"Udah, kak. Ikhlaskan Kak Lusi. Dia udah tenang di sana, sekarang giliran kita untuk melanjutkan hidup yang tersisa." Kuremas bahu lebarnya, berusaha memberi kekuatan di tengah cobaan yang menerpa meski kata tak semudah tindakan tapi saat ini hanya itu yang bisa kulakukan.Kak Andre menoleh, dia seka kasar air mata yang tersisa, lalu tiba-tiba memeluk kami berdua.Aku cukup terkejut dengan tindakannya, apalagi saat melihat Bu Nita yang berada diantara kita berdua. Namun, kucoba memahami situasi, tak ada yang bisa kulakukan selain balas memeluknya.Kehangatan itu masih terasa, debar yang ditimbulkan juga tetap tak biasa. Bertahun-tahun memendamnya, ternyata perasaan itu masih belum sirna, meski dia sempat telah dimiliki perempuan lainnya."Terimakasih atas semuanya Alara."***"Alara, oi, sini!" Seseorang memanggil saat aku tengah meracik kopi. Dia teman seprofesi. Namanya Nova."Apaan sih?" Kuhampiri dia yang tengah mengambil gelas di meja bekas tamu-tamu. "Ada yang nyariin lo, anjir
Kuremas pakaian di bagian dada. Apa maksudnya? Dia pikir aku barang?"Oke, langsung bawa dia ke kamar, klien kita sudah nunggu." Ucapnya tegas.Kedua lelaki bertubuh tinggi besar berdiri di kedua sisiku mencengkram lengan lalu mengangkatku. Menarikku menuju salah satu kamar aku ternyata tempat laknat di mana berbagai manusia pendosa berkumpul dalam satu tempat yang sama. "Kak, tolong, Kak Andre!" Teriakku."Lepasin Aku, Kak!""Kita bisa berjuang sama-sama, bukan gini caranya!" Suara teriakkan dan tangisku nyaris teredam musik yang berdentum keras.Kulihat dia tampak tak peduli, dan menghitung uang yang diberikan wanita gemuk itu. Tepat sebelum dua pria bertubuh besar itu membawa tubuhku sampai keambang pintu, Kak Andra Tiba-tiba mengejarku. Lekat dia menatapku, lalu sejenak memeluk. Saat kupikir dia berubah, yang terjadi setelahnya justru di luar dugaan."Mulai hari ini, kamu bukan istri saya lagi. Kita berpisah Alara." Ucapnya kejam.***Penyesalan terbesarku adalah mengenal soso
"Mau ke luar?"tanyanya."Apanya yang keluar?" Arga memejamkan mata sejenak."Jalan-jalan, menenagkan diri," terangnya."Healing?" Tambahku.Dia mengangguk lagi."Boleh, kalau bisa nggak boleh pulang malam ini." ***Aku tak menyaka dari sekian tempat, Arga justru membawakubke pantai, menuju wisata kawasan wisata in."Lepas sendalnya," Titah Arga saat kami menginjakkan kaki di pasir. Menikmati sunset di atas pantai, campuran warna jingga, merah dan kelabu yang alam lukis dilangit sangat sedap di pandang mata. Menenagkan hati dan pikiran yang sebelumnya kacau dan berantakan."Ke sebelah sana!" Aku tertegun saata melihat Arga menautkan tangannya. Etat dia genggam tanganku, lalu menuntun pasir pantai. Membiarkan kaki telanjang kami disapu air.Tak banyak kata yang keluar dari mulutnya, hanya sesekali dia menimpali ucapanku, bahkan perdebatan bisa dibilang keterlaluan. Hanya hela napas, dan pejaman mata yang sering kali dia lakukan untuk meredam kekesalan.Dalam sisa ter-egois aku benar-
Setatus sebagai orang kaya, dia bisa dengan mudah diterima.Langit tak perlu menjelaskan bahwa dirinya tinggi. Tanah tak pernah tersinggung. Meski diinjak berkali-kali.Begitu pun aku yang lebih memilih dibenci, daripada dinilai bodoh karena masih mengedapkan nurani, di hadapan orang-orang tak tahu diri."Percayalah kamu nggak sendiri." Genggaman tangan kurasa erat mencengkram jemari. Tiap urat yang timbul di permukaan tangan besar Arga. Semakin menguatkan tekadku untuk berhenti mengelilingi pusara masa lalu seolah tak pernah memihakku.***"Mau lihat jenis kelaminnya?" Dokter Antoni memutar-mutar alat khusus di perutku yang terbuka.Aku dan Arga sama-sama menatap layar besar yang tergantung di ruang pemeriksaan. Ada rasa haru yang sulit di gambarkan. Ada rasa haru yang sulit digambarkan saat melihat janin itu tumbuh dan berkembang sehat dalam kandungan. "Nggak perlu , Dok. Laki-laki atau perempuan kita kita serahkan akhirnya pada tuhan " aku tersenyum saat mendengar jawaban sama
***"Mbak, kenapa nggak ikut ke rumah utama?" Nila beridiri di sampingku yang tengah menyiram bunga."Katanya nggak enak badan, tapi malah nyiram tanaman. Bukannya istirahat aja di dalem, nanti biar saya pijitin." Tangannya melingkar di sebelah lenganku yang bebas.Sebagai sesama perempuan, Nila jelas tahu kenapa aku beralasan tak enak badan agar tak ikut serta menjenguk Naya. Karena menjadikan kondisi kesehatan sebagai alibi untuk menutupi perasaan, adalah tindakan yang tak jarang 'kami' lakukan.Dengan situasi dan posisi sekarang, Aku hanya takut tak bisa menahan gejolak perasaan ketika melihat lelaki itu memeluk dan mencumbu mesra wanita yang hampir dua tahun dia nantikan dengan penuh harapan.Perasaan yang sebenarnya tak pantas kurasakan, perasaan yang seharusnya tak pernah datang. Dengan atau tanpa sadar."Cuma sedikit puasing sama sedikit mual aja, kok, Nel. Nggak separah harus rebahan seharian." Aku tersenyum kecil. Salah satu upaya yang bisa dilakukan agar dia mengerti bahwa se
"Nggak, nggak bisa. Gue tahu muka lu itu, hampir nggak pernah jerawatan. Fix, sih. Butuh healing ini."Aku memutar kursi, lalu menatapnya dengan kenyitan dahi. "Apa hubungannya healing sam jerawat?""Oh, c'mon Alara. Jerawat juga bisa timbul karena stres. Saat diri dilanda stres, tubuh akan menghasilkan lebih banyak endrogen yang juga merangsang klenjar minyak dan kantong rambut di kulit. Akubatnya, jerawat pun muncul. Jadi, intinya lu butuh refreshing, hiburan, beibeh.""Dih, gaya ngomong lo jadi mi_" "Sudah selesai semuanya?" Deg!Apa-apaan ini? Sejak kapan Arga pulang? Dan bagaimana dia bisa tak terkejut dengan Kehadiran Roy di sini? "Roy!" Aku menatap tajam lelaki berambut pirang yang berdiri dihadapan."Sorry, gue nggak bisa nolak saat si ganteng tiba-tiba ngirim tiket, terus minta gue buat temenin lu liburan ke pulau penawar rindu."Aku menghela napas panjang. Sudah kuduga ada yang tak beres dengan kedatangannya secara tiba-tiba.Namun, idenya tak buruk juga. Sepertinya ak
Setelah kembali ke tempat penginapan aku dan Arga, Nila dan Roy. Kemudian melanjutkan untuk pergi ke pantai karena tujuan kita semua liburan untuk mencari suasana yang nyaman. Ku lihat Arga nampaknya bahagia, apalagi ketika dia selalu menggandeng tanganku disepanjang jalan, dengan rasa khawatirnya mungkin tidak ingin aku kenapa-kenapa."Udah siap?" Tanyanya di ambang pintu."Udah," jawabku rendah."Ayo," ajaknya dengan meyodorkan sebelah tangannya.Aku menatapnya sejenak. Aku mulai berpikir apakah semua ini akan terus seperti ini aoakah ini akan menjadi kenangan terakie bagiku dengannya."Kenapa malah bengon!" Sahutnya membuatku sedikit kaget."Oh, iya, maap. Tapi aku bisa jalan sendiri kok." Ujarku sembari berdiri dari tempat dudukku."Aku tidak ingin kamu merasa cape, apalagi sampai kamu sakit, karena saat ini aku harus bisa menjaga dua orang sekaligus, yaitu kamu dan bayi yang ada di kandunganmu." Ucapnya sembari mengusap perutku lembut."Dua! Bukannya tiga yah?" Cetusku membuat A
"Iya, aku sendiri aja di rumah. Lagian aku sudah bisa bangun sdikit demi sedikit juga, kok."Nggak, aku tidak akan membiarkan kamu seorang diri. Aku udah chat Mama suruh ke sini. Sebentar lagi pasti datang." Katanya.Tak lama kemudian Mama pun datang dengan kehenoannya dan bener saja Mama selalu membawakan makanan kesukaan aku. "Berangkat saja Arga, lagian Mama udah datang sekarang." Ucap Riska di ambang pintu.Arga dan Alara menoleh ke arah Bu Riska."Mama!" Sontak keduanya menoleh."Tuh, mama datang, kan? Aku pamit yah? Besok aku pasti libur lago kok?l." Pamit Arga kemudian keluar dari kamarnya.Aku yakin Arga sudah merasa nyaman bersama Alara. Karena seiring berjalannya waktu bersama mereka pasti saling menaruh hati."Kamu kenapa?" Tanya Bu Riska."Oh, iya, Mah. Aku tidak apa-apa," lamunanku terlonjak saat Mama memanggilku."Udah, jangan berpikir negatif. Kamu fokus dengan kesehatan kamu ini, Wanita murahan itu akn segera pergi dari hidup Arga dengan waktu yang sebentar lagi." Usi