Seorang gadis berseragam putih biru terlihat menangis di taman sendirian, kepalanya ia tenggelamkan di kedua lutut yang ia tekuk. Beberapa orang menatapnya penasaran, namun tak ada yang berniat mendekati. Tak lama terlihat seorang cowok berseragam putih abu-abu menghampirinya. Tanpa permisi dudu disamping gadis itu.
"Hei cantik, kenapa nangis?" tanyanya.
Gadis itu sedikit terkejut, ia menoleh kepada sosok cowok itu. Wajah garang dengan luka di sudut bibir membuat gadis itu takut. Ia mundur sedikit mencoba menjauh.
"Jangan takut, Kakak bukan orang jahat." Yah meski wajahnya membuat banyak orang salah paham dan sering kali takut duluan kepadanya, bukan salahnya kan. Sejak lahir sudah begini. Ketika diam saja banyak yang mengira jika ia marah, padahal memang begini dia.
"Kamu kenapa nangis? Kok gak sekolah, bolos ya?" tanya cowok itu mencoba menarik perhatian sang gadis.
"Kakak juga bolos." Cowok itu tersenyum saat mendapat balasan. Ia mengulurkan tangannya pada gadis itu, mengelus kepalanya pelan. Coba saja ia punya adik perempuan, pasti akan selucu ini.
"Panji." Gadis itu menatap heran, dia ngomong apa jawabannya apa. Jangan-jangan kakak ini orang gila.
"Nama kakak, Panji. Namamu siapa?" Tidak menyerah, cowok bernama Panji itu kembali mengulang perkataannya.
"Bestari." Gadis itu menjawab saat tak melihat tanda-tanda cowok ini akan berbuat jahat.
"Bestari, nama yang cantik kayak orangnya." Panji kembali mengelus kepala Bestari, ia tersenyum tulus.
Melihat senyum Panji, Bestari sedikit rileks. Ia bahkan sudah berhenti menangis. Tangannya menyentuh luka di sudut bibir Panji yang sedari tadi menarik perhatiannya.
"Ini, kenapa?"
Panji mengerjap-ejap kaget, sedikit tak percaya pada pertanyaan gadis itu. Sedari tadi kan dia yang bertanya. Kenapa malah sekarang balik ditanyai.
"Ini." Tangannya menyentuh luka itu, sedikit meringis saat merasa perih. "Biasa, berantem."
Bestari menggeleng pelan, tangannya kembali mengusap luka itu.
"Kata mama, cowok yang suka berantem itu nakal. Kakak jangan nakal lagi ya." Ia berdiri bertumpu pada lututnya, mendekat pada Panji dan meniup luka itu. Lalu kembali duduk bersila setelahnya."Eh." Panji semakin terkejut, tidak pernah merasakan jantungnya berdetak secepat ini, apalagi hanya karena perlakuan sederhana dari seorang gadis berseragam SMP.
"Cuma sekali kok, habis ini gak lagi." Entah apa maksud Panji mengucapkannya, yang tahu dia tidak suka Bestari memandangnya buruk.
"Janji." Bestari mengulurkan jari kelingkingnya. Senyum manisnya membuat perut Panji serasa ada kupu-kupu terbang.
"Janji." Panji membalas jari itu, mengaitkan kedua tangan berbeda ukuran mereka. Sedikit geli saat sadar di usianya yang sebesar ini harus ada adegan janji yang biasanya dilakukan anak kecil. Anehnya ia juga melakukannya.
"Oh iya, kamu kenapa nangis, hm? " Sedari tadi Panji yang bertanya, tapi belum mendapat jawaban.
Wajah Bestari kembali murung, matanya berkaca-kaca siap menangis.
"Eh, eh, jangan nangis dong." Panji panik. Tadi sudah senyum kenapa wajahnya murung lagi.
"Ya udah gak usah cerita, yuk kita beli jajan aja."
Mata Bestari kembali bersinar bahagia mendengar kata jajan. Ia mengangguk semangat.
"Yuk, yuk." Bestari berdiri menepuk roknya yang kotorku karena debu. Dengan semangat empat lima ia menggandeng tangan Panji, teman cowok pertamanya.Panji tertawa, ternyata perempuan sama saja. Mau anak-anak atau dewasa, kalau mendengar kata jajan pasti semangat.
¤¤¤
Hari-hari Bestari terasa berwarna sejak ada Panji, setiap pulang sekolah selalu ada Panji yang sudah menunggunya di gerbang. Ia bahkan tak jarang di ajak jalan-jalan saat libur sekolah, tidak jauh kadang ke taman kalau tidak ke cafe. Seperti itu saja Bestari sudah senang.
Rasanya Bestari bersyukur dibalik insiden bolosnya ia waktu itu. Kalau ia tidak bolos pasti tidak akan bertemu dengan Panji. Tiak akan pernah merasakan bagaimana punya sosok kakak laki-laki dan seorang teman.
"Hayo, ngelamun apa." Tepukan di pundak mengejutkan Bestari. Ia merengut kesal. Matanya mendelik ke arah Panji yang cengengesan.
"Kaget tahu." Ia memukul pundak Panji pelan. Kekuatan anak SMP kan memang tidak seberapa.
"Maaf deh, nih buat kamu." Panji memberikan es krim rasa coklat pada Bestari yang dengan cepat diterima. Bahkan kini wajah kesal itu berganti dengan senyuman.
"Giliran disogok es krim aja senyum." Tangannya merusak tatanan rambut Bestari, tak peduli jika nanti gadis itu marah.
"Biarin," ucap Bestari ketus.
"Ih jangan diberantakin." Tangannya menepis tangan Panji yang berusaha memegang rambutnya lagi, tidak tahu apa kalau menata rambut itu perlu waktu.
Panji mengangkat tangan tanda menyerah, tidak ingin membuat Bestari semakin kesal. Untuk kesekian kali Panji terpesona, sejak awal bertemu hingga kini, debaran itu tak pernah hilang. Panji mengerti sekarang, ia memang sudah jatuh hati pada sosok gadis kecil di depannya ini. Gadis cerewet yang membuatnya berhenti tawuran. Membuat kedua orang tuanya merasa bahagia atas perubahannya.
"Tari."
"Hm," jawab Bestari acuh. Masih fokus dengan es krimnya.
"Kakak sayang kamu."
Gerakan tangan Bestari terhenti, ia menoleh memfokuskan atensinya pada sosok Panji. Semburat merah muncul di pipinya. Membuat gadia itu terlihat menggemaskan.
"Aku juga sayang Kakak," gumam Bestari berbisik. Malu mengakui jika ia juga menyayangi sosok yang sudah seperti pahlawan untuknya.
Gemas dengan sikap malu-malu Bestari, Panji dengan segera mendekapnya. Memerangkap gadis itu dalam pelukannya. Rasanya seperti ada bunga bermekaran mengelilingi dia. Panji menjadi bucin sekarang, pada anak SMP.
¤¤¤
Tak terasa hubungan tanpa status itu sudah berjalan beberapa bulan, meski tanpa status mereka bisa dibilang mesra, namun masih dalam batas wajar. Panji sadar, Bestari masih seorang anak kecil dibawah umur.
Beberapa minggu ini Panji tidak seperti biasanya, Panji terlihat aneh. Bahkan sering tak fokus ketika diajak bicara, Bestari sadar akan hal itu. Tapi ia pikir mungkin saja Panji tengah memikirkan ujiannya. Dia kan sebentar lagi lulus, otomatis akan kuliah, pasti dia tengah bingung memilih universitas sekarang. Maka Bestari sebagai seorang adik, sahabat dan mungkin juga kekasih mencoba paham, tak bertanya apapun. Mencoba mengerti dan memaklumi. Namun, semakin lama Bestari tidak tahan. Ia rindu Panji.
Panji sering telihat menatapnya lama, seakan ingin mengatakan sesuatu padanya, berulang kali hal itu terjadi, tapi entah kenapa berulang kali juga dia tidak berkata apa-apa. Hari ini puncaknya, Bestari lelah menunggu. Ia ingin mendapatkan jawaban.
Biasanya saat bertemu Panji akan banyak bicara, menceritakan berbagai hal pada Bestari. Tapi hari ini berbeda, dia diam saja. Diam yang tak disukai Bestari.
"Kak." Bestari rasa panggilannya tidak sekeras itu sampai mengejutkan Panji, kecuali jika memang pikiran Panji tidak di sini.
"Kakak sadar gak sih, beberapa minggu terakhir ini Kakak aneh. Bahkan Kakak selalu gak fokus setiap kita ketemu. Kakak, ada masalah. Cerita sama aku."
Panji menggeleng, tersenyum tipis berusaha menenangkan.
"Maaf, beberapa minggu ini Kakak sedikit sibuk.""Jangan terlalu capek, Kak. Jaga kesehatan, aku gak mau Kakak sakit," pesan Bestari. Tangannya menggenggam tangan Panji erat. Meski tak puas dengan jawaban Panji, Bestari bisa apa.
"Pulang, yuk. Kakak kelihatan capek."
Selama perjalanan pulang hanya ada keheningan, baik Bestari dan Panji sama-sama menikmati momen ini hanya saja dengan suasana hati yang berbeda.
Sesampainya mereka di depan rumah Bestari, Panji terlihat enggan melepaskan genggaman tangan mereka.
"Ini gak mau dilepas, udah sampai loh ini," canda Bestari.Panji melepas genggaman itu, tapi sebagai gantinya dia malah memeluk Bestari erat. Membuat Bestari tersenyum kecil.
" Kangen banget ya," ucapnya membalas pelukan Panji."Iya."
Beberapa menit setelah itu pelukan mereka terlepas, Panji seakan tak rela melepasnya.
"Jaga diri ya, kalau besok kita gak ketemu jangan cari aku." Bestari mengernyit alis bingung, kata-kata Panji seakan dia mau pergi jauh.
"Sampai jumpa kembali, Bestari."
¤¤¤
Hingga kini saat waktu terus bergulir, menit berganti jam, berubah menjadi hari dan hari menjadi bulan, sampai sudah empat tahun berlalu, Bestari masih menunggu. Ia masih saja berharap seseorang yang hingga kini masih ditunggunya itu kembali. Memberi jawaban atas perginya dia tiga tahun lalu tanpa pamit, tanpa kabar dan tanpa kepastian. Bestari ingin tahu kemana dan kenapa dia sebenarnya.
Bodohnya ia, meski sudah jelas ditinggal, namun masih saja mengharapkan. Dan dengan naifnya ia mencintai laki-laki itu segitu besarnya. Berharap suatu hari laki-laki itu datang, dan menemuinya. Memeluknya sembari berkata rindu. Tapi sayang, selama tiga tahun semua itu terasa seperti kehaluan semata, hal sia-sia yang bukan hanya menyita waktu tapi juga jiwa Bestari.
"Kapan kamu kembali, Kak." Tangannya mengusap foto yang dulu mereka ambil sewaktu jalan-jalan di Mall, hanya ini kenangan yang Bestari punya, suatu pengingat bahwa nanti Panji pasti akan kembali.
"Aku kangen kamu, gimana kabar kamu di sana, apa kamu sudah bersama wanita lain." Kadang pemikiran kalau Panji sudah bersama wanita lain sering terlintas dipikiran Bestari, ia takut, bahwa ini hanya bayangan semunya. Harapan tak terbalas.
Air matanya luruh, Bestari mendekap foto itu erat. Di tengah ranjangnya, ditemani cahaya remang rembulan yang dipantulkan melalui jendela, Bestari kembali menangis. Entah untuk yang keberapa kalinya. Bahkan sudah tak terhitung lagi.
Bibirnya berulang kali menggumam nama Panji dan rindu l, ia berharap segala keluh kesahnya tersampaikan pada dia yang entah di mana.
"Tuhan, jika dia memang tidak akan kembali, maka berikan aku pengganti. Jangan kau biarkan aku terus meratapinya, " gumamnya sebelum terlelap bermimpi masa bahagianya dulu.
Pemuda bernama lengkap Batara Selaksa itu segera melesat turun dari mobil yang dikendarainya, memutar bola mata malas kala banyak yang memandang heran dan penasaran ke arahnya. Ck! Sudah biasa, apalagi wajah asing yang memang tampan. Batara bukan kepedean tapi itu nyata, ia memang tampan.Pemuda yang kerap disapa Tara itu segera pergi menuju ruang kepala sekolah, risih juga lama-lama ditatap terus-menerus. Kemarin ia sudah berkeliling sekalian mengantar berkasnya, harusnya tidak susah untuk menemukannya lagi.Senyum dengan mata menyipit membentuk bulan sabit terbit di bibirnya, akhiranya ketemu juga, ia sudah berniat meminta bantuan salah satu dari mereka kalau tidak juga menemukannya. Barata segera mengetuk pintu di depannya, tak lama ia bisa mendengar sahutan dari dalam."Permisi Pak, saya Batara, mu
Bestari kira Batara si murid baru itu pendiam namun dugaannya salah besar. Dia memang tidak cerewet seperti Harsa, tapi juga tidak pendiam seperti Tirta. Dia baik kepada siapa saja, ramah dan sepertinya mudah berteman, tapi selama beberapa minggu sekolah sikap aslinya mulai terlihat. Sering kali Batara mengganggunya tanpa alasan yang jelas, risih? Tentu saja. "Pagi, Tari." Tuhkan, Bestari bahkan baru masuk beberapa langkah ke dalam kelas tapi Batara sudah merecokinya. "Pagi," balasnya singkat. Malas meladeni Batara. Bestari cepat-cepat duduk di kursinya, membuka novel yang baru kemarin ia beli. Jam segini masih sedikit yang datang, dan Batara yang tiba lebih cepat dari yang lain adalah hal langka untuk seorang cowok, apalagi di kelasnya kebanyakan cowoknya masuk telat, mungkin sekitar sepuluh
Selama perjalanan itu hanya di isi keheningan, Batara ingin berbicara tapi sepertinya Bestari enggan. Gadis itu hanya akan menjawab ketika ditanya arah mana yang harus dilewati, setelah itu diam. Terlihat sekali dia tidak nyaman. "Makasih." Bestari menunduk menyamakan tubuhnya setinggi pintu mobil. Ia masih tahu adab ketika diberi bantuan, sekalipun orang itu tidak disukainya."Sama-sama, aku gak mampir ya. Lain kali aja." Dih kepedean, Bestari juga tidak berniat mengajaknya mampir. Ini juga pertama dan terakhir ia mau diantar Batara, tak ada yang kedua kalinya. "Aku pulang, ya.""Iya, udah sana. Hati-hati."Bestari diam di tempatnya, matanya masih memandang kearah perginya mobil Batara. Ada yang salah. Bukankah Batara terlalu jauh melangkah, sela
Bestari berubah, sudah hampir satu minggu dia terus menghindar. Batara yang melihatnya hanya bisa menghela napas pasrah. Beberapa kali ia berusaha mendekat, tapi gadis itu juga semakin keras menolak. Benar kata Tirta, benteng tak kasat mata yang dibangun Bestari sangat kokoh. Batara merasa ia tak akan berhasil menembusnya, dan ini adalah kabar buruk."Weh, mau kemana?" Si tukang kepo Harsa bertanya. Sedari tadi diam tiba-tiba saja mau pergi, Harsa kan takut kalau Batara kenapa-kenapa, kerasukan contohnya, soalnya daritadi dia diem aja."Toilet."Batara tak lagi menunggu basa-basi Harsa, ia perlu menjernihkan pikirannya. Ia membasuh muka, menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia tidak boleh menyerah, ini baru awal. Masih ada waktu, dan ia yakin pasti bisa.
Kedekatan mereka memang tidak banyak yang berubah, hanya saja Bestari sudah tak menghidar lagi dari Batara. Iya juga mencoba santai ketika berbicara dengan Batara, tapi masih meninggikan bentengnya.Yang masih kurang bisa ia terima adalah sikap spontan Batara, dia sering berbuat sesuatu tanpa memberi tahu. Seperti hari ini contohnya, tanpa ada angin atau hujan, Batara datang menjemputnya, coba saja cowok ini tidak tahu rumahnya dulu. Mau menolak kasihan sudah jauh-jauh ke sini, tapi––"Ngapain ke sini?""Lah, gak lihat udah pakai seragam, ya mau jemput kamu terus ke sekolah. Masa iya mau tidur." Gak lihat Batara udah seganteng ini. Wangi lagi."Biasanya juga berangkat sendiri."
Beberapa kertas yang diremat membentuk gumpalan memenuhi lokernya, Bestari menghela napas lelah. Ini sudah berlangsung selama lebih tiga hari sejak ia ada masalah dengan Sera. Tidak mengejutkan kalau ada yang melakukan ini, jika bukan Sera sendiri pasti fans gadis itu. Ia mengambil semua gumpalan itu, memasukkannya ke dalam kantong kresek yang kini selalu ia sediakan, jaga-jaga seperti saat ini.Bestari tidak berniat melihat apa yang tertulis dalam gumpalan itu, karena ia tahu, isinya pasti tidak jauh-jauh menghujatnya yang katanya seorang lesbi, atau sumpah serapah karena berani dengan Sera. Biarkan saja mereka pasti nantinya akan berhenti kalau capek.Perihal kertas-kertas ini tidak ada yang tahu, pun dengan Maharani, Bestari selalu membuangnya bahkan sebelum Maharani mengetahuinya. Biarkan ini jadi rahasianya sendiri,
Bestari merasa tak tenang, entahlah hatinya tiba-tiba saja merasa tidak enak. Ia tak tahu apa yang salah, namun ada sesuatu yang membuatnya gelisah. Firasatnya mengatakan akan ada hal buruk terjadi. Selama ini firasatnya jarang meleset, saat kepergian Panji dulu, ia pun merasakan perasaan seperti ini.Ia berjalan menuju lokernya, membuka pintu dan mengernyit heran saat tak ada lagi gumpalan kertas di sana. Apa sudah selesai? Apa mereka semua sudah lelah mengerjainya. Entahlah, Bestari tak yakin dengan hal itu, tapi baguslah. Ia kembali menutup pintu loker dan terkejut menemukan beberapa perempuan telah berdiri di sekitarnya. Oh tidak! Ia kalah jumlah. Mana bisa satu orang menang melawan lima orang. Kalau dia ikut silat sih pasti menang, masalahnya dia kan tidak ikut begituan."Ada apa?" tanyanya mencoba basa-basi. B
Batara melirik pintu kelas, sedari tadi Bestari tak ada melewati pintu. Ia jadi khawatir kalau Bestari kenapa-kenapa. Atau jangan-jangan dia sakit makanya tidak masuk. Tidak biasanya Bestari berangkat sesiang ini. Yang lebih membuat Batara tak tenang adalah bagaimana jika Bestari dijahili oleh orang-orang yang mengirim teror. Harusnya ia antar jemput saja Bestari, kalau begini ia jadi bingung sendiri. Batara berdiri menghampiri bangku Bestari. Tirta dan Harsa yang melihatnya saling tatap, Tirta menggedikkan bahu acuh. Ia kembali fokus membaca bukunya. Daripada Batara mati penasaran, ia lebih baik tanya dari sumber terpercaya saja. Pesannya juga tidak ada balasan. Batara menepuk pundak Maharani yang tengah asik menonton video dengan headset terpasang di telinga. Dasar maniak, hampir setiap hari ia melihat Maharani stalking laki-laki bermata sipit itu. Untung Bestari tak ikut-ikutan, bisa kalah saing dia. "Paa
Batara kembali antar-jemput Bestari. Meski Bestari bersikukuh menolak tapi Batara tak mengidahkan. Alasannya dia tidak mau kejadian Bestari ditampar terulang kembali, dengan tambahan mereka sepasang kekasih sekarang. Cih dasar modus.Hubungan mereka memang masih rahasia, hanya ketiga teman mereka saja yang tahu. Bestari tak merasa sepenting itu sampai hubungannya harus diketahui semua orang.Mereka melangkah beriringan menuju kelas, beberapa anak terang-terangan memadang. Tak terkecuali Daksa dan Nuraga.Nuraga menguap ia masih mengantuk, temannya ini tiba-tiba mengajak berangkat pagi. Keajaiban sekali apalagi ia hapal betul bahwa Daksa lebih sering membolos daripada sekolah, tidak tahu ada angin apa. Tapi sepertinya ia paham sekarang."Lo masih dendam sama tuh anak?" tanya Nuraga. Ia masih ingat jelas wajah anak baru itu. Duh, masa iya pagi-pagi begini Daksa mau adu jotos. Kenapa tidak nanti
Batara melirik pintu kelas, sedari tadi Bestari tak ada melewati pintu. Ia jadi khawatir kalau Bestari kenapa-kenapa. Atau jangan-jangan dia sakit makanya tidak masuk. Tidak biasanya Bestari berangkat sesiang ini. Yang lebih membuat Batara tak tenang adalah bagaimana jika Bestari dijahili oleh orang-orang yang mengirim teror. Harusnya ia antar jemput saja Bestari, kalau begini ia jadi bingung sendiri. Batara berdiri menghampiri bangku Bestari. Tirta dan Harsa yang melihatnya saling tatap, Tirta menggedikkan bahu acuh. Ia kembali fokus membaca bukunya. Daripada Batara mati penasaran, ia lebih baik tanya dari sumber terpercaya saja. Pesannya juga tidak ada balasan. Batara menepuk pundak Maharani yang tengah asik menonton video dengan headset terpasang di telinga. Dasar maniak, hampir setiap hari ia melihat Maharani stalking laki-laki bermata sipit itu. Untung Bestari tak ikut-ikutan, bisa kalah saing dia. "Paa
Bestari merasa tak tenang, entahlah hatinya tiba-tiba saja merasa tidak enak. Ia tak tahu apa yang salah, namun ada sesuatu yang membuatnya gelisah. Firasatnya mengatakan akan ada hal buruk terjadi. Selama ini firasatnya jarang meleset, saat kepergian Panji dulu, ia pun merasakan perasaan seperti ini.Ia berjalan menuju lokernya, membuka pintu dan mengernyit heran saat tak ada lagi gumpalan kertas di sana. Apa sudah selesai? Apa mereka semua sudah lelah mengerjainya. Entahlah, Bestari tak yakin dengan hal itu, tapi baguslah. Ia kembali menutup pintu loker dan terkejut menemukan beberapa perempuan telah berdiri di sekitarnya. Oh tidak! Ia kalah jumlah. Mana bisa satu orang menang melawan lima orang. Kalau dia ikut silat sih pasti menang, masalahnya dia kan tidak ikut begituan."Ada apa?" tanyanya mencoba basa-basi. B
Beberapa kertas yang diremat membentuk gumpalan memenuhi lokernya, Bestari menghela napas lelah. Ini sudah berlangsung selama lebih tiga hari sejak ia ada masalah dengan Sera. Tidak mengejutkan kalau ada yang melakukan ini, jika bukan Sera sendiri pasti fans gadis itu. Ia mengambil semua gumpalan itu, memasukkannya ke dalam kantong kresek yang kini selalu ia sediakan, jaga-jaga seperti saat ini.Bestari tidak berniat melihat apa yang tertulis dalam gumpalan itu, karena ia tahu, isinya pasti tidak jauh-jauh menghujatnya yang katanya seorang lesbi, atau sumpah serapah karena berani dengan Sera. Biarkan saja mereka pasti nantinya akan berhenti kalau capek.Perihal kertas-kertas ini tidak ada yang tahu, pun dengan Maharani, Bestari selalu membuangnya bahkan sebelum Maharani mengetahuinya. Biarkan ini jadi rahasianya sendiri,
Kedekatan mereka memang tidak banyak yang berubah, hanya saja Bestari sudah tak menghidar lagi dari Batara. Iya juga mencoba santai ketika berbicara dengan Batara, tapi masih meninggikan bentengnya.Yang masih kurang bisa ia terima adalah sikap spontan Batara, dia sering berbuat sesuatu tanpa memberi tahu. Seperti hari ini contohnya, tanpa ada angin atau hujan, Batara datang menjemputnya, coba saja cowok ini tidak tahu rumahnya dulu. Mau menolak kasihan sudah jauh-jauh ke sini, tapi––"Ngapain ke sini?""Lah, gak lihat udah pakai seragam, ya mau jemput kamu terus ke sekolah. Masa iya mau tidur." Gak lihat Batara udah seganteng ini. Wangi lagi."Biasanya juga berangkat sendiri."
Bestari berubah, sudah hampir satu minggu dia terus menghindar. Batara yang melihatnya hanya bisa menghela napas pasrah. Beberapa kali ia berusaha mendekat, tapi gadis itu juga semakin keras menolak. Benar kata Tirta, benteng tak kasat mata yang dibangun Bestari sangat kokoh. Batara merasa ia tak akan berhasil menembusnya, dan ini adalah kabar buruk."Weh, mau kemana?" Si tukang kepo Harsa bertanya. Sedari tadi diam tiba-tiba saja mau pergi, Harsa kan takut kalau Batara kenapa-kenapa, kerasukan contohnya, soalnya daritadi dia diem aja."Toilet."Batara tak lagi menunggu basa-basi Harsa, ia perlu menjernihkan pikirannya. Ia membasuh muka, menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia tidak boleh menyerah, ini baru awal. Masih ada waktu, dan ia yakin pasti bisa.
Selama perjalanan itu hanya di isi keheningan, Batara ingin berbicara tapi sepertinya Bestari enggan. Gadis itu hanya akan menjawab ketika ditanya arah mana yang harus dilewati, setelah itu diam. Terlihat sekali dia tidak nyaman. "Makasih." Bestari menunduk menyamakan tubuhnya setinggi pintu mobil. Ia masih tahu adab ketika diberi bantuan, sekalipun orang itu tidak disukainya."Sama-sama, aku gak mampir ya. Lain kali aja." Dih kepedean, Bestari juga tidak berniat mengajaknya mampir. Ini juga pertama dan terakhir ia mau diantar Batara, tak ada yang kedua kalinya. "Aku pulang, ya.""Iya, udah sana. Hati-hati."Bestari diam di tempatnya, matanya masih memandang kearah perginya mobil Batara. Ada yang salah. Bukankah Batara terlalu jauh melangkah, sela
Bestari kira Batara si murid baru itu pendiam namun dugaannya salah besar. Dia memang tidak cerewet seperti Harsa, tapi juga tidak pendiam seperti Tirta. Dia baik kepada siapa saja, ramah dan sepertinya mudah berteman, tapi selama beberapa minggu sekolah sikap aslinya mulai terlihat. Sering kali Batara mengganggunya tanpa alasan yang jelas, risih? Tentu saja. "Pagi, Tari." Tuhkan, Bestari bahkan baru masuk beberapa langkah ke dalam kelas tapi Batara sudah merecokinya. "Pagi," balasnya singkat. Malas meladeni Batara. Bestari cepat-cepat duduk di kursinya, membuka novel yang baru kemarin ia beli. Jam segini masih sedikit yang datang, dan Batara yang tiba lebih cepat dari yang lain adalah hal langka untuk seorang cowok, apalagi di kelasnya kebanyakan cowoknya masuk telat, mungkin sekitar sepuluh
Pemuda bernama lengkap Batara Selaksa itu segera melesat turun dari mobil yang dikendarainya, memutar bola mata malas kala banyak yang memandang heran dan penasaran ke arahnya. Ck! Sudah biasa, apalagi wajah asing yang memang tampan. Batara bukan kepedean tapi itu nyata, ia memang tampan.Pemuda yang kerap disapa Tara itu segera pergi menuju ruang kepala sekolah, risih juga lama-lama ditatap terus-menerus. Kemarin ia sudah berkeliling sekalian mengantar berkasnya, harusnya tidak susah untuk menemukannya lagi.Senyum dengan mata menyipit membentuk bulan sabit terbit di bibirnya, akhiranya ketemu juga, ia sudah berniat meminta bantuan salah satu dari mereka kalau tidak juga menemukannya. Barata segera mengetuk pintu di depannya, tak lama ia bisa mendengar sahutan dari dalam."Permisi Pak, saya Batara, mu