Pemuda bernama lengkap Batara Selaksa itu segera melesat turun dari mobil yang dikendarainya, memutar bola mata malas kala banyak yang memandang heran dan penasaran ke arahnya. Ck! Sudah biasa, apalagi wajah asing yang memang tampan. Batara bukan kepedean tapi itu nyata, ia memang tampan.
Pemuda yang kerap disapa Tara itu segera pergi menuju ruang kepala sekolah, risih juga lama-lama ditatap terus-menerus. Kemarin ia sudah berkeliling sekalian mengantar berkasnya, harusnya tidak susah untuk menemukannya lagi.
Senyum dengan mata menyipit membentuk bulan sabit terbit di bibirnya, akhiranya ketemu juga, ia sudah berniat meminta bantuan salah satu dari mereka kalau tidak juga menemukannya. Barata segera mengetuk pintu di depannya, tak lama ia bisa mendengar sahutan dari dalam.
"Permisi Pak, saya Batara, murid baru yang kemarin mengantar berkas ke sini," ucap Batara ketika sampai di depan meja kepala sekolah. Basa-basi seperti ini membosankan sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi.
"Oh, iya, tunggu sebentar, saya panggilkan guru yang akan mengantar kamu." Si kepala sekolah segera menelpon, entah kemana Batara tak ingin tahu.
Tak berselang lama datang seorang guru perempuan berumur sekitar 30-an. Wajahnya sedikit jutek dengan alis hitam yang kontras sekali.
"Duh, nih guru kagak punya kaca apa yak. Dandan kok aneh banget," cerca Batara dalam hati, mana berani ia bicara langsung, yang ada bisa kena masalah di hari pertama masuk."Nak Batara silakan ikut Bu Santi, beliau yang mengajar di kelas kamu hari ini."
Batara mengangguk, berpamitan sebentar lalu segera beranjak pergi, mengikuti guru perempuan yang ia ketahui bernama bu Santi itu.Mereka tiba di sebuah kelas, XII- IPA 2. Bu Santi mengetuk pintu sebentar sebelum masuk ke dalam. Batara pikir mereka tidak seburuk itu, meski tampilan mereka tidak sekeren temannya dulu. Ia mengedarkan pandangannya mengamati seluruh isi kelas, kesan pertama yang di dapat adalah kelas ini tidak begitu buruk. Lumayan lah, belum tahu kalau nanti.
"Baik anak-anak, Sebelum pelajaran di mulai, Ibu ingin mengenalkan seseorang pada kalian." Bu Santi menatap Batara, masih dengan wajah judesnya, Batara yakin memang seperti itu kondisi wajahnya, tidak bisa berubah. Terlalu judes. Kasihan suaminya.
"Silakan, perkenalkan diri kamu."
Batara mengedarkan pandangannya menatap sekitar, lalu pandangannya jatuh pada perempuan di bangku sebelah kiri beberapa detik sebelum ia kembali fokus. "Namaku Batara Selaksa, kalian bisa panggil Tara, Dulu pernah sekolah di SMA Persada Lima."
"Untuk yang punya pertanyaan silahkan nanti japri saja. Batara kamu bisa duduk disamping Harsa, Harsa bisa angkat tangan. Kita akan memulai pelajaran." Beberapa siswi yang mendengar ucapan bu Santi menggerutu, Barata tersenyum sedikit karenanya.
Saat Batara sudah duduk, ia kembali memandang gadis yang tadi menarik perhatiannya. Gadis itu, dia tidak cantik, tidak jelek juga. Dia terlihat seperti gadis biasa yang entah kenapa berbeda, seakan gadis itu punya sesuatu yang membuat seseorang menoleh kedua kali. Mungkin ini juga alasan kenapa Batara harus di sini. Bahkan Batara tak mendengarkan ocehan Harsa, yang terdengar seperti gumaman ditelinganya.
¤¤¤
Jam istirahat berbunyi, meski kemarin ia sudah berkeliling, bukan berarti ia sudah hafal segala tempat. Harsa mengajaknya ke kantin, setelah memikirkannya beberapa saat, Batara memilih menerima ajakan Harsa, sekalian mengenal tempat tempat yang lain dan mengakrabkan diri. Mereka pergi bersama seorang lagi yang namanya Tirta. Cowok tampan yang sangat sempurna di mata Batara, rahang kuat, hidung mancung bagai perosotan, serta mata tajam yang mengintimindasi. Jika diibaratkan dia bagai anime yang keluar dari komik. Oke cukup, Batara masih normal, ia hanya kagum saja.
Awalnya Batara pikir, Harsa pendiam ternyata cowok itu lebih cerewet dari dugaanya, sebaliknya malah Tirta yang pendiam, dia hanya menyahut beberapa kali ketika ditanya Harsa, yang aneh bagi Batara adalah, kenapa Tirta bisa betah berteman dengan Harsa.
"Sa, ikut duduk di sini ya. Yang lain penuh," ucap seorang gadis berkulit kuning langsat.
Harsa mengangkat jempol mengiyakan. "Duduk aja, masih muat kok."
Kini mereka ketambahan anggota, dua orang siswi teman sekelas mereka ikut bergabung. Salah satunya adalah gadis yang tadi Batara tatap. Setelah ditinggal temannya, yang namanya Maharani pergi memesan makanan, gadis itu terlihat tak nyaman, beberapa kali bergerak gelisah.
"Tari, udah kenalan sama Tara belum. Duh, nama aja cocok banget. Jangan-jangan jodoh." Saat Harsa mengajaknya bicara, terlihat sekali bagaimana kikuknya gadis itu. Seakan sudah lama sekali dia tidak berbicara.
"Tadi kan udah."
Tak tega melihat gadis itu terus dipaksa, akhirnya Betara memilih memulai perkenalan, ia mengulurkan tangan ke arah gadis itu. Dia terdiam sesaat, sebelum dengan ragu-ragu menyambut uluran tangan Batara.
"Batara."
"Bestari." Setelah itu jabatan tangan mereka terlepas. Singkat, padat, dan jelas. Perkenalan itu bahkan lebih cepat daripada saat dikelas tadi.
Well, itu sudah lebih dari cukup, kala melihat gelagat gadis itu yang tidak senang. Dan saat akhiranya ia tahu namanya, Batara yakin, ia ada di jalan yang benar. Bestari, nama itu memang secantik orangnya.Usai makan di kantin, mereka melanjutkan dengan berkeliling sekolah, masih ada beberapa menit sebelum jam masuk. Batara suka sekolah ini, dan kemungkinan akan betah di sini.
Saat mereka kembali ke kelas, Batara melihat Bestari seperti menulis sesuatu di buku seperti buku diary, ia tersenyum geli tak menyangka di zaman modern masih ada yang memilih buku sebagai media curhat, bahkan di saat yang lain berlomba-lomba curhat di media sosial.
Bestari dan temannya tadi terlihat mengobrol serius, sebelum temannya itu fokus ke ponselnya. Batara masih diam mengawasi, sampai ia sedikit menyipitkan matanya saat melihat Bestari menangis, lalu tiba-tiba gadis itu berlari pergi keluar kelas. Maka secepat itu pula, Batara bangkit berdiri berniat mengikutinya.
"Weh, mau kemana?" tanya Harsa.
"Toilet bentar," jawab Batara singkat. Ia segera pergi mengikuti arah Bestari berjalan. Hingga terhenti di depan toilet perempuan, tidak mungkin ia masuk. Yang ada dia dituduh berbuat mesum nanti.
Batara menghela napas pasrah, dengan lunglai ia kembali.
"Kok cepet?""Hm." Bahkan untuk sekadar menyahuti pertanyaan Harsa saja Betara malas, ia lebih memilih menatap ke arah pintu masuk menunggu kedatangan Bestari.
Lama sekali Bestari tak muncul juga, Batara khawatir. Ia takut gadis itu kenapa-kenapa. Ia tak tahu kenapa bisa begini, apalagi di saat pertama kali mereka berjumpa, biarkan ini Batara pikir nanti, yang harus ia lakukan sekarang adalah menyusulnya. Tapi baru ia akan berdiri, Bestari terlihat masuk dengan wajah sembab dan hidung memerah. Ia bisa melihat khawatinya tekan Bestari. Meski tak bisa mendengar apa yang Bestari dan temannya bicarakan, tapi sepertinya mereka membahas soal Bestari yang menangis. Ada perasaan sesak melihat Bestari seperti itu.
"Ngelihat siapa sih, segitunya." Harsa mengikuti arah pandang Batara, dia mangguk-mangguk mengerti saat tahu jawabannya.
"Lo suka sama Tari." Itu bukan pertanyaan itu lebih ke pernyataan.
Batara diam tak menjawab, ia rasa itu bukan urusan Harsa, lagian sepertinya ini bukan tentang ia menyukai gadis itu, ini soal lainnya. Batara masih menatap Bestari, membuat Harsa berdecak sebal.
"Mending jangan deh," Ucapan Harsa berhasil mengalihkan pandangan Batara. Ia mengangkat satu alisnya heran.
"Kenapa?"
"Dia itu gak suka cowok." Batara mengerutkan wajahnya tidak suka.
"Kata siapa? Gue lihat dia biasa aja, tuh."
"Gak tahu sih, siapa yang nyebar berita ini, tapi yang pasti dulu katanya ada cowok yang nembak dia, tapi ditolak mentah-mentah, eh sejak saat itu gosip kalau dia gak suka cowok mulai beredar." Harsa menjeda ucapannya, berusaha menggali lebih dalam ingatannya.
"Kalau kata gue sih, bukan gak suka cowok. Tapi dia cuma gak nyaman aja, soalnya selama tiga tahun sekelas sama dia, Tari itu orangnya gak kayak yang di omongin mereka. Dia masih mau kok ngomong sama cowok, buktinya dia masih mau ngomong sama gue, ya cuma itu, emang dia jaga jarak, makanya banyak yang bilang dia gak suka cowok," terang Harsa panjang.
Kalau masalah Bestari yang mau bicara sama Harsa, sepertinya itu memang Harsa yang terlalu cerewet sebagai cowok. Tapi setidaknya ia punya informasi baru sekarang.
"Thanks infonya."
Siapapun yang menyebarkan berita itu sepertinya dia kehilangan akal, mungkin dia memang tidak suka dengan Bestari makanya menyebarkan gosip tidak bermutu.
Batara akan mencari tahu asal gosip ini, dan ia akan membungkam langsung mulutnya. Kalau perlu si penyebar gosip harus speak up langsung bahwa berita itu hoax. Karena Batara yakin, Bestari gadis normal, dia tidak menyimpang. Ia bahkan tahu punya alasan kuat mengenai itu
"Oh, iya. Kalau lo beneran suka sama dia, gue dukung kok." Batara menatap Harsa tidak percaya, tadi dia sendiri yang bilang jangan, kenapa sekarang berubah.
"Tadi lo bilang jangan."
"Gue berubah pikiran, siapa tahu dengan ini bisa buktiin kalo Tari normal, dan gosip itu terbukti salah."
Benar juga kenapa Batara tidak kepikiran ke sana, itu ide yang cemerlang.
"Kalau butuh bantuan, gue siap bantu. Kapanpun lo butuh, bilang aja."
"Sekali lagi, makasih." Hari ini, di hari pertamanya sekolah, cukup banyak informasi yang Batara peroleh. Dan ini mengejutkan. Sangat mengejutkan.
Bestari kira Batara si murid baru itu pendiam namun dugaannya salah besar. Dia memang tidak cerewet seperti Harsa, tapi juga tidak pendiam seperti Tirta. Dia baik kepada siapa saja, ramah dan sepertinya mudah berteman, tapi selama beberapa minggu sekolah sikap aslinya mulai terlihat. Sering kali Batara mengganggunya tanpa alasan yang jelas, risih? Tentu saja. "Pagi, Tari." Tuhkan, Bestari bahkan baru masuk beberapa langkah ke dalam kelas tapi Batara sudah merecokinya. "Pagi," balasnya singkat. Malas meladeni Batara. Bestari cepat-cepat duduk di kursinya, membuka novel yang baru kemarin ia beli. Jam segini masih sedikit yang datang, dan Batara yang tiba lebih cepat dari yang lain adalah hal langka untuk seorang cowok, apalagi di kelasnya kebanyakan cowoknya masuk telat, mungkin sekitar sepuluh
Selama perjalanan itu hanya di isi keheningan, Batara ingin berbicara tapi sepertinya Bestari enggan. Gadis itu hanya akan menjawab ketika ditanya arah mana yang harus dilewati, setelah itu diam. Terlihat sekali dia tidak nyaman. "Makasih." Bestari menunduk menyamakan tubuhnya setinggi pintu mobil. Ia masih tahu adab ketika diberi bantuan, sekalipun orang itu tidak disukainya."Sama-sama, aku gak mampir ya. Lain kali aja." Dih kepedean, Bestari juga tidak berniat mengajaknya mampir. Ini juga pertama dan terakhir ia mau diantar Batara, tak ada yang kedua kalinya. "Aku pulang, ya.""Iya, udah sana. Hati-hati."Bestari diam di tempatnya, matanya masih memandang kearah perginya mobil Batara. Ada yang salah. Bukankah Batara terlalu jauh melangkah, sela
Bestari berubah, sudah hampir satu minggu dia terus menghindar. Batara yang melihatnya hanya bisa menghela napas pasrah. Beberapa kali ia berusaha mendekat, tapi gadis itu juga semakin keras menolak. Benar kata Tirta, benteng tak kasat mata yang dibangun Bestari sangat kokoh. Batara merasa ia tak akan berhasil menembusnya, dan ini adalah kabar buruk."Weh, mau kemana?" Si tukang kepo Harsa bertanya. Sedari tadi diam tiba-tiba saja mau pergi, Harsa kan takut kalau Batara kenapa-kenapa, kerasukan contohnya, soalnya daritadi dia diem aja."Toilet."Batara tak lagi menunggu basa-basi Harsa, ia perlu menjernihkan pikirannya. Ia membasuh muka, menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia tidak boleh menyerah, ini baru awal. Masih ada waktu, dan ia yakin pasti bisa.
Kedekatan mereka memang tidak banyak yang berubah, hanya saja Bestari sudah tak menghidar lagi dari Batara. Iya juga mencoba santai ketika berbicara dengan Batara, tapi masih meninggikan bentengnya.Yang masih kurang bisa ia terima adalah sikap spontan Batara, dia sering berbuat sesuatu tanpa memberi tahu. Seperti hari ini contohnya, tanpa ada angin atau hujan, Batara datang menjemputnya, coba saja cowok ini tidak tahu rumahnya dulu. Mau menolak kasihan sudah jauh-jauh ke sini, tapi––"Ngapain ke sini?""Lah, gak lihat udah pakai seragam, ya mau jemput kamu terus ke sekolah. Masa iya mau tidur." Gak lihat Batara udah seganteng ini. Wangi lagi."Biasanya juga berangkat sendiri."
Beberapa kertas yang diremat membentuk gumpalan memenuhi lokernya, Bestari menghela napas lelah. Ini sudah berlangsung selama lebih tiga hari sejak ia ada masalah dengan Sera. Tidak mengejutkan kalau ada yang melakukan ini, jika bukan Sera sendiri pasti fans gadis itu. Ia mengambil semua gumpalan itu, memasukkannya ke dalam kantong kresek yang kini selalu ia sediakan, jaga-jaga seperti saat ini.Bestari tidak berniat melihat apa yang tertulis dalam gumpalan itu, karena ia tahu, isinya pasti tidak jauh-jauh menghujatnya yang katanya seorang lesbi, atau sumpah serapah karena berani dengan Sera. Biarkan saja mereka pasti nantinya akan berhenti kalau capek.Perihal kertas-kertas ini tidak ada yang tahu, pun dengan Maharani, Bestari selalu membuangnya bahkan sebelum Maharani mengetahuinya. Biarkan ini jadi rahasianya sendiri,
Bestari merasa tak tenang, entahlah hatinya tiba-tiba saja merasa tidak enak. Ia tak tahu apa yang salah, namun ada sesuatu yang membuatnya gelisah. Firasatnya mengatakan akan ada hal buruk terjadi. Selama ini firasatnya jarang meleset, saat kepergian Panji dulu, ia pun merasakan perasaan seperti ini.Ia berjalan menuju lokernya, membuka pintu dan mengernyit heran saat tak ada lagi gumpalan kertas di sana. Apa sudah selesai? Apa mereka semua sudah lelah mengerjainya. Entahlah, Bestari tak yakin dengan hal itu, tapi baguslah. Ia kembali menutup pintu loker dan terkejut menemukan beberapa perempuan telah berdiri di sekitarnya. Oh tidak! Ia kalah jumlah. Mana bisa satu orang menang melawan lima orang. Kalau dia ikut silat sih pasti menang, masalahnya dia kan tidak ikut begituan."Ada apa?" tanyanya mencoba basa-basi. B
Batara melirik pintu kelas, sedari tadi Bestari tak ada melewati pintu. Ia jadi khawatir kalau Bestari kenapa-kenapa. Atau jangan-jangan dia sakit makanya tidak masuk. Tidak biasanya Bestari berangkat sesiang ini. Yang lebih membuat Batara tak tenang adalah bagaimana jika Bestari dijahili oleh orang-orang yang mengirim teror. Harusnya ia antar jemput saja Bestari, kalau begini ia jadi bingung sendiri. Batara berdiri menghampiri bangku Bestari. Tirta dan Harsa yang melihatnya saling tatap, Tirta menggedikkan bahu acuh. Ia kembali fokus membaca bukunya. Daripada Batara mati penasaran, ia lebih baik tanya dari sumber terpercaya saja. Pesannya juga tidak ada balasan. Batara menepuk pundak Maharani yang tengah asik menonton video dengan headset terpasang di telinga. Dasar maniak, hampir setiap hari ia melihat Maharani stalking laki-laki bermata sipit itu. Untung Bestari tak ikut-ikutan, bisa kalah saing dia. "Paa
Batara kembali antar-jemput Bestari. Meski Bestari bersikukuh menolak tapi Batara tak mengidahkan. Alasannya dia tidak mau kejadian Bestari ditampar terulang kembali, dengan tambahan mereka sepasang kekasih sekarang. Cih dasar modus.Hubungan mereka memang masih rahasia, hanya ketiga teman mereka saja yang tahu. Bestari tak merasa sepenting itu sampai hubungannya harus diketahui semua orang.Mereka melangkah beriringan menuju kelas, beberapa anak terang-terangan memadang. Tak terkecuali Daksa dan Nuraga.Nuraga menguap ia masih mengantuk, temannya ini tiba-tiba mengajak berangkat pagi. Keajaiban sekali apalagi ia hapal betul bahwa Daksa lebih sering membolos daripada sekolah, tidak tahu ada angin apa. Tapi sepertinya ia paham sekarang."Lo masih dendam sama tuh anak?" tanya Nuraga. Ia masih ingat jelas wajah anak baru itu. Duh, masa iya pagi-pagi begini Daksa mau adu jotos. Kenapa tidak nanti
Batara kembali antar-jemput Bestari. Meski Bestari bersikukuh menolak tapi Batara tak mengidahkan. Alasannya dia tidak mau kejadian Bestari ditampar terulang kembali, dengan tambahan mereka sepasang kekasih sekarang. Cih dasar modus.Hubungan mereka memang masih rahasia, hanya ketiga teman mereka saja yang tahu. Bestari tak merasa sepenting itu sampai hubungannya harus diketahui semua orang.Mereka melangkah beriringan menuju kelas, beberapa anak terang-terangan memadang. Tak terkecuali Daksa dan Nuraga.Nuraga menguap ia masih mengantuk, temannya ini tiba-tiba mengajak berangkat pagi. Keajaiban sekali apalagi ia hapal betul bahwa Daksa lebih sering membolos daripada sekolah, tidak tahu ada angin apa. Tapi sepertinya ia paham sekarang."Lo masih dendam sama tuh anak?" tanya Nuraga. Ia masih ingat jelas wajah anak baru itu. Duh, masa iya pagi-pagi begini Daksa mau adu jotos. Kenapa tidak nanti
Batara melirik pintu kelas, sedari tadi Bestari tak ada melewati pintu. Ia jadi khawatir kalau Bestari kenapa-kenapa. Atau jangan-jangan dia sakit makanya tidak masuk. Tidak biasanya Bestari berangkat sesiang ini. Yang lebih membuat Batara tak tenang adalah bagaimana jika Bestari dijahili oleh orang-orang yang mengirim teror. Harusnya ia antar jemput saja Bestari, kalau begini ia jadi bingung sendiri. Batara berdiri menghampiri bangku Bestari. Tirta dan Harsa yang melihatnya saling tatap, Tirta menggedikkan bahu acuh. Ia kembali fokus membaca bukunya. Daripada Batara mati penasaran, ia lebih baik tanya dari sumber terpercaya saja. Pesannya juga tidak ada balasan. Batara menepuk pundak Maharani yang tengah asik menonton video dengan headset terpasang di telinga. Dasar maniak, hampir setiap hari ia melihat Maharani stalking laki-laki bermata sipit itu. Untung Bestari tak ikut-ikutan, bisa kalah saing dia. "Paa
Bestari merasa tak tenang, entahlah hatinya tiba-tiba saja merasa tidak enak. Ia tak tahu apa yang salah, namun ada sesuatu yang membuatnya gelisah. Firasatnya mengatakan akan ada hal buruk terjadi. Selama ini firasatnya jarang meleset, saat kepergian Panji dulu, ia pun merasakan perasaan seperti ini.Ia berjalan menuju lokernya, membuka pintu dan mengernyit heran saat tak ada lagi gumpalan kertas di sana. Apa sudah selesai? Apa mereka semua sudah lelah mengerjainya. Entahlah, Bestari tak yakin dengan hal itu, tapi baguslah. Ia kembali menutup pintu loker dan terkejut menemukan beberapa perempuan telah berdiri di sekitarnya. Oh tidak! Ia kalah jumlah. Mana bisa satu orang menang melawan lima orang. Kalau dia ikut silat sih pasti menang, masalahnya dia kan tidak ikut begituan."Ada apa?" tanyanya mencoba basa-basi. B
Beberapa kertas yang diremat membentuk gumpalan memenuhi lokernya, Bestari menghela napas lelah. Ini sudah berlangsung selama lebih tiga hari sejak ia ada masalah dengan Sera. Tidak mengejutkan kalau ada yang melakukan ini, jika bukan Sera sendiri pasti fans gadis itu. Ia mengambil semua gumpalan itu, memasukkannya ke dalam kantong kresek yang kini selalu ia sediakan, jaga-jaga seperti saat ini.Bestari tidak berniat melihat apa yang tertulis dalam gumpalan itu, karena ia tahu, isinya pasti tidak jauh-jauh menghujatnya yang katanya seorang lesbi, atau sumpah serapah karena berani dengan Sera. Biarkan saja mereka pasti nantinya akan berhenti kalau capek.Perihal kertas-kertas ini tidak ada yang tahu, pun dengan Maharani, Bestari selalu membuangnya bahkan sebelum Maharani mengetahuinya. Biarkan ini jadi rahasianya sendiri,
Kedekatan mereka memang tidak banyak yang berubah, hanya saja Bestari sudah tak menghidar lagi dari Batara. Iya juga mencoba santai ketika berbicara dengan Batara, tapi masih meninggikan bentengnya.Yang masih kurang bisa ia terima adalah sikap spontan Batara, dia sering berbuat sesuatu tanpa memberi tahu. Seperti hari ini contohnya, tanpa ada angin atau hujan, Batara datang menjemputnya, coba saja cowok ini tidak tahu rumahnya dulu. Mau menolak kasihan sudah jauh-jauh ke sini, tapi––"Ngapain ke sini?""Lah, gak lihat udah pakai seragam, ya mau jemput kamu terus ke sekolah. Masa iya mau tidur." Gak lihat Batara udah seganteng ini. Wangi lagi."Biasanya juga berangkat sendiri."
Bestari berubah, sudah hampir satu minggu dia terus menghindar. Batara yang melihatnya hanya bisa menghela napas pasrah. Beberapa kali ia berusaha mendekat, tapi gadis itu juga semakin keras menolak. Benar kata Tirta, benteng tak kasat mata yang dibangun Bestari sangat kokoh. Batara merasa ia tak akan berhasil menembusnya, dan ini adalah kabar buruk."Weh, mau kemana?" Si tukang kepo Harsa bertanya. Sedari tadi diam tiba-tiba saja mau pergi, Harsa kan takut kalau Batara kenapa-kenapa, kerasukan contohnya, soalnya daritadi dia diem aja."Toilet."Batara tak lagi menunggu basa-basi Harsa, ia perlu menjernihkan pikirannya. Ia membasuh muka, menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia tidak boleh menyerah, ini baru awal. Masih ada waktu, dan ia yakin pasti bisa.
Selama perjalanan itu hanya di isi keheningan, Batara ingin berbicara tapi sepertinya Bestari enggan. Gadis itu hanya akan menjawab ketika ditanya arah mana yang harus dilewati, setelah itu diam. Terlihat sekali dia tidak nyaman. "Makasih." Bestari menunduk menyamakan tubuhnya setinggi pintu mobil. Ia masih tahu adab ketika diberi bantuan, sekalipun orang itu tidak disukainya."Sama-sama, aku gak mampir ya. Lain kali aja." Dih kepedean, Bestari juga tidak berniat mengajaknya mampir. Ini juga pertama dan terakhir ia mau diantar Batara, tak ada yang kedua kalinya. "Aku pulang, ya.""Iya, udah sana. Hati-hati."Bestari diam di tempatnya, matanya masih memandang kearah perginya mobil Batara. Ada yang salah. Bukankah Batara terlalu jauh melangkah, sela
Bestari kira Batara si murid baru itu pendiam namun dugaannya salah besar. Dia memang tidak cerewet seperti Harsa, tapi juga tidak pendiam seperti Tirta. Dia baik kepada siapa saja, ramah dan sepertinya mudah berteman, tapi selama beberapa minggu sekolah sikap aslinya mulai terlihat. Sering kali Batara mengganggunya tanpa alasan yang jelas, risih? Tentu saja. "Pagi, Tari." Tuhkan, Bestari bahkan baru masuk beberapa langkah ke dalam kelas tapi Batara sudah merecokinya. "Pagi," balasnya singkat. Malas meladeni Batara. Bestari cepat-cepat duduk di kursinya, membuka novel yang baru kemarin ia beli. Jam segini masih sedikit yang datang, dan Batara yang tiba lebih cepat dari yang lain adalah hal langka untuk seorang cowok, apalagi di kelasnya kebanyakan cowoknya masuk telat, mungkin sekitar sepuluh
Pemuda bernama lengkap Batara Selaksa itu segera melesat turun dari mobil yang dikendarainya, memutar bola mata malas kala banyak yang memandang heran dan penasaran ke arahnya. Ck! Sudah biasa, apalagi wajah asing yang memang tampan. Batara bukan kepedean tapi itu nyata, ia memang tampan.Pemuda yang kerap disapa Tara itu segera pergi menuju ruang kepala sekolah, risih juga lama-lama ditatap terus-menerus. Kemarin ia sudah berkeliling sekalian mengantar berkasnya, harusnya tidak susah untuk menemukannya lagi.Senyum dengan mata menyipit membentuk bulan sabit terbit di bibirnya, akhiranya ketemu juga, ia sudah berniat meminta bantuan salah satu dari mereka kalau tidak juga menemukannya. Barata segera mengetuk pintu di depannya, tak lama ia bisa mendengar sahutan dari dalam."Permisi Pak, saya Batara, mu