Arini berkali-kali menatap lamat dari kejauhan lelahnya mata Burhan. Kasihan. Ternyata jiwa childish bisa menghinggapi siapa saja. Apalagi menyangkut kehilangan seorang ibu.
Untuk pertama kali, Arini tidak menyukai Meli. Mendengar kata tandatangan membuat lidah Arini menahan mengeluarkan kalimat hujatan, apalagi pertanyaan. Kesepakatan apa antara Dena dan Meli. Apakah mengenai Arini?
Menangis di depan jenazah Dena. Beribu puzzle berada di kepala Arini. Ia bingung dengan semua. Banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada Dena. Tapi, yang tertinggal hanya seonggok badan tanpa nyawa.
Diabetes Melitus telah merongrong tanpa memberi celah untuk sehat. Sejatinya takdir ajal, hak veto Tuhan.
"Jangan berpisah dari Burhan." Nasehat serupa perintah yang menjadi satu alasan betapa Arini bangga merasa dihargai. Selama ini ia memang dimanja oleh Meli, namun, Arini sangat merasa memiliki keluarga di tengah Berlian, Intan dan Menik yang lucu/
"Ibu ti
"Arini aku ingin bicara?" Mira menghampiri Arini yang baru saja tiba berdua dengan Burhan ke kediaman mereka."Bicaralah! Di sini saja." Arini menahan kakinya di teras rumah. Burhan menatap Arini meminta pendapat tanpa mengeluarkan suara. Arini paham, ia menganggukkan kepala pertanda menyuruh Burhan masuk saja."Apa kau mengharamkan aku masuk ke rumahmu?" tanya Mira hati-hati karena penasaran. Mengapa Arini menyuruhnya di teras. Mira sangat tahu Arini bukan wanita pendendam."Kau bukan najis, bukan pula salah satu binatang yang harus diharamkan. Untuk apa aku melarang," jawab Arini lugas dan pedas. Mira justru tersenyum menanggapi."Arini, aku ke sini ingin meminta maaf padamu. Demi Allah. Aku janji, setelah melahirkan tidak akan pernah menemui Ilham lagi. Aku akan pulang ke kampung halaman. Percayalah! Ilham sebenarnya lelaki yang baik. Akulah yang jahat." Mira menyeka sudut matanya, tampak lingkaran hitam, sedikit bengkak pada kelopak bawah, kode bahwa ia kerap begadang, atau menan
"Lari pagi? sendiri?" Lelaki itu menyodorkan botol minuman cantik berwarna pink."Berdua," jawab perempuan yang tengah mengelap bulir keringat yang jatuh dari dahinya.Semenjak Morela menyarankan olahraga, ia sering berolahraga pagi walau hanya sekadar berjalan tanpa tujuan, menatap rumput yang menghijau. Di sebelah Utara perumahan mereka ada lapangan golf. Hamparan hijau itu mampu mengubah rasa sakit yang setiap detik ia olah untuk dinikmati. Berangsur lukanya memupus.Juga berangsur dalam dirinya lahir penerimaan yang positif. Hatinya mulai menerima takdir. Pedih dikhianati, mulai terobati. Perih yang merongrong--pudar sedikit demi sedikit, hingga hampir kandas, rasanya tak lagi sakit. Sebab terbiasa disakiti, menjadikan seseorang tak akan berharap dari orang yang menyakiti. Luka itu sudah mulai mengering. Entah sebab apa. Apakah perban pembebatnya memakai anti biotik kelas atas. Atau, cintanya pada sang pencipta mulai kembali berbunga-bunga. Arini kini mulai berhijab. Meski tidak
"Arini ... Arini ... ini Paman!" Lian menggedor pintu, menekan bel berulang-ulang. Tidak ada suara apapun. Lian berencana mendobrak pintu.Satu ... dua ... tiga. "Ayok serentak, Umar. Kita hitung sampai tiga, belum ada jawaban dari dalam!" perintah Lian Tiga, dua, satu. Brak Pintu depan terbuka akibat tendangan Lian dan Umar. Sepi. Lian tergesa masuk ke dalam, di susul kecemasan wajah Asti, Umar yang jantungnya sudah tak karuan. Kikik ... kikik. Kakakak. Suara orang tertawa terpingkal-pingkal. Saling bersusulan. Lian, Umar dan Asti. Kini, kaki mereka bagai diberi perekat. Di areal halaman belakang, duduk lesehan di tanah. Burhan dan Arini sedang tertawa bersama. Tawa yang menghilangkan kesadaran suara-suara sekitarnya. Arini siap-siap mengoles lipstik ke wajah Burhan. Sedangkan Burhan mengelak sambil menutupi wajahnya. Keduanya bercengkrama bahagia. "Kau curang, Burhan. Waktu aku kalah, rela ni wajah penuh lipstik. Sekarang giliranmu kalah. Gak aci gitu ... ih .... "
"Persetan dengan Rusdi. Mengapa kau diam dan tidak mengatakan padaku bahwa istri Ilham itu cucu dari Rusdi. Kalian semua bodoh!""Jadi bagaimana ini, Pi. Ilham saat ini sudah berada di Mekkah. Hanya dia satu-satunya yang bisa kita andalkan untuk bicara pada Arini."Jansen mengetuk-ngetuk meja. Terbayang slideshow sungkeman Milyaran hanya untuk membuat Rusdi stres lalu meninggal tanpa dibunuh.Pabrik mereka berdiri tanpa hambatan apapun. Bahkan bebas membuang limbah di mana saja. Tidak memikirkan lingkungan yang penting harta dan tahta."Kau bodoh Rian. Gosip tentangmu telah menghancurkan semua reputasi perusahaan. Ini semua berawal dari kau!" bentak Jansen pada anak bungsunya.Rian bingung. Ia sama sekali tidak mengerti mengapa tiba-tiba isi tentang penyimpangan orientasinya menyebar bagai angin beliung mengarah tak tentu.Padahal ia tidak melakukan itu. Hampir semua media mendadak kejatuhan jackpot, seolah berita itu adalah mesin pendulang uang buat mereka."Apa skema yang mereka lak
"Mau ke mana? Tumben kamu wangi, pakai stelan jas pula. Emang ada pertemuan MLM alias multi level marketing." Tawa Arini mengejek Burhan yang tumben memakai jas stelan dan Arini tahu harga pakaian model yang dipilih Burhan bukan kaleng-kaleng. Limited Edition. Hadiah siapa itu? Ah, apa salahnya Burhan sesekali bergaya. Arini mengulum senyum. Pesta Sarjananya akan digelar esok. "Ayo makan!" Burhan tidak menggubris celotehan Arini. Setelah mengajari cara memasak nasi goreng petai campur iga kambing. Mereka berdua duduk berhadapan di meja makan. "Gaya kamu kayak lagi mau ketemu klien penting gitu." Arini masih mengganggu. Terbiasa dengan stelan sederhana Burhan. Arini merasa perlu berbicara lebih banyak melihat penampilan baru suaminya itu. "Ya, enggak lah. Ini cuma pertemuan dengan sahabat lama." "Umar?" "Lah, kemarin udah ketemu Umar. Masa teman si Burhan cuma Umar doank." Burhan mengambil piring. Mengisi lebih dulu piring Arini. Membiarkan pikiran Arini melanglang buana menc
Senyumnya seketika mengembang."Maksud ibu istri saya?""Jangan sok kamu Burhan. Saya dengan ibumu itu akrab. Kamu memang anak tidak tahu terimakasih. Kalau bukan karena keluarga kami, kamu pikir siapa kamu?"Meli Imeldana berang, berdiri lalu menunjuk muka Burhan."Silakan duduk, Bu! Minum dulu. Tidak baik bagi kesehatan marah-marah seperti ini."Burhan dengan tulus menyodorkan minuman. Meli masih melotot marah."Kembalikan Arini. Saya tidak izin kamu tidak menceraikannya!"Burhan mengetuk-ngetuk meja. Melirik sekilas wanita yang meluapkan emosi itu."Apakah ibu menyayangi Arini?""Tentu saja, aku mencintainya lebih dari diriku sendiri, apalagi putraku. Ibumu sudah berjanji akan ikut andil mengembalikan Arini. Tapi, Tuhan mengambilnya lebih dulu."Burhan manggut-manggut terpikir cara Bu Dena yang tidak kaget saat Arini dibawa ke rumah sakit. Pantas. Ternyata ibunya lebih dulu mengetahui perihal itu."Hari ini saya ingin ibu menjenguk Arini, sudah beberapa minggu tidak bertemu, kan?"
"Dok. Tolong anak saya!" Tangis Arini pecah di ruang IGD.Moris mondar mandir merasa bersalah. Mengepal dua tangannya, merunduk bingung. Rasanya selama ini sangat telaten menjaga Satya. Entah mengapa kali ini sedikit teledor."Kamu kenapa ceroboh sekali Moris?" pelotot Meli. Geram."Ta-tadinya kami sudah mau masuk rumah, ba-baru liat mendung saya sudah suruh Satya berhenti. Tapi, Satya baru saja pandai mendayung sepedanya, meskipun masih pakai bantuan, saya bangga Satya bisa naik sepeda, dia terlihat bahagia saya gak tega melarang."Moris gugup, terbata-bata menyampaikan alasan. Sebenarnya yang dikatan Moris benar. Ia sudah menyuruh Satya untuk masuk, bocah itu baru mahir mendayung, ketagihan untuk meluncurkan roda sepeda."Jadi kalo sudah begini kamu tega melihatnya?" bentak Meli lagi. Moris menunduk pilu, padahal ia adalah wanita yang justru Meli bawa untuk menjaga Satya. Untuk itu Meki merasa bisa marah besar. Karena Moris telah abai pada tanggungjawab. Belum lagi setiap ditanya t
Perihal wanita yang bersama Ilham. Meskipun tidak dicintai, Mira Aruna, nekad ke rumah sakit untuk menjenguk Arini.Selain ia sendiri harus cek kontrol, sekalian berkunjung rasanya tidak masalah,tapi, Mira terngiang kalimat pertemuannya dengan Rian di depan rumah sendiri. Saat kaki Mira baru saja melangkah. Rian berdiri dengan arogan di depan pagar rumah Ilham."Hei, Gundik! Bagaimana nikmatnya hidupmu masuk ke keluargaku," ucapan tajam itu tidak lagi mengiris hati Mira. Ia sudah kebal."Kau mau apa Rian?""Kau tau bocah kecil di rumah sakit yang kini menjadi kelemahan Arini, aku yakin itu bayi kita, sayang. Bagaimana? Apa kau ingin bersua sebagai ibu yang tidak bertanggungjawab?""Apa?" Mata Mira terbelalak kaget. Benarkah yang diucapkan Rian. Anak yang selama ini diasuh oleh Arini adalah anak mereka.Artinya kurun waktu dia menjadi budak Rian ternyata anak itu tidak ada pada Rian, ia hanya sapi peras, kambing congek yang mau diperalat oleh Rian. Andai Mira tau di mana bayinya, tent