koper? Apa ini tidak akan jadi masalah jika mas Alen tau?" tanya Naya menghela nafas dan mulai memasuki kamar yang seharusnya menjadi saksi bisu malam pertama buat dirinya.Langkah Naya terhenti. Dua bola mata indahnya tak berhenti mengerjap melihat betapa kekar dan sexinya tubuh Alen yang terlihat setengah badan. Dadanya yang bidang, rambut pirangnya yang basah, cara khasnya dalam minum minuman yang begitu perfect membuat Naya tak mampu menegak salivanya sendiri.Alen menoleh dan berjalan menghampiri sang istri yang terdiam seperti patung menatap dirinya. Jentikan tangan yang berbunyi membuat lamunan Naya buyar sudah."Apa yang kamu lihat?" tanya Alen yang mengejutkan Kanaya."Ti-dak, Mas. A-ku ...," kata Naya terhenti saat koper yang ia pegang beralih ke tangan suaminya."Aku mau ganti baju dan kamu tunggu di luar!" perintah Alen yang mendorong tubuh Naya hingga keluar d
"Haruskah aku memakai pakaian seperti ini?" tanyanya seorang diri. Ia menghela nafas panjang dan mengambil t-shirt berwarna putih yang sama dengan Alen."Hanya satu t-shirt dan satu hotpan? Bagaimana mungkin aku memakainya selama tiga hari?" tanya Naya melipat bibir mungilnya.BrakNaya mendongak dan menoleh ke arah suara yang mengejutkan dirinya. Kedua kakinya yang putih mulus tanpa noda itu, mulai melangkah menuju keluar. Dengan mengenakan kimono di badan seraya melilitkan handuk di kepalanya, membuat Naya terlihat begitu mungil dan menggemaskan.CeklekHembusan angin di pagi hari membuat wajah cantiknya menjadi dingin menyejukkan. Sudut matanya mengernyip menahan similir angin yang menerpa dirinya."Ya Tuhan!" gegas Naya berlari menghampiri sepedanya yang jatuh tanpa sebab yang jelas. Naya membenarkan posisi sepeda itu seperti semula.Rasa tak sabar ingin mengendarai sepeda tersebut mulai menghampiri di dirinya."Kamu baik-b
Naya mulai membuka kedua matanya. Perlahan, ia melihat kakinya yang sudah bersih dari lumuran darah."Ya Tuhan, apa mas Alen akan mempermasalahkan tentang kejadian ini?" tanya Naya berbicara seorang diri.***PlakTamparan keras mengenai pipi Roy. Pak Lukman marah saat mengetahui kalo Roy salah sasaran."Begitu saja tidak becus! Apa kamu tidak berpikir dulu sebelum bertindak? Untung saja kanaya baik-baik saja!" bentak pak Lukman.Kedua tangannya tak berhenti memegang pinggang dan mondar-mandir kesana kemari. Memperlihatkan betapa kecewa dirinya saat ini."Maaf, Pak! Saya tidak tau, kalo ada dua sepeda di villa itu!" ucap Roy menjelaskan sambil menundukkan kepala."Pergilah! Dan jangan berharap kamu mendapatkan imbalan yang saya janjikan padamu," ujar Pak Lukman mengingatkan Roy."Saya mengerti, Pak!" kata Roy pergi saat tangan Pak Lukman mengkodenya untuk keluar."Sial! Kenapa dari dulu aku tak pernah
"Laura, kamu itu adalah harta mama satu-satunya. Kamu cantik, pintar, berbakat dan tak seharusnya kamu mengemis cinta sama pembalap yang tak jelas masa depannya itu," tutur ibu Dina menjelaskan."Mama ...," kata Laura terhenti."Sudah, cukup! Mulai sekarang, mama tak mau denger kamu membicarakan pembalap itu lagi. Dan alangkah baiknya, jika kamu mendekati pak Lukman!" pinta ibu Dina mengejutkan Laura."Ma ...," keluh Laura memprotes. Ia tak habis pikir jika mamanya menyuruh dirinya untuk mendekati pak Lukman yang bukan merupakan tipenya sama sekali."Laura, sampai sekarang kita tidak tau Naya ada di mana. Bagaimana nasib kita selanjutnya kalo kita tak menemukan kanaya?" tanya ibu Dina bingung."Trus, apa hubungannya sama Laura, Ma? Mama aneh banget, deh! Dan ngapain juga, mama menyuruh Laura untuk deketin pak Lukman?" gerutu Laura seraya menopangkan kedua tangan di dada. Wajahnya mulai kesal dengan penuturan mamanya."Sayang, emang kam
Mas Alen." Ucapan lembut Naya selalu terngiang di telinga Alen.Alen menoleh ke arah Naya yang sudah tertidur lebih dulu. Wajah cantik, manis, tubuhnya yang putih mulus membuat Alen mulai terpesona.Alen tak berhenti menggelengkan kepalanya. Tubuhnya seakan gerah dan tak mampu menahan keringat yang mengalir di tubuhnya.Entah apa yang terjadi pada dirinya. Senyum manisnya tertoreh melihat istrinya yang terlihat begitu sempurna.Sepuluh menit kemudian, Naya menggeliat ketika ada sesuatu yang bermain di lehernya. Sejenak, sudut matanya mengerut dan terbelalak kaget saat Alen mencumbu dirinya begitu agresif."Mas ...," keluh Naya yang tak digubris oleh suaminya. Ia menggeliat dan mencoba untuk menghindar dari serangan suaminya. Tapi, tenaganya lemah untuk melawan kekuatan yang di miliki Alen. Dengan leluasa, jari jemari tangan Alen mulai membuka baju milik istrinya.Kedua bola mata saling memandang. Naya tersenyum tipis melihat Alen yang
"Tidak, itu tak mungkin terjadi. Kami hanya melakukannya sekali dan tak mungkin langsung jadi," kata Naya meyakini kalo dirinya tak mungkin untuk hamil."Tenang, Kanaya. Sesampai di Jakarta, kamu harus melindungi tubuh kamu ini! Ya, semua akan baik-baik saja!" kata Naya mencoba untuk menyemangati dirinya.Andai saja dia tidak mempunyai hutang satu miliar, mungkin ia tak akan terikat dalam pernikahan kontrak yang sangat menyulitkan dirinya.Sesaat, jari jemari tangan mulus Naya menempel di dada. Hatinya berdesir hebat dan seakan tak mampu mengimbangi ritme detakan jantungnya yang berdegup kencang.Sentuhan lembut Alen semalam benar-benar membekas didirinya.Ya Tuhan, kenapa perasaanku ini? Apa aku ... tidak-tidak! itu tak boleh terjadi padaku. Dia pernah bilang, kalo aku dan dia tak mungkin dan tak boleh memiliki perasaan seperti itu," kata Naya menghela nafas panjang.*****Tante Ana terbelalak kaget dengan und
"Baik! Jika hal itu membuat mas Alen bahagia dan tak lagi marah padaku. Aku akan menuruti keinginan mas Alen apapun itu!" tegas Naya menahan rasa sesak di dada.Alen tak berhenti mengerjap. Ia seakan tak percaya melihat Naya yang berbicara padanya dengan penuh keberanian dan tak seperti biasanya yang selalu tunduk saat berbicara dengannya.Apa kata-kataku keterlaluan? kata batin Alen melihat Naya yang diam-diam mengusap air mata.Sepanjang perjalanan hanya keheningan yang terjadi pada mereka berdua. Tatapan mereka hanya fokus ke depan tanpa menatap satu sama lain.Jari jemari tangan Naya tak berhenti mencoret-coret di atas kertas yang ia ambil dari kerja milik suaminya. Rasa kesal dan sakit yang menyesakkan dadanya, ia curahkan di coretan tersebut.Lampu merah menghentikan laju kendaraan mereka. Tanpa sepengetahuan Naya, Alen mulai melirik ke arah istrinya yang sibuk dengan coretan itu. Ia mengernyit dan menatap raut wajah istrinya yang terlihat me
Aroma parfum Diego juga tercium jelas olehnya. Ia mendongak dan terkejut saat dirinya juga tak sadar akan tingkahnya yang dengan mudahnya bersandar di bahu bodyguard sang kakak.Oh my God! Apa yang aku lakukan? Bisa-bisanya aku bersandar di bahu Diego? batin Rania seakan tak mampu menegak salivanya sendiri. Lentik bulu matanya tak berhenti mengerjap. Dengan perlahan, ia mengangkat kepala dan mencoba menjauh dari pelukan Diego."Hush hush, Sayang. Kamu ingin cepat pulang, ya? Yuk! Kita ke mobil duluan. Tunggu papa dan mama di sana saja, ya!" ucap Rania mencoba menenangkan bayi yang ia gendong. Sebuah trik untuk menjauh dari Diego tanpa mengeluarkan kata-kata. Diego mengernyit. Jemari tangannya menggaruk kepalanya yang tak gatal seraya menatap wanita yang telah membuat perasaannya tak karuan."Rania, tunggu!" gegas Diego mengikuti langkah Rania.Alen melepas pelukannya. Ia menyeringai seraya membelai rambut indah istrinya yang terikat."Siapa yang mengikat rambutmu?" tanya Alen menyapu
"Aku sangat merindukan kakak. Aku akan memeluk tubuh kakak yang hangat itu sebagai pengobat rinduku selama dua tahun ini!" Naya terperangah dan tak percaya mengingat kembali sebuah pesan yang membuat dirinya cemburu buta dan mengharuskan pergi dari rumah.Ya Tuhan, apa iya dia Rania yang mengirim pesan pada suamiku itu? batin Naya bertanya. Bibirnya merapat, ia seakan tak mampu menegak salivanya sendiri saat pikiran itu terus menaungi dirinya."Kamu mengenal suami saya?" tanya Naya penasaran.Rania tersenyum senang. Mungkin waktu ini sangat tepat untuk meminta maaf pada Naya dengan apa yang ia perbuat. Sebuah pesan yang seharusnya tak ia lakukan di saat Alen sudah mempunyai istri.***Ana Towsar seakan tak percaya dengan keputusan putranya itu. Meninggalkan rumah mewah yang sudah ia tempati beberapa puluh tahun lamanya."Sebenarnya apa sih yang ada di otak kamu, Ga? Bagaimana mungkin kita tinggal di rumah seperti ini? Kamu kan tau, penyakit mama akan kambuh jika hidup kekurangan seper
Alen menoleh. Alisnya bertaut saat mendengar nama Rania terlontar dari percakapan pengendara lain.Rania, apa yang mereka maksud adalah Rania adikku? batin Alen bertanya.Tanpa pikir panjang. Alen mengambil ponsel miliknya yang berada di dalam saku celana. Dua bola matanya mengerling saat membuka pesan dari Rania."Kak, sampai mana? Kak Naya membutuhkan donor darah secepatnya." Pesan singkat yang membuat Alen seakan tak mampu menegak salivanya sendiri.Ya Tuhan, apa naya dalam bahaya? Alen buru-buru memasukkan ponselnya dan segera meluncurkan motor balapnya dengan cepat saat lampu merah berganti hijau.Di tengah perjalanan, Alen menghentikan laju kendaraannya lagi. Ia mendesah sebal saat beberapa orang membuat keributan di jalan menuju arah vila.Alen membuka helm. Sudut matanya mengerut melihat para petani yang terlihat begitu melas dan lelah.Apa yang mereka lakukan pada para petani itu? batin Alen mulai melangkah. Tanpa merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, ia melangkah men
Apa iya Naya yang di maksud Rania? Mana mungkin dia akan melahirkan. Usia kandungannya kan baru tujuh bulan dan .... kata batin Alen terhenti saat melihat naya terbaring kesakitan seraya memegang perut besarnya.Naya! kata Alen seakan tak mampu menegak salivanya sendiri."Kak, cepetan ke sini!" kata Rania membuyarkan lamunan Alen."Aku akan segera ke sana!" gegas Alen mematikan ponselnya seketika.Naya menoleh saat mendengar suara yang tak asing baginya. Suara khas yang selalu membekas dalam benaknya."Hah, syukurlah! Akhirnya Kak A ...," kata Rania terhenti."Maaf, apa boleh saya pinjam ponselnya?" Naya beralih posisi untuk berbaring ke kanan. Ia mencoba untuk tersenyum meski dirinya merasakan sakit akan kontraksi yang terus melanda."Oh, tentu saja. Silahkan!" Rania melangkah menghampiri dan menyodorkan ponsel miliknya. "Terimakasih!" jawab Naya dengan cepat mengetik nomor milik Alen. Namun, jemari tangannya terhenti saat ia lupa akan nomor milik suaminya.Senyum manisnya mengemban
Saking penasarannya, ia menyentuh air tersebut. Naya terperangah dan terkejut saat meyakini air itu adalah air ketuban."Ya Tuhan, apa aku akan melahirkan sekarang?" Naya duduk seraya memegang perutnya. Ia menoleh ke arah jalan yang sama sekali sepi dari kendaraan. Dahinya mengernyit, bibirnya merapat menahan rasa sakit yang semakin menjadi.Mas Alen, bagaimana ini? Aku tak mau terjadi sesuatu pada anak kita!" ucap batin naya mengatur nafasnya secara perlahan.Naya menoleh saat mendengar suara hentakan kaki mengarah padanya. Senyumnya mengembang dan dengan sekuat tenaga mencoba bangkit untuk meminta pertolongan. Sosok wanita berambut pendek berlari ke arahnya."Kakak, Kakak baik-baik saja?" tanya Rania memegang tangan Naya yang penuh dengan keringat."Tolong saya! Tolong bawa saya ke rumah sakit sekarang!" pinta Naya menahan sakit sembari memegang perutnya.Alis Rania bertaut melihat kaki Rania mengalir sebuah air ketuban.Apa kakak ipar mau melahirkan? Bukankah Kak Alen bilang kalo
Mau kemana dia? Kenapa dia pergi begitu saja?" tanya Naya memanyunkan bibirnya.Tubuhnya lemas dan kecewa akan sikap Alen yang mengacuhkan dirinya. Kedua matanya menatap makanan yang sudah ia tata dengan rapi. "Setidaknya ia memakannya sedikit saja sebelum pergi. Tak tau apa, betapa kerasnya aku menyiapkan semua ini! Pasti dia pergi untuk menemui Rania itu," gerutu Naya mendesah sebal.Beberapa menit kemudianCeklekNaya menoleh menatap ke arah pintu tersebut. Senyum manisnya tertoreh dan berharap Alen kembali untuk makan dengannya.Dia kembali! gegas Naya beranjak dari duduknya. Namun, harapannya sirna. Naya terkejut. Ia tersenyum tipis saat melihat orang yang menjadi tempat curhat saat ia ada masalah datang menghampiri dirinya."Naya, maaf! Ibu lancang masuk ke sini. Habisnya pintunya tak teekunci," kata Bu Angel berjalan menghampiri."Tak apa, Bu. Memang pintu itu terbuka lebar untuk menyambut kedatangan Bu Angel," tutur Naya tersenyum.Bu Angel menoleh menatap beraneka mgakanan
Ya Tuhan, siapa orang itu? Kenapa dia masuk dalam villa ini? Apa yang harus aku lakukan? Mas Alen, aku takut!"Mbak Naya, jika mbak tidak mau pulang. Jangan lupa kunci semua pintu ya, Mbak. Dan jangan keluar di waktu malam hari!" Perkataan Diego yang kembali melintas dalam benaknya. Bibir Naya merapat. Jemari tangannya menggenggam erat selimut yang menutupi tubuhnya. Keringat dingin mulai keluar mengimbangi rasa takut yang menguasai dirinya.Perlahan, tangannya turun memegang perut yang terasa menggetarkan tubuhnya.Sayang, maafkan mama, ya? Tak seharusnya mama membiarkanmu ikut cemas seperti ini! gumam batin Naya menghela nafas panjang.Apa orang ini adalah orang yang akan mencelakaiku? batin Naya bertanya. Jantungnya kian berdegup kencang saat hentakan kaki terdengar mengarah padanya. Mas Alen, bagaimana ini? Apa aku benar-benar berpisah sebelum aku bertemu denganmu? Mas Alen, aku ....DegSudut mata Naya mengernyit. Ada sedikit cahaya yang menembus di antara kegelapan yang berad
"Sekarang kamu tau kan, siapa orang yang membuat istri kakak ngambek?" tanya Alen."Jadi, ini semua karena aku?" tanya Rania seakan tak percaya jika dirinya adalah penyebab kaburnya kanaya."Ya Tuhan, Kak Alen! Aku minta maaf, ya?" "Sudahlah! Kamu tak perlu merasa bersalah. Kakak akan mengatasi kesalah pahaman yang terjadi ini," tutur Alen mematikan rokoknya."Tapi, Kak. Aku merasa bersalah banget membuat kakak ipar salah paham gegara pesanku itu." Bibir Rania memanyun. Raut wajahnya yang biasanya selalu ceria mendadak suram akan masalah yang terjadi.Alen menghela nafas panjang. Tangannya dengan lembut mengusap rambut pirang yang dimiliki Rania. "Percayalah! Kakak akan menyelesaikan ini semua dengan cepat. Kakak juga tak sabar memperkenalkan kamu dengan dia. Memperkenalkan adikku yang belum dia ketahui," ujar Alen mencoba menenangkan hati Rania.Drt ... Drt. ...Diego calling ...Tanpa banyak buang waktu, Alen mengangkat telepon dari bodyguard tersebut. Berharap apa yang ia rencanak
Alen mengeryit dan terbelalak kaget saat melihat chat dari Diego."Mas, Mbak Naya keluar dari rumah!"Pesan dari Diego yang membuat Alen terkejut setengah mati. Spontan, Alen menghubungi Diego. Jari jemari tangannya meraih jas yang ia letakkan di bahu kursi putarnya."Diego, kamu di mana?" tanya Alen begitu panik. Suaranya yang lantang membuat Rania terbangun dari tidurnya. Mata yang masih sayu menoleh menatap Alen yang terlihat begitu panik. "Apa yang terjadi, Kak?" tanya Rania menghampiri Alen."Rania, Kakak harus pulang sekarang. Istri kakak keluar dari rumah," gegas Alen pergi meninggalkan Rania seorang diri."Keluar dari rumah?" tanya Rania mengernyitkan keningnya. Jari jemari tangannya mulai menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal."Apa emang begitu ya, kalo hidup berumah tangga?"Di mobil, Naya terdiam seribu bahasa. Dua bola matanya tak berhenti menatap ke arah jendela mobil yang memperlihatkan pemandangan indah di sepanjang perjalanan.Bisa-bisanya mas Alen bermain di bel