Jangan lupa vote yaa
Cahaya matahari yang masuk dari celah korden memaksaku untuk membuka mata. Karena cahayanya cukup menyilaukan. Ternyata sudah jam sepuluh. Aku menggeliat di balik selimut. Kulihat Arman masih terlelap di ranjang berbeda. Segera kusambar handuk di gantungan. Kamar yang hanya menggunakan kipas angin ini sudah membuat tubuhku basah oleh keringat. Kubasuh tubuh di bawah kucuran air. Lebih baik setelah ini membangunkan Arman lalu mengajaknya sarapan. Setelah itu segera mencari keberadaan suami miskin tak tahu diri itu. Beruntung Arman tidak susah untuk dibangunkan. Mungkin karena dari pada telinganya panas mendengarkan omelanku. Dengan menggunakan taksi, aku menuju hotel sesuai yang diinformasikan. "Bu, pelan-pelan saja. Jangan terburu-buru begitu," tukas Arman. Tak kuacuhkan ucapan Arman. Tak sabar rasanya untuk memergoki Bang Wahyu dan gundiknya itu. Kalau memang mereka ketahuan selingkuh, maka bersiap-siap saja aku ten-dang mereka. Kebetulan pintu lift sedang terbuka, cepat aku m
(Masih) POV RAHMA"Diam kau, Pela-cur! Pelakor tak tahu malu!" Kutarik rambut itu sekuat mungkin dan mendorongnya hingga terjatuh.Seperti mendapat kekuatan yang entah dari mana, Rossa menendang perutku."Aduh, aawww!" Rasa sakit yang luar biasa membuatku langsung memegang perut dan jatuh berlutut. Tendangan Rossa cukup kuat sehingga mampu membuat aku seketika tak berdaya."Bu, Ibu!" teriak Arman berlari untuk menangkap tubuhku."Dek." Bang Wahyu hendak menghampiriku."Mas, sakiiit," erang Rossa manja, sehingga membuat Bang Wahyu berputar haluan menjadi menghampiri gadis itu."Kamu nggak apa-apa?" tanya lelaki yang sudah menikahiku selama lebih dari empat puluh tahun itu. Tapi pertanyaan itu bukan padaku, tapi pada gundiknya.Sia-lan! Dia malah memperhatikan wanita itu, bukan aku. Padahal aku adalah istri yang sudah menaikkan derajatnya dari seorang gembel menjadi seperti sekarang ini."Sia-lan kamu, Bang. Tega-teganya kamu lebih memperhatikan dia daripada aku!" pekikku lemah karena r
"Sudah merasa hebat kamu, Bang? Memangnya kamu bisa hidup tanpaku?""Jangan terlalu sombong, Rahma. Kamu pun bukan apa-apa jika tanpa ayahmu. Ingat, roda itu berputar, Rahma. Sekarang rodamu 'lah yang berada di bawah.""Lebih baik kita pergi sekarang, Arman. Ibu muak berada di sini."Tak kusangka, ternyata di luar sudah banyak orang yang berkerumun dan masing-masing memegang ponsel di tangan. Sepertinya mereka merekam kejadian di dalam tadi. Mam-pus aku!Sambil menunduk menutupi wajah, aku berlari menerobos kerumunan ramai orang-orang yang menonton keributan tadi. Semoga saja kejadian ini tidak sampai viral di sosial media. Seorang Rahma telah diselingkuhi suaminya. Hancur sudah reputasiku.Mataku menerawang ke luar jendela. Lagi-lagi hujan mengguyur kota Singapura. Para pejalan kaki menggunakan payung untuk melindungi diri.Aku memang terlalu bodoh. Mau saja tertipu dengan kepolosan Bang Wahyu. Sampai-sampai tidak meletakkan sedikit pun kecurigaan padanya.Ah ya, bukan 'kah mobile ba
"Sudah, Pak. Aku lihat langsung di i*******m tadi." "Bapak puas sekali melihat keterpurukan mereka, Nduk. Akhirnya balasan dari Allah langsung datang tanpa menunggu lama. Perlahan-lahan wanita sombong itu merasakan sakit yang lebih besar dari yang kamu rasakan." "Allah nggak tidur, Pakde. Setiap perbuatan buruk yang dilakukannya, tanpa sadar dia sudah menciptakan karma untuk dirinya sendiri," timpal Mas Abi. "Lalu, apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Pak?" "Kita tunggu saja mereka pulang dari Singapura. Bapak akan tanya Irwan nanti perihal kepulangan mereka. Dan tanpa membuang waktu, kita langsung tagih utang pada mereka. Rasanya pasti seperti sudah jatuh, tertimpa tangga pula." ** Ternyata Bu Rahma pergi ke Singapura bersama Bang Arman. Dan berita yang diterima dari Pak Irwan, mereka tiba dengan pesawat pagi tadi dan langsung ke Jogja. Katanya Bu Rahma mau meninjau toko batik mereka di sini. "Kamu sudah siap?" tanya Bapak. "Sudah dong, Pak. Mas Abi mana?" "Kenapa tanya-t
"Tega banget kamu sama saya, Nia. Saya ini dulunya mertua kamu!""Justru karena anda itu dulunya mertua saya, makanya saya buat seperti ini. Jangan pernah lupakan apa yang pernah anda buat dulu pada saya dan Indah. Apa anda pernah mengganggap kami ada?""Berarti benar kamu mau membalas dendam padaku 'kan?""Anda pikirkan saja sendiri!" sentakku sambil menunjuk kening. "Orang seperti anda tidak patut dikasihani!"Bapak mengusap lenganku untuk menenangkan. Bara api emosiku saat ini sangat meluap-luap. Bayangan perbuatan mereka masa ketika masih menjadi menantu dan istri dari anaknya, masih menari di ingatan."Semua ini adalah balasan dari Allah atas apa yang anda lakukan pada aku dulu. Nggak harus aku yang membalas, tapi alam yang sudah membalas." Aku tertawa sinis."Terserah kalian mau bilang apa! Tapi, tolong berikan aku waktu untuk istirahat. Otakku penat!" Suaranya sudah mulai merendah sambil meremas rambutnya.Aku memandang ke arah Bapak. Ia tak memberi isyarat jawaban apa-apa. Sepe
Bab 21 "Memangnya kamu siapa? Jangan ikut campur!" Bang Arman melotot garang dengan dada sedikit dibusungkan ke depan, menantang Mas Abi. Postur lebih tinggi Bang Arman memang, namun Mas Abi lebih kekar dan berisi dibandingkan mantan suamiku itu. "Harusnya aku yang balik bertanya. Kamu siapa? Kamu itu bukan siapa-siapa bagi Kania, kecuali mantan suami." Mas Abi menekan ucapannya di kalimat "mantan suami". "Asal kamu tahu ya, Arman." Bapak kali ini ikut membuka suara. "Nak Abimanyu ini calon suaminya Kania. Pengganti laki-laki yang tak berguna seperti dirimu!" Ekspresi Bang Arman tampak terkejut. Namun ia berusaha untuk menata bahasa tubuhnya. Aku pun tak kalah terkejutnya. Kenapa Bapak bisa tiba-tiba terpikir untuk berkata demikian. Entah bagaimana ekspresi Mas Abi. Pasti ia pun tak kalah terkejutnya dari aku dan Bang Arman. "Oh, hebat banget. Padahal belum lama bercerai dariku." "Untuk apa lama-lama larut dalam kesedihan, Arman? Apalagi laki-laki sepertimu tak pantas untuk di
Cepat aku menyambar remote televisi di atas meja untuk menambah volume. Kubaca satu persatu tulisan yang tertera di bagian bawah layar. Astaghfirullah, ternyata Bu Rahma terlibat kasus pembunuhan? Tapi, pembunuhan siapa? Tanpa kusadari, ternyata aku sudah berada di depan televisi layar datar itu. Wajah yang ditutupi masker itu terus tertunduk dengan mengenakan baju tahanan berwarna oranye. "Astaghfirullah, ternyata dia membu-nuh suami dan selingkuhannya, Mbak Kania." Mas Darmo berkomentar. Aku menggeleng tak habis pikir, kenapa dia sanggup melakukan perbuatan senekat itu. Drrrt drrrt. Getaran sekaligus dering ponsel berdering di kantong dasterku. Nama Mas Abi tertera di layar. "Halo, assalamualaikum, Mas." "Wa'alaikumussalam, Kania. Kamu sudah lihat berita di televisi?" ucap Mas Abi di seberang telepon. "Sudah, Mas. Bu Rahma membu-nuh Pak Wahyu?" "Ternyata hanya masih percobaan pembu-nuhan, Kania. Barusan sudah ke luar berita terbaru. Aku tadi tanya pada Irwan. Pak Wahyu suda
Ia menatapku dengan tatapan nyalang. Tebersit rasa iba, karena tersirat kekhawatiran yang mendalam akan kondisi ibunya.Arman memang berbeda dari anak-anakku yang lain. Ima dan Ella saja tidak pernah peduli lagi, sejak tahu kalau aku ternyata memiliki utang yang banyak pada Kania--ipar yang selama ini mereka hina.Tapi, persoalan ini Arman tidak perlu tahu. Biarkanlah aku yang mengatasinya sendiri. "Tapi, Bu. Ibu kelihatannya sedang nggak baik-baik saja. Aku khawatir.""Sudahlah! Ibumu ini bukan anak-anak. Dan kamu tahu kalau ibu itu paling nggak suka diatur-atur 'kan?"Putraku itu mengangguk lirih. Ia memutar tubuhnya dan duduk di sofa.Kulanjutkan langkah menuju lorong samping yang jarang sekali ada yang melewatinya. Karena ini adalah jalan menuju gudang yang sudah tidak terpakai.Cepat kutekan nama Indra dari daftar kontak. Tak lama suara nada sambung terdengar di ujung telepon."Ya, halo, Bu Rahma? Ada yang bisa dibantu?""Oh, tentu saja. Justru karena itu lah aku meneleponmu. Ka