Share

4

Penulis: Bloomsky
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Bestari kira Batara si murid baru itu pendiam namun dugaannya salah besar. Dia memang tidak cerewet seperti Harsa, tapi juga tidak pendiam seperti Tirta. Dia baik kepada siapa saja, ramah dan sepertinya mudah berteman, tapi selama beberapa minggu sekolah sikap aslinya mulai terlihat. Sering kali Batara mengganggunya tanpa alasan yang jelas, risih? Tentu saja.

"Pagi, Tari." Tuhkan, Bestari bahkan baru masuk beberapa langkah ke dalam kelas tapi Batara sudah merecokinya.

"Pagi," balasnya singkat. Malas meladeni Batara.

Bestari cepat-cepat duduk di kursinya, membuka novel yang baru kemarin ia beli. Jam segini masih sedikit yang datang, dan Batara yang tiba lebih cepat dari yang lain adalah hal langka untuk seorang cowok, apalagi di kelasnya kebanyakan cowoknya masuk telat, mungkin sekitar sepuluh menit sebelum bel masuk bunyi.

Untuk murid perempuan biasa saja, ada yang pagi ada yang siang, salah satunya Maharani, gadis itu sering sekali masuk saat jam mepet, tepat sebelum guru masuk dia baru ada di kelas. Anehnya Maharani selalu saja lolos dari hukuman, tidak tahu jurus apa yang dipakainya.

Seseorang yang duduk di sebelahnya mengganggu fokus Bestari, ia melirik sedikit lalu mendengkus kesal saat sosok tahu dia adalah Batara. Bestari menggeser duduknya, menjauh dari Batara sejauh yang ia bisa. Harusnya ia tidak memilih duduk dekat jendela, sekarang kalau sudah begini tidak bisa kemana-mana. Ia terpojok antara dinding dan Batara. Satu-satunya jalan pergi hanya melewati cowok itu.

"Kenapa, sih?"

"Apanya?" tanya Bestari tak paham. Ia mengerutkan alis bingung

"Yah kamu kenapa geser-geser? Heran deh, perasaan aku udah mandi, masa masih bau." Batara mengendus aromanya sendiri, ia rasa tidak ada yang aneh, ia wangi kok, lalu kenapa gadis ini menjauhinya.

"Tidak." Ingin Bestari menyerukan kata itu, cowok di sampingnya ini bahkan memiliki bau badan atau entah parfum, atau apapun itu yang menyegarkan. Meski dari jauh, Bestari bahkan masih bisa menciumnya. Perpaduan citrus dan lavender yang terasa segar dan lembut ketika masuk ke indra penciumannya, aromanya tidak menyengat seperti yang lain. Dan mau tak mau Bestari akui, Batara memiliki bau badan yang menenangkan.

"Heh, kok ngelamun."

Tepukan di lengannya membuat Bestari sadar dari pemikirannya soal parfum Batara, ia mendelik sebal tak suka dengan kontak fisik yang cowok itu lakukan. Selama ini jarang temannya yang melakukan kontak fisik secara langsung, apalagi setelah gosip murahan itu tersebar. Tapi sekarang Batara dengan mudah menyentuhnya seenak hati, bahkan sebelum ia mengizinkan.

"Jangan pegang-pegang."

"Lah, kenapa coba? Perasaan salah mulu. Tari denger, ya." Batara merubah arah duduknya menyamping menghadap Bestari yang mojok di dinding, seperti orang kejepit. "Aku selalu mandi, selalu cuci kaki sama tangan, aku juga gosok gigi. Aku bersih dan wangi, jadi kamu gak usah takut. Aku gak bawa kuman. Oke?"

Bestari masih diam, mencerna maksud kalimat Batara, memang ia ada menyinggung soal kebersihan ya. Ia kan cuma melarang cowok itu memegangnya.

"Tuhkan. Suka banget sih ngelamun. Hello." Batara menjentikkan jarinya di depan wajah Bestari, mengembalikan fokus gadis itu.

"Dengar ya Batara, kita belum seakrab itu, dan aku gak pernah bilang kamu bawa kuman. Paham?"

"Tapi––"

"Dan satu lagi. Jangan sok kenal." Bestari memotong Batara yang berniat bicara. Jengah juga dengan sikap Batara yang terus mengganggunya.

Mendapat penolakan Batara bukanya marah, ia malah tersenyum semakin lebar hingga matanya benar-benar hilang tak bersisa. Persis seperti Jeno, salah satu biasnya Maharani.

"Kalau begitu mulai sekarang kita harus saling kenal, biar makin akrab. Oke?" Batara beranjak berdiri, balik ke tempat asalnya. Beberapa anak sudah berdatangan, jangan dulu ada gosip. Nanti saat hubungannya dengan Bestari jelas, barulah Batara biarkan gosip itu menyebar. Kalau perlu seantero sekolah. Ia terkekeh ringan membayangkannya.

Bestari yang melihat Batara tertawa dan tersenyum sendiri bergidik ngeri, ia rasa cowok itu memang tidak waras.

¤¤¤

Tugas kelompok yang anggotanya diacak adalah salah satu hal yang Bestari benci, ia tidak suka ketika harus berbeda kelompok dengan Maharani apalagi itu cowok. Bukan tanpa sebab, ia hanya tidak suka ketika pembahasan mereka sudah jauh dari yang seharusnya dibahas. Apalagi membahas ranah pribadi yang bukan urusannya.

Nasib sialnya datang hari ini, ia tidak satu kelompok dengan Maharani. Yang lebih sial lagi, ia harus satu kelompok dengan Batara. Tugasnya sih tidak susah, hanya saja partnernya yang menyusahkan.

Ogah-ogahan Bestari melangkah ke meja Batara, bibirnya mengerucut sebal. Tangannya bersedekap, menatap angkuh ke arah Batara. Yang ditatap masih saja tersenyum.

"Ayo ke perpus, cepetan, jangan lelet." Setelah itu Bestari pergi, tak peduli Batara mengikutinya atau tidak. Toh nanti bisa ia kerjakan sendiri, itu lebih baik.

Beberapa temannya sudah menempati posisi strategis di perpustakaan, ia kurang cepat. Akhirnya Bestari memilih berkeliling lebih dulu, mencari buku yang ia butuhkan, setelahnya ia duduk di pojok yang tidak terlalu banyak orang, malas jika harus beramai-ramai yang nantinya berisik dan membuat tidak fokus mengerjakan. Tangannya dengan cekatan membuka buku yang baru diambilnya. Ada beberapa bab yang sudah ia pikirkan sebagai materinya.

"Aku cariin tahunya di sini. Kenapa mojok banget sih."

Ya Tuhan, Bestari lupa. Ia tidak sendiri. Ia kesini bersama Batara tadi.

"Suruh siapa lama," ucap Bestari ketus.

"Iya maaf, tadi ada fans aku minta kenalan."

Dih sok eksis, baru juga gitu sombong. Tirta yang ganteng gitu biasa aja. Pasti Batara termasuk golongan playboy disekolahnya dulu, kelihatan kan kelakuan aslinya sekarang.

"Sok kegantengan banget sih jadi cowok. Udah nih kerjain, awas aja kalau salah." Bestari mendorong buku paket ke hadapan Batara. Ia menunjuk bab yang dipilihnya tadi.

"Emang ganteng." Batara menyugar rambutnya ke belakang, persis seperti yang biasa dilakukan bias Maharani.

"Terserah!" Bestari tidak peduli, mau dia bersikap seperti apapun itu bukan urusannya.

"Eh, bentar-bentar." Satu tangan Batara menahan tangan Bestari yang akan menulis.

"Apa lagi sih!" Kesabaran Bestari menguap, sedari ia tiba di sekolah sampai mengerjakan tugas, masih saja Batara merecokinya. Maunya apa sih, cowok ini.

"Hehe, santai dong, gitu aja marah." Siapapun orangnya, kalau berhadapan dengan Batara pasti akan seperti Bestari. Harusnya ia menolak tadi waktu dijadikan satu kelompok dengan Batara.

"Ya terus kenapa!"

"Ck!" Batara berdecak sebal." Jangan bab ini, penjelasannya rumit. Pakai bab yang ini aja, lebih singkat dan presentasi nanti lebih mudah." Ia menarik buku paket Bestari, menunjuk bab yang menurutnya lebih mudah.

"Oke." Bestari menarik kembali bukunya. Lebih baik mengiyakan daripada membantah yang nantinya mengakibatkan semakin lama mereka mengerjakan. Lihat saja kalau sampai nilainya jelek, Batara yang akan Bestari salahkan.

¤¤¤

Sekolah sudah sepi saat Bestari meninggalkan kelas, hanya ada beberapa anak yang mungkin ada ekstrakurikuler atau nebeng Wi-Fi.

"Duluan, Tar." Salah seorang temannya melambaikan tangan berpamitan.

"Iya," balas Bestari melambaikan tangannya.

Hari ini ia harus piket sebelum pulang, tadi Maharani sudah menawarkan bantuan  sekaligus akan mengantarnya pulang, tapi karena rumah mereka yang berbeda arah membuat Bestari menolaknya. Kasihan kalau Maharani harus bolak-balik.

Cuaca hari ini terlihat panas, tangan Bestari tak henti mengipasi wajahnya, meskipun tak berefek banyak. Buru-buru ia berlari menuju halte, napasnya sedikit terengah karena berlari di cuaca yang sedang terik-teriknya. Hah coba saja ia boleh naik kendaraan, gak perlu mobil deh motor juga bisa. Tapi sayang, ayahnya tak mengizinkan. Bahaya katanya, belum cukup umur. Memangnya kalau naik kendaraan umum tidak bahaya, kan bisa saja ia diculik, huh ada-ada saja ayahnya.

"Duh, angkot mana sih. Taksi juga gak ada yang lewat," gerutunya kesal karena tak ada taksi atau angkot yang lewat. Ia kan hanya terlewat beberapa menit dari waktu pulang, masa iya semua angkot sudah pergi.

Masa ia harus jalan kaki, panas-panas begini. Bestari sih tidak masalah sebenarnya, kalau saja cuaca tidak panas. Apalagi jarak rumahnya itu lumayan jauh, yang ada tepar ia sampai di rumah. Mana ponselnya mati, ia kan jadi tidak bisa pesan ojol atau taksi kalau begini.

Menghela napas lelah Bestari bangkit, daripada menunggu lama lebih baik jalan kaki. Nanti melimpir ke indomaret saat capek, ngadem depan lemari pendingin, lumayanlah daripada ia tepar tengah jalan.

Sebuah mobil tiba-tiba menghadang jalannya, Bestari menatap heran siapa orang ini. Jangan-jangan penculik, tidak mungkin penculik memakai mobil bagus kan? Tapi jaman sekarang penculik kan lebih pintar. Segala rasa penasaran Bestari terjawab saat kaca samping kemudi terbuka. Sosok menyebalkan yang mengganggunya hari ini terlihat. Dengan senyum bulan sabitnya yang tidak pernah hilang, heran apa ototnya tidak capek tersenyum terus.

"Dia lagi, dia lagi," gumam Bestari dalam hati.

Pura-pura cuek Bestari berbalik pergi. Anggap saja orang asing, toh mereka memang orang asing kan.

"Hoy!" teriakan Batara menghentikan langkah Bestari. Meski kesal namun akhirnya Bestari berbalik juga, menatap kesal Batara yang menjulurkan kepalanya keluar.

"Apa!"

"Mau nebeng gak? Cuaca panas banget loh ini." Tawaran itu terdengar menggiurkan, tapi siapa yang menawarinya membuat Bestari ragu.

"Ayo, buruan. Aku tinggal nih."

Oke Bestari terpaksa, ia hanya malas panas-panasan, tidak ada pilihan lain. Pelan tapi pasti ia melangkah menghampiri mobil itu, membuka kursi samping pengemudi. Mau duduk dibelakang kasihan Batara, nanti jadi supir. Bestari sih seneng-seneng aja, sayangnya ia tahu diri kalau numpang.

Mobil Batara bersih, wangi lagi. Sepertinya dia termasuk anak yang menjaga kebersihan. Samar-samar parfum Batara juga menguar, mungkin karena mobilnya sering dipakai makanya aromanya melebur. Lalu bagaimana dengan kamarnya, pasti aromanya semakin pekat.

Astaga apa yang ia pikirkan, Bestari menggeleng pelan. Berusaha mengenyahkan gambaran kamar Batara.

"Kenapa?"

"Hm?"

"Kamu kenapa geleng-geleng, pusing?"

"Kepo deh, udah jalan aja. Jangan cerewet."

"Judes banget." Bestari tak peduli, ia lebih tertarik menatap pemandangan yang dilewatinya, meski sudah terlampau sering ia melihat. Itu lebih baik daripada menatap wajah Batara.

Bab terkait

  • Klandestin    5

    Selama perjalanan itu hanya di isi keheningan, Batara ingin berbicara tapi sepertinya Bestari enggan. Gadis itu hanya akan menjawab ketika ditanya arah mana yang harus dilewati, setelah itu diam. Terlihat sekali dia tidak nyaman. "Makasih." Bestari menunduk menyamakan tubuhnya setinggi pintu mobil. Ia masih tahu adab ketika diberi bantuan, sekalipun orang itu tidak disukainya."Sama-sama, aku gak mampir ya. Lain kali aja." Dih kepedean, Bestari juga tidak berniat mengajaknya mampir. Ini juga pertama dan terakhir ia mau diantar Batara, tak ada yang kedua kalinya. "Aku pulang, ya.""Iya, udah sana. Hati-hati."Bestari diam di tempatnya, matanya masih memandang kearah perginya mobil Batara. Ada yang salah. Bukankah Batara terlalu jauh melangkah, sela

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Klandestin    6

    Bestari berubah, sudah hampir satu minggu dia terus menghindar. Batara yang melihatnya hanya bisa menghela napas pasrah. Beberapa kali ia berusaha mendekat, tapi gadis itu juga semakin keras menolak. Benar kata Tirta, benteng tak kasat mata yang dibangun Bestari sangat kokoh. Batara merasa ia tak akan berhasil menembusnya, dan ini adalah kabar buruk."Weh, mau kemana?" Si tukang kepo Harsa bertanya. Sedari tadi diam tiba-tiba saja mau pergi, Harsa kan takut kalau Batara kenapa-kenapa, kerasukan contohnya, soalnya daritadi dia diem aja."Toilet."Batara tak lagi menunggu basa-basi Harsa, ia perlu menjernihkan pikirannya. Ia membasuh muka, menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia tidak boleh menyerah, ini baru awal. Masih ada waktu, dan ia yakin pasti bisa.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Klandestin    7

    Kedekatan mereka memang tidak banyak yang berubah, hanya saja Bestari sudah tak menghidar lagi dari Batara. Iya juga mencoba santai ketika berbicara dengan Batara, tapi masih meninggikan bentengnya.Yang masih kurang bisa ia terima adalah sikap spontan Batara, dia sering berbuat sesuatu tanpa memberi tahu. Seperti hari ini contohnya, tanpa ada angin atau hujan, Batara datang menjemputnya, coba saja cowok ini tidak tahu rumahnya dulu. Mau menolak kasihan sudah jauh-jauh ke sini, tapi––"Ngapain ke sini?""Lah, gak lihat udah pakai seragam, ya mau jemput kamu terus ke sekolah. Masa iya mau tidur." Gak lihat Batara udah seganteng ini. Wangi lagi."Biasanya juga berangkat sendiri."

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Klandestin    8

    Beberapa kertas yang diremat membentuk gumpalan memenuhi lokernya, Bestari menghela napas lelah. Ini sudah berlangsung selama lebih tiga hari sejak ia ada masalah dengan Sera. Tidak mengejutkan kalau ada yang melakukan ini, jika bukan Sera sendiri pasti fans gadis itu. Ia mengambil semua gumpalan itu, memasukkannya ke dalam kantong kresek yang kini selalu ia sediakan, jaga-jaga seperti saat ini.Bestari tidak berniat melihat apa yang tertulis dalam gumpalan itu, karena ia tahu, isinya pasti tidak jauh-jauh menghujatnya yang katanya seorang lesbi, atau sumpah serapah karena berani dengan Sera. Biarkan saja mereka pasti nantinya akan berhenti kalau capek.Perihal kertas-kertas ini tidak ada yang tahu, pun dengan Maharani, Bestari selalu membuangnya bahkan sebelum Maharani mengetahuinya. Biarkan ini jadi rahasianya sendiri,

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Klandestin    9

    Bestari merasa tak tenang, entahlah hatinya tiba-tiba saja merasa tidak enak. Ia tak tahu apa yang salah, namun ada sesuatu yang membuatnya gelisah. Firasatnya mengatakan akan ada hal buruk terjadi. Selama ini firasatnya jarang meleset, saat kepergian Panji dulu, ia pun merasakan perasaan seperti ini.Ia berjalan menuju lokernya, membuka pintu dan mengernyit heran saat tak ada lagi gumpalan kertas di sana. Apa sudah selesai? Apa mereka semua sudah lelah mengerjainya. Entahlah, Bestari tak yakin dengan hal itu, tapi baguslah. Ia kembali menutup pintu loker dan terkejut menemukan beberapa perempuan telah berdiri di sekitarnya. Oh tidak! Ia kalah jumlah. Mana bisa satu orang menang melawan lima orang. Kalau dia ikut silat sih pasti menang, masalahnya dia kan tidak ikut begituan."Ada apa?" tanyanya mencoba basa-basi. B

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Klandestin    10

    Batara melirik pintu kelas, sedari tadi Bestari tak ada melewati pintu. Ia jadi khawatir kalau Bestari kenapa-kenapa. Atau jangan-jangan dia sakit makanya tidak masuk. Tidak biasanya Bestari berangkat sesiang ini. Yang lebih membuat Batara tak tenang adalah bagaimana jika Bestari dijahili oleh orang-orang yang mengirim teror. Harusnya ia antar jemput saja Bestari, kalau begini ia jadi bingung sendiri. Batara berdiri menghampiri bangku Bestari. Tirta dan Harsa yang melihatnya saling tatap, Tirta menggedikkan bahu acuh. Ia kembali fokus membaca bukunya. Daripada Batara mati penasaran, ia lebih baik tanya dari sumber terpercaya saja. Pesannya juga tidak ada balasan. Batara menepuk pundak Maharani yang tengah asik menonton video dengan headset terpasang di telinga. Dasar maniak, hampir setiap hari ia melihat Maharani stalking laki-laki bermata sipit itu. Untung Bestari tak ikut-ikutan, bisa kalah saing dia. "Paa

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Klandestin    11

    Batara kembali antar-jemput Bestari. Meski Bestari bersikukuh menolak tapi Batara tak mengidahkan. Alasannya dia tidak mau kejadian Bestari ditampar terulang kembali, dengan tambahan mereka sepasang kekasih sekarang. Cih dasar modus.Hubungan mereka memang masih rahasia, hanya ketiga teman mereka saja yang tahu. Bestari tak merasa sepenting itu sampai hubungannya harus diketahui semua orang.Mereka melangkah beriringan menuju kelas, beberapa anak terang-terangan memadang. Tak terkecuali Daksa dan Nuraga.Nuraga menguap ia masih mengantuk, temannya ini tiba-tiba mengajak berangkat pagi. Keajaiban sekali apalagi ia hapal betul bahwa Daksa lebih sering membolos daripada sekolah, tidak tahu ada angin apa. Tapi sepertinya ia paham sekarang."Lo masih dendam sama tuh anak?" tanya Nuraga. Ia masih ingat jelas wajah anak baru itu. Duh, masa iya pagi-pagi begini Daksa mau adu jotos. Kenapa tidak nanti

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Klandestin    Prolog

    Sejuknya angin malam tak menyurutkan dua insan manusia berbeda jenis kelamin itu untuk beranjak pergi, mereka masih asik dengan dunianya sendiri. Menimati setiap detik yang tercipta di antara mereka. Hening namun menenangkan, dingin namun terasa nyaman.Tangan sang gadis menepuk pelan lengan sang lelaki. Lelaki itu menoleh, namun bukannya bicara sang gadis malah bersandar di pundaknya. Gadisnya terlihat asik menatap langit malam yang cerah berseri penuh bintang."Kenapa, sayang?" tanya lelaki itu. Tangannya mengusap pipi gembil gadisnya, menciptakan semburat merah di sana."Tahu gak, sekarang aku baru sadar. Bahwa kamu itu bukan kesialan untukku." Ia berbalik badan, sepenuhnya menghadap kekasihnya. "Kamu itu anugerah yang Tuhan berikan buat aku," lanjutnya menyembunyikan wajahnya di dekapan sang lelaki. Malu, bahkan wajahnya terasa panas sekarang.Senyum yang membentuk bulan sabit itu terceta

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Klandestin    11

    Batara kembali antar-jemput Bestari. Meski Bestari bersikukuh menolak tapi Batara tak mengidahkan. Alasannya dia tidak mau kejadian Bestari ditampar terulang kembali, dengan tambahan mereka sepasang kekasih sekarang. Cih dasar modus.Hubungan mereka memang masih rahasia, hanya ketiga teman mereka saja yang tahu. Bestari tak merasa sepenting itu sampai hubungannya harus diketahui semua orang.Mereka melangkah beriringan menuju kelas, beberapa anak terang-terangan memadang. Tak terkecuali Daksa dan Nuraga.Nuraga menguap ia masih mengantuk, temannya ini tiba-tiba mengajak berangkat pagi. Keajaiban sekali apalagi ia hapal betul bahwa Daksa lebih sering membolos daripada sekolah, tidak tahu ada angin apa. Tapi sepertinya ia paham sekarang."Lo masih dendam sama tuh anak?" tanya Nuraga. Ia masih ingat jelas wajah anak baru itu. Duh, masa iya pagi-pagi begini Daksa mau adu jotos. Kenapa tidak nanti

  • Klandestin    10

    Batara melirik pintu kelas, sedari tadi Bestari tak ada melewati pintu. Ia jadi khawatir kalau Bestari kenapa-kenapa. Atau jangan-jangan dia sakit makanya tidak masuk. Tidak biasanya Bestari berangkat sesiang ini. Yang lebih membuat Batara tak tenang adalah bagaimana jika Bestari dijahili oleh orang-orang yang mengirim teror. Harusnya ia antar jemput saja Bestari, kalau begini ia jadi bingung sendiri. Batara berdiri menghampiri bangku Bestari. Tirta dan Harsa yang melihatnya saling tatap, Tirta menggedikkan bahu acuh. Ia kembali fokus membaca bukunya. Daripada Batara mati penasaran, ia lebih baik tanya dari sumber terpercaya saja. Pesannya juga tidak ada balasan. Batara menepuk pundak Maharani yang tengah asik menonton video dengan headset terpasang di telinga. Dasar maniak, hampir setiap hari ia melihat Maharani stalking laki-laki bermata sipit itu. Untung Bestari tak ikut-ikutan, bisa kalah saing dia. "Paa

  • Klandestin    9

    Bestari merasa tak tenang, entahlah hatinya tiba-tiba saja merasa tidak enak. Ia tak tahu apa yang salah, namun ada sesuatu yang membuatnya gelisah. Firasatnya mengatakan akan ada hal buruk terjadi. Selama ini firasatnya jarang meleset, saat kepergian Panji dulu, ia pun merasakan perasaan seperti ini.Ia berjalan menuju lokernya, membuka pintu dan mengernyit heran saat tak ada lagi gumpalan kertas di sana. Apa sudah selesai? Apa mereka semua sudah lelah mengerjainya. Entahlah, Bestari tak yakin dengan hal itu, tapi baguslah. Ia kembali menutup pintu loker dan terkejut menemukan beberapa perempuan telah berdiri di sekitarnya. Oh tidak! Ia kalah jumlah. Mana bisa satu orang menang melawan lima orang. Kalau dia ikut silat sih pasti menang, masalahnya dia kan tidak ikut begituan."Ada apa?" tanyanya mencoba basa-basi. B

  • Klandestin    8

    Beberapa kertas yang diremat membentuk gumpalan memenuhi lokernya, Bestari menghela napas lelah. Ini sudah berlangsung selama lebih tiga hari sejak ia ada masalah dengan Sera. Tidak mengejutkan kalau ada yang melakukan ini, jika bukan Sera sendiri pasti fans gadis itu. Ia mengambil semua gumpalan itu, memasukkannya ke dalam kantong kresek yang kini selalu ia sediakan, jaga-jaga seperti saat ini.Bestari tidak berniat melihat apa yang tertulis dalam gumpalan itu, karena ia tahu, isinya pasti tidak jauh-jauh menghujatnya yang katanya seorang lesbi, atau sumpah serapah karena berani dengan Sera. Biarkan saja mereka pasti nantinya akan berhenti kalau capek.Perihal kertas-kertas ini tidak ada yang tahu, pun dengan Maharani, Bestari selalu membuangnya bahkan sebelum Maharani mengetahuinya. Biarkan ini jadi rahasianya sendiri,

  • Klandestin    7

    Kedekatan mereka memang tidak banyak yang berubah, hanya saja Bestari sudah tak menghidar lagi dari Batara. Iya juga mencoba santai ketika berbicara dengan Batara, tapi masih meninggikan bentengnya.Yang masih kurang bisa ia terima adalah sikap spontan Batara, dia sering berbuat sesuatu tanpa memberi tahu. Seperti hari ini contohnya, tanpa ada angin atau hujan, Batara datang menjemputnya, coba saja cowok ini tidak tahu rumahnya dulu. Mau menolak kasihan sudah jauh-jauh ke sini, tapi––"Ngapain ke sini?""Lah, gak lihat udah pakai seragam, ya mau jemput kamu terus ke sekolah. Masa iya mau tidur." Gak lihat Batara udah seganteng ini. Wangi lagi."Biasanya juga berangkat sendiri."

  • Klandestin    6

    Bestari berubah, sudah hampir satu minggu dia terus menghindar. Batara yang melihatnya hanya bisa menghela napas pasrah. Beberapa kali ia berusaha mendekat, tapi gadis itu juga semakin keras menolak. Benar kata Tirta, benteng tak kasat mata yang dibangun Bestari sangat kokoh. Batara merasa ia tak akan berhasil menembusnya, dan ini adalah kabar buruk."Weh, mau kemana?" Si tukang kepo Harsa bertanya. Sedari tadi diam tiba-tiba saja mau pergi, Harsa kan takut kalau Batara kenapa-kenapa, kerasukan contohnya, soalnya daritadi dia diem aja."Toilet."Batara tak lagi menunggu basa-basi Harsa, ia perlu menjernihkan pikirannya. Ia membasuh muka, menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia tidak boleh menyerah, ini baru awal. Masih ada waktu, dan ia yakin pasti bisa.

  • Klandestin    5

    Selama perjalanan itu hanya di isi keheningan, Batara ingin berbicara tapi sepertinya Bestari enggan. Gadis itu hanya akan menjawab ketika ditanya arah mana yang harus dilewati, setelah itu diam. Terlihat sekali dia tidak nyaman. "Makasih." Bestari menunduk menyamakan tubuhnya setinggi pintu mobil. Ia masih tahu adab ketika diberi bantuan, sekalipun orang itu tidak disukainya."Sama-sama, aku gak mampir ya. Lain kali aja." Dih kepedean, Bestari juga tidak berniat mengajaknya mampir. Ini juga pertama dan terakhir ia mau diantar Batara, tak ada yang kedua kalinya. "Aku pulang, ya.""Iya, udah sana. Hati-hati."Bestari diam di tempatnya, matanya masih memandang kearah perginya mobil Batara. Ada yang salah. Bukankah Batara terlalu jauh melangkah, sela

  • Klandestin    4

    Bestari kira Batara si murid baru itu pendiam namun dugaannya salah besar. Dia memang tidak cerewet seperti Harsa, tapi juga tidak pendiam seperti Tirta. Dia baik kepada siapa saja, ramah dan sepertinya mudah berteman, tapi selama beberapa minggu sekolah sikap aslinya mulai terlihat. Sering kali Batara mengganggunya tanpa alasan yang jelas, risih? Tentu saja. "Pagi, Tari." Tuhkan, Bestari bahkan baru masuk beberapa langkah ke dalam kelas tapi Batara sudah merecokinya. "Pagi," balasnya singkat. Malas meladeni Batara. Bestari cepat-cepat duduk di kursinya, membuka novel yang baru kemarin ia beli. Jam segini masih sedikit yang datang, dan Batara yang tiba lebih cepat dari yang lain adalah hal langka untuk seorang cowok, apalagi di kelasnya kebanyakan cowoknya masuk telat, mungkin sekitar sepuluh

  • Klandestin    3

    Pemuda bernama lengkap Batara Selaksa itu segera melesat turun dari mobil yang dikendarainya, memutar bola mata malas kala banyak yang memandang heran dan penasaran ke arahnya. Ck! Sudah biasa, apalagi wajah asing yang memang tampan. Batara bukan kepedean tapi itu nyata, ia memang tampan.Pemuda yang kerap disapa Tara itu segera pergi menuju ruang kepala sekolah, risih juga lama-lama ditatap terus-menerus. Kemarin ia sudah berkeliling sekalian mengantar berkasnya, harusnya tidak susah untuk menemukannya lagi.Senyum dengan mata menyipit membentuk bulan sabit terbit di bibirnya, akhiranya ketemu juga, ia sudah berniat meminta bantuan salah satu dari mereka kalau tidak juga menemukannya. Barata segera mengetuk pintu di depannya, tak lama ia bisa mendengar sahutan dari dalam."Permisi Pak, saya Batara, mu

DMCA.com Protection Status