Bestari Puspita gadis biasa saja yang pendiam namun juga bisa menjadi cerewet, ia bukan Sera, si primadona yang sering kali menjadi gosip tiap kelas karena kecantikannya, bukan juga termasuk golongan siswa cupu yang terbully. Bestari itu biasa saja, tidak tenar ataupun terabaikan.
Seorang perempuan berkulit kuning langsat menghampirinya, duduk tempat di kursi sebelahnya, yang memang tempat duduknya.
"Eh, tau gak." Ini sudah pasti, gosip akan dimulai. Pasti tidak jauh-jauh dari ketua osis kalau tidak begitu ya Sera.
Bestari masih asik dengan bacaanya, pura-pura tak mendengar.
"Tari, ih, dengerin." Gadis disampingnya merengek. Kesal karena diabaikan.
"Apa, Rani?" tanya Bestari sembari menutup novelnya, percuma tidak akan ada yang masuk di otaknya.
Dia ini Rani, lengkapnya Maharani. Teman Bestari sejak masuk SMA. Orangnya bawel dan ratunya gosip. Apapun gosip terbaru pasti dia tahu.
"Kamu tahu gak, ada gosip baru loh hari ini," ujar Maharani bersemangat. Dua hal yang Bestari tahu, Mahrani akan sangat semangat ketika ada gosip dan tentang idol korea kesayangannya. Entah siapa namanya Bestari lupa.
"Gosip apa?" Meski sebenarnya Bestari tak terlalu penasaran. Namun, ia tidak setega itu untuk membuat Maharani sedih.
"Ada anak baru, cowok. Ganteng banget tau gak. Katanya sih satu angkatan sama kita, tapi gak tahu di kelas apa–––"
"Eh?"
"Apa?" tanya Maharani tak paham. Tumben respon Bestari aneh. Yah, meski biasanya responnya cuma itu-itu aja.
"Tumben kamu gak gosipin Sera, kenapa?"
"Ih, ini tuh lebih viral tau. Lagian nih ya, bukan cuma aku pasti satu sekolah juga heboh. Mau tau gak kenapa." Bestari mengangguk. "Karena cowok itu kaya Jeno NCT. Kyaaa." teriaknya hingga beberapa siswa memandang mereka sebentar sebelum kembali dengan kegiatannya masing-masing, sudah biasa.
Binar bahagia terlihat di mata Maharani, Bestari geleng-geleng kepala melihatnya. Pantas saja dia heboh, apapun yang berhubungan sama idolnya, dia kan gercep. Bestari bahkan sekarang masih memikirkan yang mana Jeno itu, terlalu banyak wajah yang pernah Bestari lihat di ponsel Maharani. Nah itu nama idolanya, NCT.
"Jeno yang mana, sih?" tanya Bestari akhirnya, saat ia tidak punya gambaran yang mana Jeno.
"Kamu tuh ya, masa gitu aja gak tahu dia tuh–––"
"Selamat pagi anak-anak." Sebuah suara menghentikan ucapan Maharani. Bu Santi, guru fisika killer yang hari ini mengajar masuk ke dalam kelas. Bestari bahkan tidak tahu sejak kapan bel masuk berbunyi.
"Pagi, Bu," jawab semuanya serempak.
Ada yang berbeda hari ini, bu Santi tidak sendiri. Dia bersama seseorang cowok yang wajahnya asing. Sebuah pemikiran langsung terlintas di kepala Bestari.
"Dia murid baru itu?" tanyanya berbisik pada Maharani.
"Iya, gantengkan? Kayak Jeno kan?" Maharani balik bertanya. Ia sedikit mencondongkan tubuhnya mendekat ke Bestari.
"Iya," jawab Bestari ragu. Ia masih tidak ingat yang mana Jeno itu. Ia mengiyakan hanya karena tidak ingin Maharani ngamuk karena lupa nama serta wajah mereka.
"Sebelum pelajaran dimulai, Ibu ingin mengenalkan seseorang pada kalian." Bu Santi menatap cowok baru itu. "Silakan perkenalkan diri kamu."
Cowok baru itu mengedarkan pandangannya menatap sekitar, lalu pandangannya jatuh pada Bestari beberapa detik sebelum dia kembali fokus ke depan. "Namaku Batara Selaksa, kalian bisa panggil Tara, Dulu pernah sekolah di SMA Persada Lima."
"Untuk yang punya pertanyaan silahkan nanti japri saja. Batara kamu bisa duduk disamping Harsa, Harsa bisa angkat tangan. Kita akan memulai pelajaran." Beberapa siswi yang mendengar ucapan bu Santi menggerutu, padahal mereka sudah menyiapkan pertanyaan.
"Terima kasih, Bu." Batara menoleh kearah seorang pemuda yang duduk di baris ketiga dari depan sebelah kanan. Melangkah pelan menghampirinya, matanya sempat melirik ke sebelah kiri tempat Bestari duduk.
"Hai, aku Harsa. Kenapa pindah ke sini, bukannya SMA Persada itu sekolah elite, gak rugi nih pindah ke sini?" tanya Harsa beruntun, suaranya yang khas terdengar merdu.
"Hai, aku Batara, sebenarnya cuma pengin pindah aja sih." jawab Batara pendek. Well, mungkin Harsa bisa dijadikan teman pertama Batara di sini.
"Oh, Oke." Harsa cukup paham, orang kaya kan memang begitu.
Setelah itu tidak ada lagi percakapan di antara mereka, hanya fokus memperhatikan bu Santi yang sedang menerangkan. Hanya Harsa sebenarnya, karena Batara kini asik memandang Bestari yang sibuk mencatat. Meski tidak memperhatikan tapi Batara tahu apa yang dijelaskan, bab yang diterangkan di depan bahkan sudah dipelajari Batara di sekolahnya dulu.
Bestari merasa sedikit tidak enak, bukan karena merinding. Ia tidak punya kekuatan seperti itu. Tapi ia merasa ada yang tengah menatapnya. Maka dengan ragu ia menoleh, mencari siapa seseorang itu. Sampai pandangannya terhenti pada cowok baru yang juga tengah menatapnya. Beberapa detik mereka saling tatap, sebelum Bestari mengalihkan pandangan ke depan. Cowok itu, entah kenapa sedikit misterius.
Bahkan Bestari sedikit heran apa alasannya pindah ke sini, sekolahnya dulu saja termasuk sekolah elite yang masuk ke sana harus kaya dan punya otak cemerlang. Meski di sini tidak buruk tapi tetap saja, aneh saja. Atau jangan-jangan dia bermasalah di sekolah lamanya.
Senggolan di pundaknya menyadarkan Bestari dari dugaan-dugaannya. Ia menatap penuh tanya kepada Maharani.
"Yang ini gimana, sih?"
Oke, Bestari rasa sudah cukup memikirkan sesuatu yang tak jelas. Waktunya untuk fokus.
¤¤¤
Bel istirahat sudah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu, semua anak sudah keluar hanya tinggal beberapa yang tersisa, termasuk Bestari dan Maharani.
"Udah belom, sih. Lama banget." Maharani menghentakkan kaki kesal. Dia sudah lapar dan Bestari sangat lama menyelesaikan catatannya.
"Iya, Sabar. Ini udah selesai. Lagian udah di bilangin duluan aja, siapa suruh gak mau."
"Bawel deh, ayo cepet." Bestari pasrah ditarik Maharani. Sedikit kualahan mengimbangi langkah Maharani yang cepat. Urusan makanan, gosip dan idolanya adalah perpaduan yang pas tentang Maharani. Bestari kadang heran, kenapa Maharani bisa tetap kurus meski makan banyak.
"Tuh kan penuh, kamu sih lama."
"Ya, maaf."
"Eh, aku nemu tempat. Ayo." Sekali lagi Bestari pasrah ditarik-tarik. Ia bahkan belum sempat bertanya saat tiba-tiba saja mereka sudah datang ke meja Harsa.
"Sa, ikut duduk di sini ya. Yang lain penuh," ucap Maharani.
Harsa mengangkat jempol mengiyakan. "Duduk aja, masih muat kok."
Kini mereka berlima ada Bestari, Maharani, Harsa, Tirta dan juga Batara si anak baru. Bestari merasa sedikit canggung, ia memang sekelas dengan mereka, tapi bukan berarti Bestari seakrab itu. Ia punya batasan harus seberapa dekat ketika berteman, terutama laki-laki. Pengalaman masa lalu membuatnya tak bisa semudah itu berteman.
"Bentar aku pesen dulu, kamu yang biasakan?" Bestari mengangguk, secepat kilat Maharani pergi. Sebenarnya Bestari ingin menggantikan Maharani untuk memesan, tapi ia ingat kata-kata Maharani, bahwa ia lama mengantri, dan kurang gesit.
"Tuh anak urusan makanan gercep banget." Kali ini Tirta yang berbicara, si pemilik wajah tampan yang hidungnya mancung. Coba saja dia menjadi playboy, Bestari yakin akan ada banyak perempuan yang terpikat. Wajah bak anime hidup itu terlalu sayang dilewatkan, tetapi banyak cewek yang memilih mundur saat tahu dia pendiam. Bukan pendiam sih menurut Bestari, tapi dia hanya berbicara dengan orang yang dia kenal dan membuat dia nyaman. Itu pengamatannya selama ini.
"Tari, udah kenalan sama Tara belum. Duh, nama aja cocok banget. Jangan-jangan jodoh." Harsa melirik Bestari, dia menaik turunkan alisnya yang bagi Bestari bukan keren malah aneh.
"Tadi kan udah."
"Belum secara langsung, kan? Nih mumpung orangnya ada di sini. Cogan nih." Ini kenapa Maharani lama sekali, Bestari rasanya malas meladeni Harsa. Tidak tahukah cowok itu, bahwa Bestari tak nyaman di sini. Duduk di antara cowok tampan. Duh, abaikan kata-katanya. Ini efek Bestari lapar.
Sebuah tangan terjulur ke arahnya, Bestari melirik kepada sang pemilik. Ragu-ragu Bestari menyambut uluran tangan itu.
"Batara," sapa cowok itu."Bestari." Setelah itu jabatan tangan mereka terlepas. Singkat, padat, dan jelas. Perkenalan itu bahkan lebih cepat daripada saat di kelas tadi.
"Dih, apaan tuh. Kagak ada sesi tanya jawab nih." Bestari melirik Harsa kesal. "Cerewet banget sih dia," gerutu Bestari dalam hati.
Untungnya tak lama Maharani datang, Bestari menghela napas lega, dan itu tak luput dari pandangan Batara yang memang sedari tadi memandang Bestari. Bagaimana tanggapan gadis itu ketika bersalaman, caranya menjawab ucapan Harsa, bahkan kini ketika makan semua tak terlewatkan.
¤¤¤
Bestari membuka lembar buku diarynya. Menggoreskan kata yang tersimpan dikepalanya. Jam kosong seperti ini hanya membuat Bestari mengingat lagi masa lalu.
"Harus sampai kapan akan terus begini.
Mengapa ingatan tentangmu enggan pergi. Mengapa wajahmu selalu hadir di mimpiku, tak cukup itu kau bahkan mengaburkan pandanganku. Tentangmu masih menciptakan luka jika aku mengingatnya.""Tari." Bestari menoleh, kali ini gosip apa lagi yang ingin disampaikan Maharani. Sudah biasa bagi Bestari jika hari-harinya mendengar gosip dari Maharani, bahkan saat di rumahpun Maharani selalu memberi info padanya. Informannya tersebar di mana-mana.
"Kenapa?"
"Nanti temenin aku beli album NCT, ya." Oh beli album. Bestari pikir mau bergosip. Untung Maharani tidak tahu isi hatinya.
"Loh, bukannya bulan lalu baru aja beli?" tanya Bestari heran. Setahunya album itu juga masih baru, unboxingnya aja Bestari ikut
"Yang ini sub-unit satunya, Tar. Mau ya please," rayu Maharani mengeluarkan puppy eyes andalannya.
"Iya deh, tapi izin dulu ya nanti," jawabnya pasrah. Tak tega melihat wajah melas Maharani yang seperti kucing minta dipungut.
"Siap, Captain," jawab Maharani lalu kembali berkumpul bersama pasukan fangirl nya. Bestari tersenyum melihat antusias Maharani bercerita. Untung dia terlahir dari keluarga berada, coba kalau tidak. Uang darimana untuk membeli album, yang harga satuannya saja mahal sekali. Bahkan Maharani rela merogoh kocek dalam untuk membeli setiap album mereka, yang katanya ada beberapa sub-unit itu. Duh, Bestari tidak hafal. Tidak hanya itu setiap konser selalu dia hadiri, apapun yang berhubungan dengan idolanya Maharank tak akan ketinggalan.
Meski kadang Maharani menyebalkan, tapi Bestari sungguh menyayangi Maharani, gadis itu seringkali menghibur Bestari dengan sikap cerianya. Walau tak jarang Bestari kesal karena selalu menjadi dicekoki dengan boyband idolanya.
"Tar," panggil yang sudah selesai dengan pasukannya. Dia duduk mendekat pada Bestari.
"Apa?" Bestari sedikit mundur, risih.
"Kamu ngerasa gak, sih. Kalo si Jeno KW itu agak aneh," bisik Maharani.
"Hah, aneh gimana?" Sepenglihatan Bestari, Batara tidak melakukan hal yang mencurigakan, dia bahkan tidak terlihat aneh. Walau kelihatan misterius.
"Aku rasa dia suka sama kamu, dari tadi dia lihatin kamu terus."
"Dih, ngaco." Bestari tertawa pelan. Duh punya temen kok gini banget.
"Ih Tari, aku serius. Jeno KW itu emang suka sama kamu." Maharani mencebik kesal. Dia ini tahu mana yang suka dan mana yang tidak.
"Iya deh, iya. Lagian kamu dia punya nama ya, seenaknya ganti nama orang."
"Soalnya mirip sih, apalagi kalo senyum. Eye smilenya itu loh."
"Tapi kalo dia denger, terus gak suka jadinya tersinggung gimana." Sekarang Bestari baru ingat yang mana Jeno. Kalau dilihat-lihat memang ada miripnya sih.
"Iya deh, enggak lagi," jawab Maharani cuek, dia malah asik membuka ponsel dan menonton video boyband itu lagi.
Oke biarkan saja, setidaknya dengan begitu Bestari tak perlu repot mendengar cerita tentang idolanya Maharani.
Tiba-tiba sebuah pemikiran terlintas di kepala Bestari. Melihat Maharani yang segitu cintanya dengan boyband asal Korea itu, yang mana jarang sekali terlihat sedih membuat Bestari iri. Andai ia bisa seperti Maharani, andai ia bisa melupakan orang itu untuk beberapa saat saja.
Hingga kini Bestari masih menunggu, ia masih butuh jawaban. Tak terasa setetes air mata jatuh di pipinya, dengan segera Bestari menghapus air mata itu. Ia tak ingin ada yang melihatnya menangis. Selalu seperti ini.
Merasa air matanya tak kunjung berhenti, Bestari segera berdiri. Membekap mulutnya agar tak mengeluarkan isakan, tanpa menjawab pertanyaan Maharani, Bestari keluar kelas.
Langkahnya terhenti di toilet, ia segera masuk ke dalam salah satu bilik. Isakan terdengar dari bibirnya, beruntung tak ada orang lain di sini. Entah berapa lama ia menangis, yang pasti saat keluar matanya sembab dengan hidung memerah. Bestari segera mencuci wajahnya, walau tak begitu membantu.
"Tari, kamu dari mana aja? Kamu nangis, Tar?" tanya Maharani cemas, ia khawatir saat tiba-tiba saja Bestari pergi tanpa berkata apa-apa. Dan sekarang melihat Bestari yang kembali dengan wajah tidak baik-baik saja, ia yakin sesuatu telah terjadi.
"Aku gak papa kok, tadi kebelet pipis." Bestari menjawab tanpa menatap Maharani. Ia lebih memilih memandang ke luar jendela.
"Jangan bohong Ra, jujur sama aku! Kamu kenapa? Kamu dibully?"
"Aku serius, kalau ada apa-apa pasti aku cerita kok," ucap Bestari menyakinkan." Tapi saat aku sudah siap." lanjutnya dalam hati.
"Oke, fine." Maharani memgangkat tangan pasrah, susah memang membujuk Bestari. Dia hanya akan jujur ketika dia mau. Dan tugas Maharani hanya menunggu. Orang keras kepala seperti Bestari tidak akan bisa dibujuk, yang ada hanya memancing emosi
Di lain sisi Batara melihat semua, saat Bestari pergi ke toilet, bahkan ia tahu kalau gadis itu menangis. Hal yang membuat Batara merasa tak nyaman karenanya.
Seorang gadis berseragam putih biru terlihat menangis di taman sendirian, kepalanya ia tenggelamkan di kedua lutut yang ia tekuk. Beberapa orang menatapnya penasaran, namun tak ada yang berniat mendekati. Tak lama terlihat seorang cowok berseragam putih abu-abu menghampirinya. Tanpa permisi dudu disamping gadis itu."Hei cantik, kenapa nangis?" tanyanya.Gadis itu sedikit terkejut, ia menoleh kepada sosok cowok itu. Wajah garang dengan luka di sudut bibir membuat gadis itu takut. Ia mundur sedikit mencoba menjauh."Jangan takut, Kakak bukan orang jahat." Yah meski wajahnya membuat banyak orang salah paham dan sering kali takut duluan kepadanya, bukan salahnya kan. Sejak lahir sudah begini. Ketika diam saja banyak yang mengira jika ia marah, padahal memang begini dia.
Pemuda bernama lengkap Batara Selaksa itu segera melesat turun dari mobil yang dikendarainya, memutar bola mata malas kala banyak yang memandang heran dan penasaran ke arahnya. Ck! Sudah biasa, apalagi wajah asing yang memang tampan. Batara bukan kepedean tapi itu nyata, ia memang tampan.Pemuda yang kerap disapa Tara itu segera pergi menuju ruang kepala sekolah, risih juga lama-lama ditatap terus-menerus. Kemarin ia sudah berkeliling sekalian mengantar berkasnya, harusnya tidak susah untuk menemukannya lagi.Senyum dengan mata menyipit membentuk bulan sabit terbit di bibirnya, akhiranya ketemu juga, ia sudah berniat meminta bantuan salah satu dari mereka kalau tidak juga menemukannya. Barata segera mengetuk pintu di depannya, tak lama ia bisa mendengar sahutan dari dalam."Permisi Pak, saya Batara, mu
Bestari kira Batara si murid baru itu pendiam namun dugaannya salah besar. Dia memang tidak cerewet seperti Harsa, tapi juga tidak pendiam seperti Tirta. Dia baik kepada siapa saja, ramah dan sepertinya mudah berteman, tapi selama beberapa minggu sekolah sikap aslinya mulai terlihat. Sering kali Batara mengganggunya tanpa alasan yang jelas, risih? Tentu saja. "Pagi, Tari." Tuhkan, Bestari bahkan baru masuk beberapa langkah ke dalam kelas tapi Batara sudah merecokinya. "Pagi," balasnya singkat. Malas meladeni Batara. Bestari cepat-cepat duduk di kursinya, membuka novel yang baru kemarin ia beli. Jam segini masih sedikit yang datang, dan Batara yang tiba lebih cepat dari yang lain adalah hal langka untuk seorang cowok, apalagi di kelasnya kebanyakan cowoknya masuk telat, mungkin sekitar sepuluh
Selama perjalanan itu hanya di isi keheningan, Batara ingin berbicara tapi sepertinya Bestari enggan. Gadis itu hanya akan menjawab ketika ditanya arah mana yang harus dilewati, setelah itu diam. Terlihat sekali dia tidak nyaman. "Makasih." Bestari menunduk menyamakan tubuhnya setinggi pintu mobil. Ia masih tahu adab ketika diberi bantuan, sekalipun orang itu tidak disukainya."Sama-sama, aku gak mampir ya. Lain kali aja." Dih kepedean, Bestari juga tidak berniat mengajaknya mampir. Ini juga pertama dan terakhir ia mau diantar Batara, tak ada yang kedua kalinya. "Aku pulang, ya.""Iya, udah sana. Hati-hati."Bestari diam di tempatnya, matanya masih memandang kearah perginya mobil Batara. Ada yang salah. Bukankah Batara terlalu jauh melangkah, sela
Bestari berubah, sudah hampir satu minggu dia terus menghindar. Batara yang melihatnya hanya bisa menghela napas pasrah. Beberapa kali ia berusaha mendekat, tapi gadis itu juga semakin keras menolak. Benar kata Tirta, benteng tak kasat mata yang dibangun Bestari sangat kokoh. Batara merasa ia tak akan berhasil menembusnya, dan ini adalah kabar buruk."Weh, mau kemana?" Si tukang kepo Harsa bertanya. Sedari tadi diam tiba-tiba saja mau pergi, Harsa kan takut kalau Batara kenapa-kenapa, kerasukan contohnya, soalnya daritadi dia diem aja."Toilet."Batara tak lagi menunggu basa-basi Harsa, ia perlu menjernihkan pikirannya. Ia membasuh muka, menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia tidak boleh menyerah, ini baru awal. Masih ada waktu, dan ia yakin pasti bisa.
Kedekatan mereka memang tidak banyak yang berubah, hanya saja Bestari sudah tak menghidar lagi dari Batara. Iya juga mencoba santai ketika berbicara dengan Batara, tapi masih meninggikan bentengnya.Yang masih kurang bisa ia terima adalah sikap spontan Batara, dia sering berbuat sesuatu tanpa memberi tahu. Seperti hari ini contohnya, tanpa ada angin atau hujan, Batara datang menjemputnya, coba saja cowok ini tidak tahu rumahnya dulu. Mau menolak kasihan sudah jauh-jauh ke sini, tapi––"Ngapain ke sini?""Lah, gak lihat udah pakai seragam, ya mau jemput kamu terus ke sekolah. Masa iya mau tidur." Gak lihat Batara udah seganteng ini. Wangi lagi."Biasanya juga berangkat sendiri."
Beberapa kertas yang diremat membentuk gumpalan memenuhi lokernya, Bestari menghela napas lelah. Ini sudah berlangsung selama lebih tiga hari sejak ia ada masalah dengan Sera. Tidak mengejutkan kalau ada yang melakukan ini, jika bukan Sera sendiri pasti fans gadis itu. Ia mengambil semua gumpalan itu, memasukkannya ke dalam kantong kresek yang kini selalu ia sediakan, jaga-jaga seperti saat ini.Bestari tidak berniat melihat apa yang tertulis dalam gumpalan itu, karena ia tahu, isinya pasti tidak jauh-jauh menghujatnya yang katanya seorang lesbi, atau sumpah serapah karena berani dengan Sera. Biarkan saja mereka pasti nantinya akan berhenti kalau capek.Perihal kertas-kertas ini tidak ada yang tahu, pun dengan Maharani, Bestari selalu membuangnya bahkan sebelum Maharani mengetahuinya. Biarkan ini jadi rahasianya sendiri,
Bestari merasa tak tenang, entahlah hatinya tiba-tiba saja merasa tidak enak. Ia tak tahu apa yang salah, namun ada sesuatu yang membuatnya gelisah. Firasatnya mengatakan akan ada hal buruk terjadi. Selama ini firasatnya jarang meleset, saat kepergian Panji dulu, ia pun merasakan perasaan seperti ini.Ia berjalan menuju lokernya, membuka pintu dan mengernyit heran saat tak ada lagi gumpalan kertas di sana. Apa sudah selesai? Apa mereka semua sudah lelah mengerjainya. Entahlah, Bestari tak yakin dengan hal itu, tapi baguslah. Ia kembali menutup pintu loker dan terkejut menemukan beberapa perempuan telah berdiri di sekitarnya. Oh tidak! Ia kalah jumlah. Mana bisa satu orang menang melawan lima orang. Kalau dia ikut silat sih pasti menang, masalahnya dia kan tidak ikut begituan."Ada apa?" tanyanya mencoba basa-basi. B
Batara kembali antar-jemput Bestari. Meski Bestari bersikukuh menolak tapi Batara tak mengidahkan. Alasannya dia tidak mau kejadian Bestari ditampar terulang kembali, dengan tambahan mereka sepasang kekasih sekarang. Cih dasar modus.Hubungan mereka memang masih rahasia, hanya ketiga teman mereka saja yang tahu. Bestari tak merasa sepenting itu sampai hubungannya harus diketahui semua orang.Mereka melangkah beriringan menuju kelas, beberapa anak terang-terangan memadang. Tak terkecuali Daksa dan Nuraga.Nuraga menguap ia masih mengantuk, temannya ini tiba-tiba mengajak berangkat pagi. Keajaiban sekali apalagi ia hapal betul bahwa Daksa lebih sering membolos daripada sekolah, tidak tahu ada angin apa. Tapi sepertinya ia paham sekarang."Lo masih dendam sama tuh anak?" tanya Nuraga. Ia masih ingat jelas wajah anak baru itu. Duh, masa iya pagi-pagi begini Daksa mau adu jotos. Kenapa tidak nanti
Batara melirik pintu kelas, sedari tadi Bestari tak ada melewati pintu. Ia jadi khawatir kalau Bestari kenapa-kenapa. Atau jangan-jangan dia sakit makanya tidak masuk. Tidak biasanya Bestari berangkat sesiang ini. Yang lebih membuat Batara tak tenang adalah bagaimana jika Bestari dijahili oleh orang-orang yang mengirim teror. Harusnya ia antar jemput saja Bestari, kalau begini ia jadi bingung sendiri. Batara berdiri menghampiri bangku Bestari. Tirta dan Harsa yang melihatnya saling tatap, Tirta menggedikkan bahu acuh. Ia kembali fokus membaca bukunya. Daripada Batara mati penasaran, ia lebih baik tanya dari sumber terpercaya saja. Pesannya juga tidak ada balasan. Batara menepuk pundak Maharani yang tengah asik menonton video dengan headset terpasang di telinga. Dasar maniak, hampir setiap hari ia melihat Maharani stalking laki-laki bermata sipit itu. Untung Bestari tak ikut-ikutan, bisa kalah saing dia. "Paa
Bestari merasa tak tenang, entahlah hatinya tiba-tiba saja merasa tidak enak. Ia tak tahu apa yang salah, namun ada sesuatu yang membuatnya gelisah. Firasatnya mengatakan akan ada hal buruk terjadi. Selama ini firasatnya jarang meleset, saat kepergian Panji dulu, ia pun merasakan perasaan seperti ini.Ia berjalan menuju lokernya, membuka pintu dan mengernyit heran saat tak ada lagi gumpalan kertas di sana. Apa sudah selesai? Apa mereka semua sudah lelah mengerjainya. Entahlah, Bestari tak yakin dengan hal itu, tapi baguslah. Ia kembali menutup pintu loker dan terkejut menemukan beberapa perempuan telah berdiri di sekitarnya. Oh tidak! Ia kalah jumlah. Mana bisa satu orang menang melawan lima orang. Kalau dia ikut silat sih pasti menang, masalahnya dia kan tidak ikut begituan."Ada apa?" tanyanya mencoba basa-basi. B
Beberapa kertas yang diremat membentuk gumpalan memenuhi lokernya, Bestari menghela napas lelah. Ini sudah berlangsung selama lebih tiga hari sejak ia ada masalah dengan Sera. Tidak mengejutkan kalau ada yang melakukan ini, jika bukan Sera sendiri pasti fans gadis itu. Ia mengambil semua gumpalan itu, memasukkannya ke dalam kantong kresek yang kini selalu ia sediakan, jaga-jaga seperti saat ini.Bestari tidak berniat melihat apa yang tertulis dalam gumpalan itu, karena ia tahu, isinya pasti tidak jauh-jauh menghujatnya yang katanya seorang lesbi, atau sumpah serapah karena berani dengan Sera. Biarkan saja mereka pasti nantinya akan berhenti kalau capek.Perihal kertas-kertas ini tidak ada yang tahu, pun dengan Maharani, Bestari selalu membuangnya bahkan sebelum Maharani mengetahuinya. Biarkan ini jadi rahasianya sendiri,
Kedekatan mereka memang tidak banyak yang berubah, hanya saja Bestari sudah tak menghidar lagi dari Batara. Iya juga mencoba santai ketika berbicara dengan Batara, tapi masih meninggikan bentengnya.Yang masih kurang bisa ia terima adalah sikap spontan Batara, dia sering berbuat sesuatu tanpa memberi tahu. Seperti hari ini contohnya, tanpa ada angin atau hujan, Batara datang menjemputnya, coba saja cowok ini tidak tahu rumahnya dulu. Mau menolak kasihan sudah jauh-jauh ke sini, tapi––"Ngapain ke sini?""Lah, gak lihat udah pakai seragam, ya mau jemput kamu terus ke sekolah. Masa iya mau tidur." Gak lihat Batara udah seganteng ini. Wangi lagi."Biasanya juga berangkat sendiri."
Bestari berubah, sudah hampir satu minggu dia terus menghindar. Batara yang melihatnya hanya bisa menghela napas pasrah. Beberapa kali ia berusaha mendekat, tapi gadis itu juga semakin keras menolak. Benar kata Tirta, benteng tak kasat mata yang dibangun Bestari sangat kokoh. Batara merasa ia tak akan berhasil menembusnya, dan ini adalah kabar buruk."Weh, mau kemana?" Si tukang kepo Harsa bertanya. Sedari tadi diam tiba-tiba saja mau pergi, Harsa kan takut kalau Batara kenapa-kenapa, kerasukan contohnya, soalnya daritadi dia diem aja."Toilet."Batara tak lagi menunggu basa-basi Harsa, ia perlu menjernihkan pikirannya. Ia membasuh muka, menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia tidak boleh menyerah, ini baru awal. Masih ada waktu, dan ia yakin pasti bisa.
Selama perjalanan itu hanya di isi keheningan, Batara ingin berbicara tapi sepertinya Bestari enggan. Gadis itu hanya akan menjawab ketika ditanya arah mana yang harus dilewati, setelah itu diam. Terlihat sekali dia tidak nyaman. "Makasih." Bestari menunduk menyamakan tubuhnya setinggi pintu mobil. Ia masih tahu adab ketika diberi bantuan, sekalipun orang itu tidak disukainya."Sama-sama, aku gak mampir ya. Lain kali aja." Dih kepedean, Bestari juga tidak berniat mengajaknya mampir. Ini juga pertama dan terakhir ia mau diantar Batara, tak ada yang kedua kalinya. "Aku pulang, ya.""Iya, udah sana. Hati-hati."Bestari diam di tempatnya, matanya masih memandang kearah perginya mobil Batara. Ada yang salah. Bukankah Batara terlalu jauh melangkah, sela
Bestari kira Batara si murid baru itu pendiam namun dugaannya salah besar. Dia memang tidak cerewet seperti Harsa, tapi juga tidak pendiam seperti Tirta. Dia baik kepada siapa saja, ramah dan sepertinya mudah berteman, tapi selama beberapa minggu sekolah sikap aslinya mulai terlihat. Sering kali Batara mengganggunya tanpa alasan yang jelas, risih? Tentu saja. "Pagi, Tari." Tuhkan, Bestari bahkan baru masuk beberapa langkah ke dalam kelas tapi Batara sudah merecokinya. "Pagi," balasnya singkat. Malas meladeni Batara. Bestari cepat-cepat duduk di kursinya, membuka novel yang baru kemarin ia beli. Jam segini masih sedikit yang datang, dan Batara yang tiba lebih cepat dari yang lain adalah hal langka untuk seorang cowok, apalagi di kelasnya kebanyakan cowoknya masuk telat, mungkin sekitar sepuluh
Pemuda bernama lengkap Batara Selaksa itu segera melesat turun dari mobil yang dikendarainya, memutar bola mata malas kala banyak yang memandang heran dan penasaran ke arahnya. Ck! Sudah biasa, apalagi wajah asing yang memang tampan. Batara bukan kepedean tapi itu nyata, ia memang tampan.Pemuda yang kerap disapa Tara itu segera pergi menuju ruang kepala sekolah, risih juga lama-lama ditatap terus-menerus. Kemarin ia sudah berkeliling sekalian mengantar berkasnya, harusnya tidak susah untuk menemukannya lagi.Senyum dengan mata menyipit membentuk bulan sabit terbit di bibirnya, akhiranya ketemu juga, ia sudah berniat meminta bantuan salah satu dari mereka kalau tidak juga menemukannya. Barata segera mengetuk pintu di depannya, tak lama ia bisa mendengar sahutan dari dalam."Permisi Pak, saya Batara, mu