Share

5

Author: Bloomsky
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Selama perjalanan itu hanya di isi keheningan, Batara ingin berbicara tapi sepertinya Bestari enggan. Gadis itu hanya akan menjawab ketika ditanya arah mana yang harus dilewati, setelah itu diam. Terlihat sekali dia tidak nyaman.

"Makasih." Bestari menunduk menyamakan tubuhnya setinggi pintu mobil. Ia masih tahu adab ketika diberi bantuan, sekalipun orang itu tidak disukainya.

"Sama-sama, aku gak mampir ya. Lain kali aja." Dih kepedean, Bestari juga tidak berniat mengajaknya mampir. Ini juga pertama dan terakhir ia mau diantar Batara, tak ada yang kedua kalinya.

"Aku pulang, ya."

"Iya, udah sana. Hati-hati."

Bestari diam di tempatnya, matanya masih memandang kearah perginya mobil Batara. Ada yang salah. Bukankah Batara terlalu jauh melangkah, selama ini hubungannya dengan lawan jenis hanya sekadar saling sapa tak lebih. Tapi dengan cowok itu, dia bahkan mengantarnya pulang. Anehnya Bestari tak menolak, ia hanya sedikit tak nyaman, namun masih memakluminya. Salahkah yang dilakukannya ini?

Pikirannya masih memproses semua, ia bahkan hanya tersenyun tipis ketika ditanyai ibunya. Otaknya mencari-cari alasan kenapa dan bagaiman bisa. Sesuatu dalam diri Batara mengingatkan Bestari tentang Panji, tapi bukan berarti lantas ia membuka pintu hatinya kembali. Seseorang yang ditunggunya belum pulang, dan ia belum mendapatkan jawaban.

Bestari menghempaskan tubuhnya ke ranjang, tak peduli keringatnya akan menempel di sana. Ia bisa mengganti sprai nanti. Ia bahkan baru sadar, seharian ini pikirannya tak mengingat Panji lagi, hanya penuh dengan segala keluh kesah tentang kelakuan Batara. Ini buruk, Bestari harus berhenti. Ia harus menjauh.

¤¤¤

Sekolah adalah tempat yang menjadi alasan Bestari harus bertemu dengan Batara. Apalagi mereka di kelas yang sama. Hari ini ia berangkat lebih siang, bukan tanpa sebab. Semalaman memikirkan tentang Barata, Ia sudah punya satu kesimpulan. Barata itu bahaya, dia beresiko untuk kehidupanya.

Tanpa melirik ke tempat Batara duduk, Bestari langsung bergegas ke tempatnya. Sekilas ia tahu, bahwa cowok itu tengah menatapnya. Ia bisa merasakan tatapan cowok itu yang mengintainya 

"Tumben siang?" tanya Maharani curiga.

"Pengen aja," jawab Bestari cuek.

Maharani tak percaya, dia semakin menatap intens Bestari. Memindai wajah temannya itu. Tanpa peringatan tangannya menggebrak meja dengan keras, bukan hanya Bestari tapi hampir yang ada di kelas terkejut.

Ada yang langsung mengumpat pada Maharani, ada juga yang berteriak karena kaget. Sedangkan sang pelaku malah bersikap santai.

"Apaan, sih. Ngagetin tau nggak." Bestari sebagai teman merasa malu, duh mimpi apa ia bisa berteman selama ini dengan Maharani. Punya temen kok bobrok banget.

"Kamu gak tidur kan semalem, jangan bohong!" tuding Maharani menunjuk kedua mata Bestari yang menghitam, sejak kemarin ia khawatir dengan keadaan Bestari, dan sekarang melihat sendiri Bestari yang tidak seperti biasanya kekhawatirannya semakin besar.

"Tidur kok," bantah Bestari, ia memang tidur walau hanya 4 jam. Efek memikirkan Batara, ia tidak bisa terlelap semalam.

"Ngeles terus! Aku hapal banget ya orang yang kurang tidur. Bias aku juga gitu kalau kurang tidur."

Lah apa hubungannya sama Bestari coba, ini juga kenapa pembicaraan mereka ke mana-mana sih. Biasnya Maharani yang mana juga, kebanyakan gonta-ganti bias sih dia.

"Terserah deh, bangunin kalau ada guru. Aku mau tidur sebentar." Kepalanya pusing kurang tidur, dan Bestari tidak berniat menambahnya dengan memikirkan bias Maharani. Yang bahkan jumlahnya saja sampai kini ia tidak hafal.

¤¤¤

Batara tahu gadis yang beberapa minggu ini ka perhatikan menghindarinya. Ia bingung. tentu saja. Siapa yang tidak akan bingung ketika kamu baru saja akrab dengan seseorang, tiba-tiba orang itu menghindarimu tanpa alasan yang jelas. Seingatnya, kemarin ia tidak melakukan sesuatu yang salah atau menyinggung Bestari, kenapa dia jadi begini sekarang.

Sejak tadi Batara berusaha mendekati gadis itu. Ia ingin menyapanya, tapi Bestari malah berangkat siang alhasil rencananya gagal. Tidak menyerah, jam istirahat ia kembali mencoba menyapanya, baru Batara akan mendekat, Bestari sudah berlari pergi. Bestari melihat Batara sudah seperti melihat hantu saja. Hingga waktu pulang sekolah, tidak sekalipun ia bisa bicara dengan Bestari.

Latihan futsal hari ini rasanya Batara sangat malas, memikirkan Bestari mengganggu fokusnya. Ia memilih menepi, duduk di bawah pohon samping lapangan futsal.

"Kucel banget tuh muka, kenapa?" Batara melirik Harsa dan Tirta yang datang menghampirinya. Dua orang teman barunya ini bergerak duduk mengampitnya. Tak peduli jika badannya terhimpit.

"Apaan deh kalian berdua. Jauh-jauh sana, sempit tau gak." Batara mendorong keduanya menjauh, tapi tidak berhasil. Mereka kembali duduk di tempat semula. Terserah lah, Batara lelah.

"Baru satu bulan udah galau aja, kenapa sih kenapa. Cerita sini, sama masternya." Harsa menepuk dadanya bangga, yang di hadiahi toyoran di kepalanya oleh Tirta.

"Pacaran kagak pernah sok-sokan master," cibir Tirta. Dia kembali akan menoyor Harsa, tapi sayangnya Harsa lebih dulu menghindar.

"Kalian kalau mau berantem pergi sana! Bukannya tenang malah makin pusing." Barata menengahi, membuat keduanya terdiam seketika.

"Bestari, ya?"

Batara menatap tanya ke arah Tirta, setahunya ia tidak mengatakan alasannya murung. Kenapa dia bisa tahu. Jangan-jangan Tirta cenayang. 

"Gak usah kaget gitu, gue tahu, belakangan ini lo lagi deketin dia, kan." Tirta menjeda ucapannya untuk bersandar di pohon belakangnya. "Tari tuh gak kayak cewek lainnya, dia punya benteng kokoh yang sulit ditembus. Saat dia sadar dia lengah, dia akan perkuat lagi benteng itu. Bukan sok tahu, tapi kayaknya percuma lo berjuang. Dia masih terikat dengan seseorang."

Harsa menatap kagum Tirta yang baru saja bicara, selama berteman baru kali ini ia mendengar Tirta berbicara sepanjang itu. Wah, mengagumkan. Harsa memang tahu kalau Tirta bercita-cita jadi psikolog, tapi ia tidak pernah tahu bahwa cowok itu sungguhan. Bahkan sampai tahu banyak hal tentang Bestari.

"Lo tahu sebanyak itu darimana?" tanya Harsa tak tahan memendam rasa penasarannya. Ia juga ingin jadi psikolog, biar pinter kaya Tirta.  Lumayan modal cari cewek.

"Gue pernah lihat sendiri dia nangis di taman  belakang. Gak lihat jelas sih, tapi dia nangis sambil nyebut nama cowok ."

Wajah Batara murung setelahnya. Jadi begitu. Astaga perasaan apa yang dia rasakan sebenarnya. Kenapa semakin rumit.

"Jangan nyerah." Tirta menepuk pundak Batara, berusaha menyemangati teman barunya.

"Setinggi apapun bentengnya, kalau emang lo tulus, pasti runtuh juga." Walau ada beberapa hal yang tidak dikatakan Tirta secara langsung, termasuk mengenai apa yang ia simpulkan mengenai Batara sendiri. Itu bukan urusannya, dan bisa saja ia salah menduga. Tebakan manusia bisa meleset.

"Thanks, Tirta."

Tirta mengangguk, selama tiga tahun satu kelas dengan Bestari, ia sering terkejut dengan perubahan yang terjadi pada gadis itu. Kadang kala ia melihat Bestari seperti manusia tanpa jiwa, kadang kala ia juga melihat ada kerinduan tak terucapkan. Tirta bukan menyukainya, ia hanya ingin tahu, apa yang membayangi mata Bestari sejak pertama masuk sekolah hingga kini. Siapa sosok laki-laki yang sering digumamkan namanya oleh gadis itu. Bestari sangat tertutup, bahkan tak mudah percaya. Jika dugaannya benar, Bestari menderita trust issue. Dengan Maharani yang notabennya temannya sendiri saja Bestari tertutup, apalagi dengan orang lain.

Mendekati Bestari susah, dan Tirta bukan orang yang tepat untuk mendekatinya. Tapi Batara? Tirta yakin dia bisa. Anggap saja keyakinannya pada Batara, ia ibaratkan sebagai tumpuan cita-citanya. Meski resiko yang ia tanggung besar tak apa, ia percaya keajaiban. Nanti saat intuisinya tentang Batara meleset, ia sendiri yang akan memberi cowok itu pelajaran.

"Tirta, mau pulang gak, lo? Yang lain udah bubar, atau mau nginep sini."

"Pulang lah, ogeb." Ia bangkit berdiri, meninggalkan Harsa di belakang. Tak peduli teriakan Harsa yang marah ditinggal sendiri. Kadang kala Tirta ingin sekali mengungsikan Harsa ke hutan, dia terlalu berisik dan cerewet. Sayangnya, Harsa satu-satunya teman yang bisa membuat dia betah berteman. Dan hanya Harsa yang tahan lama berteman dengannya, mungkin kini menambah satu orang. Yah jika Batara masuk kualifikasinya.

Related chapters

  • Klandestin    6

    Bestari berubah, sudah hampir satu minggu dia terus menghindar. Batara yang melihatnya hanya bisa menghela napas pasrah. Beberapa kali ia berusaha mendekat, tapi gadis itu juga semakin keras menolak. Benar kata Tirta, benteng tak kasat mata yang dibangun Bestari sangat kokoh. Batara merasa ia tak akan berhasil menembusnya, dan ini adalah kabar buruk."Weh, mau kemana?" Si tukang kepo Harsa bertanya. Sedari tadi diam tiba-tiba saja mau pergi, Harsa kan takut kalau Batara kenapa-kenapa, kerasukan contohnya, soalnya daritadi dia diem aja."Toilet."Batara tak lagi menunggu basa-basi Harsa, ia perlu menjernihkan pikirannya. Ia membasuh muka, menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia tidak boleh menyerah, ini baru awal. Masih ada waktu, dan ia yakin pasti bisa.

    Last Updated : 2024-10-29
  • Klandestin    7

    Kedekatan mereka memang tidak banyak yang berubah, hanya saja Bestari sudah tak menghidar lagi dari Batara. Iya juga mencoba santai ketika berbicara dengan Batara, tapi masih meninggikan bentengnya.Yang masih kurang bisa ia terima adalah sikap spontan Batara, dia sering berbuat sesuatu tanpa memberi tahu. Seperti hari ini contohnya, tanpa ada angin atau hujan, Batara datang menjemputnya, coba saja cowok ini tidak tahu rumahnya dulu. Mau menolak kasihan sudah jauh-jauh ke sini, tapi––"Ngapain ke sini?""Lah, gak lihat udah pakai seragam, ya mau jemput kamu terus ke sekolah. Masa iya mau tidur." Gak lihat Batara udah seganteng ini. Wangi lagi."Biasanya juga berangkat sendiri."

    Last Updated : 2024-10-29
  • Klandestin    8

    Beberapa kertas yang diremat membentuk gumpalan memenuhi lokernya, Bestari menghela napas lelah. Ini sudah berlangsung selama lebih tiga hari sejak ia ada masalah dengan Sera. Tidak mengejutkan kalau ada yang melakukan ini, jika bukan Sera sendiri pasti fans gadis itu. Ia mengambil semua gumpalan itu, memasukkannya ke dalam kantong kresek yang kini selalu ia sediakan, jaga-jaga seperti saat ini.Bestari tidak berniat melihat apa yang tertulis dalam gumpalan itu, karena ia tahu, isinya pasti tidak jauh-jauh menghujatnya yang katanya seorang lesbi, atau sumpah serapah karena berani dengan Sera. Biarkan saja mereka pasti nantinya akan berhenti kalau capek.Perihal kertas-kertas ini tidak ada yang tahu, pun dengan Maharani, Bestari selalu membuangnya bahkan sebelum Maharani mengetahuinya. Biarkan ini jadi rahasianya sendiri,

    Last Updated : 2024-10-29
  • Klandestin    9

    Bestari merasa tak tenang, entahlah hatinya tiba-tiba saja merasa tidak enak. Ia tak tahu apa yang salah, namun ada sesuatu yang membuatnya gelisah. Firasatnya mengatakan akan ada hal buruk terjadi. Selama ini firasatnya jarang meleset, saat kepergian Panji dulu, ia pun merasakan perasaan seperti ini.Ia berjalan menuju lokernya, membuka pintu dan mengernyit heran saat tak ada lagi gumpalan kertas di sana. Apa sudah selesai? Apa mereka semua sudah lelah mengerjainya. Entahlah, Bestari tak yakin dengan hal itu, tapi baguslah. Ia kembali menutup pintu loker dan terkejut menemukan beberapa perempuan telah berdiri di sekitarnya. Oh tidak! Ia kalah jumlah. Mana bisa satu orang menang melawan lima orang. Kalau dia ikut silat sih pasti menang, masalahnya dia kan tidak ikut begituan."Ada apa?" tanyanya mencoba basa-basi. B

    Last Updated : 2024-10-29
  • Klandestin    10

    Batara melirik pintu kelas, sedari tadi Bestari tak ada melewati pintu. Ia jadi khawatir kalau Bestari kenapa-kenapa. Atau jangan-jangan dia sakit makanya tidak masuk. Tidak biasanya Bestari berangkat sesiang ini. Yang lebih membuat Batara tak tenang adalah bagaimana jika Bestari dijahili oleh orang-orang yang mengirim teror. Harusnya ia antar jemput saja Bestari, kalau begini ia jadi bingung sendiri. Batara berdiri menghampiri bangku Bestari. Tirta dan Harsa yang melihatnya saling tatap, Tirta menggedikkan bahu acuh. Ia kembali fokus membaca bukunya. Daripada Batara mati penasaran, ia lebih baik tanya dari sumber terpercaya saja. Pesannya juga tidak ada balasan. Batara menepuk pundak Maharani yang tengah asik menonton video dengan headset terpasang di telinga. Dasar maniak, hampir setiap hari ia melihat Maharani stalking laki-laki bermata sipit itu. Untung Bestari tak ikut-ikutan, bisa kalah saing dia. "Paa

    Last Updated : 2024-10-29
  • Klandestin    11

    Batara kembali antar-jemput Bestari. Meski Bestari bersikukuh menolak tapi Batara tak mengidahkan. Alasannya dia tidak mau kejadian Bestari ditampar terulang kembali, dengan tambahan mereka sepasang kekasih sekarang. Cih dasar modus.Hubungan mereka memang masih rahasia, hanya ketiga teman mereka saja yang tahu. Bestari tak merasa sepenting itu sampai hubungannya harus diketahui semua orang.Mereka melangkah beriringan menuju kelas, beberapa anak terang-terangan memadang. Tak terkecuali Daksa dan Nuraga.Nuraga menguap ia masih mengantuk, temannya ini tiba-tiba mengajak berangkat pagi. Keajaiban sekali apalagi ia hapal betul bahwa Daksa lebih sering membolos daripada sekolah, tidak tahu ada angin apa. Tapi sepertinya ia paham sekarang."Lo masih dendam sama tuh anak?" tanya Nuraga. Ia masih ingat jelas wajah anak baru itu. Duh, masa iya pagi-pagi begini Daksa mau adu jotos. Kenapa tidak nanti

    Last Updated : 2024-10-29
  • Klandestin    Prolog

    Sejuknya angin malam tak menyurutkan dua insan manusia berbeda jenis kelamin itu untuk beranjak pergi, mereka masih asik dengan dunianya sendiri. Menimati setiap detik yang tercipta di antara mereka. Hening namun menenangkan, dingin namun terasa nyaman.Tangan sang gadis menepuk pelan lengan sang lelaki. Lelaki itu menoleh, namun bukannya bicara sang gadis malah bersandar di pundaknya. Gadisnya terlihat asik menatap langit malam yang cerah berseri penuh bintang."Kenapa, sayang?" tanya lelaki itu. Tangannya mengusap pipi gembil gadisnya, menciptakan semburat merah di sana."Tahu gak, sekarang aku baru sadar. Bahwa kamu itu bukan kesialan untukku." Ia berbalik badan, sepenuhnya menghadap kekasihnya. "Kamu itu anugerah yang Tuhan berikan buat aku," lanjutnya menyembunyikan wajahnya di dekapan sang lelaki. Malu, bahkan wajahnya terasa panas sekarang.Senyum yang membentuk bulan sabit itu terceta

    Last Updated : 2024-10-29
  • Klandestin    1

    Gadis itu nampak begitu khusyuk dengan novel yang tengah dibacanya, tak terganggu dengan suara bising teman-temannya yang baru datang. Ia hanya sesekali mengangguk atau tersenyum ketika ada yang menyapa.Bestari Puspita gadis biasa saja yang pendiam namun juga bisa menjadi cerewet, ia bukan Sera, si primadona yang sering kali menjadi gosip tiap kelas karena kecantikannya, bukan juga termasuk golongan siswa cupu yang terbully. Bestari itu biasa saja, tidak tenar ataupun terabaikan.Seorang perempuan berkulit kuning langsat menghampirinya, duduk tempat di kursi sebelahnya, yang memang tempat duduknya."Eh, tau gak." Ini sudah pasti, gosip akan dimulai. Pasti tidak jauh-jauh dari ketua osis kalau tidak begitu ya Sera.Bestari masih

    Last Updated : 2024-10-29

Latest chapter

  • Klandestin    11

    Batara kembali antar-jemput Bestari. Meski Bestari bersikukuh menolak tapi Batara tak mengidahkan. Alasannya dia tidak mau kejadian Bestari ditampar terulang kembali, dengan tambahan mereka sepasang kekasih sekarang. Cih dasar modus.Hubungan mereka memang masih rahasia, hanya ketiga teman mereka saja yang tahu. Bestari tak merasa sepenting itu sampai hubungannya harus diketahui semua orang.Mereka melangkah beriringan menuju kelas, beberapa anak terang-terangan memadang. Tak terkecuali Daksa dan Nuraga.Nuraga menguap ia masih mengantuk, temannya ini tiba-tiba mengajak berangkat pagi. Keajaiban sekali apalagi ia hapal betul bahwa Daksa lebih sering membolos daripada sekolah, tidak tahu ada angin apa. Tapi sepertinya ia paham sekarang."Lo masih dendam sama tuh anak?" tanya Nuraga. Ia masih ingat jelas wajah anak baru itu. Duh, masa iya pagi-pagi begini Daksa mau adu jotos. Kenapa tidak nanti

  • Klandestin    10

    Batara melirik pintu kelas, sedari tadi Bestari tak ada melewati pintu. Ia jadi khawatir kalau Bestari kenapa-kenapa. Atau jangan-jangan dia sakit makanya tidak masuk. Tidak biasanya Bestari berangkat sesiang ini. Yang lebih membuat Batara tak tenang adalah bagaimana jika Bestari dijahili oleh orang-orang yang mengirim teror. Harusnya ia antar jemput saja Bestari, kalau begini ia jadi bingung sendiri. Batara berdiri menghampiri bangku Bestari. Tirta dan Harsa yang melihatnya saling tatap, Tirta menggedikkan bahu acuh. Ia kembali fokus membaca bukunya. Daripada Batara mati penasaran, ia lebih baik tanya dari sumber terpercaya saja. Pesannya juga tidak ada balasan. Batara menepuk pundak Maharani yang tengah asik menonton video dengan headset terpasang di telinga. Dasar maniak, hampir setiap hari ia melihat Maharani stalking laki-laki bermata sipit itu. Untung Bestari tak ikut-ikutan, bisa kalah saing dia. "Paa

  • Klandestin    9

    Bestari merasa tak tenang, entahlah hatinya tiba-tiba saja merasa tidak enak. Ia tak tahu apa yang salah, namun ada sesuatu yang membuatnya gelisah. Firasatnya mengatakan akan ada hal buruk terjadi. Selama ini firasatnya jarang meleset, saat kepergian Panji dulu, ia pun merasakan perasaan seperti ini.Ia berjalan menuju lokernya, membuka pintu dan mengernyit heran saat tak ada lagi gumpalan kertas di sana. Apa sudah selesai? Apa mereka semua sudah lelah mengerjainya. Entahlah, Bestari tak yakin dengan hal itu, tapi baguslah. Ia kembali menutup pintu loker dan terkejut menemukan beberapa perempuan telah berdiri di sekitarnya. Oh tidak! Ia kalah jumlah. Mana bisa satu orang menang melawan lima orang. Kalau dia ikut silat sih pasti menang, masalahnya dia kan tidak ikut begituan."Ada apa?" tanyanya mencoba basa-basi. B

  • Klandestin    8

    Beberapa kertas yang diremat membentuk gumpalan memenuhi lokernya, Bestari menghela napas lelah. Ini sudah berlangsung selama lebih tiga hari sejak ia ada masalah dengan Sera. Tidak mengejutkan kalau ada yang melakukan ini, jika bukan Sera sendiri pasti fans gadis itu. Ia mengambil semua gumpalan itu, memasukkannya ke dalam kantong kresek yang kini selalu ia sediakan, jaga-jaga seperti saat ini.Bestari tidak berniat melihat apa yang tertulis dalam gumpalan itu, karena ia tahu, isinya pasti tidak jauh-jauh menghujatnya yang katanya seorang lesbi, atau sumpah serapah karena berani dengan Sera. Biarkan saja mereka pasti nantinya akan berhenti kalau capek.Perihal kertas-kertas ini tidak ada yang tahu, pun dengan Maharani, Bestari selalu membuangnya bahkan sebelum Maharani mengetahuinya. Biarkan ini jadi rahasianya sendiri,

  • Klandestin    7

    Kedekatan mereka memang tidak banyak yang berubah, hanya saja Bestari sudah tak menghidar lagi dari Batara. Iya juga mencoba santai ketika berbicara dengan Batara, tapi masih meninggikan bentengnya.Yang masih kurang bisa ia terima adalah sikap spontan Batara, dia sering berbuat sesuatu tanpa memberi tahu. Seperti hari ini contohnya, tanpa ada angin atau hujan, Batara datang menjemputnya, coba saja cowok ini tidak tahu rumahnya dulu. Mau menolak kasihan sudah jauh-jauh ke sini, tapi––"Ngapain ke sini?""Lah, gak lihat udah pakai seragam, ya mau jemput kamu terus ke sekolah. Masa iya mau tidur." Gak lihat Batara udah seganteng ini. Wangi lagi."Biasanya juga berangkat sendiri."

  • Klandestin    6

    Bestari berubah, sudah hampir satu minggu dia terus menghindar. Batara yang melihatnya hanya bisa menghela napas pasrah. Beberapa kali ia berusaha mendekat, tapi gadis itu juga semakin keras menolak. Benar kata Tirta, benteng tak kasat mata yang dibangun Bestari sangat kokoh. Batara merasa ia tak akan berhasil menembusnya, dan ini adalah kabar buruk."Weh, mau kemana?" Si tukang kepo Harsa bertanya. Sedari tadi diam tiba-tiba saja mau pergi, Harsa kan takut kalau Batara kenapa-kenapa, kerasukan contohnya, soalnya daritadi dia diem aja."Toilet."Batara tak lagi menunggu basa-basi Harsa, ia perlu menjernihkan pikirannya. Ia membasuh muka, menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia tidak boleh menyerah, ini baru awal. Masih ada waktu, dan ia yakin pasti bisa.

  • Klandestin    5

    Selama perjalanan itu hanya di isi keheningan, Batara ingin berbicara tapi sepertinya Bestari enggan. Gadis itu hanya akan menjawab ketika ditanya arah mana yang harus dilewati, setelah itu diam. Terlihat sekali dia tidak nyaman. "Makasih." Bestari menunduk menyamakan tubuhnya setinggi pintu mobil. Ia masih tahu adab ketika diberi bantuan, sekalipun orang itu tidak disukainya."Sama-sama, aku gak mampir ya. Lain kali aja." Dih kepedean, Bestari juga tidak berniat mengajaknya mampir. Ini juga pertama dan terakhir ia mau diantar Batara, tak ada yang kedua kalinya. "Aku pulang, ya.""Iya, udah sana. Hati-hati."Bestari diam di tempatnya, matanya masih memandang kearah perginya mobil Batara. Ada yang salah. Bukankah Batara terlalu jauh melangkah, sela

  • Klandestin    4

    Bestari kira Batara si murid baru itu pendiam namun dugaannya salah besar. Dia memang tidak cerewet seperti Harsa, tapi juga tidak pendiam seperti Tirta. Dia baik kepada siapa saja, ramah dan sepertinya mudah berteman, tapi selama beberapa minggu sekolah sikap aslinya mulai terlihat. Sering kali Batara mengganggunya tanpa alasan yang jelas, risih? Tentu saja. "Pagi, Tari." Tuhkan, Bestari bahkan baru masuk beberapa langkah ke dalam kelas tapi Batara sudah merecokinya. "Pagi," balasnya singkat. Malas meladeni Batara. Bestari cepat-cepat duduk di kursinya, membuka novel yang baru kemarin ia beli. Jam segini masih sedikit yang datang, dan Batara yang tiba lebih cepat dari yang lain adalah hal langka untuk seorang cowok, apalagi di kelasnya kebanyakan cowoknya masuk telat, mungkin sekitar sepuluh

  • Klandestin    3

    Pemuda bernama lengkap Batara Selaksa itu segera melesat turun dari mobil yang dikendarainya, memutar bola mata malas kala banyak yang memandang heran dan penasaran ke arahnya. Ck! Sudah biasa, apalagi wajah asing yang memang tampan. Batara bukan kepedean tapi itu nyata, ia memang tampan.Pemuda yang kerap disapa Tara itu segera pergi menuju ruang kepala sekolah, risih juga lama-lama ditatap terus-menerus. Kemarin ia sudah berkeliling sekalian mengantar berkasnya, harusnya tidak susah untuk menemukannya lagi.Senyum dengan mata menyipit membentuk bulan sabit terbit di bibirnya, akhiranya ketemu juga, ia sudah berniat meminta bantuan salah satu dari mereka kalau tidak juga menemukannya. Barata segera mengetuk pintu di depannya, tak lama ia bisa mendengar sahutan dari dalam."Permisi Pak, saya Batara, mu

DMCA.com Protection Status