Karina menengadah pada Sang Pemilik, berdoa agar suami, papa, anak, dan semua orang-orang yang dia cintai akan selalu dalam penjagaan Allah. Air mata perlahan merembes membelah pipi putih nan kenyal milik Karina. Setelah dia puas merapalkan begitu banyak doa dan harapan dengan bibir bergetar. Dia menyudahi salat dan doanya dengan mengucap, "Aamiin ..." Dengan lirih.
Karina beranjak ke depan cermin dan merapikan jilbab berwarna oranye pucat yang ia kenakan. Sangat manis dengan perpaduan gamis putih bersihnya. Karina keluar menuju lantai bawah, menemui Nayra.
Tepat saat akan berjalan menuruni anak tangga, dia dan Adnan berpapasan. Adnan mengangkat wajah menatapnya dari atas sampai bawah, menatap Karina dengan pandangan sendu.
Karina menyingkir, memberinya jalan. Tangga itu begitu luas, tapi tanpa sebuah komando. Mereka melangkah di sisi yang sama. Karina berdiri mematung sebelum akhirnya kembali menurun
Meskipun dalam hati Nayra justru tertawa geli. Tentu di antara mereka berdua, Karina jauh lebih mengenal karakter Adnan daripada dirinya. Akan tetapi, demi untuk memperlancar konspirasi yang tengah dia rancang. Ackting itu perlu untuk mempermulus jalannya.Di lain sisi Karina justru semakin dicekam rasa bersalah. Karena telah menyembunyikan semua kebenaran itu dari Nayra. Karina takut kelhilangan Nayra jika dia harus jujur dengan masa lalunya bersama Adnan.'Seharusnya kau tak perlu repot memberitahu tentang sifat dan karakter dari suamimu padaku Nay. Karena aku jauh lebih dulu mengenal sosok itu. Aku jauh lebih lama mengenal Adnan, bahkan melebihi dirinya sendiri.' Karina bermonolog dengan dirinya sendiri.Dia melirik ke arah Adnan, tepat saat dia juga tengah menerjangnya dengan tatapan yang begitu dalam dan penuh arti. Seketika Karina menunduk, menghindar dari sorot tatapan Adnan."Mbak
"Apakah kau mencintai Nayra, Ad?" tanya Karina tiba-tiba, mengingat semua cerita Nayra tentang pernikahan mereka selama ini. Tubuh Karina terlempar ke depan saat bunyi rem berdecit secara mendadak. "Adnan!!" pekik Karina kaget, sekali lagi mobil yang mereka tumpangi nyaris saja menabrak. "Maaf!" lirih Adnan. Fokusnya terpecah dengan pertanyaan berani Karina barusan, "Apa itu penting?" tanyanya setelah lama mereka terjebak dalam keheningan. "Apanya?" tanya Karina ambigu. "Tentang perasaanku pada Nayra." "Emh, aku cuma mau tau saja, daripada sepanjang perjalanan ini kita hanya terdiam seperti patung," elak Karina. "Ya, aku mencintainya! Dia istriku, bukan?" ucap Adnan dengan bola mata menari-nari seolah tengah mencari sesuatu, "Kalau sekarang giliran aku yang mau bertanya, boleh?" tanya Adnan balik dengan bola mata berputar memindainya. &nbs
Raka merasa dunianya runtuh. Dia mematung tak bisa bergerak dan mengelak. Apa yang harus dia katakan pada Karina? Dia mengepalkan tangan melawan emosi, mulutnya setengah terbuka dengan air mata yang mengalir di sudut pipinya. Dia melangkah mundur hingga tubuhnya membentur daun pintu. Tiga kata yang diucapkan dengan suara bergetar oleh istrinya sebelum dia menghilang seakan mampu meremukkan tulang-tulangnya.Raka bahkan tak mampu menahan ataupun sekedar bersuara untuk mencegah agar istri yang sangat dia cintai itu tidak pergi darinya. Pengaruh obat yang telah dicampurkan iblis betina di depannya benar-benar berhasil melumpuhkan akal sehatnya."Sayang, dia sudah pergi. Ayo lanjutkan yang tadi. Aku sudah tak sabar," bisik Gadis menempelkan bibirnya di telinga Raka."Keluar kau perempuan sialan!!" teriak Raka penuh amarah dan mendorong Gadis hingga terhempas jatuh ke lantai. Kesadarannya perlahan terlepas dari pengaruh obat
"Kau tahu Karin? Jika aku terlambat beberapa detik saja tadi, kau akan mati digilas truk. Kau akan mati di depan mata kepalaku sendiri dan itu akan menyiksaku sepanjang sisa usiaku!" lirih Adnan menatap Karina dengan mata memerah dan berair.Karina menatap Adnan dengan tatapan kosong. Sejak Karina mengenal Adnan, ini yang pertama kalinya dia melihat pria itu menangis. Melihat air mata menggenang dari mata teduh yang pernah jadi candu oleh indranya di masa lalu. Membuat Karina berasumsi kalau Adnan benar-benar masih menyimpan rapi sebuah tempat untuknya dalam hati pria itu.Sekujur tubuh Karina masih bergetar hebat menahan gejolak amarah dalam dirinya. Dia tak menangis bukan karena kuat, tapi karena dia bahkan lupa bagaimana cara menangis. Karina bahkan lupa cara bernapas dengan benar. Saat melihat apa yang dia pikir miliknya, tapi malah larut dalam cumbu wanita lain.Melihat Adnan yang kini begitu kacaul. K
Nayra masih betah memeluk batu nisan di atas gundukan tanah merah yang telah penuh bertabur bunga. Dia tersedu, dengan racau tak jelas yang lolos dari mulutnya. Mata itu menyiratkan kelelahan yang sangat jelas. Sudah semalaman dia menangis. Ditinggalkan oleh orang yang sangat dicintai memang menjadi pukulan yang sangat berat bagi setiap mahkluk Allah yang bernama manusia. Bahkan hewan pun kadang memiliki naluri alamiah untuk merasakan kehilangan ketika anak atau pasangannya tiba-tiba kehilangan nyawa.Nathan hanya mampu menatap kosong ke arah onggokan tanah yang telah menyembunyikan jasad wanita yang sudah melahirkannya. Mereka berdua, Nathan dan Nayra saling berhadapan, saling menatap ke arah yang sama. Meski mungkin dengan pikiran yang berbeda. ***Ini sudah hari ketujuh Karina di Surabaya. HP-nya sengaja dia
Karina menyapu air mata yang tiba-tiba menyembul keluar dari balik kelopak matanya, dia merasa sesak melihat Nayra yang begitu berani memeluk mantan pacarnya di depan Adnan, suaminya. Karina bahkan tak sanggup menatap wajah Adnan saat ini. Dia yakin Adnan pasti sangat malu dan kehilangan muka dengan ulah Nayra yang sama sekali tak menghargai dirinya sebagai seorang suami.Karina akhirnya duduk tanpa tahu harus berkata apa. Dia hanya melihat Nayra dan Adrian dari kejauhan. Mereka tengah asyik tertawa dan bersenda. Seolah tak ada dirinya dan suaminya di tempat itu. "Ad ... kau baik-baik saja, kan?" tanya Karina kemudian setelah lama mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing.Tak mendapati sahutan dari Adnan, Karina menoleh menatap pria di sampingnya. Karina terbelalak mendapati Adnan yang sama sekali tidak terlihat sedih, menatap dirinya dengan tatapan aneh yang tak bisa dia fahami apa maksudnya. Dengan ragu Karina melambaikan tangan di dep
"Apa kamu kecewa, pada apa yang sudah dilakukan Nayra?""Sama sekali tidak, setiap orang punya kisah mereka. Sama sepertiku, sepertimu, Nayra juga begitu. Dia punya kisahnya sendiri.""Tapi kisahmu dan kisah Nayra adalah sebuah kesatuan. Kalian sudah ditakdirkan mengukir kisah bersama." Karina mengutarakan apa yang ingin dia katakan tanpa perduli apa Adnan mau mendengarnya atau tidak."Tidak. Kami memang hidup bersama, tapi kami menulis takdir kami masing-masing." Adnan kembali menatap langit, membuat Karina ikut melakukan hal yang sama.Karina tertegun cukup lama saat menyadari langit malam yang bertaburan bintang tanpa purnama. Langit begitu bersih dipenuhi kerlip bintang, tanpa ada cahaya bulan di antaranya. Langit yang sama seperti langit malam itu, saat mereka berdua terakhir bertemu sebagai sepasang kekasih. Karina menelan Saliva susah payah, menoleh ke arah lain. Menyadari detik-detik mendebar
"Hey! Kamu baik-baik saja, kan?" tanya Nadine."I -iya aku baik-baik saja, apa kita akan di sini saja?""Iya, di sini lebih nyaman, udaranya sejuk."Kriiing ... kriiing ...Bunyi ponsel Nadine, memotong perbincangan seru mereka."~~~""Ya, Wa'alaikumussalaam!" jawab Nadine pada lawan bicaranya."~~~""Iya, ini aku lagi bertamu ke rumah Karin!""~~~""Saya tanya sama Karin dulu, ya?""Adnan!" Sebut Nadine menatap Karina seolah minta persetujuan, sementara jantung Karina seketika itu juga bergemuruh hebat. Dia bahkan merasa susah menelan salivanya sendiri."Dia mau bicara!" terang Nadine, memberikan ponselnya pada Karina yang duduk bersebelahan. Tangan Karina bergetar hebat memegang ponsel. Ponsel yang sekecil itu tiba-tiba terasa sangat berat di tangannya."Assalamu alaikum!" sapa Kar
Karina duduk di sisi taman menerawang jauh ke masa lalu, masa di mana ketika dia masih berjuang. Bergelut dengan kehidupan, mencari makna dan kemana arah langkah yang akan ditempuh.Tak jauh dari tempatnya duduk, Raka dan Ayub terus berlari memperebutkan bola ke sana ke mari seolah tak pernah lelah. Mereka tertawa lepas, seolah duka tak pernah singgah pada raut wajah itu.Wajah-wajah yang pernah disinggahi rindu yang sangat menyiksa. Mata yang pernah dibanjiri oleh air mata kekecewaan dan penyesalan. Itulah hidup, sejatinya tak ada yang mudah. Semua butuh pengorbanan, perjuangan, dan kesabaran.Tak ada seorang pun manusia yang dilahirkan, bisa memilih jalan dan akhir dari hidupnya sendiri. Karena takdir selalu melenggang mengikuti kehendak SANG Pencipta. Sedang manusia hanya bisa berusaha semampu, sebisa mereka. Karena pinish-nya tetap urusan Allah.Karina pernah begitu mencintai Adnan. Pernah
Raka dan Ayub tengah tertidur dengan saling memeluk satu sama lain. Mereka begitu damai dalam lelap mereka. Seulas senyum merekah di sudut bibir Karina menatap kedua prianya.'Makasih Tuhan, telah membuka mataku untuk dapat melihat semua kebenarannya sebelum terlambat. Jika tidak, mungkin aku akan jadi manusia yang paling menyesal karena telah salah menilai Kak Raka.' bisik hati Karina. Dia menutup mata merafal syukur pada Sang Pemilik segala dalam hati.Ponsel-nyq berdering, tepat saat akan merebahkan tubuh di samping sang suami. Dia membatalkan niat untuk tidur dan segera beranjak menjauh dari kedua orang yang tengah terlelap itu. Takut suaranya akan mengganggu atau bahkan bisa membangunkan mereka.Dengan perlahan membuka pintu kamar, lalu menutupnya kembali begitu sudah berada di luar. Melangkah menuju halaman belakang dan menjawab panggilan yang sudah berdering dari tadi.Karina menjawab panggila
Adnan yang saat itu kebetulan keluar rumah mematung takkala mendapati sosok Karina dari kejauhan. Wanita itu tengah berjalan santai bersama suami dan putranya yang tampan. Mereka perlahan menjauh meninggalkan pekarangan rumah.Sudut bibir Adnan tersungging saat mengingat reaksi kedua Suami-Istri itu, saat tadi dia menggoda mereka tentang Furqon. Adnan begitu menikmati sekelebat kecemburuan yang berkilat di mata Raka setiap kali dia dengan sengaja menggoda Karina."Karin, aku mengikhlaskan kau bahagia dengannya. Bukan karena di hatiku tak ada lagi cintamu, tapi karena aku ingin kau bahagia. Cukup sudah derita kau pikul, cukup beban duka menghimpitmu. Kini saatnya kau tersenyum dan bahagia," bisiknya.Adnan menutup pintu, kembali ke dalam. Semua barang-barang yang akan dia bawa besok, sudah terkemas rapi dalam ransel besar berwarna hitam yang tergeletak di sudut ruangan. Raka terlentang dengan tatapan kosong menerawang jau
Setelah salat Isya, Karina dan Raka kembali ke ayunan di taman belakang, tempat favorit mereka sejak pertama kali mereka berdua menempati rumah itu. Mengulang kembali setiap detik indah yang sempat terenggut paksa oleh jarak dan situasi.Berkali-kali Raka mendekap erat Karina dengan penuh cinta, melepaskan semua kerinduan yang selama ini mengendap di dasar jiwanya. Sama seperti Karina yang tak bisa lepas lagi. Mereka kembali menikmati kebersamaan yang indah di atas ayunan yang menjadi sejarah indah awal mula cinta antara mereka tumbuh.Karina tak lagi segan membiarkan Raka tenggelam dalam kisah Karina tentang Surabaya dan semua yang dia alami di sana. Beberapa kali kilatan amarah terlihat di mata Raka ketika Karina sampai pada kisah tentang Nathan.Karina sangat lega. Lewat sudah duka yang selama ini memayungi rumah tangga mereka. Kini saatnya membuka lembaran baru, menata kembali semua yang sempat terserak di anta
Air mata menetes satu persatu luruh menindih ketegaran seorang Karina yang memang berhati selembut kapas, dia menatap Adnan yang juga mulai berkaca. Pria itu pasti sangat menyesal ... telah menyakiti Nayra selama ini meski mungkin tanpa menyadarinya."Aku akan ke Surabaya menyusul Nayra, dia pasti terpuruk sendiri di rumah sebesar itu. Ibu baru saja meninggal dan aku satu-satunya orang yang seharusnya menguatkan, justru menjadi manusia yang paling menyakiti," ucap Adnan penuh penyesalan."Kau tidak salah, Ad. Bukankah selama ini kau tidak tahu dengan perasaan Nayra yang sebenarnya?" ucap Karina berusaha menguatkan Adnan, tak ingin melihat pria itu rapuh di saat-saat seperti ini."Aku telah jadi teman berbagi kepahitan dengannya, tapi aku bahkan tak bisa peka untuk menyadari. Kepahitan yang justru aku sendirilah penyebab dari itu semua." Adnan mulai meracau menyalahkan diri sendiri."Ad, kapan kau aka
Sudah sebulan lebih sepasang suami istri itu dilanda perang dingin. Mereka hanya bicara satu sama lain ketika ada Ayub di tengah-tengah mereka atau saat ada orang luar yang datang bertamu.Seperti saat ini, mereka hanya diam dalam sekat ruang yang sama. Karina dengan novel tebal di tangan dan Raka dengan game di Hp-nya. Mereka laksana sepasang merpati terbang rendah yang tak saling menyapa.Suara ketukan dari arah pintu membuat Karina dan Raka yang tengah duduk berjauhan di ruang tamu seketika kompak menatap ke arah yang sama. Karina bangkit membuka pintu, untuk sejenak dia mencoba berdiskusi dengan akal sehatnya. Melihat Adnan berdiri mematung di ambang pintu membuat otak Karina bleng."Adnan, ka, kau ...?" tanya Karina dengan separuh nyawa yang tak lagi menetap.Wanita yang kini tengah mengenakan hijab hijau lemon itu panik bukan main, dia bisa mati berdiri kalau kedua pria ini bertemu. Raka
Usai makan malam bersama semua anggota keluarga mertuanya, Raka memboyong istri dan anaknya pulang. Ayub sudah keburu tidur di atas motor ketika mereka sampai. Raka mengambil alih putranya dari pangkuan Karina dan menggendong bocah itu hati-hati takut dia terbangun.Karina bergegas membuka pintu pagar dan pintu rumah, membiarkan Raka masuk lebih dulu. Tak ada percakapan ataupun gelak canda tawa romantis, seperti yang selalu tercipta di keluarga kecil mereka dulu. Hanya ada kebungkaman satu sama lain. Ada jarak tak kasat mata di antara mereka.Tepat saat tangan Karina sudah menyentuh stang motor, Raka muncul di ambang pintu, memintanya turun. Karina yang memang malas berdebat langsung patuh, dia memutar tubuh untuk menutup pintu gerbang.Tatapan mata mereka bertabrakan ketika Karina kembali masuk ke dalam ruang tamu. Raka sudah duduk di sana menatap tajam dengan tangan ditepuk-tepukkan pada paha. Karina membuang muka hend
Karina bergegas turun dari motor ketika Kayra sudah berdiri menatap di ambang pintu dengan tatapan seolah melihat setan. Karina melangkah ragu menghampirinya pun saat tiba-tiba adiknya itu menghambur memeluknya dengan terisak."Kak, aku pikir aku akan kehilangan Kakak untuk selama-lamanya. Aku pikir aku akan kehilangan Kanseku!" ucapnya dengan bahu terguncang dalam pelukan Karina, membuat air mata Karina ikut luruh."Karin, Kau!?" pekik papanya dari dalam membuat Karina mengangkat wajah menatap pria tua itu dengan tubuh gemetar ketakutan.Pria tua itu melangkah maju menyingkirkan Kayra dari pelukan Karina dan memeluk putri sulungnya dengan erat, seolah Karina akan pergi jauh dari kehidupan mereka selamanya. Karina kaget dengan perlakuan papa yang tadinya dia pikir dirinya akan diamuk dan dimarahi habis-habisan, tapi justru diperlakukan sehangat ini."Jangan pernah pergi lagi, Nak! Kau bisa memb
Karina melangkah ragu melintasi pagar, berdiri mematung di ambang pintu rumah sendiri. Menghela napas panjang dan menghembuskannya kasar. Sebelum dia memutuskan untuk masuk rumah menyeret koper dengan malas.Tepat saat akan masuk rumah, Raka dengan hanya menggunakan celana bokser pendek warna merah dengan baju kaos longgar berwarna putih, mendongak padanya. Pria itu tengah sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk. Melihat wanita yang begitu dia rindui itu membuat Raka berdiri mematung menatap Karina. Lama mereka terpaku satu sama lain.Raka menatap wanitanya penuh rindu, tapi tidak dengan Karina. Dia menatap Raka dengan amarah yang berkecamuk dalam dada. Wanita itu tidak bergerak karena pikirannya tengah sibuk mencerna untuk apa suaminya ada di sini, bukankah seharusnya saat ini dia di Surabaya mengangkangi wanitanya yang sangat cantik itu.Setelah Karina bisa menguasai situasi, dia berjalan masuk ke