Tepat dua tahun sudah, Kanaya meninggalkan kota kelahirannya. Kota yang meninggalkan banyak kenangan indah dan pahit bagi dirinya. Berparas cantik dan manis itulah yang melekat di diri seorang designer berbakat itu. Demi melunasi hutang ayahnya, ia harus bekerja keras untuk melunasinya seorang diri.
Pagi yang cerah secerah senyum manis Kanaya. Kedua matanya yang berwarna coklat, lentik bulu matanya yang tebal tak berhenti mengerjap menatap pemandangan yang berlari mengikuti laju kendaraan yang ia tumpangi saat ini
"Akhirnya, aku bisa pulang!" kata Naya yang seakan tak mampu menyembunyikan rasa bahagianya. Karena pekerjaannya yang menumpuk, kanaya tidak bisa mendapatkan cuti seperti teman-temannya yang lain. Sebuah tanggung jawab yang harus ia pikul seorang diri menjadi seorang designer di tempat kerjanya.
Perlahan, kedua bola mata indah itu mulai terpejam. Sebuah rumah yang merupakan peninggalan terakhir dari ayahnya, mulai melintas dalam pikirannya. Banyak kenangan indah dan manis yang ada di rumahnya tersebut.
"Naya, mama dan Laura akan ke Bogor. Mama juga sudah merenovasi rumah sesuai dengan keinginan kamu!" Perkataan mama Dina yang terucap dua hari sebelum Kanaya mengambil cuti. Kanaya membuka kedua matanya kembali. Ia tersenyum lebar saat dirinya telah tiba tepat di depan rumahnya.
Kedua kakinya yang mulus mulai turun dari taksi yang telah mengantarkannya sampai rumah. Jaket tebal merah yang melekat di dirinya membuat Naya terjaga dari dinginnya udara di kota kembang tersebut.
Naya membuka kacamata hitamnya, manik bola matanya berbinar menatap rumah yang mempunyai banyak kenangan indah bagi dirinya. Tak ada yang berubah. Halaman rumah, tanaman bunga peninggalan mamanya bermekaran begitu indah. Banyak kupu-kupu yang hinggap dan seakan tak mau jauh dari bunga tersebut.
"Kalian begitu indah! Aku tak menyangka, mama Dina dan Laura mau merawat kalian selama aku pergi!" ucap Naya memegang kelopak bunga mawar dan mencium aroma wanginya.
Naya tersenyum. Kedua matanya berputar mencari keberadaan pak Udin yang merupakan satpam di rumahnya tersebut. Ia mulai berjalan ke arah pos jaga yang biasanya menjadi tempat bagi pak udin untuk melakukan pekerjaannya.
Naya mengernyit. Ia sama sekali tak menemukan pak Udin di tempat pos jaga.
"Ke mana pak Udin? Apa beliau ada di dalam?" tebak Naya menoleh ke arah rumahnya."Yach, mungkin pak Udin ada di dalam. Pasti lagi mengecek keadaan rumah!" gegas Naya menuju ke dalam rumah seraya menggeret koper miliknya.
Ceklek
Sepi dan hening.
Sesaat, Naya terkejut ketika ada yang berbeda dengan rumahnya. Kondisi rumahnya yang masih sama seperti dua tahun yang lalu dan tak ada renovasi seperti apa yang ia inginkan.
"Ke mana foto keluargaku? Kenapa nggak ada?" Kedua matanya berputar mencari keberadaan foto keluarganya yang biasa tidak terpajang di dinding.
"Apa mama Dina membuangnya?" tanyanya memicing. Ia mulai melangkah dan melihat isi rumahnya yang benar-benar tak ada yang berubah. Hanya foto keluarga besarnya yang hilang dari rumahnya.
"Kenapa jadi seperti ini? Bukankah mama Dina bilang sudah merenovasinya?" Naya bingung sembari melipat bibirnya. Rasa kecewa mulai menghampiri wanita cantik dan putih itu. Ia tak menyangka jika mama tirinya tega berbohong kepadanya akan hal ini.
"Apa maksud mama Dina membohongiku seperti ini?" gumam Naya seraya memegang kedua tangan di pinggangnya. Tatapan matanya memicing menatap ke arah kaca yang memantulkan barang yang ada di belakangnya. Sosok beberapa orang yang bertubuh besar, mengenakan jas hitam tersenyum ke arahnya.
"Selamat Siang, Nona Inzen!" sapa seseorang yang membuat Naya kaget dengan panggilan itu. Nama yang tak pernah lagi ia dengar sejak ayahnya menikah dengan mama Dina.
Naya menoleh dan terkejut melihatnya. Kedua mata indahnya tak berhenti mengerjap, kedua tangannya seketika gemetar melihat mereka yang terlihat begitu menyeramkan.
"Si-a-pa kalian? Kenapa kalian masuk ke rumah saya tanpa mengetuk pintu terlebih dulu!" tanya Naya menghentikan langkah mereka.
Mereka hanya tersenyum dan menyodorkan seberkas surat yang ada di dalam map berwarna hitam.
"Apa ini?" tanya Naya mengernyit dan mulai membuka surat tersebut dan membacanya secara perlahan.
Sejenak, Naya terbelalak kaget dengan isi surat yang mencantumkan atas nama Lukman Argantara sebagai pemilik rumahnya yang sah.
"Apa maksud semua ini? Kenapa rumahku menjadi milik pak Lukman Argantara?" tanya Naya dengan mata berkaca-kaca.
"Pak Lukman sudah menunggu Anda, Nona Inzen. Beliau akan menjelaskannya tentang masalah ini," tutur Roy, salah satu kepercayaan pak Lukman Argantara.
Naya menghela nafas panjang. Ia bingung dengan apa yang terjadi sebenarnya. Spontan, ia mengusap air mata yang menetes begitu saja. Tenggorokannya kering dan terasa sakit saat salivanya tertegak dengan paksa.
"Mari Nona!"
"Kenapa pak Lukman ingin bertemu dengan saya? Dan kenapa beliau juga tidak datang ke sini untuk menjelaskannya?" tanya Naya penasaran.
"Saya tidak tau, Nona!" jawab Roy.
Alih-alih tidak mau berdebat dengan mereka. Naya memilih untuk diam dan mengikuti perintah mereka yang akan membawanya untuk bertemu dengan rentenir yang sudah meminjamkan uang pada ayahnya dulu.
*****
Semua bertepuk tangan menyambut pimpinan terbaru Hotel De Lena. Tampan, cool dan begitu perfect itulah yang di miliki pewaris tunggal dari keluarga Towsar. Alen Towsar, putra tunggal dari Elena Towsar yang sebelumnya berprofesi sebagai pembalap motor.
Demi keinginan sang ibunda tercinta, Alen terpaksa meninggalkan pekerjaan sekaligus hobinya itu. Memimpin beberapa hotel yang telah di bangun oleh sang bunda.
"Ya ampun, aku tak menyangka kalo Alen Towsar adalah anak dari ibu presdir. Sungguh seperti mimpi!" kata Agnes, salah satu karyawan hotel yang juga mengidolakan Alen Towsar.
"Iya, tapi dengar-dengar ia berhenti menjadi seorang pembalap demi menggantikan ibu presdir!" sahut Nita.
"Benarkah? Oh No! Jadi, sekarang aku tak bisa melihatnya memakai baju balap lagi, dong!" kata Agnes mengernyit menatap ketampanan Alen yang terlihat begitu jauh dari dirinya."Tapi nggak apa, deh! Setiap hari aku 'kan bisa melihatnya secara langsung, tidak di layar televisi lagi," ucap Agnes sumringah sembari memegang kedua pipinya.
Sepanjang perjalanan, Naya menyandarkan kepalanya seraya memejamkan mata.
"Yang saya tau, Ibu dina telah menjual rumah ini untuk membayar hutang ayah nona yang bertumpuk di pak Lukman. Rumah ini juga belum bisa melunasi hutang ayah nona sendiri. Dan, sebagai kurangannya, pak lukman menginginkan nona untuk menjadi istrinya." Perkataan orang suruhan pak Lukman mulai melintas kembali diingatannya.
Naya spontan membuka kedua matanya. Ia melirik ke arah mereka yang duduk di depan dan di samping dirinya. Ia merasa seperti seorang tawanan yang ada di film yang biasa ia tonton. Sangat sulit baginya untuk melarikan diri dari semua ini.
Ya Tuhan, apa maksud mama dina? Bagaimana bisa aku dijadikan jaminan untuk menjadi istrinya pak lukman? Seharusnya, uang yang aku kirim setiap bulan itu sudah bisa membayar sebagian hutang ayah. Tapi, kenapa hutang dan bunga ayah semakin banyak? batin Naya bertanya.
Naya melirik ke arah Roy, orang yang selalu menjawab pertanyaannya sedari tadi. "Apa saya boleh bertanya?" tanya Naya memberanikan diri. Semua mata tertuju padanya. Raut mereka yang sangar memang tak seperti tampangnya. Mereka masih memiliki kesopanan dalam berbicara. "Silahkan, Nona!" jawab Roy. "Anda bilang, rumah saya tak bisa melunasi hutang ayah saya. Selama dua tahun ini, saya selalu membayar hutang ayah saya sesuai dengan jumlah yang di janjikan oleh pak lukman. Seharusnya, dengan penjualan rumah saya, itu sudah lebih dari cukup untuk melunasi hutang ayah saya 'kan?" Naya yang begitu memprotes. Senyum bodyguard itu mulai tertoreh. "Nona Inzen, mama anda juga meminjam uang sama pak Lukman dan dijadikan satu dengan hutang ayah nona sendiri," jawab Roy yang membuat Naya terkejut setengah mati. Ia tak menyangka jika mama tirinya secara tak langsung menjaminkan dirinya pada pak Lukman. "Mama Dina sungguh keterlaluan!
BukNaya terjatuh tepat di pelukan seseorang. Sosok lelaki yang mengenakan jas hitam terlihat begitu samar dalam penglihatannya."Tolong aku!" lirih Naya terkulai lemas tak sadarkan diri.Alen mengernyit. Kedua matanya tak berhenti mengerjap melihat paras cantik dan polos yang di miliki oleh Kanaya. Wajahnya yang putih bersih, hidungnya yang mancung, bibir merah mungilnya membuat Alen teringat sosok wanita yang ia kenal."Wanita ini?" tanya batin Alen menyapu rambut Naya yang sedikit menutupi wajahnya.Sesaat, pandangan Alen beralih ke arah Roy dan kawan-kawan. Alen menghela nafas panjang melihat mereka berulah lagi di hadapannya.***Di rumah, Alen menyandarkan kepala tepat di bahu kursi putarnya. Kedua matanya terpejam seraya mengingat kembali perkataan yang keluar dari mulut Roy."Maaf, Mas Alen. Tolong serahkan wanita itu pada kami!" kata Roy dengan hati-hati.Alen tersenyum sinis. Untuk pertama kalinya, ia men
"Kenapa diam!" bentak pak Lukman dengan amarah yang memuncak."Siapa dia?""Dia adalah mas Alen, Pak!" Jawaban yang membuat pak Lukman terkejut setengah mati. Ia seakan tak percaya jika mantan anak tirinya membayar semua hutang Kanaya yang jumlahnya sangat fantastis."Alen yang membayar semuanya?" tanya Pak Lukman memastikan."Iya, Pak! Saya rasa mas Alen memiliki hubungan khusus dengan nona inzen!" tutur Roy seraya menahan sakit di tubuhnya.Pak Lukman mengernyit. Ia kembali duduk seraya berpikir sejenak mencerna perkataan yang terlontar dari mulut bodyguardnya itu."Hubungan khusus? Sejak kapan dia tertarik pada wanita?" tanya batin pak Lukman memicing menatap ke arah anak buahnya yang tertunduk.****Jari jemari tangan Kanaya tak berhenti bergerak. Kedua bola matanya tak berhenti menatap wajah cantiknya yang terpantul di kaca rias. Tak ada senyum kebahagiaan yang tersirat dari wajahnya. Hanya sebuah penyesalan mendalam y
"Ini yang terakhir kalinya aku melihatmu menangis!" ketus Alen tanpa menoleh ke arah Naya sedikitpun.Naya menghela nafas. Jari jemari tangannya mulai mengambil sapu tangan yang berada di tangan Alen.*****Meriah dan megah itulah suasana yang terjadi di keluarga besar Towsar. Acara ulang tahun pemilik perusahaan properti terbesar di kota Bandung.Dhaniel Towsar, pengusaha terkaya yang tak lain adalah kakeknya Alen towsar, ayah dari sang bunda. Kekayaanya yang melimpah dan tak akan habis tujuh turunan, membuat semua kerabat dekatnya ingin menguasai hartanya.Semua mata tertuju ke arah opa yang berdiri di depan pintu masuk rumahnya. Setelan jas hitam membuat auranya terlihat begitu wibawa."Arga, ini sudah jam 8 malam. Coba kamu bujuk opa supaya mau melangsungkan acaranya," bisik Ana, mama Arga yang merupakan kakak angkat dari Elena towsar.Arga menoleh dan bergegas menghampiri."Opa? Ini sudah jam 8 lewa
"Alen Towsar yang akan memimpinnya," ucap Opa yang membuat mereka semua terkejut mendengarnya.Termasuk Alen. Ia tak menyangka jika sang kakek memberikan jabatan itu kepadanya.Naya menoleh ke arah Alen yang terlihat biasa saja setelah mendengar kabar baik itu."Apa dia tidak suka mendapatkan semua itu?" tanya batin Naya menunduk saat Alen menoleh ke arahnya.*****Semua terdiam dan hening di ruang makan yang di hadiri seluruh keluarga towsar.Alen terdiam seraya menopangkan kedua tangan di dada. Dia sudah mengira kalo ini semua akan terjadi pada keluarga towsar."Ini semua sudah menjadi keputusan opa! Kalo kalian tidak setuju, kalian bisa angkat kaki dari keluarga ini!" ucap opa dengan tegas.Semua terdiam dan tak berani membantah. Mereka sadar diri dengan posisi di keluarga Towsar. Dan memang hanya Alen satu-satunya keturunan asli dari sang opa.Alen memicing menatap seluruh keluarganya yang terlihat tak suka dengan di
Laura terkejut, terperangah dan tak menyangka jika orang itu adalah pak Lukman, orang yang akan menikah dengan saudara tirinya."Laura ... Laura ...?" Jentikan tangan pak Lukman membuyarkan lamunan Laura."I-ya pak Lukman," jawab Laura gugup. Kedua matanya tak berhenti mengerjap menatap betapa gagahnya om lukman itu. Meskipun seumuran dengan ayahnya, tapi tetap saja daya tariknya begitu memikat hati."Ternyata ia tak setua yang aku pikirkan!" gumam batin Laura menegak salivanya dengan paksa."Apa mama kamu di rumah?" ulang Pak Lukman kembali."Ada, silahkan pak Lukman duduk dulu!" kata Laura begitu santun."Laura akan panggil mama," kata Laura pergi meninggalkan pak Lukman dan ketiga orang yang mengikuti langkah pak Lukman.Laura berlari menghampiri mamanya yang sibuk merias diri. Lantunan musik yang keras membuat mama Dina tak mendengar teriakan dari putrinya.Ceklek"Ya ampun, mama!" teriak Laura mematikan musik.
Senyum Naya memudar saat suara itu bukan suara Alen. Ia mendongak dan terkejut saat orang yang memanggil dirinya adalah orang yang seumuran dengan almarhum ayahnya.Sesaat, sudut matanya mengerut. Ia bingung dengan sikap orang itu yang terus tersenyum manis ke arahnya."Siapa dia? Kenapa dia tersenyum kepadaku? Apa dia temannya Ayah?" tanya batin Naya menebak seraya melihat orang itu dengan tajam.Hentakan kakinya mulai mendekat menghampiri Kanaya."Selamat siang, Pak Lukman!"Kanaya terbelalak kaget. Ia menoleh ke belakang. Kedua mata indahnya mengerling dan seakan tak percaya dengan apa yang terlontar dari mulut salah satu orang yang mengejar dirinya."Pak Lukman? Jadi, orang ini adalah pak Lukman?" tanya batin Naya melirik ke arah pak Lukman kembali.Perlahan, ia mulai berdiri. Kedua kakinya merapat dan berjalan mundur saat pak Lukman melangkah mendekati dirinya. Kanaya menghela nafas seraya melipa
Mas Alen, tolong jangan lakukan itu!" kata Naya memohon. Kedua matanya berbinar dan seakan tak mampu menahan air mata yang berkumpul di kelopak mata.Naya pasrah. Air matanyapun menetes mengiringi di saat matanya terpejam.Alen menghela nafas panjang. Dengan cepat ia menjauhkan diri dari tubuh Kanaya. Lagi dan lagi, ia tak bisa menatap air mata seseorang. Hatinya seakan teriris-iris melihatnya.Naya mulai membuka kedua matanya. Jantungnya berdetak begitu cepat mengimbangi tegakan salivanya dengan paksa. Ia melirik ke arah lelaki yang saat ini sangat marah kepadanya. Naya terbangun dan duduk seraya ingin meminta maaf atas kesalahan yang telah ia perbuat."Mas ...," kata Naya.Alen menoleh dengan tatapan kesal."Seharusnya aku membiarkan kamu bersama tua bangka itu!" ucapan Alen membuat Naya terperangah.Naya menggelengkan kepalanya. Rasa ketidaksetujuan mulai menghampiri dirinya."Mas ...," ucap Naya terhenti
Aroma parfum Diego juga tercium jelas olehnya. Ia mendongak dan terkejut saat dirinya juga tak sadar akan tingkahnya yang dengan mudahnya bersandar di bahu bodyguard sang kakak.Oh my God! Apa yang aku lakukan? Bisa-bisanya aku bersandar di bahu Diego? batin Rania seakan tak mampu menegak salivanya sendiri. Lentik bulu matanya tak berhenti mengerjap. Dengan perlahan, ia mengangkat kepala dan mencoba menjauh dari pelukan Diego."Hush hush, Sayang. Kamu ingin cepat pulang, ya? Yuk! Kita ke mobil duluan. Tunggu papa dan mama di sana saja, ya!" ucap Rania mencoba menenangkan bayi yang ia gendong. Sebuah trik untuk menjauh dari Diego tanpa mengeluarkan kata-kata. Diego mengernyit. Jemari tangannya menggaruk kepalanya yang tak gatal seraya menatap wanita yang telah membuat perasaannya tak karuan."Rania, tunggu!" gegas Diego mengikuti langkah Rania.Alen melepas pelukannya. Ia menyeringai seraya membelai rambut indah istrinya yang terikat."Siapa yang mengikat rambutmu?" tanya Alen menyapu
"Aku sangat merindukan kakak. Aku akan memeluk tubuh kakak yang hangat itu sebagai pengobat rinduku selama dua tahun ini!" Naya terperangah dan tak percaya mengingat kembali sebuah pesan yang membuat dirinya cemburu buta dan mengharuskan pergi dari rumah.Ya Tuhan, apa iya dia Rania yang mengirim pesan pada suamiku itu? batin Naya bertanya. Bibirnya merapat, ia seakan tak mampu menegak salivanya sendiri saat pikiran itu terus menaungi dirinya."Kamu mengenal suami saya?" tanya Naya penasaran.Rania tersenyum senang. Mungkin waktu ini sangat tepat untuk meminta maaf pada Naya dengan apa yang ia perbuat. Sebuah pesan yang seharusnya tak ia lakukan di saat Alen sudah mempunyai istri.***Ana Towsar seakan tak percaya dengan keputusan putranya itu. Meninggalkan rumah mewah yang sudah ia tempati beberapa puluh tahun lamanya."Sebenarnya apa sih yang ada di otak kamu, Ga? Bagaimana mungkin kita tinggal di rumah seperti ini? Kamu kan tau, penyakit mama akan kambuh jika hidup kekurangan seper
Alen menoleh. Alisnya bertaut saat mendengar nama Rania terlontar dari percakapan pengendara lain.Rania, apa yang mereka maksud adalah Rania adikku? batin Alen bertanya.Tanpa pikir panjang. Alen mengambil ponsel miliknya yang berada di dalam saku celana. Dua bola matanya mengerling saat membuka pesan dari Rania."Kak, sampai mana? Kak Naya membutuhkan donor darah secepatnya." Pesan singkat yang membuat Alen seakan tak mampu menegak salivanya sendiri.Ya Tuhan, apa naya dalam bahaya? Alen buru-buru memasukkan ponselnya dan segera meluncurkan motor balapnya dengan cepat saat lampu merah berganti hijau.Di tengah perjalanan, Alen menghentikan laju kendaraannya lagi. Ia mendesah sebal saat beberapa orang membuat keributan di jalan menuju arah vila.Alen membuka helm. Sudut matanya mengerut melihat para petani yang terlihat begitu melas dan lelah.Apa yang mereka lakukan pada para petani itu? batin Alen mulai melangkah. Tanpa merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, ia melangkah men
Apa iya Naya yang di maksud Rania? Mana mungkin dia akan melahirkan. Usia kandungannya kan baru tujuh bulan dan .... kata batin Alen terhenti saat melihat naya terbaring kesakitan seraya memegang perut besarnya.Naya! kata Alen seakan tak mampu menegak salivanya sendiri."Kak, cepetan ke sini!" kata Rania membuyarkan lamunan Alen."Aku akan segera ke sana!" gegas Alen mematikan ponselnya seketika.Naya menoleh saat mendengar suara yang tak asing baginya. Suara khas yang selalu membekas dalam benaknya."Hah, syukurlah! Akhirnya Kak A ...," kata Rania terhenti."Maaf, apa boleh saya pinjam ponselnya?" Naya beralih posisi untuk berbaring ke kanan. Ia mencoba untuk tersenyum meski dirinya merasakan sakit akan kontraksi yang terus melanda."Oh, tentu saja. Silahkan!" Rania melangkah menghampiri dan menyodorkan ponsel miliknya. "Terimakasih!" jawab Naya dengan cepat mengetik nomor milik Alen. Namun, jemari tangannya terhenti saat ia lupa akan nomor milik suaminya.Senyum manisnya mengemban
Saking penasarannya, ia menyentuh air tersebut. Naya terperangah dan terkejut saat meyakini air itu adalah air ketuban."Ya Tuhan, apa aku akan melahirkan sekarang?" Naya duduk seraya memegang perutnya. Ia menoleh ke arah jalan yang sama sekali sepi dari kendaraan. Dahinya mengernyit, bibirnya merapat menahan rasa sakit yang semakin menjadi.Mas Alen, bagaimana ini? Aku tak mau terjadi sesuatu pada anak kita!" ucap batin naya mengatur nafasnya secara perlahan.Naya menoleh saat mendengar suara hentakan kaki mengarah padanya. Senyumnya mengembang dan dengan sekuat tenaga mencoba bangkit untuk meminta pertolongan. Sosok wanita berambut pendek berlari ke arahnya."Kakak, Kakak baik-baik saja?" tanya Rania memegang tangan Naya yang penuh dengan keringat."Tolong saya! Tolong bawa saya ke rumah sakit sekarang!" pinta Naya menahan sakit sembari memegang perutnya.Alis Rania bertaut melihat kaki Rania mengalir sebuah air ketuban.Apa kakak ipar mau melahirkan? Bukankah Kak Alen bilang kalo
Mau kemana dia? Kenapa dia pergi begitu saja?" tanya Naya memanyunkan bibirnya.Tubuhnya lemas dan kecewa akan sikap Alen yang mengacuhkan dirinya. Kedua matanya menatap makanan yang sudah ia tata dengan rapi. "Setidaknya ia memakannya sedikit saja sebelum pergi. Tak tau apa, betapa kerasnya aku menyiapkan semua ini! Pasti dia pergi untuk menemui Rania itu," gerutu Naya mendesah sebal.Beberapa menit kemudianCeklekNaya menoleh menatap ke arah pintu tersebut. Senyum manisnya tertoreh dan berharap Alen kembali untuk makan dengannya.Dia kembali! gegas Naya beranjak dari duduknya. Namun, harapannya sirna. Naya terkejut. Ia tersenyum tipis saat melihat orang yang menjadi tempat curhat saat ia ada masalah datang menghampiri dirinya."Naya, maaf! Ibu lancang masuk ke sini. Habisnya pintunya tak teekunci," kata Bu Angel berjalan menghampiri."Tak apa, Bu. Memang pintu itu terbuka lebar untuk menyambut kedatangan Bu Angel," tutur Naya tersenyum.Bu Angel menoleh menatap beraneka mgakanan
Ya Tuhan, siapa orang itu? Kenapa dia masuk dalam villa ini? Apa yang harus aku lakukan? Mas Alen, aku takut!"Mbak Naya, jika mbak tidak mau pulang. Jangan lupa kunci semua pintu ya, Mbak. Dan jangan keluar di waktu malam hari!" Perkataan Diego yang kembali melintas dalam benaknya. Bibir Naya merapat. Jemari tangannya menggenggam erat selimut yang menutupi tubuhnya. Keringat dingin mulai keluar mengimbangi rasa takut yang menguasai dirinya.Perlahan, tangannya turun memegang perut yang terasa menggetarkan tubuhnya.Sayang, maafkan mama, ya? Tak seharusnya mama membiarkanmu ikut cemas seperti ini! gumam batin Naya menghela nafas panjang.Apa orang ini adalah orang yang akan mencelakaiku? batin Naya bertanya. Jantungnya kian berdegup kencang saat hentakan kaki terdengar mengarah padanya. Mas Alen, bagaimana ini? Apa aku benar-benar berpisah sebelum aku bertemu denganmu? Mas Alen, aku ....DegSudut mata Naya mengernyit. Ada sedikit cahaya yang menembus di antara kegelapan yang berad
"Sekarang kamu tau kan, siapa orang yang membuat istri kakak ngambek?" tanya Alen."Jadi, ini semua karena aku?" tanya Rania seakan tak percaya jika dirinya adalah penyebab kaburnya kanaya."Ya Tuhan, Kak Alen! Aku minta maaf, ya?" "Sudahlah! Kamu tak perlu merasa bersalah. Kakak akan mengatasi kesalah pahaman yang terjadi ini," tutur Alen mematikan rokoknya."Tapi, Kak. Aku merasa bersalah banget membuat kakak ipar salah paham gegara pesanku itu." Bibir Rania memanyun. Raut wajahnya yang biasanya selalu ceria mendadak suram akan masalah yang terjadi.Alen menghela nafas panjang. Tangannya dengan lembut mengusap rambut pirang yang dimiliki Rania. "Percayalah! Kakak akan menyelesaikan ini semua dengan cepat. Kakak juga tak sabar memperkenalkan kamu dengan dia. Memperkenalkan adikku yang belum dia ketahui," ujar Alen mencoba menenangkan hati Rania.Drt ... Drt. ...Diego calling ...Tanpa banyak buang waktu, Alen mengangkat telepon dari bodyguard tersebut. Berharap apa yang ia rencanak
Alen mengeryit dan terbelalak kaget saat melihat chat dari Diego."Mas, Mbak Naya keluar dari rumah!"Pesan dari Diego yang membuat Alen terkejut setengah mati. Spontan, Alen menghubungi Diego. Jari jemari tangannya meraih jas yang ia letakkan di bahu kursi putarnya."Diego, kamu di mana?" tanya Alen begitu panik. Suaranya yang lantang membuat Rania terbangun dari tidurnya. Mata yang masih sayu menoleh menatap Alen yang terlihat begitu panik. "Apa yang terjadi, Kak?" tanya Rania menghampiri Alen."Rania, Kakak harus pulang sekarang. Istri kakak keluar dari rumah," gegas Alen pergi meninggalkan Rania seorang diri."Keluar dari rumah?" tanya Rania mengernyitkan keningnya. Jari jemari tangannya mulai menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal."Apa emang begitu ya, kalo hidup berumah tangga?"Di mobil, Naya terdiam seribu bahasa. Dua bola matanya tak berhenti menatap ke arah jendela mobil yang memperlihatkan pemandangan indah di sepanjang perjalanan.Bisa-bisanya mas Alen bermain di bel