"Sebenarnya saya lebih suka main tarik-menarikan Lingerie." "Uhuk, ohok, huek!" Batuk Arga semakin parah saja, dia bahkan lari sampai ke wastafel terdekat."Lah, batuk, pak haji?" Cibirku."Diam, Alara," sentak Arga.Aku terkekeh geli saat saat mendengar Arga saat meneriakiku.***Tak terasa hari yang di nanti Nila akhirnya tiba juga. Dimna hari yang selama ini di nantikan yaitu pulang kampung. Dan cuti untuk sementara waktu. Membawa oleh-oleh yang sejak sipersiapkan jauh-jauh hari."Ingat pesan-pesan saya, ya, Mbak. Untuk menjadi istri yang berbakti h- hmmpt." Kujepit mulut Nila dengan jari."Iya, iya, sana pergi. Nila menenepis tanganku dengan bibir mengerucut lima senti."Jadi, ngusir? Ya udah, deh. Pamit, ya, Pak, Mbak. Ucap Nila sembari menyalami tangan Alara dan Arga."Ya, hati-hati," sahut Arga sembari membantu memasukkan tas Nila kedalam taksi.Lambaian tangan kami mengiringi kepergian Nila. Setelahnya kutatap Arga senyum dengan penuh arti."Berhenti menatap saya dengan eks
"Satu jam berapa, Neng?" Seorang pria dewasa mendekat padaku."Enam puluh menit?" Aku pura-pura tak paham."Maksud saya tarif kamu!" Pria itu nampak kesal.Aku menyunggingkan senyuman mengejek. "Oh, mohon maaf, Pak. Mungkin anda tidak akan mampu.""Cih! Jual mahal!""Kalau mau jual murah Bapak pake aja ayam, seekor cuman empat puluh ribuan di pasar.""Sialan!"Prang!Suara makian diiringi gelas yang pecah di hadapan, menandakan emosi pria tua maju ke depan. Emosinya semakin meluap ke level paling tinggi."Kalau gitu bersihin sepatu saya! Kalau kamu ngak jual diri, berarti ngebabu di sini!" cibirnya padaku."Emang iya, tapi saya bukan ngebabu buat situ." Kuinjak kaki lelaki tak tahu diri itu, kemudian berlalu pergi.Ternyata benar apa yng dikatakan salah satu novel karya khalid hussaeini yang berjudul A thaousand splendid suns, "Seperti jarum kompas yang selalu menunjuk ke arah utara seperti itu pula telunjuk lelaki Yang terus menunjuk wanitaHanya karena terlahir sebagai seorang pemim
"Alara sayang," panggil Tante Alesha.Sampai sesaat Tante Alesha datang menghampiri sembari mengibas kipas andalannya."Ya, Tan." Aku memutar kursi menghadapnya."Ternyata apa yang Roy bilang benar," ucapnya singkat.Aku mengerutkan kening??"Tentang cowok yang memperhatikan kamu seminggu ini?" Ucap Tante Alesha tanpa basa-basi.Aku Terdiam kaget!"Dia berani bayar lebih mahal budget yang kita tentukan." Rayunya.Aku dan Roy berpandangan??"Dandan yang cantik yah, sayang. Dia nunggu kamu di hotel Mawar lantai sepuluh!" Ucapnya jelas.***Puncak dari segala kegilaan ini adalah ketika aku harus dihadapkan dengan sesuatu yang kubenci berhadapan dengan lelaki yang mampu membeli bukan hanya kemewahan tapi juga harga diri.Sekali lagi aku bertekuk lutut dihadapan lelaki, rela melebarkan kaki hanya agar rekeningku penuh terisi.Membiarkan orang asing menyentuh tubuh ini tanpa permisi, merias diri dari ujung kepala sampai kaki, tak peduli meski remuk-redam di dalam hati.Kutanggalkan mantel
Aku melerai pelukan, menatap mata Roy dengan tajam."Satu-satunya penyesalan gue adalah pernikahan, Roy. Seandainya gue nggak menggantungkan harapan kepada seorang pecundang, setidaknya masa depan gue masih bisa diselamatkan." Penyesalanku.Alara Adelista adalah nama yang orangtuaku berikan, dan membuangku di panti asuhan dibandingkan yang lain. Aku di buang hanya sepekan dilahirkan. Di tempat penampungan anak terlantar aku tumbuh besar dan mengenal dunia yang terbatas. Pendidikan hanya berhenti sampai SMP. Karen pihak panti mengalami keterbatasan biaya, padahal aku tahu ada oknum yang korup dan memutar dana yang dikirim pemilik yayasan atau para penyumbang.Tak perlu kujelaskan bagaimana ku lewati hari-hari ditempat penampungan dengan oknum yang mata hatinya dibutakan dunia.Hingga di titik terendah. Kehidupan saat aku menerima uluran tangan dari lelaki yang menjanjikan kehidupan layak setelah pernikahan akan tetapi nyatanya, setahun setelah dia menciptakan indahnya cinta dan kehid
"Silahkan tanda tangan di sini!" Katanya.Aku tertegun saat melihat pria berusia tiga puluh dua tahun itu menyodorkan dokumen bersampul jingga.Sebuah kontrak kerja sama yang akan mengikat kita dalam sebuah kesepakatan tertulis.Saat ini aku dan Arga sudah berada di sebuah kafe untuk membicarakan tentang penawaran tempo hari."Saya tak ingin ada rahasia jadi orangtua saya maupun orangtua istri saya juga akan mengetahui tentang kesepakatan ini. Dalam setahun kita bukan hanya terikat sebagai rekan kerja, tapi juga suami istri." Jelasnya.Dahiku mengernyit dibuatnya."Jadi akan ada pernikahan nantinya?" Potongku begitu saja.Lelaki berjambang tipis itu mengangguk pelan."Hanya setatus tak ada kewajiban untuk menjalankan rumah tangga sebagai suami istri pada umumnya. Papa dan Mama adalah orang yang cukup paham mereka ingin setatus dan nasab cucunya jelas di mata hukum dan agama. Meskipun keluarga istri saya sempat menentang, mereka akhirnya bersedia setelah saya beritahu bahwa kesepaka
"Memang begitu prosudernya, Bu. Kami harus memeriksa kondisi rahim secara menyeluruh sebelum melakukan tindakan selanjutnya." Ucapnya lembut.Dia sangat ramah menanggapi. Aku bahkan dibuat heran melihatnya untuk orang yang lama di luar negri tetapi sangat pasih berbahasa Indonesia."Sudah turuti saja," sahut Arga dengan entengnya."Turutu, turuti, palamu! Walaupun hobi ngangkang, tapi sedikit banyaknya aku juga masih punya rasa malu," ujarku sedikit kesal.Dokter Antoni terkekeh geli."Tidak apa-apa, Bu. Ini hal biasa bagi saya rileks saja!" Katanya dengan tenang.Akhirnya aku merebahkan diri, gugup sendiri, saat Dokter Antoni mulai memeriksa entah di mana harus kusimpan muka beserta semua rasa malunya saat dia mengobok-obok dalamanku."Aw, apa itu, Dok?" Reflek aku terlonjak."Cuma alat, Bu!" Dia mengacungkan alat menyerupai catok Roll Rambut tersebut." Katanya yakin."Oh, tolong pelan-pelan, dong, dok. Jangan asal sodok!" Ucapku merasa kesal."Alara!" Arga yang sejak tadi duduk
Tok! Tok! Tok!."Mbak. Mbak Alara!" Suara ketukan diiringi panggilan dari arah pintu menyentak lamunanku, sejak pindah ke sinii aku memang sudah tidur dan sering terbangun lebih pagi. Padahal sebelumnya aku nyaris tak pernah menyentuh matahari pagi, karena aktivitas padat yang dilakukan di malam hari."Bentar!" kutendang selimut sampai teronggok di lantai kemudian berjalan menghampiri pintu yang masih saja diketuk tak sabar.Ceklek!" suara pintu saat Aku buka pelan."Ada apa? Ini masih pagi!" Sentakku pada asisten pribadi yang sengaja disewa untuk membantuku selama setahun kedepan."Bapak udah nunggu di depan, Mbk. Katanya kalian berangkat ke Singapura hari ini." Katanya cepat."Dih, bukannya jadwal surrogasi masih seminggu lagi?" Gadis seumuranku itu hanya bisa mengedikkan bahu. "Kalau itu saya kurang tahu, Mbak." Ucapnya pelan."Arrghh. Yaudahlah," akhirnya akhirnya aku hanya bisa menghentakkan kaki dan beranjak menuju kamar mandi."Mbak." Panggilnya.Masih ku dengar suara N
"Alara." Suara Arga terdengar rendah tanda memeringati. Namun aku tak peduli."Begini Bu Alara, Pak Arga ini sedikit kesulitan ejakulasi bila yanpa sang istri. Beliau juga nyaris tak pernah masturbasi." Jelas Dokter Antoni."Serius? Beneran ada lelaki yang tak pernah col_" "Alara!!!" Suara Arga semakin meninggi."Sulit dimengerti, tapi kenyataannya memang begini," tutur Dokter Antoni.Aku tersenyum penuh arti, lalu menatap Arga yang berdiri kaku diambang pintu."Saya tahu pikiran kamu, Alara!" Sentaknua panik."Udah nggak usah malu-malu. Aku tahu kamu butuh bantuanku." Kemudian aku turun dari brankar pemeriksaan, lalu berjaan menghampiri." Tidak, saya bisa sendiri!" Ucapku.Dia lalu dengan wajah bersemu, sementara aku tertawa ditemani Dokter Antoni.Seeninggal Arga, aku memperhatikan Dokter Antoni yang tengah mengotak-atik komputernya. Tatapanku tertuju pada beberapa formulir yang terdapat di meja kerjanya. Beberapa sampulnya bertuliskan Suragate mother dan invitro Fertilization.
"Sebenarnya saya lebih suka main tarik-menarikan Lingerie." "Uhuk, ohok, huek!" Batuk Arga semakin parah saja, dia bahkan lari sampai ke wastafel terdekat."Lah, batuk, pak haji?" Cibirku."Diam, Alara," sentak Arga.Aku terkekeh geli saat saat mendengar Arga saat meneriakiku.***Tak terasa hari yang di nanti Nila akhirnya tiba juga. Dimna hari yang selama ini di nantikan yaitu pulang kampung. Dan cuti untuk sementara waktu. Membawa oleh-oleh yang sejak sipersiapkan jauh-jauh hari."Ingat pesan-pesan saya, ya, Mbak. Untuk menjadi istri yang berbakti h- hmmpt." Kujepit mulut Nila dengan jari."Iya, iya, sana pergi. Nila menenepis tanganku dengan bibir mengerucut lima senti."Jadi, ngusir? Ya udah, deh. Pamit, ya, Pak, Mbak. Ucap Nila sembari menyalami tangan Alara dan Arga."Ya, hati-hati," sahut Arga sembari membantu memasukkan tas Nila kedalam taksi.Lambaian tangan kami mengiringi kepergian Nila. Setelahnya kutatap Arga senyum dengan penuh arti."Berhenti menatap saya dengan eks
"Bu Amelia?" Tanyaku hati-hati.Dia menatapku lama, sebelum tersenyum dan mengangguk mengiyakan."Ada paket nyasar tadi." Aku menyodorkan kotak paket yang di bawa."Oh, iya. Makasih banyak." Dia tersenyum sumringah sembari mengambil alih paketnya."Sama-sama. Sekalian kenalin, saya Alara. Baru pindah sebulan lalu." Kuulurkan tangan setelahnya.Dia menyambut uluran tanganku setelah meletakkan paketnya di bawah. Tampak sopan dan ramah sekali.Kami bejabat tangan. Menatap langsung kedalaman masing-masing."Saya Amelia. Lain kali mampir, ya. kebetulan kami cuma tinggal berdu sama suami. Itupun beliau pulan tiap enam bulan sekali." Ucapnya lembut."Loh, emang suaminya kerja apa, Bu? Maaf kalau saya lancang." Tanyaku."Suami saya pelaut, Mbak. Nahkoda kapal." Jawabnya dengan senyum kecilnya."Wah, pantesan. Siap-siap. Saya nanti sering mampir. Kalau begitu saya pamit dulu, yah." Pamitku padanya."Iya, iya, Mbak. Sekali lagi terimakasih, ya. Aneh memang, paket saya sering banget nyasar." Kat
Sejenak Naya diam memikirkan ucapan dari ibunya tersebut, memang Ibu Riska. Sangat sinis sikapnya, apalagi terhadap Alara. Rasa benci terhadap Ibunya Alara membuat Bu Riska sampai saat ini tak bisa melupakan masa lalunya tersebut."Dulu Ibu sangat membenci Ibunya Alara ketika Ibu ada di posisi kamu saat ini, ketika Ayahmu menemui wanita itu perasaan Ibu tak bisa tertahankan rasa sakit yang harus di lalui setiap hari karena perlakuan Ayahmu dengan wanita jalang itu. Oleh sebab itu Ibu selalu khawatir dengan keadaan kamu saat ini, dan Ibu selalu menegaskan kepada kamu agar sikap kamu bisa tergas terhadap Arga dan Alara. Jangan sampai wanita jalang itu menguasai Arga seutuhnya." Ucap Bu Riska dengan penuh kebenciannya."Bu. Aku tidak tahu kalau semua akan berlanjut seperti ini, ku kira Mas Arga akan meninggalkan Alara setela Alea lahir. Tapi ternyata hubungan mereka masih berlanjut sampai sekarang ini, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa karena aku tidak ingin kehilangan Mas Arga." Lirih
Saat ku buka mata ternyata matahari sudah bersinar terang, tak terasa karena sepanjang malam kami lewati bersama dengan melepas kerinduan dengan kemesraan. Aku segera bangkit dari tempat tidurku kemudian membersihkan diri setelah selesai mandi saat ku sisie dan rambutku Arga terbangun. "Pagi sayang." Ucapnya memelukku dari arah barlakang saat aku menyisir rambutku di depan kaca rias. "Hemm!! Ternyata bangun juga juragan!" Ledekku. "Gimana semalam apakah kamu merasa puas!" Bisiknya di belakang telingaku."Apaan, sih!" Aku mencubit pipinya dengan berbalik badan ke arahnya."Maafkan aku, aku membuat kamu bahagia itu hanya sesekali saja, bahkan aku selalu tidak ada mungkin di saat kamu butuhkan." Ucapnya mengusap rambutku yang masih basah. "Iya, kadang aku selalu berpikir, kok gini banget hidup aku yang harus berbagi suami dengan wanita lain." Aku menundukan kepalaku. "Suatu saat nanti aku pasti milikmu seutuhnya, dan kita akan bersama-sama di setiap malam yang berganti." Arga memelu
"Aku datang ke sini izin sama Naya, kok. Dia izinin aku untuk nemuin kamu." Ucapnya."Iya, aku tahu, Naya akan selalu mengiyakan tapi apakah kamu tahu dalam hatinya bagaimana? Dan apakah ikhlas itu benar-benar ada di hati Naya!" Aku bertanya membuatnya terdiam."Sebaiknya kamu segera lepaskan saja aku, Ga." Lanjutku membuatnya menatapku serius. "Apa yang kamu katakan ini?" Tanyanya. "Iya, aku serius. Sebaiknya kamu lepaskan aku, karena aku tahu kamu tidak mungkin lepaskan Naya!" Jawabku diulang. "Aku nggak mungkin lepaskan kamu, karena aku cinta sama kamu!" Sahutnya."Cinta apa? Yang membuat aku terus merasa bersalah! Karena memiliki suami orang." Ucapku membuatnya tampak resah. "Kamu tidak bersalah atas semua ini, tidak ada yang salah diantara kita, hanya saja kamu dan Naya memilki perasaan yang sama, makq dari itulah rasa cemburu itu selalu ada." Ucapnya."Kamu egois! Kamu ingin kamu bahagia sendiri, tapi tidak ingin mengerti dengan perasaan kita!" Lirihku. Arga menghela nafasn
Penjelasan Arga membuat Naya terdiam, setelah di pikirkannya memang benar Alara hadir dalam hidupnya tidaklah sama sekali mengganggu kebersamaannya dengan Arga, hanya saja Naya terlalu takut kehilangan Arga. Oleh sebab itulah dia merasa resah gelisah karena takut Arga di miliki Alara seutuhnya. "Nay! Semua ini terjadi karen keinginan kamu, terus kenapa sekarang kamu risaukan semuanya! Saat ini aku hanya ingin kamu mengerti, beri aku waktu untuk memutuskan semuanya, aku akan berikan jawaban tapi setelah semuanya tenang." Arga mencoba berbicara pelan. "Aku begini karena aku sangat mencintaimu, Mas. Dan aku tidak ingin orang yang aku cintai lepas hanya karena wanita lain merampasnya." Ujarnya penuh takut. "Jika saja Alara setega itu maka dia sudah melakukannya, dia selalu mengingatkan aku untuk berlaku adil padamu dan untuk tidak melepaskanmu, tapi kamu selalu berprasangka buruk tentang Alara." Ucapnya agak tenang. "Sekarang kamu fokus pada Alea, anak yang selama ini kamu harapkan.
Setelah menempuh perjalanan selama satu jam akhirnya aku datang di rumah Ibuku. Rumah yang sangat megah dengan taman yang luas saat Ibuku membuka gerbangnya aku mulai melangkahkan kakiku masuk di perantaran rumah tersebut, kulihat bunga-bunga indah tertata rapi di atas pot. Menampakan suasana yang sangat sejuk, kemudian Ibuku membuka pintu rumah dan mengajakku untuk masuk, di dalam rumah terlihat sangatbrapi sekali walaupun jarang di tempati oleh Ibuku, namun, rumahnya tidak terasa sunyi seperti banyak orang yang selalu menempatinya."Ayo, kita masuk, Nak." Ajak Ibuku seraya menjingjing koper. "Ini rumah Ibu?" Aku bertanya heran."Iya, ini rumah Inu pemberian dari Almarhum Kakekmu. Kamu suka kan?" Tanyanya seraya berjalan pelan."Sepertinya suasananya sejuk, Bu. Aku suka dengan suasana yang amat sejuk. " Sahutku dengan melihat sekeliling halaman rumah tersebut."Ini rumahmu sekarang, Ibu tidak punya siapa-siapa lagi selain kamu, apapun yang Ibu miliki saat ini itu juga milikmu." Li
Rey dengan serius mendengarkan ceritaku, walaupun aku tahu dia bukanlah siapa-siapa dan kenal, pun. Baru sekarang, tapi seakan-akan dia sudah sejak lama akrab. "Oh, iya. Kamu sekarang kesibukannya apa?" Lanjutku."Sekarang aku masih bekerja di kantor, aku tidak meninggalkan pekerjaanku walaupun keadaanku memang sangat rumit. Karena hanya pekerjaan itulah satu-satunya harapan untuk kehidupanku," katanya. "Tak terasa ternyata waktu cepat juga berjalan, kayaknya aku pulang, deh." sahutku seraya melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. "Oh, iya. Sama aku juga mau pulang, makasih udah mau mendengarkan curhatanku. Lain kali kita bertemu lagi di sini, jika tuhan mempertemukan kita lagi." Ucapnya seraya tersenyum."Oke, mudah-mudahan kita jumpa lagi. Terimakasih juga karena udah mau dengarin kisahku juga, kalau begitu aku duluan yah." Kataku seraya berdiri kemudian melangkah meninggalkan Rey yang masih duduk di tempatnya.Aku pun, pergi dari tempat tersebut. Kemudian aku
Di perjalanan pulang, aku mampi dulu di sebuah tempat. Kebetulan jalan arah kosanku ada sebuah danau kecil, aku pernah ke sana dan tempatnya sejuk sekali. Bakal enak buat meneduhkan hati yang sedang galau, pemandangan di sana pun sangat indah. Pinggir danau banyak bunga-bunga cantik berwarna-warni, pengunjung pun banyak ke sana, apalagi muda-mudi yang datang dengan pasangannya masing-masing. "Aku merasa tenang bila berada si sini!" Ucapku seraya menghirup sejuknya angin berhembuskan. Kemudian aku duduk ditepi danau diatas rumput hijau yang sangat rapi terurus. "Boleh aku duduk?" Tanya seorang Pria bertubuh tinggi di belakangku dengan memebawa sebotol air mineral."Oh, iy-iya. Boleh silahkan." Aku menengoknya ke arah belakang dengan mengulas senyuman."Sendirian?" Tanyanya seraya duduk di pinggir tempat dudukku. "Iya." Jawabku datar."Kenalkan, aku Rey." Ujarnya mengulurkan tangan."Aku, Alara." Aku menjabat tangannya seraya mengulas senyum.Lelaki yang ku perkirakan Empat puluh